Thursday 26 August 2021

Pregnancy Diaries : Dokter Ketiga, Opsi Kedua dan Kelegaan Tiada Tara

Tidurku tak nyenyak. Pagi aku terbangun dengan perasaan hampa. Aku menulis ijin lewat chat ke beberapa orang kantor yang berwenang. Termasuk aku memberi tahu teman seruanganku. Tak kusangka ia langsung meneleponku.


"Hei, kamu kenapa?? Habis jatuh apa gimana??" serangnya begitu teleponnya kuangkat. Aku menceritakan kronologi semalam dengan suara berat dan serak karena menangis semalaman.

"Dengar, kusarankan, sebaiknya kamu ganti dokter. Cari dokter yang reputasinya bagus. Beneran. Coba opsi lain. Siapa tahu diagnosenya berbeda. Kalaupun ternyata sama, setidaknya dia dokter bagus yang akan menjamin kesehatanmu seterusnya," katanya.

Kata-kata temanku semakin menguatkan keinginanku yang memang sejak tadi sudah terbersit di pikiranku. Aku ingin mencoba ke dokter kandungan lain lagi, sekalian yang perempuan seperti yang aku inginkan sejak awal. Setidaknya, jika diagnosenya pun sama, yang melakukan tindakan adalah dokter perempuan. Sehingga aku merasa agak lebih nyaman.

Akhirnya agenda kami yang tadinya meminta rujukan BPJS, beralih ke dokter kandungan di rumah sakit yang lain. Suamiku terus menerus menenangkanku. Mungkin karena ia melihat ekspresiku yang begitu tegang. Untungnya teknis pendaftaran di rumah sakit yang ini cukup menyenangkan. Tidak bertele-tele. Begitu namaku dipanggil, aku masuk ruangan dan disambut dengan sapaan yang menyenangkan.

"Pagi ibu, ada keluhan nggak nih?" kata dokternya.

Akhirnya aku menceritakan riwayat kehamilanku mulai dari awal tes sampai diagnose dokter kedua. Kutunjukkan pula foto USG dari dua dokter sebelumnya. dr. Adyuta, nama dokter yang kukunjungi ini, memeriksanya dan mengangguk kemudian memintaku untuk rebah di tempat periksa dan melakukan pemeriksaan dengan USG transvaginal. Ia terdiam sesaat, mengangguk lagi. Lalu mulai berkata.

"Baik, kita lihat bareng-bareng ya. Ini bayinya, ini jantungnya, berdenyut. Kalo kayak gini saya nggak berani kuret. Kalaupun misal, nih, misal, ternyata gak tertolong, gak akan langsung saya kuret juga. Saya kasih obat, kita kasih waktu buat keluar dengan sendirinya. Tapi ini ada kok, ukuran janin sama usia kandungannya sesuai. Bismillah yuk, diusahain bareng-bareng yaa,"

Aku hampir tidak percaya dengan yang kudengar. Bayiku ada! Dia tidak apa-apa! Akhirnya dokter memintaku untuk meneruskan obat penguat kandungan yang sudah kutebus dari resep dokter yang pertama, dan ia memberiku vitamin untuk kehamilan serta menuliskan surat ijin istirahat untuk kepentingan administrasi kantorku.

Aku keluar ruang periksa nyaris melompat.

"Gimana?" tanya suamiku. Kalau aku tidak ingat bahwa kami masih di rumah sakit, aku mungkin akan memeluk suamiku dengan erat.

"The baby is here....," jawabku.

"Bayinya ada??"

"Iya, dan dia baik-baik aja. Dia nggak apa-apa," jawabku lagi.

Suamiku menahan diri untuk tidak melompat kegirangan, aku bisa melihatnya dari raut wajahnya. Sambil berjalan ke apotik, ia mulai mengomel kredibilitas dokter kedua yang kemarin mendiagnoseku untuk menyerah dengan janinku. Ia langsung menelepon orang tuanya. Ternyata mereka pun tidak tidur semalaman setelah semalam ditelepon oleh suamiku perkara dokter yang mendiagnoseku untuk kuret. Kami kemudian segera pulang untuk istirahat. Dan memberikan hadiah bagi diri kami dengan memesan makanan enak!

 

Blitar, 23 Juni 2021

 


 

 

Tuesday 24 August 2021

Pregnancy Diaries : Dokter Kedua, Dalam Kepanikan

Esoknya aku berkegiatan seperti biasa. Aku ke kantor bahkan menyiapkan kegiatan sosialisasi di sebuah sekolah dan menyetir cukup jauh. Mencoba untuk mengalihkan pikiranku dari diagnose dokter yang mengkhawatirkanku. Seharian itu aku memang merasa nyeri yang agak aneh di perutku. Aku mengelus perutku dan mengajak ngobrol janinku, berdoa agar ia tumbuh sehat dan kuat.

Malamnya selesai mandi, aku sedang menunggu suamiku bersiap untuk kami makan malam di luar. Namun tiba-tiba saat aku beranjak dari dudukku, aku merasa ada darah keluar di bawah sana. Banyak. Aku panik, jelas. Bahkan aku sampai pakai pembalut. Kepalaku saat itu sudah tak bisa berpikir positif. Yang ada dalam benakku hanyalah kemungkinan terburuk. Aku dan suamiku bergegas ke Rumah Sakit terdekat, dengan dokter kandungan yang berbeda. Harapan kami diagnosenya berbeda, dan baik-baik saja.

Aku mendapat urutan terakhir. Kami menunggu lama sekali. Sampai kami sempat untuk makan malam di area luar Rumah Sakit. Pukul sebelas malam akhirnya namaku dipanggil. Begitu kami masuk ruang periksa, dokter tak melihatku sama sekali. Asyik masyuk dengan ponselnya. Dan bertanya, "Ada keluhan apa?" sambil terus menatap ponselnya. Kuceritakan yang kualami. Dan kemudian ia mendeteksi rahimku dengan USG.

Ia melihat ke layar, lalu berkata, "Sudah kisut ini. Kalau saya sih nggak saya teruskan."

Aku terdiam. "Lalu baiknya bagaimana, Dok?"

"Kuret. Secepatnya," katanya cuek. Aku mencelos.

"Mau umum apa BPJS?" tanyanya lagi.

"Umum berapa, Dok?"

"Lima juta," sahutnya cepat.

"Eh...BPJS saja, dok....," sahutku lirih. Dokter itu menanyakan Faskes Tingkat I-ku dan menuliskan rujukan. Kemudian asistennya menyarankanku untuk mendaftar sekalian malam ini untuk kunjungan besok. Kejutan, aku sudah berada di nomor urut dua belas untuk besok!

Begitu masuk mobil aku hanya bisa menangis. Terus menangis. Kuajak ngobrol lagi si janin, "Ayo nak....kuat nak....sama Mama ya...," Sampai rumah pun aku masih terus menangis. Sedihnya begitu menusuk. Pilu sekali. Suamiku terus menenangkanku. Ia berusaha ikhlas jika memang begitu adanya.

"Rasanya gimana?" tanyanya pelan.

"Tadi siang terasa, lho....," jawabku sambil terus menangis.

"Tadi....tadi terasa ada lembuuut sekali. Sekarang....sekarang....sekarang kenapa gak terasa....," lanjutku. Tangisku lebih keras.

"Iya..iya, tadi terasa ya? Tadi pagi kamu mau berangkat aku peluk, aku juga bilang aku ngerasa juga kan ya," kata suamiku. Tiba-tiba, ketegarannya runtuh.

"Tuhan....," katanya. Suaranya mulai bergetar.

"Aku tahu aku mungkin bukan hamba favorit-Mu. Aku tahu aku sering abai dalam kewajibanku beribadah kepada-Mu. Tapi aku mohon, Tuhan. Jangan buat istriku bersedih dan terluka hatinya. Aku tidak sanggup melihatnya terluka. Tolong, Tuhan, lindungilah dia. Lindungilah anak kami," lanjutnya sambil menangis.

Malam itu kami berdoa bersama, lebih kuat dari biasanya, dan tidur sembari bergandengan tangan.

 

Blitar, 22 Juni 2021


 

Friday 20 August 2021

Pregnancy Diaries : Memilih Dokter


Aku bersyukur hidup di era di mana kita sudah memiliki banyak pilihan. Termasuk memilih dokter kandungan. Aku merasa bahwa aku harus memilih dokter kandungan yang membuatku nyaman, bukan serta merta karena dia terkenal dan pasiennya banyak. Reputasi itu penting, karena juga bisa menjadi tolok ukur kepiawaiannya sebagai dokter kandungan. Tapi aku merasa aku nyaman kalau dokter kandunganku adalah perempuan. Tolong jangan berpikir aku feminis. Tapi memang murni aku merasa nyaman jika dokternya perempuan. Ayolah, selama sembilan bulan ke depan dia tentu akan melihat kelaminku kan? Dokternya mungkin nggak ada masalah, aku sebagai pasien kalau kurang nyaman ya bagaimana.


Aku mencari info tentang dokter kandungan perempuan di kotaku. Aku kagum juga sudah mulai cukup banyak dokter kandungan perempuan di sini, setelah sebelumnya lebih banyak laki-laki. Jaman ibuku dulu malah cuma dua dokter kandungan di sini dan semua laki-laki.

Hari di mana aku melakukan tes kehamilan mandiri waktu itu Sabtu, tanggal 19 Juni, yang mana tidak ada jadwal dokter kandungan perempuan. Ya sudah aku menunggu hari Senin tentunya. Tapi hari Minggu ternyata keluar flek, dan aku agak khawatir dengan itu. Sedangkan Senin pagi aku masih ke kantor, jadi Senin sore aku coba ke dokter kandungan terdekat dari rumahku, siapa saja deh yang penting aku bisa segera tahu kondisiku. Aku sengaja tidak ijin kantor untuk periksa kehamilan, sejujurnya aku belum ingin memberi kabar ini ke lebih banyak orang sampai kira-kira tiga bulan. Itu sebabnya agak susah bagiku menemukan dokter kandungan perempuan yang buka praktek sore hari.

Akhirnya aku diperiksa dengan USG. Dokter yang ini vibes-nya cukup bagus. Menyapa dengan riang dan bertanya apa keluhanku. Kuceritakan aku mengalami flek dan baru dua hari lalu aku tes kehamilan mandiri. Dari USG pada saat itu usia kandunganku terdeteksi lima minggu. Dokter pertama ini (di sini aku sebut dokter pertama, karena sampai nanti aku cerita, aku sudah ganti dokter sampai ketiga kalinya) berkata bahwa ada dua kemungkinan : janin belum berkembang atau tidak berkembang. Tentunya ia berharap janin belum berkembang, sehingga dua minggu lagi sudah bisa terdeteksi detak jantungnya. Dokter memberiku obat penguat kandungan. Dan aku pulang dengan perasaan campur aduk tak keruan. Aku tak bisa menahan tangisku saat itu. Suamiku mencoba menguatkanku. Aku tahu ia sendiri juga ada ketakutan, tapi mungkin karena melihatku menangis, ia berusaha tegar. Ia berkata, jika memang rejeki kami, tentu bayi ini akan terus bersama kami. Tapi jika belum rejeki, maka kami harus ikhlas. Tentu aku ingin mendengar bahwa kehamilanku baik-baik saja. Tapi catatan dari dokter tadi membuatku takut juga. Apalagi dokter sempat menyebutkan kuret pula. Aku sudah membayangkan berbagai macam hal. Malam itu aku langsung membeli obatnya, yang tidak sembarang apotek punya, dan meminumnya sebelum tidur.

Blitar, 21 Juni 2021

 


 

Friday 6 August 2021

Pregnancy Diaries : I'm Pregnant???

Kalau aku ditanya, apakah aku sangat menginginkan hamil? Aku rasa aku akan agak bingung menjawabnya. Bukan karena aku tidak menginginkannya. Aku jelas menginginkannya. Tapi ada sisi diriku yang mempertanyakan kesiapan diriku sendiri untuk memiliki anak. Bukan sekedar hamil, melahirkan, memberinya makan. Tetapi menghidupinya pula. Bertanggung jawab tidak hanya pada fisiknya saja tetapi juga pada mentalnya, pendidikannya, dan segala aspek kebutuhan hidupnya sampai ia mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Dibutuhkan waktu, finansial, dan mental yang siap untuk itu semua. Menjaganya untuk tumbuh dan berkembang dengan sehat secara fisik dan mental. Menjaga diriku sendiri untuk menjadi orang tua yang ia butuhkan. Bukan yang aku kira ia butuhkan.


Yang menjadi konsentrasiku adalah kesehatan mentalku sendiri. Aku sedang berada pada fase menyembuhkan luka diri, berdamai dengan trauma masa kecil dan berteman dengan anak kecil dalam diriku sendiri (inner child). Dan aku tidak bilang aku sudah sembuh total. Aku pernah menjalani proses konseling, tapi terpaksa berhenti karena pandemi. Aku tentunya tidak ingin anakku nanti menjalani hidup penuh tekanan untuk menjadi sempurna seperti yang aku alami. Tapi aku sendiri juga tidak bisa serta merta mengesampingkan gambaran ideal anak yang sukses menurut versiku berdasarkan apa yang ditanamkan dalam pemahamanku selama ini.

Aku menikah pada akhir Januari, aku dan suami tidak ingin menunda punya bayi juga. Ia berharap aku segera hamil, malah. Katanya karena usiaku sudah masuk kepala tiga, ia mengkhawatirkan kemampuan fisik dan kondisi kesehatanku apabila aku belum kunjung hamil. Suamiku sendiri usianya jauh lebih muda dariku. Tapi dia juga tidak menekan, dan kami sempat sepakat memberi diri kami waktu setahun untuk mencoba sambil perlahan menyesuaikan diri satu sama lain. Kalau setelah setahun aku belum kunjung hamil, bisa lah kami membuat jadwal kunjungan untuk program hamil.

Sampai kemudian, pada bulan Juni aku merasa ada perubahan di tubuhku. Suatu siang di hari Jumat, aku baru menghabiskan makan siangku dan tiba-tiba merasa perutku sesak. Sampai aku harus membetulkan postur tubuhku untuk membuatku agak nyaman. Ini agak di luar kebiasaan. Lalu aku teringat, itu sudah tanggal delapan belas. Sedangkan bulan lalu aku mulai menstruasi tanggal tiga belas. Mundurnya lumayan juga. Pulang kantor diam-diam aku membeli alat tes kehamilan dan melakukan tes pada urineku di pagi hari berikutnya. Dan aku bisa bilang aku sudah memprediksinya. Garisnya dua.

Aku menunjukkannya ke suamiku. Wajahnya campuran antara senang tapi menahan diri untuk tidak terlalu menggebu. Dan pada saat itu dia baru merasakan beberapa kekhawatiranku tentang kesiapan diri dalam menjadi orang tua. Tapi ia tetap begitu senang sampai langsung menelepon orang tuanya memberitahukan kabar itu. Aku sendiri malah tidak segera mengumumkannya ke orang tuaku. Aku ingin memastikannya dulu ke dokter kandungan, baru mengumumkannya.

Tapi ternyata aku sendiri tidak bisa menahan diriku untuk tidak mengabarkannya. Hanya saja aku selektif. Bukan orangtuaku yang pertama kuberi tahu. Tapi Om-ku, yang sudah seperti ayahku sendiri. Beliau nampak senang, tapi juga menahan diri untuk tidak menangis terharu. Dasar laki-laki. 

 

Blitar, 19  Juni 2021

Aku melihat garis dua.




Sunday 1 August 2021

Pregnancy Diaries : Prologue

Ada sekitar empat tahun sejak aku menulis karyaku yang paling baru. Waktu itu aku terinspirasi dengan puisi pendek dan prosa yang sedang menjadi tren di dunia sastra, karya pendek penuh makna yang tidak memerlukan linimasa dan skenario tertentu. Sejak itu, aku kehilangan hasrat menulisku. Bahkan untuk mempublikasikan tulisanku itu pun aku enggan. Hanya sekedar minta tolong teman di percetakan untuk menjilidnya serupa buku, menerbitkannya pada penerbit independen, dan baru memberikan tautan belanjanya jika ada yang bertanya. Mungkin ketidakpercaya dirianku yang rendah terhadap karyaku sendiri membuatku dan karyaku tidak ke mana-mana. Dan aku tidak menyarankan itu untuk siapa pun di dunia ini.



Bahkan ketika aku menjalani hubungan percintaan penuh drama yang nyaris sama dengan sinetron pun tidak mendorongku untuk menulisnya menjadi sebuah karya. Jangankan menuangkannya dalam sebuah tulisan, aku kehilangan minat akan semua hal yang menyenangkanku. Fotografi, menulis, membaca, bahkan menyanyi asal-asalan pun aku enggan. Salah satu ciri depresi? Mungkin. Aku kemudian memaksa diriku untuk kembali membaca, satu hal yang biasanya tidak bisa digugat sejak aku kecil. Dan aku menyadari buku-buku yang menarik perhatianku kala itu adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kesehatan mental dan hubungan dengan dirimu sendiri.


Writer's block? Banyak yang menggunakan istilah itu, tapi ada satu penulis Indonesia favoritku yang cukup akrab denganku, Primadonna Angela, pernah berkata, buat dia tidak ada istilah writer's block karena ia terus mendorong dirinya sendiri untuk menulis setiap hari, sehingga menjadi sebuah kebiasaan yang jika tidak ia lakukan maka ia akan merasa ada yang kurang lengkap dalam kesehariannya. Ia juga melatih dirinya sendiri untuk membuat sesuatu hal yang biasa yang ia temui, lihat, rasa, raba, dengar setiap harinya menjadi sesuatu yang dapat ia kembangkan menjadi sebuah tulisan. Ia terus melatih dirinya sendiri dan membiarkan dirinya berkembang. Maka writer's block itu tidak ada.


Lalu saat ini, aku mulai menulis, dan aku bertanya kepada diriku sendiri apakah yang membuatku sangat terdorong untuk menulis lagi? Meletakkan ponselku bahkan buku yang kucoba untuk kubaca ulang dan menyalakan laptopku dan mulai menulis?

Aku sedang mengalami dan menjalani sebuah momen hidup yang banyak dinanti dan dinikmati banyak wanita. Dan aku ingin mengabadikan pengalaman pertamaku ini dalam sebuah tulisan. Sampai nanti ia lahir, bahkan mungkin aku akan terus menulis tentang perkembangannya menjadi sebuah karya tulisku lagi.

Yes, I'm pregnant!