Friday 13 September 2024

The Joy of Parenting-nya Ashana

Rutinitas Ashana setiap pagi selalu sama. Bangun pukul empat, menyeduh kopi dan menyesapnya beberapa kali sebelum kemudian berkutat di dapur. Kadang kala, sering sebenarnya, ia kehabisan ide menu masakan. Hingga tanpa sadar menunya terus itu-itu saja. Apalagi kalau putrinya sedang kurang nafsu makan. Entah karena tumbuh gigi atau sakit batuk pilek pada musimnya. Kepala Ashana semakin pening mencari menu makanan yang menggugah selera dan membuat suami dan putrinya lahap.

Setelah masakan selesai, dibantu suaminya bertugas menanak nasi, ia akan membangunkan putrinya untuk mandi bersama. Sembari putrinya berdandan bersama Papanya, Ashana akan berdandan untuk dirinya sendiri dan menyiapkan kotak bekal untuknya dan putrinya. Begitu semua selesai, ia akan berangkat ke kantor dengan mengantar putrinya lebih dulu ke daycare.

Ia akan menjemput putrinya sesuai jam pulang kantornya. Sama seperti hari lain, hari ini pun demikian. Namun karena usia putrinya sudah hampir tiga tahun, anak itu sudah mulai mengerti berbagai emosi, termasuk kesal pada ibunya karena merasa terlalu lama menunggu. Putrinya memanggilnya dari balik pagar daycare dengan kesal, sudah siap lengkap mengenakan jaket dan tasnya serta telah mengenakan sandal. Ia memeluk Mamanya sambil memberengut. 

"Adek kesal ya, Mama jemputnya lama? Maaf ya, Mama hari ini pulangnya agak telat," kata Ashana sambil mengelus punggung putrinya. 

"Yaudah yuk pulang, Mama bawa bakso buat Adek nih," lanjut Ashana. Putrinya sumringah mendengarnya. "Bakso? Ayooo, " katanya ceria. 

Sesampainya di rumah, putrinya menyantap bakso bersama Papanya sedangkan Ashana mandi dan berganti pakaian. Putrinya lanjut makan pisang dan meminta susu. Ashana geleng-geleng dengan tingkah putrinya. Tapi juga bersyukur setelah beberapa hari nafsu makannya menurun karena batuk pilek. Karena dirasa makan sorenya sudah terlalu banyak, Ashana tidak menawari putrinya makan malam.

Ternyata prediksinya salah. Putrinya melihat Papa dan Mamanya makan malam bihun goreng, ia langsung berseru, "Ma, mau mie,"

"Loh, adek kan udah makan banyak tadi, nanti kekenyangan, sakit perutnya," sahut Ashana.

"Mau miiiee," seru putrinya kekeuh. Ashana mengalah. Ia buatkan mie lagi dengan porsi kecil. Setelah selesai, disodorkannya ke hadapan putrinya yang sedang corat coret di buku gambar di meja lipatnya. Putrinya menoleh ke arah mie yang baru matang, lalu membuang muka. "Nggak!" katanya.

Ashana terkesiap. Kesal dengan tingkah putrinya.

"Adek, jangan gitu. Kan adek tadi udah minta makan mie, sudah dibuatkan Mama, makan ya. Dikit aja gapapa, gak habis gapapa, tapi dimakan," bujuk Ashana.

"Nggaaaaak!" kata putrinya setengah berteriak. Tiba-tiba suaminya mencubit kaki putrinya.

"Makan. Papa nggak suka ya kalau kamu kayak gitu, buang-buang makanan! Mama sudah capek-capek masak kok kamu gak mau makan!" hardik suaminya sambil terus mencubit. Ashana terkejut, ketakutan. Ashana tahu suaminya hanya pura-pura mencubit, namun Ashana tetap ketakutan. Ashana membayangkan kekuatan laki-laki yang menurutnya hanya mencubit tidak sakit namun kenyataannya tetap sakit bagi anak-anak. Ashana juga seperti merasa dicubit, seperti dahulu ketika ia kecil. Bahkan dulu sampai membekas memar di pahanya. Dan ia masih ingat rasanya.

Putrinya menangis, tapi hanya sekejap. Mungkin tangisannya adalah tangisan terkejut dengan reaksi Papanya, dan merasa ternyata tidak sakit dicubit Papanya.

Suaminya terus memarahi putrinya. Lalu putrinya memandang Ashana, "Mama, Papa...," katanya.

"Adek takut Papa marah ya?" tanya Ashana.

"Takut Papa mayah..," kata putrinya.

"Adek nggak suka ya dicubit Papa?" tanya Ashana lagi.

"Tak suka dicubit," jawab putrinya lagi.

"Kalau adek nggak mau Papa marah dan nyubit, adek jangan ulangi lagi ya. Kalau minta makan ya harus dimakan. Kalau udah kenyang, ya jangan minta makan dulu. Ngerti?"

"Ngeti...,"

"Udah, sekarang say sorry dulu sama Papa,"

"Sorry, pa...,"

"Iya, Papa juga sorry ya udah cubit adek," sahut suaminya.

"Ayo, sekarang kita berpelukan bertiga," kata Ashana. Dan mereka pun berpelukan, lalu putrinya mendaratkan kecupan di pipinya dan suaminya.

Tak lama Ashana menidurkan putrinya. Dan tersenyum melihat wajah putrinya. Ia kagum, anak sekecil ini mulai merasakan emosi, dan mau menyampaikan emosi yang dirasakannya. Kebanyakan anak-anak akan takut menyampaikan emosinya meskipun sudah dipandu atau ditanyai oleh orang tuanya. Namun putrinya dengan tenang menyampaikan emosinya. Dan dia bangga akan hal itu.

Ashana kemudian beranjak, mengambil posisi duduk yang rileks dan mulai mempraktekkan teknik relaksasi yang diajarkan Bu Kirana. Ia merasa malam ini tenaganya terkuras dengan emosi negatif, dan ia butuh tidur yang tenang. Ia menyalakan musik yang lembut, melakukan gerakan relaksasi dari Bu Kirana dan gerakan lain yang ia butuhkan. Setelah merasa lebih tenang, ia meminum air putih dan beranjak tidur. Sambil berdoa semoga pikirannya tidak meliar lagi malam ini.

Konseling Kedua Ashana

Ashana kembali melajukan motornya ke rumah sakit lagi. Seminggu yang lalu ia konseling pertama kali ke Psikolog dan merasa lebih baik. Terkadang ia sungkan, akankah masalah yang diceritakannya ini sebenarnya adalah sesuatu hal kecil yang remeh? Bahwa sebenarnya masalah yang ia pikirkan hingga sulit tidur ini adalah hal yang tidak penting.

Namun melihat respon Bu Kirana kemarin, ia tidak melihat gelagat yang menunjukkan pendapat seseorang yang meremehkan. Ia menangkap respon orang bersimpati, dan hal itu melegakannya. Ia tumbuh dalam kritikan. Setiap pencapaiannya terasa masih kurang saja bagi ibunya. Ibunya ingin ia dulu selalu ranking tiga besar. Nyatanya dia selalu bertahan menjadi ranking sepuluh. Sekalinya naik menjadi rangking tujuh, ia membayangkan ibunya akan bahagia bukan kepalang. Namun kegembiraannya tersebut ternyata dibalas dengan respon yang di luar bayangannya. Ibunya berbaring santai di sofa sambil memejamkan mata, dan bertanya sambil lalu ia ingin hadiah apa, dengan nada bosan dan seolah informasi kenaikan rankingnya adalah sesuatu hal biasa dan memang seharusnya Ashana lakukan.

Ibunya dulu sering berkata, anak seusia Ashana tugasnya hanya belajar. Ia tidak dibebani kewajiban mencari nafkah di usia anak-anak, tidak memiliki kegiatan lain selain belajar. Merupakan suatu kewajiban bagi Ashana untuk meningkatkan prestasi akademiknya. Ashana kecewa. Seolah perjuangannya menaikkan ranking dari sepuluh menjadi tujuh seperti sia-sia. Ia ingin selebrasi. Ia ingin disanjung dengan gegap gempita. Namun yang ia dapatkan ternyata sebuah reaksi datar yang melebihi datarnya kaca. Belakangan Ashana menyadari, di usia yang beranjak dewasa, peristiwa itu menjadi pelajaran baginya untuk tidak terlalu mengharapkan pujian dari orang lain. Ternyata, mengapresiasi diri sendiri juga merupakan hal yang bisa dan boleh dilakukan, bukan berarti kita menjadi sombong atau tinggi hati.

Ashana melangkah mengikuti prosedur pendaftaran. Hari ini tidak seramai minggu lalu. Ia langsung masuk ke ruang poli psikologi dan tersenyum menatap Bu Kirana.

"Halo," sapa Bu Kirana cerah. Ashana meletakkan jaket dan tasnya, bersamaan dengan Bu Kirana menggelar matras yoga berwarna merah jambu nan ceria.

"Hari ini kita belajar teknik relaksasi ya. Saya beri setidaknya tiga gerakan dulu, biar kamu gak lupa. Nanti ini jadi PR kamu untuk dilakukan di rumah," kata Bu Kirana. Ashana kagum. Baru saja dia akan bertanya atau meminta teknik relaksasi, ternyata Bu Kirana sudah siap akan hal itu.

Ashana melepas sepatunya dan melihat gerakan yang dicontohkan Bu Kirana. Selanjutnya giliran dia untuk mencoba. Setelahnya Ashana kembali duduk di sofa dekat pintu dan berhadapan dengan Bu Kirana.

"Bagaimana seminggu kemarin dengan Mama? Ada kejadian menarik atau tidak?" tanya Bu Kirana. Ashana menceritakannya, pun menceritakan tentang suami dan anaknya. Sesekali Bu Kirana menimpali. Sesi konseling ini terasa seperti dua teman sedang bercerita. Hanya saja, bedanya bukan saling menceritakan keluarga masing-masing, seperti yang biasa terjadi antara Ashana dengan teman-temannya. Bu Kirana menimpali cerita Ashana dengan penjelasan. Inilah mungkin yang membuat konseling ke Psikolog terasa berbeda kelegaannya, dibanding bercerita hal yang sama dengan sahabat atau suami sendiri.

Selesai konseling, Ashana kembali ke kantor dan buru-buru mengambil jurnalnya. Ia menulis poin-poin yang bisa ia ambil dari konseling hari ini. Ashana mengamati ada dua poin besar.

  • Orang tua usia 65 tahun ke atas, naturalnya akan semakin susah diberi pemahaman. Kita sebagai anak menyikapinya dengan pemakluman, bukan pengabaian, atau menuruti semua keinginannya. Ada kalanya kita akan merasa sangat tidak setuju atau tidak nyaman dengan pendapatnya atau sikap mereka yang sulit diberi masukan. Namun kita harus memaklumi bahwa memang orang tua usia 65 tahun ke atas itu secara natural akan demikian.
  • Dampingi pasanganmu dalam hal positif. Terutama jika ia mengalami kesulitan penyesuaian diri di lingkungan baru. Namun, tanggung jawab terbesarmu adalah anakmu. Pemenuhan keinginan (bukan batiniah) suamimu bukan menjadi tanggung jawabmu. Fokuslah ke anakmu karena itu adalah tujuan dan tanggung jawabmu.

Ashana berhenti sejenak. Ia memejam menahan air mata yang akan keluar. Sekarang, setiap kali membahas anak, ia terenyuh. Sebelum menikah dan lahir anak, ia merasa hidupnya seperti tak ada tujuan. Dulu ia merasa seperti tahu tujuan hidup. Lulus SD, memilih SMP tujuan, lanjut SMA tujuan, lanjut kuliah tujuan, lanjut lagi mencari kerja. Itu semua terasa terarah. Setelah semua tercapai, kala itu ia merasa tujuan berikutnya adalah menikah. Namun hingga target usia menikahnya terlewat, ia seperti hilang arah. Setiap pria nampak seperti berlalu lalang di sekitarnya namun tidak ada satu pun yang menoleh dan melihatnya. Seolah ia adalah makhluk tak kasat mata. Bertahun-tahun ia bertanya-tanya apa yang kurang. Apakah kurang cantik? Kurang pintar? Kurang seksi? Kurang manja? Kurang kaya? Atau malah terlalu pintar? Terlalu mandiri? Terlalu tinggi pencapaiannya sehingga membuat para pria minder dan silau mendekatinya?

Hingga akhirnya ia bertemu dengan yang sekarang menjadi suaminya. Ia merasa seperti keluar dari dunia yang hambar menuju dunia yang lebih berwarna. Pun ketika ia mengandung dan melahirkan putrinya. Detik di mana ia pertama kali menggendong putrinya yang baru lahir, ia merasakan tujuan baru. Terasa lebih jelas, lebih utama. Ia mencium lembut putrinya sambil berjanji, putrinya akan menjadi prioritas utamanya mulai dari sekarang.

Thursday 12 September 2024

Ashana Kembali Jurnaling

Ashana beranjak dari kursi tunggu. Kakinya berjalan melewati banyak pasien yang sedang menunggu giliran periksa. Ia tidak menyangka setiap hari poliklinik rumah sakit menangani sekian banyak pasien. Tapi dari sekian poli, poli psikologi lah yang paling sepi pengunjung.

Sampai saat ini, pentingnya kesehatan mental masih menjadi sesuatu yang diabaikan. Mungkin karena tidak ada batasan yang jelas atau terlihat mata, orang dengan gangguan mental yang perlu bantuan profesional itu pada taraf yang seperti apa. Banyak yang masih mengabaikan gejala-gejala yang dialami karena merasa masih baik-baik saja. Padahal tanpa ia sadari sudah mulai mengganggu aktifitas sehari-harinya.

Selain itu, stigma masyarakat yang menganggap bahwa gangguan mental sama dengan sakit jiwa atau orang gila membuat mereka masih amat enggan untuk memeriksakan dirinya. Dalam sesi konselingnya tadi, Bu Kirana juga bercerita bahwa sampai saat ini, bantuan BPJS untuk poli kejiwaan masih sulit ditembus. Seakan-akan masalah kejiwaan bukan masalah kesehatan yang darurat untuk ditangani. Padahal obat untuk pasien kejiwaan tergolong mahal, dan tidak semua orang memiliki dana untuk membelinya, padahal mereka membutuhkan. Dianggapnya mungkin hanya dengan bercerita saja sudah cukup melegakan. Padahal ternyata banyak pasien psikiater yang mengalami kecemasan berlebihan hingga badan gemetar dan sulit tidur berhari-hari serta mengalami halusinasi karena lama terabaikan.

Orang-orang menunggu parah dulu baru berobat. Kebanyakan demikian. Kesehatan mental jika terus diabaikan dapat mempengaruhi kesehatan fisik juga. Ini yang kurang dipahami masyarakat. Padahal sering kita jumpai, orang-orang yang mengeluh sakit kepala berlebih, ketika general check-up secara fisik semua baik-baik saja. Tapi ia mengeluh sakit kepala hebat dan sulit tidur.

Ashana memikirkan hal ini sambil terus berjalan menuju parkiran. Ia kemudian melajukan motornya ke sebuah kedai kopi. Bu Kirana menyarankan ia untuk melakukan jurnaling. Ia terdiam. Ashana sudah melakukan jurnaling namun mengalami kesulitan untuk konsisten melakukannya.

Ia mencari inspirasi dari Pinterest, yang ada jadi lebih mengutamakan tampilan jurnalingnya daripada isi dan esensi jurnaling untuk mengurai atau mengurangi beban pikirannya. Ia akhirnya memutuskan untuk memulainya lagi. Ia berkomitmen pada dirinya sendiri untuk melakukan jurnaling sesimple mungkin. Yang mana memang benar-benar untuk menuang isi pikirannya. Ia akan mengesampingkan kesempurnaan demi melegakan isi otak dan hatinya.

Sayangnya, ia lupa membawa notes kecilnya. Namun notes kecil itu telah terisi emosi-emosinya sejak awal tahun dan sepertinya sudah waktunya untuk menyerahkan tongkat estafet ke notes lain, meskipun masih ada sisa beberapa lembar.

Ia memutuskan untuk mampir ke sebuah toko buku dan memilih buku notes kecil beserta pulpen, dan bergegas ke sebuah kedai kopi yang sudah lama ingin ia kunjungi.

Kedai kopi di tengah kota, kecil terhimpit di antara dua bangunan besar. Dari luar nampak seperti warung kopi kecil. Siapa sangka kalau kau berjalan di gang sebelahnya, menuju di belakang yang nampak seperti warung tadi, ada beberapa tempat duduk dan meja yang siap menahan berat badanmu dan berat pikiranmu.

Selain itu, jika kau naik melewati tangga yang menempel dinding, kau akan menemukan meja kursi lain dengan pemandangan genteng rumah warga sekitar yang bisa kau lihat sambil menyesap kopi pesananmu.

Ashana memasuki kedai dan disambut barista yang langsung beranjak muncul dari balik bar. Ashana bimbang memandang papan menu. Antara Americano dingin minim kalori untuk menunjang diet dan olahraganya atau Butterscotch Latte untuk memanjakan diri setelah menahan untuk tidak mengkonsumsi gula. Akhirnya ia memutuskan untuk cheat coffee break. Segelas Butterscotch Latte minim gula dengan beberapa potong cireng setelah enam belas hari makan sehat ia rasa tidak akan terlalu berdosa. 

Setelah memesan dan melakukan pembayaran, Ashana berjalan melewati gang di sebelah kedai dan memilih duduk tepat di belakang kedai. Sudah ada dua orang yang duduk di meja pojok. Sekilas tampak sepertinya mereka berusia 20-an. Laki-laki dan perempuan. Mereka mengobrol sesuatu seperti sebuah rencana liburan beramai-ramai. Yang perempuan sembari menghirup vapour.

Ashana tidak habis pikir, tren vapour ini meresahkan untuknya. Dia tidak peduli gender, baginya vapour tetap sama merugikannya seperti rokok konvensional. Vapour malah kau menghirup uap air, bayangkan kau mengantar uap air itu memasuki paru-parumu dan dia akan mengendap di sana. Terakumulasi berhari-hari. Tapi bagaimanapun, itu pilihan orang. Ashana tidak memiliki hak untuk menegur apalagi melarang. Ia hanya menyayangkan dalam hatinya.

Sembari menunggu pesanannya datang, Ashana membuka notes barunya. Ia sempat merenung, apa yang akan ia tulis di jurnal barunya?

Tanpa sadar, ia memulai dengan kata :

Hai, Ashana. Aku ucapkan terima kasih atas keberanianmu melawan dirimu sendiri untuk tidak mengabaikan kebutuhan bantuan profesional atas kesehatan mentalmu. Aku tahu kau merasa baik-baik saja. Saat ini. Tapi kau tidak baik-baik saja kemarin dan beberapa hari sebelumnya. Hari ini kau sudah berhasil mendorong dirimu untuk ke psikolog dan aku bangga denganmu. Tidak menakutkan bukan?

Ashana melanjutkan jurnalingnya dengan membuat daftar rangkuman dari apa saja yang disampaikan dan disarankan oleh Bu Kirana. Sepertinya ia perlu untuk mencatat setiap hasil konseling nantinya. Agar bisa ia baca ulang dan mengingatkan diri sendiri.

Tak lama pesanannya tiba. Ia mengaduk Butterscotch Latte dan mulai menyesapnya. Lidahnya seakan menari dengan sensasi dingin dan manis yang perlahan bergulir dari gelas ke tenggorokannya dengan lembut. Dasarnya ia tak terlalu suka manis. Jadi mengurangi gula  dalam dietnya tak terlalu sulit baginya. Ia beralih ke potongan cireng yang sudah disiram dengan sambal gula di atasnya. Ia meniriskan sambal gula itu ke wadah, dan menggigit pelan. Kekenyalan cireng yang ia santap terasa pas. Mengingat ia pernah merasakan cireng yang terlampau keras sampai-sampai berbunyi saat di lempar ke meja. Ironisnya itu adalah cireng pertama kali dalam hidupnya, dicicip saat berkunjung ke Bogor beberapa tahun yang lalu. Ia mendengus geli mengingatnya. 

Ia telah 'berpuasa' menikmati gorengan bersamaan dengan dimulainya ia konsisten berolahraga. Lemak di perut dan pinggul pasca melahirkan membuatnya sedih. Baju banyak yang mulai kesempitan, sering mengeluh sakit pinggang, naik turun tangga di kantor saja ngos-ngosan.

Setelah habis satu potong cireng, ia kemudian memegang pulpennya lagi dan mulai menuliskan poin-poin konselingnya.
  • Tidak perlu malu dan khawatir menunjukkan kelemahan di depan orang, terutama di depan orang terdekat kita. Tidak perlu terus menerus berusaha menunjukkan bahwa kita selalu bisa dan tidak butuh bantuan.
  • Kelelahan ibu yang memiliki anak di usia 1-5 tahun, ibu pekerja, adalah sebuah hal yang wajar. 
  • Belajar teknik relaksasi untuk menurunkan emosi
  • Usahakan  untuk nggak ketrigger dengan emosinya Mama, terutama yang nggak berhubungan langsung dengan kamu
  • Orang usia 60 tahun ke atas itu makin menua makin kaku, makin susah diberi penjelasan, kita yang harus memaklumi, kembali lagi jangan ketrigger.

Ashana meletakkan pulpennya. Ia merasa sepertinya ini saja sudah cukup untuk pemanasan menulis jurnalnya.  Kurangnya konsistensi membuat kemampuan menulisnya tumpul kembali. Ia ingat masa kuliahnya dulu, di tengah kesibukannya menyusun skripsi, ia sering berkorespondensi dengan salah satu penulis ternama, dan sering mencoba menulis cerita. Tak jarang hasil karyanya dimuat di majalah. Ia rindu masa itu, rindu dengan dirinya yang fokus dan terlena dalam dunia penulisan. Sekarang, bahkan untuk menyelesaikan membaca satu bab buku novel saja dia membutuhkan waktu berhari-hari. Masanya sudah berganti. Kesibukan sebagai ibu pekerja memang sangat menyita pikiran dan tenaga. Sembari menghabiskan kopi dan cireng, ia berdoa dalam hati, semoga para ibu pekerja di luar sana selalu diberikan kekuatan dan ketangguhan, begitupun bagi ibu rumah tangga dan ibu-ibu yang lain.

Konseling Pertama Ashana

Ini bukan Jumat seperti biasanya. Jumat yang biasa Ashana jalani adalah sampai kantor pukul tujuh, saat kantor masih sepi belum berpenghuni, menyapa OB, lalu menyantap bekal sarapan di mejanya sampai satu per satu karyawan kantor berdatangan. Lalu memulai pekerjaan pukul delapan, istirahat pukul dua belas, pulang pukul empat. Begitu seterusnya, Jumat dan hari kerja lainnya.

Tapi hari Jumat ini berbeda. Ashana mengajukan cuti untuk dua hari, Kamis dan Jumat. Kamis kemarin dihabiskannya dengan berolahraga di pagi  hari, sarapan salad buatan sendiri, membersihkan rumah dan membaca e-book sambil menikmati kopi. Terhitung sudah lima belas hari ia rutin berolahraga dan mengatur asupan makannya. Hal yang sering ia abaikan sejak bertahun-tahun yang lalu. Yang mengejutkan, efek dari rutin olahraga ini membuatnya candu. Selain lemak tubuh nampak berkurang, ia merasa moodnya jadi cukup baik dan terkontrol.

Hari ini, ia awali paginya dengan olahraga lagi. Lalu pukul sembilan, kakinya sudah melangkah di koridor rumah sakit. Tidak, ia tidak cidera. Ia tidak juga sakit fisik. Tapi ia merasa perlu bantuan untuk pikirannya.

Ia agak linglung masuk area rumah sakit. Dari area parkir ia langsung ke loket pendaftaran. Sepanjang menuju loket pendaftaran ia melihat banyak orang mengantri di depan poliklinik. Anak-anak batuk pilek bermain perosotan kecil di depan poli anak, beberapa orang tua duduk di depan poli mata, beberapa orang lain membuat ia bingung menentukan mereka pasien untuk poli apa karena mereka duduk di antara dua poli. Area loket pendaftaran dipenuhi orang-orang mengantre, beberapa dari mereka bahkan sudah duduk di kursi roda atau malah berbaring di stretcher, istilah untuk hospital bed yang mudah untuk mentransfer dan memindahkan pasien dari ruangan yang berbeda.

Ashana menghampiri loket yang kosong, berkata bahwa ia telah melakukan janji dengan psikolog. Ia diarahkan untuk mengambil nomor antrian dulu di lobby, lalu kembali ke loket pendaftaran. Ia mencari lobby, kebingungan di antara koridor yang nampak berputar-putar, alih-alih langsung mengarah dengan jelas. Akhirnya ia menemukannya, petugas resepsionis langsung tanggap. Ashana kembali ke loket pendaftaran dan melakukan pembayaran di kasir lalu berjalan ke poli psikologi. Kaget melewati koridor poli internis yang penuh pasien. Rata-rata usia tua, ada yang kondisinya nampak sehat bugar, ada yang sehat tapi terlihat lelah, ada yang nampak lemah tak berdaya. Ia ingat ayahnya pernah menjadi salah satu dari mereka. Entah apakah ayahnya masih melakukan kontrol atau tidak.

Sampai di depan poli psikologi, ia menengok layar ponselnya. Ada pesan masuk yang menyuruh dia langsung masuk saja karena pintu tidak dikunci. Ia melakukannya.

Ia langsung disambut wanita muda berbatik kuning cerah. Dialah Bu Kirana, psikolognya. Sesuai namanya, ia tampak cantik dan bersinar. Jantung Ashana berdegup. Tapi tidak seperti yang ia bayangkan. Ia membayangan ia akan gugup, menangis, lalu mulai bercerita tanpa henti.

Bu Kirana menyuruhnya duduk di sofa dekat pintu, sedangkan Bu Kirana sendiri duduk di kursi kampus dengan selembar kertas asesmen dan pulpen. Ia mengawali sesi konseling dengan mengajukan beberapa pertanyaan untuk Ashana. Pertanyaan seperti apakah ia sering ketakutan, sering sakit kepala, sering sakit perut, merasa tidak berguna, hilang minat berbagai hal, sampai pertanyaan apakah pernah terbersit keinginannya untuk mengakhiri hidupnya. Ashana sedikit bergidik dengan pertanyaan paling akhir. Jujur, ia takut dengan kematian. Ada tanggung jawab besar yang harus ia penuhi. Dan ia selalu berdoa kepada Tuhan agar dipanjangkan umurnya agar bisa melakukan tanggung jawab itu hingga benar-benar tuntas.

"Nah, gimana, mbak Ashana. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Bu Kirana dengan senyum tipisnya.

Ashana terdiam. Ia sempat membayangkan ia akan menangis dan memuntahkan semua isi pikirannya. Tapi malah ia terpaku dan kebingungan mau mulai dari mana. Semua terasa seperti akumulasi baginya. Bukan satu masalah terbaru saja yang membebani pikirannya. Terlalu banyak.

"Saya bingung, Bu, mau mulai dari mana," sahut Ashana. Bu Kirana tersenyum.

"Mulailah dari masalah yang paling memberatkan mbak Ashana saat ini," katanya.

Ashana akhirnya mulai bercerita. Entah karena efek olahraga atau bagaimana. Kegundahan yang setiap hari ia rasakan, yang membuatnya hari ini kemari, terasa seperti biasa saja. Perasaan gundah itu masih ada, tapi ibarat orang mengetuk pintu meminta keluar, ia mengetuk dengan sopan. Bukan lagi menggedor dengan brutal. Cerita mulai bergulir dari bibirnya dengan tenang. Sesekali ia memandang ke jendela. Pucuk pohon besar di luar bergoyang diterpa angin seperti cheerleader mengayunkan pom-pomnya, memberi semangat bagi para atlet yang sedang bertanding. Bu Kirana memandanganya, sesekali mengangguk, sesekali menulis sesuatu di balik kertas asesmen.

Setelah dirasanya cukup, Ashana berhenti bercerita. Bu Kirana juga mengangguk lagi dengan anggukan lebih dalam dan lebih mantap. Seakan ikut menegaskan bahwa cerita Ashana telah selesai.

"Mbak Ashana, dari hasil asesmen singkat saya, serta dari cerita mbak Ashana, mbak Ashana ini mengalami gangguan kecemasan. Pertama, saya mau bilang ke mbak Ashana, hal ini di usia mbak Ashana, dengan status mbak Ashana yang sudah menikah dan punya anak, adalah hal yang wajar. Apalagi, kita baru saja melewati masa pandemi, tingkat kecemasan masyarakat meningkat cukup signifikan. Sayangnya, meskipun kebanyakan orang sudah mulai aware dengan pentingnya kesehatan mental, mereka masih belum punya keberanian untuk meminta bantuan profesional untuk mengurai dan meredakan kecemasan mereka. Jadi, sebelum saya lanjutkan, saya mau bilang terima kasih dan selamat untuk mbak Ashana yang sudah mau mendengar kebutuhan jiwanya untuk pulih dan tidak menunggu parah terlebih dahulu," ucap Bu Kirana dengan lembut namun tegas.

Ashana tersenyum lega. Apresiasi seperti ini jarang sekali ia dapatkan dari orang terdekat pertamanya, ibu kandungnya. Ashana lebih sering dipuji cantik pada moment tertentu, jarang dipuji pintar kecuali untuk hal yang benar-benar tidak bisa dilakukan oleh ibunya seperti menyetir. Jadi, apresiasi semacam ini seperti oase baginya.

"Mbak Ashana, menjadi generasi sandwich memang menyebalkan. Dan nggak ada salahnya, bahkan menurut saya harus, mbak Ashana harus bisa menolak jika dimintai bantuan yang mbak Ashana nggak bisa. Jangan memaksakan sesuatu yang mbak Ashana nggak bisa dan malah membuat masalah baru. Mbak Ashana butuh support, dan support ini dari orang-orang terdekat mbak Ashana. Berat, iya. Tapi terkadang kita nggak tahu kan respon seseorang itu persis seperti yang kita bayangkan atau nggak? Kalau ternyata benar, latih pikiran mbak Ashana untuk berterima kasih ke tubuh dan pikiran mbak Ashana karena telah memberikan warning, sehingga rasanya akan tidak terlalu nggak enak," lanjut Bu Kirana.

"Saran saya, jangan ketrigger sama Mamanya ya. Kalau ketrigger, nanti jadi timbul masalah baru. Nggak ada salahnya kok kita yang minta bantuan, kita nampak lemah, kita nggak harus terus-terusan menunjukkan ke orang lain kalau kita kuat dan bisa. Boleh banget kok kita ngomong kita butuh," kata Bu Kirana.

"Bu, kalau saya masih merasa marah gimana? Marahnya kayak yang gemes banget pengen keluar gitu," tanya Ashana.

"Belajar teknik relaksasi ya, saya rasa belum butuh obat, masih bisa ditangani kok dengan olah pikiran. Sesi minggu depan, kita belajar bareng ya kalau masih kesulitan," jawab Bu Kirana.

Ashana mengangguk dan mengakhiri sesinya hari ini. Ia keluar dari ruangan merasa lebih ringan. Yang ia herankan, ia sudah sering sekali curhat masalah yang sama ke suami dan teman terdekatnya, tapi belum pernah seringan ini rasanya. Padahal mereka juga mendengarkan dan tidak menghakimi.

Sebelum beranjak pulang, ia duduk dulu di salah satu kursi tunggu di depan poli. Ia melihat ada anak remaja perempuan memegang buku notes erat-erat, memandang lantai dengan kosong, sambil menggigit kukunya. Bahkan ia menggigit sambil sedikit menariknya. Ia duduk di sebelah wanita muda, nampaknya kakaknya, yang ikut menunggu sambil bermain ponsel sendiri. Anak itu kemudian menoleh ketika namanya dipanggil Bu Kirana, dan bergegas masuk ke dalam poli. Ashana berdoa dalam hati, semoga anak itu segera pulih.