poster film Suzume, comot dari Google |
Hai, apa kabar?
Kusapa dulu semua baik blog ini maupun kalian yang menyempatkan waktu dan diri untuk membaca postingan ini. Blog yang sudah lama kutinggal namun tidak kutinggalkan. Namun kali ini, ada hal yang begitu ingin kubagikan meskipun sebelumnya aku sudah membahasnya ratusan kali dengan pasangan hidupku maupun sudah kutulis dalam buku jurnalku.
Lama tidak menulis di blog, mungkin membuat bahasaku menjadi kikuk dan tidak seluwes dulu saat aku masih aktif menulis. Tapi aku berusaha membuatnya mudah untuk dibaca. Jadi, terima kasih.
Akhir-akhir ini aku dan pasangan hidupku selalu menyempatkan diri untuk berkencan tanpa anak. Hal ini kami rasa sebagai salah satu untuk mempertahankan hubungan, merilekskan pikiran, dan "membayar" hutang pacaran yang belum sempat kami rasakan karena sudah ada anak. Salah satu kencan kami seperti orang-orang kok, nonton di bioskop. Kebetulan di Blitar sekarang sudah ada bioskop, jadi kami tidak perlu ke luar kota untuk nonton, terutama film-film yang kami ingin tonton.
Minggu lalu, pasangan hidupku mengajak menonton film Suzume di bioskop. Awalnya aku skeptis, masa anime aja pake nonton di bioskop. Tunggu di aplikasi nonton gratis juga nanti ada. Tapi dia kekeuh mau nonton di bioskop karena sudah liat teasernya dan dia tidak sabar. Kupikir, ya sudahlah. Toh kami memang suka nonton anime, jadi pengen tahu juga rasanya nonton anime di bioskop.
Film dimulai, sepanjang film kami menerka bahwa ini film petualangan beneran. Petualangan di dunia fantasi khas anime. Sempat juga kami mengira ini menceritakan dongeng asal muasal Jepang sering gempa. Film buatan Makoto Shinkai ini memang beberapa kali membahas tentang bencana alam. Sebelumnya ada Kimi no Nawa yang berlatar meteor jatuh dan Tenki no Ko yang berlatar hujan dan banjir.
Sepanjang film kami ikut deg-degan dengan alur cerita. Suzume yang anak yatim piatu, diasuh oleh tantenya di kota kecil bernama Kyushu, jadi berpetualang sampai ke Tokyo setelah bertemu dengan Shouta, pemuda yang mencari tempat terbengkalai yang ternyata ada pintu menuju dunia Ever After. Di mana Suzume tidak sengaja membuka pintu tersebut menyebabkan cacing dari Ever After keluar dan jatuh ke bumi, mengakibatkan gempa di Jepang. Suzume merasa bersalah dan bersama Shouta, ia berpetualang hingga ke Tokyo berusaha menutup pintu-pintu yang terbuka, mencegah si cacing keluar lalu jatuh dan mengakibatkan gempa hebat di Jepang.
Sampai kemudian tiba di akhir cerita, ketika Suzume melihat anak kecil yang ternyata dirinya di masa lalu, di situlah aku dan pasangan hidupku menangis dan tersadar, bahwa film ini bukan sekedar film petualangan fantasi. Melainkan ada makna tentang penyembuhan innerchild yang terluka. Suzume yang ditinggal mati ibunya di usia 4 tahun, saking traumanya sampai tidak mau mengingat bahkan hingga terlupa dengan kejadian tersebut. Mengakibatkan ingatan masa kecilnya kabur dan samar. Dia hanya ingat pernah tersesat di Ever After ketika berusaha mencari ibunya.
Kami mengibaratkan, petualangan Suzume ke kota-kota dari Kyushu ke Tokyo, menutup pintu-pintu menuju Ever After yang hanya bisa ditemukan di tempat yang terbengkalai, adalah menutup luka-luka yang pernah tertoreh sepanjang perjalanan usia. Dari kecil hingga dewasa. Luka-luka yang terabaikan (pintu di tempat terbengkalai) adalah luka yang akan terus terasa sakit. Namun ketika kita menyempatkan diri untuk mengunjungi, memvalidasinya dan mengembalikannya bahwa itu adalah hal yang tidak dapat dipungkiri dan merupakan kehendak Tuhan untuk kita belajar, maka kita akan dapat berdamai dengan diri kita, menutup dan mengunci ingatan luka tersebut dengan ikhlas dan damai.
Kami juga mengibaratkan, cacing besar yang jatuh dan menyebabkan gempa adalah ego, emosi, dan luka yang jika dibiarkan akan menumpuk dan jatuh menyebabkan kerusakan bagi diri kita di kemudian hari. Bayangkan orang yang sejak lama memendam emosi dan amarahnya, memendam traumanya dan tidak mampu berdamai dengan lukanya. Maka suatu ketika ia akan dapat meledak dan tentunya itu tidak hanya akan merugikan dirinya sendiri tapi juga orang lain.
Adegan terakhir di mana Suzume ketemu sama Suzume kecil, kemudian berusaha menenangkan Suzume kecil, Suzume sempat kewalahan dan ikut sedih lagi. Tapi kemudian dia bangkit dan bilang ke Suzume kecil, bahwa semua baik-baik saja. Masa depan tidak semenakutkan itu. Di situ aku menangis. Aku merasa seperti Suzume itu aku yang ternyata mengabaikan dan terlupa akan trauma masa kecil, lalu dihadapkan dengan dirinya versi anak-anak. Bahkan kata-kata Suzume ke Suzume kecil pun adalah kata-kata yang ingin aku dengar dari orangtuaku sejak dulu. Bahwa semua baik-baik saja. Kamu pasti bisa.
Film ini sungguh di luar ekspektasi. Ada humor di sana-sini yang membuat segar dan nggak monoton. Ada humanity yang tersampaikan juga di situ. Tapi jangan berharap ada adegan romantis kinyis-kinyis yaa. Kemarin aku dengar ada penonton yang bilang film ini kurang romantis. Yaah, segmentasinya beda lah. Di sini keliatan banget Makoto Shinkai ingin menyampaikan tentang pentingnya menyembuhkan innerchild yang terluka dengan alur cerita yang sama sekali nggak ketebak. Keluar dari studio bioskop rasanya bener-bener kayak abis dari isekai rasanya.
Sungguh, film ini masuk daftar film terbaik menurutku dari segi cerita dan animasinya. Dan masuk daftar film kedua yang sukses bikin aku nangis kejer setelah Avatar The Way of Water. Kuucapkan selamat bagi Makoto Shinkai. Kutunggu lagi karyamu berikutnya, Sensei!
P.S : liat Suzume kecil jadi inget Onyx yang tiap sore nunggu dijemput Mamanya. 😠Pantes dia selalu bahagia tiap kujemput dan selalu kegirangan kalau kujemput lebih awal. I love you, nak!