Friday, 13 September 2024

The Joy of Parenting-nya Ashana

Rutinitas Ashana setiap pagi selalu sama. Bangun pukul empat, menyeduh kopi dan menyesapnya beberapa kali sebelum kemudian berkutat di dapur. Kadang kala, sering sebenarnya, ia kehabisan ide menu masakan. Hingga tanpa sadar menunya terus itu-itu saja. Apalagi kalau putrinya sedang kurang nafsu makan. Entah karena tumbuh gigi atau sakit batuk pilek pada musimnya. Kepala Ashana semakin pening mencari menu makanan yang menggugah selera dan membuat suami dan putrinya lahap.

Setelah masakan selesai, dibantu suaminya bertugas menanak nasi, ia akan membangunkan putrinya untuk mandi bersama. Sembari putrinya berdandan bersama Papanya, Ashana akan berdandan untuk dirinya sendiri dan menyiapkan kotak bekal untuknya dan putrinya. Begitu semua selesai, ia akan berangkat ke kantor dengan mengantar putrinya lebih dulu ke daycare.

Ia akan menjemput putrinya sesuai jam pulang kantornya. Sama seperti hari lain, hari ini pun demikian. Namun karena usia putrinya sudah hampir tiga tahun, anak itu sudah mulai mengerti berbagai emosi, termasuk kesal pada ibunya karena merasa terlalu lama menunggu. Putrinya memanggilnya dari balik pagar daycare dengan kesal, sudah siap lengkap mengenakan jaket dan tasnya serta telah mengenakan sandal. Ia memeluk Mamanya sambil memberengut. 

"Adek kesal ya, Mama jemputnya lama? Maaf ya, Mama hari ini pulangnya agak telat," kata Ashana sambil mengelus punggung putrinya. 

"Yaudah yuk pulang, Mama bawa bakso buat Adek nih," lanjut Ashana. Putrinya sumringah mendengarnya. "Bakso? Ayooo, " katanya ceria. 

Sesampainya di rumah, putrinya menyantap bakso bersama Papanya sedangkan Ashana mandi dan berganti pakaian. Putrinya lanjut makan pisang dan meminta susu. Ashana geleng-geleng dengan tingkah putrinya. Tapi juga bersyukur setelah beberapa hari nafsu makannya menurun karena batuk pilek. Karena dirasa makan sorenya sudah terlalu banyak, Ashana tidak menawari putrinya makan malam.

Ternyata prediksinya salah. Putrinya melihat Papa dan Mamanya makan malam bihun goreng, ia langsung berseru, "Ma, mau mie,"

"Loh, adek kan udah makan banyak tadi, nanti kekenyangan, sakit perutnya," sahut Ashana.

"Mau miiiee," seru putrinya kekeuh. Ashana mengalah. Ia buatkan mie lagi dengan porsi kecil. Setelah selesai, disodorkannya ke hadapan putrinya yang sedang corat coret di buku gambar di meja lipatnya. Putrinya menoleh ke arah mie yang baru matang, lalu membuang muka. "Nggak!" katanya.

Ashana terkesiap. Kesal dengan tingkah putrinya.

"Adek, jangan gitu. Kan adek tadi udah minta makan mie, sudah dibuatkan Mama, makan ya. Dikit aja gapapa, gak habis gapapa, tapi dimakan," bujuk Ashana.

"Nggaaaaak!" kata putrinya setengah berteriak. Tiba-tiba suaminya mencubit kaki putrinya.

"Makan. Papa nggak suka ya kalau kamu kayak gitu, buang-buang makanan! Mama sudah capek-capek masak kok kamu gak mau makan!" hardik suaminya sambil terus mencubit. Ashana terkejut, ketakutan. Ashana tahu suaminya hanya pura-pura mencubit, namun Ashana tetap ketakutan. Ashana membayangkan kekuatan laki-laki yang menurutnya hanya mencubit tidak sakit namun kenyataannya tetap sakit bagi anak-anak. Ashana juga seperti merasa dicubit, seperti dahulu ketika ia kecil. Bahkan dulu sampai membekas memar di pahanya. Dan ia masih ingat rasanya.

Putrinya menangis, tapi hanya sekejap. Mungkin tangisannya adalah tangisan terkejut dengan reaksi Papanya, dan merasa ternyata tidak sakit dicubit Papanya.

Suaminya terus memarahi putrinya. Lalu putrinya memandang Ashana, "Mama, Papa...," katanya.

"Adek takut Papa marah ya?" tanya Ashana.

"Takut Papa mayah..," kata putrinya.

"Adek nggak suka ya dicubit Papa?" tanya Ashana lagi.

"Tak suka dicubit," jawab putrinya lagi.

"Kalau adek nggak mau Papa marah dan nyubit, adek jangan ulangi lagi ya. Kalau minta makan ya harus dimakan. Kalau udah kenyang, ya jangan minta makan dulu. Ngerti?"

"Ngeti...,"

"Udah, sekarang say sorry dulu sama Papa,"

"Sorry, pa...,"

"Iya, Papa juga sorry ya udah cubit adek," sahut suaminya.

"Ayo, sekarang kita berpelukan bertiga," kata Ashana. Dan mereka pun berpelukan, lalu putrinya mendaratkan kecupan di pipinya dan suaminya.

Tak lama Ashana menidurkan putrinya. Dan tersenyum melihat wajah putrinya. Ia kagum, anak sekecil ini mulai merasakan emosi, dan mau menyampaikan emosi yang dirasakannya. Kebanyakan anak-anak akan takut menyampaikan emosinya meskipun sudah dipandu atau ditanyai oleh orang tuanya. Namun putrinya dengan tenang menyampaikan emosinya. Dan dia bangga akan hal itu.

Ashana kemudian beranjak, mengambil posisi duduk yang rileks dan mulai mempraktekkan teknik relaksasi yang diajarkan Bu Kirana. Ia merasa malam ini tenaganya terkuras dengan emosi negatif, dan ia butuh tidur yang tenang. Ia menyalakan musik yang lembut, melakukan gerakan relaksasi dari Bu Kirana dan gerakan lain yang ia butuhkan. Setelah merasa lebih tenang, ia meminum air putih dan beranjak tidur. Sambil berdoa semoga pikirannya tidak meliar lagi malam ini.

Konseling Kedua Ashana

Ashana kembali melajukan motornya ke rumah sakit lagi. Seminggu yang lalu ia konseling pertama kali ke Psikolog dan merasa lebih baik. Terkadang ia sungkan, akankah masalah yang diceritakannya ini sebenarnya adalah sesuatu hal kecil yang remeh? Bahwa sebenarnya masalah yang ia pikirkan hingga sulit tidur ini adalah hal yang tidak penting.

Namun melihat respon Bu Kirana kemarin, ia tidak melihat gelagat yang menunjukkan pendapat seseorang yang meremehkan. Ia menangkap respon orang bersimpati, dan hal itu melegakannya. Ia tumbuh dalam kritikan. Setiap pencapaiannya terasa masih kurang saja bagi ibunya. Ibunya ingin ia dulu selalu ranking tiga besar. Nyatanya dia selalu bertahan menjadi ranking sepuluh. Sekalinya naik menjadi rangking tujuh, ia membayangkan ibunya akan bahagia bukan kepalang. Namun kegembiraannya tersebut ternyata dibalas dengan respon yang di luar bayangannya. Ibunya berbaring santai di sofa sambil memejamkan mata, dan bertanya sambil lalu ia ingin hadiah apa, dengan nada bosan dan seolah informasi kenaikan rankingnya adalah sesuatu hal biasa dan memang seharusnya Ashana lakukan.

Ibunya dulu sering berkata, anak seusia Ashana tugasnya hanya belajar. Ia tidak dibebani kewajiban mencari nafkah di usia anak-anak, tidak memiliki kegiatan lain selain belajar. Merupakan suatu kewajiban bagi Ashana untuk meningkatkan prestasi akademiknya. Ashana kecewa. Seolah perjuangannya menaikkan ranking dari sepuluh menjadi tujuh seperti sia-sia. Ia ingin selebrasi. Ia ingin disanjung dengan gegap gempita. Namun yang ia dapatkan ternyata sebuah reaksi datar yang melebihi datarnya kaca. Belakangan Ashana menyadari, di usia yang beranjak dewasa, peristiwa itu menjadi pelajaran baginya untuk tidak terlalu mengharapkan pujian dari orang lain. Ternyata, mengapresiasi diri sendiri juga merupakan hal yang bisa dan boleh dilakukan, bukan berarti kita menjadi sombong atau tinggi hati.

Ashana melangkah mengikuti prosedur pendaftaran. Hari ini tidak seramai minggu lalu. Ia langsung masuk ke ruang poli psikologi dan tersenyum menatap Bu Kirana.

"Halo," sapa Bu Kirana cerah. Ashana meletakkan jaket dan tasnya, bersamaan dengan Bu Kirana menggelar matras yoga berwarna merah jambu nan ceria.

"Hari ini kita belajar teknik relaksasi ya. Saya beri setidaknya tiga gerakan dulu, biar kamu gak lupa. Nanti ini jadi PR kamu untuk dilakukan di rumah," kata Bu Kirana. Ashana kagum. Baru saja dia akan bertanya atau meminta teknik relaksasi, ternyata Bu Kirana sudah siap akan hal itu.

Ashana melepas sepatunya dan melihat gerakan yang dicontohkan Bu Kirana. Selanjutnya giliran dia untuk mencoba. Setelahnya Ashana kembali duduk di sofa dekat pintu dan berhadapan dengan Bu Kirana.

"Bagaimana seminggu kemarin dengan Mama? Ada kejadian menarik atau tidak?" tanya Bu Kirana. Ashana menceritakannya, pun menceritakan tentang suami dan anaknya. Sesekali Bu Kirana menimpali. Sesi konseling ini terasa seperti dua teman sedang bercerita. Hanya saja, bedanya bukan saling menceritakan keluarga masing-masing, seperti yang biasa terjadi antara Ashana dengan teman-temannya. Bu Kirana menimpali cerita Ashana dengan penjelasan. Inilah mungkin yang membuat konseling ke Psikolog terasa berbeda kelegaannya, dibanding bercerita hal yang sama dengan sahabat atau suami sendiri.

Selesai konseling, Ashana kembali ke kantor dan buru-buru mengambil jurnalnya. Ia menulis poin-poin yang bisa ia ambil dari konseling hari ini. Ashana mengamati ada dua poin besar.

  • Orang tua usia 65 tahun ke atas, naturalnya akan semakin susah diberi pemahaman. Kita sebagai anak menyikapinya dengan pemakluman, bukan pengabaian, atau menuruti semua keinginannya. Ada kalanya kita akan merasa sangat tidak setuju atau tidak nyaman dengan pendapatnya atau sikap mereka yang sulit diberi masukan. Namun kita harus memaklumi bahwa memang orang tua usia 65 tahun ke atas itu secara natural akan demikian.
  • Dampingi pasanganmu dalam hal positif. Terutama jika ia mengalami kesulitan penyesuaian diri di lingkungan baru. Namun, tanggung jawab terbesarmu adalah anakmu. Pemenuhan keinginan (bukan batiniah) suamimu bukan menjadi tanggung jawabmu. Fokuslah ke anakmu karena itu adalah tujuan dan tanggung jawabmu.

Ashana berhenti sejenak. Ia memejam menahan air mata yang akan keluar. Sekarang, setiap kali membahas anak, ia terenyuh. Sebelum menikah dan lahir anak, ia merasa hidupnya seperti tak ada tujuan. Dulu ia merasa seperti tahu tujuan hidup. Lulus SD, memilih SMP tujuan, lanjut SMA tujuan, lanjut kuliah tujuan, lanjut lagi mencari kerja. Itu semua terasa terarah. Setelah semua tercapai, kala itu ia merasa tujuan berikutnya adalah menikah. Namun hingga target usia menikahnya terlewat, ia seperti hilang arah. Setiap pria nampak seperti berlalu lalang di sekitarnya namun tidak ada satu pun yang menoleh dan melihatnya. Seolah ia adalah makhluk tak kasat mata. Bertahun-tahun ia bertanya-tanya apa yang kurang. Apakah kurang cantik? Kurang pintar? Kurang seksi? Kurang manja? Kurang kaya? Atau malah terlalu pintar? Terlalu mandiri? Terlalu tinggi pencapaiannya sehingga membuat para pria minder dan silau mendekatinya?

Hingga akhirnya ia bertemu dengan yang sekarang menjadi suaminya. Ia merasa seperti keluar dari dunia yang hambar menuju dunia yang lebih berwarna. Pun ketika ia mengandung dan melahirkan putrinya. Detik di mana ia pertama kali menggendong putrinya yang baru lahir, ia merasakan tujuan baru. Terasa lebih jelas, lebih utama. Ia mencium lembut putrinya sambil berjanji, putrinya akan menjadi prioritas utamanya mulai dari sekarang.