Tuesday, 24 August 2021

Pregnancy Diaries : Dokter Kedua, Dalam Kepanikan

Esoknya aku berkegiatan seperti biasa. Aku ke kantor bahkan menyiapkan kegiatan sosialisasi di sebuah sekolah dan menyetir cukup jauh. Mencoba untuk mengalihkan pikiranku dari diagnose dokter yang mengkhawatirkanku. Seharian itu aku memang merasa nyeri yang agak aneh di perutku. Aku mengelus perutku dan mengajak ngobrol janinku, berdoa agar ia tumbuh sehat dan kuat.

Malamnya selesai mandi, aku sedang menunggu suamiku bersiap untuk kami makan malam di luar. Namun tiba-tiba saat aku beranjak dari dudukku, aku merasa ada darah keluar di bawah sana. Banyak. Aku panik, jelas. Bahkan aku sampai pakai pembalut. Kepalaku saat itu sudah tak bisa berpikir positif. Yang ada dalam benakku hanyalah kemungkinan terburuk. Aku dan suamiku bergegas ke Rumah Sakit terdekat, dengan dokter kandungan yang berbeda. Harapan kami diagnosenya berbeda, dan baik-baik saja.

Aku mendapat urutan terakhir. Kami menunggu lama sekali. Sampai kami sempat untuk makan malam di area luar Rumah Sakit. Pukul sebelas malam akhirnya namaku dipanggil. Begitu kami masuk ruang periksa, dokter tak melihatku sama sekali. Asyik masyuk dengan ponselnya. Dan bertanya, "Ada keluhan apa?" sambil terus menatap ponselnya. Kuceritakan yang kualami. Dan kemudian ia mendeteksi rahimku dengan USG.

Ia melihat ke layar, lalu berkata, "Sudah kisut ini. Kalau saya sih nggak saya teruskan."

Aku terdiam. "Lalu baiknya bagaimana, Dok?"

"Kuret. Secepatnya," katanya cuek. Aku mencelos.

"Mau umum apa BPJS?" tanyanya lagi.

"Umum berapa, Dok?"

"Lima juta," sahutnya cepat.

"Eh...BPJS saja, dok....," sahutku lirih. Dokter itu menanyakan Faskes Tingkat I-ku dan menuliskan rujukan. Kemudian asistennya menyarankanku untuk mendaftar sekalian malam ini untuk kunjungan besok. Kejutan, aku sudah berada di nomor urut dua belas untuk besok!

Begitu masuk mobil aku hanya bisa menangis. Terus menangis. Kuajak ngobrol lagi si janin, "Ayo nak....kuat nak....sama Mama ya...," Sampai rumah pun aku masih terus menangis. Sedihnya begitu menusuk. Pilu sekali. Suamiku terus menenangkanku. Ia berusaha ikhlas jika memang begitu adanya.

"Rasanya gimana?" tanyanya pelan.

"Tadi siang terasa, lho....," jawabku sambil terus menangis.

"Tadi....tadi terasa ada lembuuut sekali. Sekarang....sekarang....sekarang kenapa gak terasa....," lanjutku. Tangisku lebih keras.

"Iya..iya, tadi terasa ya? Tadi pagi kamu mau berangkat aku peluk, aku juga bilang aku ngerasa juga kan ya," kata suamiku. Tiba-tiba, ketegarannya runtuh.

"Tuhan....," katanya. Suaranya mulai bergetar.

"Aku tahu aku mungkin bukan hamba favorit-Mu. Aku tahu aku sering abai dalam kewajibanku beribadah kepada-Mu. Tapi aku mohon, Tuhan. Jangan buat istriku bersedih dan terluka hatinya. Aku tidak sanggup melihatnya terluka. Tolong, Tuhan, lindungilah dia. Lindungilah anak kami," lanjutnya sambil menangis.

Malam itu kami berdoa bersama, lebih kuat dari biasanya, dan tidur sembari bergandengan tangan.

 

Blitar, 22 Juni 2021


 

No comments:

Post a Comment