Sudah lama sekali ya saya tidak mereview buku. Jangankan mereview sebuah buku, menulis saja sudah sangat jarang, bahkan bisa dibilang tidak pernah lagi. Rindu, sudah tentu. Ada sensasi rasa tersendiri ketika menulis. Melihat jemari lincah di atas tuts keyboard laptop karena ide yang terus mengalir itu sungguh menyenangkan. Kira-kira hampir tiga tahun saya hiatus menulis. Kesibukan mencari pekerjaan di tahun setelah saya lulus kuliah menjadi alasan utama. Kalau pun saya menulis, paling-paling hanya menjadi seonggok paragraf yang tak selesai. Tahun berikutnya disibukkan dengan segala macam kegiatan lanjutan setelah saya diterima di sebuah lembaga pemerintah non kementrian. Setelah itu, saya hanya menulis sedikit sekali kalimat, yang hanya saya posting di akun Facebook saya. Kemudian, saya terlampau senang dengan ilustrasi, membuat sketsa berdasarkan kondisi hati menjadi lebih menenangkan ketimbang menuliskannya. Lagi-lagi, saya tak merangkai kata lagi karena begitu terpukau dengan memulai belajar fotografi. Aah, seharusnya ketiga hal ini bersinergi. Menulis, menggambar, dan memotret.
Tapi dalam kurun waktu tiga tahun itu pun, minat baca saya pasang surut. Di akhir tahun lalu saya begitu rajin sekali membaca. Ada banyak sekali bacaan yang menarik minat. Terlebih lagi saat itu saya juga sedang menularkan kebiasaan baca saya pada seseorang (tolong jangan tanya siapa XD).
Sepanjang tahun ini perhatian saya loncat-loncat. Ya nggambar, ya baca, ya motret, ya makeup, ya nyanyi, tambah lagi yoga (kapan-kapan saya mau curhat juga masalah ini). Bukan, bukan multitasking. Tapi tak lebih dari seorang gadis yang cepat sekali bosan. Duh, harus belajar konsisten saya. Tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin kan?
Oh, kelamaan bercerita tentang faktor saya hiatus menulis, sampai lupa bahwa seharusnya saya mereview buku. Oke, kita mulai.
Awalnya, saya mendapat buku ini dari seseorang (yang saya tularkan kebiasaan membaca). Dia beli buku ini sepertinya ingin mencoba membaca novel. Dia tipe yang lebih suka buku non fiksi sebenarnya. Dan memang sempat heran dengan saya yang hampir 99 % membaca buku fiksi. Heheh. Tapi dia tidak betah. Diberikan lah buku ini ke saya. Judulnya sangat simpel. Halo. Karya Alexandra Adornetto.
Entah ya, padahal saya sendiri juga tengah membaca Casual Vacancy karya J.K Rowling, tapi saya tangguhkan sementara buat baca buku ini. Dan sepertinya minat saya masih pada buku fiksi Fantasy. Sebelumnya saya baca karya Kami Garcia & Margaret Stohl yang berjudul Beautiful Creatures. Berawal dari rasa penasaran karena saya nonton filmnya duluan. Buku berjudul Halo ini juga terbit berseri dalam tiga buku. Judul semuanya Halo, Hades dan Heaven.
Seri ini bisa dibilang mirip dengan seri Beautiful Creatures. Sebuah makhluk bukan manusia, hidup di bumi, jatuh cinta dengan manusia, hubungan mereka terlarang, banyak yang menentang, mereka berusaha sekuat tenaga, endingnya tenang. Saya tidak bisa bilang endingnya happily ever after, bagaimana pun saya baru baca buku pertamanya. Terlepas endingnya happy atau tidak, tentunya final endingnya tak mungkin bergejolak. Makanya saya sebut tenang.
Diawali dengan perkenalan tokoh yaitu tiga malaikat yang diutus menjalankan misi melindungi manusia dari kekuatan kegelapan dengan menyamar sebagai manusia di bumi. Gabriel dan Ivy karena termasuk malaikat senior dan sudah pernah melaksanakan berbagai misi, mereka hadir sebagai tokoh yang 'dingin' tapi ramah. Artinya, meskipun mereka menyamar menjadi manusia, mereka berusaha untuk tidak terlalu manusiawi dengan sedikit mungkin bersosialisasi. Berbeda dengan Bethany yang tergolong muda dan termasuk dalam malaikat yang paling dekat dengan manusia, yang mendengarkan doa-doa dari para manusia, Bethany ini yang paling 'manusiawi' dan menikmati perannya sebagai manusia. Saking manusiawinya, dia akhirnya jatuh cinta dengan seorang manusia, ketua murid di sekolahnya, Xavier. Sebenarnya kekuatan cinta yang dimiliki Bethany menjadi kekuatan terbesar dia sebagai malaikat. Tapi yah, karena dia malaikat dan Xavier adalah manusia, secara logika tentunya mereka tidak bisa meneruskan hubungan mereka dalam konteks sebagai pasangan, apalagi berujung pada pernikahan. Tapi sempat saya intip sinopsisnya di Goodreads, di buku ketiga mereka ingin menikah lho. Duh.
Overall, buku ini cukup menyenangkan untuk dijadikan hiburan. Tidak sekompleks Beautiful Creatures, memang. Ini versi lebih simpel. Tapi benang merah mereka sama, bahwa di dunia ini ada yang namanya baik dan buruk. Keburukan tidak bisa hilang, karena kalau keburukan hilang, manusia tidak tahu yang namanya berusaha menjadi baik. Tetapi keburukan yang berlebihan pun juga tidak bagus karena bisa merusak perdamaian dunia. Bumbu romansanya juga hampir sama. Kalau saya lihat dari kesamaan hubungannya, yaitu hubungan yang terlarang, saya pribadi mengambil kesimpulan bahwa manusia kebanyakan cenderung mengutamakan emosi dalam hal cinta ketimbang logika. Padahal semestinya emosi dan logika seimbang. Yah, tapi ketika orang jatuh cinta, kita bisa apa? Kita bisa memilih menikah dengan siapa, tapi kita tidak bisa memilih untuk jatuh cinta kepada siapa. Kata Sudjiwo Tedjo sih begitu. (,--)>
Anyway, melihat dari review para pembaca Halo Series yang bertahan hingga buku ketiga, kebanyakan mereka tidak merekomendasikan buku ini untuk terus dibaca. Mereka merasa buku ini terlalu emosional, labil, dan dipaksakan imajinya dari berbagai hal. Meskipun fiksi, ada hal-hal di mana logika tetap berperan. Untuk menjaga kewarasan pembacanya. Eh, maksudnya kalau settingnya kehidupan sehari-hari sih biar tetap sesuai kaidah kehidupan. Kecuali kalau mau bikin dunia sendiri, sekalian total berfantasi. Tetapi bagaimanapun juga, jalan cerita fiksi tergantung dari penulisnya kan?
Rating saya untuk buku pertama Halo Series ini 3.5 dari 5.
Love,
anindrustiyan