Saturday, 3 September 2016

Kita Butuh Lebih Banyak Senyum Buat Dunia



"Seberapa sering kamu menyadari bahwa kamu, kita, cuma sebagian kecil dari alam semesta?"

Kalimat ini tiba-tiba muncul ketika saya baru jalan-jalan sama teman-teman kantor (can I call them 'squad'?) minggu kemarin. Ceritanya sih sumpek abis dua kegiatan gede yang jadwalnya berurutan dalam sebulan (keliatannya dua kegiatan gede, tapi dibagi jadi ENAM kegiatan. Seriously, we're so tired). Tapi karena kita masih banyak kegiatan lagi sampai bulan November, mau ngerencanain liburan bareng yang agak jauhan kok kayaknya masih impossible. Jadilah, pas kita lagi nyicil kerjaan administrasi, kita sempetin buat jalan-jalan juga. Dan asli, ini kebetulan. Nggak direncanain gitu.

Yang pertama kita ke Perkebunan Kopi di Desa Karanganyar, Kec. Nglegok. Ini ceritanya sambil perpisahan ama anak magang di ruangan kita. Sampe dibikin acara farewell karena anaknya juga klik banget ama kita, baik urusan kerjaan maupun guyonan. Bukan kali pertama sih saya ke Perkebunan Kopi ini. Cuma kebetulan di situ ada cafe baru yang katanya instagramable. Nyampe lokasi, udah sore plus hujan. Pas lah ya. Sore, hujan, kopi, sendu (eh). Nothing special pada saat itu. Maksudnya, belum kepikiran apa-apa. Karena lagi seneng nemu cafe bagus. Baik dari segi lokasi, dekorasi, maupun kopinya sendiri. Dan kita ngobrol terus sampai pulang. Lokasinya yang jauh dari hingar bingar perkotaan, nggak ada akses internet, bikin kita bener-bener ngobrol banyak sampai dalem. Kita bener-bener menikmati rasa kopi yang kita pesan. Nggak sekedar meneguk air kopi sambil main ponsel, trus kemudian ketika ditanya gimana rasanya kita cuma cengo nggak bisa jawab karena pas nyeruput pas lagi scrolling Instagram.







Dua hari kemudian kita niat mau ke salah satu sekolah di Kec. Wlingi untuk melengkapi administrasi kegiatan. Terus tiba-tiba kepikiran, kenapa nggak sekalian ke Sirah Kencong ya? Sirah Kencong ini perkebunan teh. Akhirnya kita memutuskan ke sana beneran. Jalan akses ke sana udah lumayan bagus. Artinya naik mobil biasa pun udah oke. Tadinya masih jelek banget, harus naik sepeda motor, atau mobil model jeep.

Kita melewati perkebunan sengon dan kopi. Banyak banget pohon kopi dengan buah kopi yang udah merah-merah dan besar-besar. Sampai di lokasi Perkebunan Teh Sirah Kencong, kita turun dari mobil. Biasa, foto-foto di antara pohon-pohon teh.

Perkebunan teh Sirah Kencong ini termasuk milik PTPN XII, yang salah satu produk andalannya adalah kopi dan teh Rolas (produk bisa dibeli di warung yang jualan di situ). Ada satu villa yang disewakan untuk umum di situ. Cuma satu unit karena awalnya itu adalah rumah dinas manajer perkebunan. Karena kantor perkebunan dipusatkan di Bantaran, akhirnya rumah dinas tersebut disewakan menjadi villa. Di sini suasananya belum terlalu ramai, memang. Belum benar-benar dijadikan tempat wisata seperti kebun teh Wonosari di Malang. Tetapi tetap menyenangkan bisa jalan-jalan ke sana.
Kami mampir ke salah satu warung yang masih buka. Makan mie rebus panas-panas dengan kopi dan teh panas. Nggak ada yang main ponsel, karena nggak ada sinyal internet sama sekali. Sambil makan, saya melihat ada beberapa anak kecil yang dari tadi lewat. Ketika pandangan kami bertemu, mereka malu-malu menunduk sambil bilang, "Nuwun sewu (permisi),". Mereka kemudian berlarian sambil tertawa. Lepas. Di kejauhan nampak kelompok anak kecil lain yang lagi main. Ada yang masih berseragam, jalan kaki bareng-bareng menuju rumah masing-masing. Mereka nggak ada yang kenal gadget. Nggak ada yang terkoneksi internet setiap detik. Yang mereka obrolkan bukan gosip terkini yang mereka akses lewat internet, yang mereka mainkan bukan game dalam tab.

Begitu pun orang-orang dewasa di situ yang mayoritas adalah pekerja perkebunan. Entah itu pemetik, entah itu pegawai pabrik. Setiap orang lewat selalu mereka sapa, plus senyuman. Kadang ditanya kami berasal dari mana. Semuanya ramah, semuanya menyapa.

Di sini kemudian tiba-tiba di otak saya muncul pertanyaan. Seberapa sering kamu menyadari bahwa kita ini cuma sebagian kecil dari alam semesta?  Akses menuju ke lokasi dari kantor ataupun rumah yang tidak bisa dibilang dekat. Ketika melihat hamparan kebun teh dan kopi yang luas. Dan kita berada di tengah pohon-pohon teh yang begitu banyak. Kecil. Kecil banget. Ini baru di satu lokasi kebun teh. Bagaimana kita di dunia? Lebih kecil lagi kan?

Tapi sekarang, saya sering menemukan orang-orang yang merasa "besar". Omongannya besar, ke mana-mana. Tapi orangnya masih di situ-situ juga. Ingin dihargai, tapi tidak menghargai orang lain. Merasa penting, tapi tidak mementingkan orang lain. Mendahulukan dirinya, tapi tidak medahulukan yang lain. Kadang-kadang saya merasa, kenapa saya semakin banyak menemukan orang yang tidak ramah? Makin banyak orang yang saling curiga. Membentengi dirinya kuat-kuat dan sangat tinggi dari orang lain. Pura-pura tidak dengar ketika disapa, dan lebih mudah berkata kasar ketika tidak sengaja disenggol orang. Lebih banyak yang tempramen, banyak yang menjadi tidak peduli sekitar. Bukan berarti kita jadi orang kepo sih. Yang pengen tahu banget urusan pribadi orang lain. Tapi lebih kepada kepedulian kita dalam bermasyarakat. Kita lebih suka menunduk memandang gadget, daripada berinteraksi dengan orang-orang di sekitar kita. Giliran kita mau ngobrol, ditinggal chattingan, mencak-mencak. Anak-anak jadi lebih suka main game dengan tablet di dalam kamar, di saat teman-temannya yang lain kejar-kejaran main layangan di lapangan.

Jujur saya sendiri sudah mengarah ke sana. Lebih suka mantengin social media daripada memperhatikan suasana cafe, misalnya. Saya sendiri sadar mulai ngerasa lebih tempramen. Dan saya sendiri juga mulai menyadari perubahan yang sama pada orang-orang di sekitar saya, yang saya temui di luar sana. Saya bukannya mau menyalahkan gadget sih. Manfaatnya tetap ada kok untuk segi informasi dan komunikasi. Tapi jadi banyak yang berubah perilakunya gara-gara kecanduan main ponsel dan tabletnya.

Saya pengen lebih "hidup". Ngobrol sama banyak orang, menyapa orang lain, melihat lebih banyak senyum, mendengar lebih banyak sapa. Seperti kehidupan warga Sirah Kencong. Melihat anak-anak kecil main bergerombol di luar, mendengar orang-orang dewasa saling tegur sapa, mengobrol tentang banyak hal, lebih banyak kontemplasi, sharing pengalaman dan inspirasi. Mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan. Saya rasa, kita semua butuh hal demikian. Butuh lebih banyak senyum dan tegur sapa. Daripada wajah bersungut-sungut dan caci makian.

Kita ini cuma sebagian kecil dari alam semesta. Tak perlu kita menyombongkan diri hanya agar terlihat besar bagi orang lain. Bangga boleh, tapi jangan sombong. Kita butuh lebih banyak senyum dan tegur sapa ke orang lain. Mungkin kita takut kalau kita terlalu ramah dengan orang yang belum kita kenal, akan disalahartikan dan dimanfaatkan. Orang lain belum tentu orang asing. Sapa lah orang-orang di sekitar kita. Kapan terakhir kali kamu menyapa tetanggamu? Kapan terakhir kali kamu curhat ke saudaramu? Kapan terakhir kali kamu berkunjung ke sepupumu? Kapan terakhir kali kamu memberanikan diri berkenalan dengan orang lain di luar 'irisan'mu? Percayalah, semakin banyak kamu berbuat baik kepada semesta, meskipun hanya sekedar senyuman, semakin banyak pula kebahagiaan yang akan kamu dapatkan.


Blitar, 3 September 2016
AnindRustiyan

Biji kopi pilihan, ciptakan kopi enak ^o^
sebelum sampai di Kebun Teh Sirah Kencong, kita melewati Kebun Kopi Pidjiombo



Permukiman warga perkebunan Sirah Kencong



1 comment: