Aku pernah membaca sebuah buku kompilasi cerita tentang kopi. Dari sekian banyak cerita yang kubaca dalam buku itu, satu kutipan yang langsung tertanam di otakku : Kopi yang enak memanggil orang-orang baik.
Dan aku langsung teringat akan orang-orang di sekitarku, yang setiap hari meminum kopi untuk mengawali hari.
Aku teringat akan Papa. Pekerjaannya dulu sebagai arsitek, ditambah sifatnya yang workaholic, mendorongnya untuk bekerja larut malam. Tak jarang hingga fajar datang. Dan untuk membantunya tetap terjaga, ia butuh kopi dalam hidupnya.
Aku penasaran bagaimana kopi hitam bisa dipadukan hingga tercipta berbagai rasa. Sampai aku kemudian mulai membaca beberapa jenis kopi. Tapi aku tak pernah benar-benar mendalaminya. Aku membiarkan diriku hanya sebagai penikmat. Beberapa pecinta kopi fanatik bahkan bisa menentukan apakah kopi tersebut dipanggang (atau digoreng) dengan tepat atau terlalu lama. Apakah kopi tersebut diseduh dengan suhu air sekian, dan lain-lain. Aku biarkan saja posisiku berada di tengah-tengah. Tidak terlalu buta, tapi tidak ahli.
Kembali ke kutipan tadi. Sepertinya memang benar jika kopi bisa memanggil orang-orang baik. Aku langsung teringat pada seseorang yang meminum kopi sebanyak dokter menyarankan kita jumlah air yang harus kita minum setiap harinya. Awalnya aku begitu takjub dengan betapa seringnya ia minum kopi dalam sehari. Dan kopinya pun hanya kopi hitam. Tanpa campuran apapun selain gula.
Baru kali ini aku melihat orang yang begitu mencintai dan tergantung pada kopi. Yang menularkan keinginanku untuk meminum kopi seketika itu juga. Mengajakku untuk melupakan sejenak permasalahan yang dihadapi. Menghentikan waktu dan tenggelam dalam aroma pekat kopi. Mengabaikan decak tak setuju dari mereka yg hanya pernah meminum kopi, dan bukan penikmat kopi. Berawal dari ajakanku yang tak sengaja untuk ngopi di jam istirahat. Setelah beberapa tegukan, diskusi mengalir begitu saja. Berbagai topik, berbagai pemikiran, berbagai pendapat. Hal ini terjadi beberapa kali. Dalam kurun waktu yang kami miliki untuk kami habiskan bersama. Di situ aku menyadari satu hal, kopi bisa membuka obrolan. Hingga yang paling dalam sekali pun.
Pikiranku kemudian teringat akan beberapa teman dalam hidupku. Kalau dipikir-pikir memang, rata-rata mereka adalah peminum kopi. Meski awalnya kami dipertemukan karena hal yang berbeda, ujung-ujungnya kopi juga termasuk di dalamnya. Senior di kantor pusat, gadis Arab yang berteman denganku karena buku dan tulisan, teman kerja sekaligus sahabat di kantor yang mejanya persis ada di depan mejaku, dan masih banyak lagi. Dari kopi, aku mengenal banyak orang baik.
Kopi rasanya sudah menjadi salah satu hal penting dalam hidupku. Bahkan ketika aku tak menemukan teman yang bisa kuajak untuk menemaniku minum kopi, aku memilih ke kedai kopi sendirian. Menikmati kopi sambil mengamati sekitar. Ketika salah satu temanku masuk ruanganku dan tiba-tiba meneteskan air mata tanpa berkata sepatah kata pun, aku langsung mengajaknya ke kedai kopi. Menenangkan dirinya dengan aroma kopi, melemaskan bahu dan mengembalikan sedikit senyum di wajahnya dengan segelas es cappucinno favoritnya.
Aku juga mengamati bagaimana teman-temanku menikmati kopi mereka. Ada yang setelah menyeduhnya di kantor, ia sisakan setengah cangkir untuk diminum keesokan harinya. Meski tak lagi panas, tapi menurutnya rasanya jadi lebih pekat. Ada yang ketika kopi tersebut masih panas, ia hirup dulu aromanya sebelum ia hirup cairannya melewati bibirnya. Kalau kopinya disajikan di cangkir atau gelas dengan pegangan, ia akan menghirup kopinya tepat dari ujung bagian pegangan cangkir tersebut. Kalau dari gelas tanpa pegangan, ia akan menghirupnya dari ujung yang mana saja. Dengan kelingking teracung. Lalu setelah meneguknya, ia akan mendecakkan lidah dan bibirnya. Mencecap setiap tetes yang lewat di bibirnya.
Rasanya baru kali ini aku benar-benar menyadari, kopi tak hanya sekedar minuman. Ia menjadi bagian dari banyak kejadian penting dan bermakna. Ia menyatukan banyak orang. Ia menjadi sebuah pembuka dari kata-kata yang tadinya sulit terucap, inspirasi yang hadir terlambat, serta pengurai penat. Ia juga bisa menjadi pembangkit kenangan. Bahkan bagiku, meski kenangan yang hadir tak selalu menyunggingkan senyuman, aroma kopi menyembuhkan pemikiran akan kenangan tersebut menjadi sebuah pemahaman dan penerimaan. Seperti kutipan lain dalam buku yang sama, Selama perjalanan yang ditempuh oleh secangkir kopi, hati menjadi terbuka. Dan kadang luka hati pun disembuhkan.
Sudah kopi ke berapa hari ini?
Blitar, 15 Oktober 2017
Merindukanmu sebagai partner ngopi dan diskusi
AnindRustiyan
sebuah tulisan setelah membaca buku Chicken Soup for Coffee Lover's Soul, dan setelah cangkir ketiga hari ini.
No comments:
Post a Comment