Thursday 3 November 2016

Big Bad Wolf Surabaya

SELAMAT PAGIIIIIIIII!!!!!! Yah, meskipun blog ini dibuat dan diposting di malam hari, biar semangat gitu ceritanya, makanya bilangnya selamat pagi.

Nah, mau cerita tentang Big Bad Wolf nih. Apa sih?
Jujur, saya sendiri juga baru tau ada yang namanya Big Bad Wolf, dan itu ternyata adalah book sale besar-besaran gara-gara ada temen saya yang Whatsapp dan bilang mau ke sana. Nyari dong di Google, apa itu Big Bad Wolf. Awalnya nggak kepikiran mau ke sana. Soalnya yah, temen saya ke sana pas hari kerja, terus udah pesimis dibolehin ke sana juga soalnya kan di Surabaya. Iseng ijin sama orang tua, eh ternyata dibolehin. Haha. Rezekiiiii.......... Jadi yah, bisa dibilang ini pertama kalinya saya ke Big Bad Wolf.



Berangkat pagi dari Blitar, sampai lokasi sekitar jam sepuluh siang. Masih agak sepi, tapi gak sepi-sepi amat. Gak ada bayar tiket masuk, kok. Gratis.Pas masuk hall-nya...............speechless. Buku semua gitu???? Sejauh ini ada bazaar buku serupa kayak gini di Blitar ya keliatannya kecil. Karena gedungnya juga kecil. Lah ini di JX International dan satu hall utama semua diisi buku. Whoaaaaaa........

Jadi Big Bad Wolf ini digelar di JX International Surabaya, dan sudah dibuka sejak tanggal 20 Oktober 2016 sampai tanggal 31 Oktober 2016. Diskon bukunya mulai 60% sampai 80%!!! Bayangin aja, buku-buku impor, yang kalau harga normalnya 200 ribu ke atas, jadi cuma 60 ribu atau 70 ribu!!!!

Sistem pembayarannya unik juga. Kalau bayar pakai cash, cuma boleh maksimal Rp. 150.000 aja. Sedangkan kalau total belanjaannya lebih dari itu pakai kartu debit/kredit Mandiri dan kartu debit/kredit bank lain yang berlogo Visa/Master Card. Yang punya kartu debit BCA, kartunya simpan dulu di rumah/dompet ya, karena Big Bad Wolf tidak menerima pembayaran menggunakan kartu debit BCA.

Koleksi buku yang dijual juga setiap hari diganti. Nyebelin ya, kan jadi pengen tiap hari ke sana. Hahaha. Untungnya, pas saya ke sana, seri koleksi buku yang saya cari ada semua. Jadi cuma dalam sehari, koleksi seri Beautiful Creatures saya lengkap. Yay!!!

Yang koleksi buku Fiksi, dibagi jadi Literatur, General, Romance, Fantasy, samaYoung Adult. Yang Non Fiksi ada Economic/Bussiness, Travel, Transportation, Animal/Pets, Biography, History, Cookery, Photography. Nah, yang pojok buku anak-anak lebih banyak lagi macemnya. Dan di sini siap-siap rebutan aja deh ama emak-emak. Bukunya asik-asik sih, mostly yang merangsang motorik anak. Gatel pengen beliin buat keponakan tapi anaknya jauh di Batam. Hiks.

Misal nih ya, udah satu jam muter-muter, capek, pusing, laper, tapi belum pengen bayar dan pulang karena masih pengen keliling lagi, ada tempat penitipan kok. Jadi buku-buku yang udah dipilih, bisa dititipkan di sini. 24 jam lho! Terus kalau lapar, nggak perlu takut, ada banyak booth makanan di atas dan di luar hall. Kalau udah kenyang, udah ilang capek dan pusingnya, bisa balik keliling lagi hunting buku.

Selesai belanja, di dekat pintu keluar ada yang namanya Curious Corner. Isinya poster-poster film, band, dan artis favorit impor dari US dan UK diobral. Ada juga poster kecil vintage gitu. Gambarnya iklan-iklan produk bertema vintage. Agak gatel juga di pojok ini, tapi inget umur aja sih. Dinding kamar sudah waktunya dipasang foto nikah, bukan poster lagi kan? *eh*

Tapi buat yang mau beli poster-poster di sini juga boleh, kok. Buat yang suka koleksi. Karena kualitas posternya juga bagus banget. Bukan poster kertas mengkilap tipis kiwir-kiwir macam bonus majalah.

Kelar keliling, saya nongkrong aja di kedai kopi. Ngeliatin orang-orang lalu lalang belanja buku. Atau sekedar liat-liat aja penasaran isinya apa. Eh, iya. Buku terbitan lokal, yang berbahasa Indonesia tentunya, stoknya cuma sedikit. Kalau dibandingkan dengan stock buku impor ya. Cuma sekitar tiga meja aja. Tapi tetep, nggak ada salahnya kok mengunjungi Big Bad Wolf. Ngeliat buku banyaaaaaak banget gitu jadi terapi sih buat saya. Dan harus jeli juga kalau lagi nyari buku. Kayak saya kemarin nemu yang buku ketiga setelah kelilingin meja buku Young Adult untuk kelima kalinya. Hahaha, pantes saya pusing.........

Saking murahnya harga buku yang dijual, saya menemukan, nggak jarang ada yang sampai buka jasa titipan. Kayak temen saya ini. Bela-belain dari Jakarta ke Surabaya, buat ke Big Bad Wolf dan buka jasa titipan juga. Di Instagram banyak juga kok yang buka. Karena Big Bad Wolf ini juga sepertinya baru dua kali ini digelar (CMIIW), di BSD Tangerang sama JX International Surabaya ini.

Yang udah ke sini, share ceritanya dong. Asik banget sumpah. Kalau cuma sebentar di sini rugi banget. Banyak buku yang bisa diexplore, dibeli apalagi. Tapi kalau kelamaan di sini juga rugi. Rugi karena duitnya jadi abis buat beli banyak buku. Hihihi.

Sekian cerita saya. Happy hunting!
xoxo,
anindrustiyan


Ini buku semua lhoooooo

Duh, nak. Jangan cuma Mamamu yang excited ama bukunya trus kamu mainan game ponsel begini :(

Capek atau laper, tapi masih belum pengen bayar ke kasir? Belanjaan sementaramu bisa dititipkan di sini. 24 jam lho!

Yang mau poster-poster impor dari UK & US


Poster-posternya menggoda banget buat dibeli


Capek keliling, ngopi dulu boleh lah ya. Bareng dua dari sekian banyak buku yang saya beli.

Gadis Arab yang bela-belain dari Jakarta ke Surabaya buat ke Big Bad Wolf

Pas di Jakarta nggak ketemu, di Surabaya malah ketemu.

Ini hasil belanjaan saya. Jangan ditanya total damagenya berapa ya :')


Saturday 3 September 2016

Kita Butuh Lebih Banyak Senyum Buat Dunia



"Seberapa sering kamu menyadari bahwa kamu, kita, cuma sebagian kecil dari alam semesta?"

Kalimat ini tiba-tiba muncul ketika saya baru jalan-jalan sama teman-teman kantor (can I call them 'squad'?) minggu kemarin. Ceritanya sih sumpek abis dua kegiatan gede yang jadwalnya berurutan dalam sebulan (keliatannya dua kegiatan gede, tapi dibagi jadi ENAM kegiatan. Seriously, we're so tired). Tapi karena kita masih banyak kegiatan lagi sampai bulan November, mau ngerencanain liburan bareng yang agak jauhan kok kayaknya masih impossible. Jadilah, pas kita lagi nyicil kerjaan administrasi, kita sempetin buat jalan-jalan juga. Dan asli, ini kebetulan. Nggak direncanain gitu.

Yang pertama kita ke Perkebunan Kopi di Desa Karanganyar, Kec. Nglegok. Ini ceritanya sambil perpisahan ama anak magang di ruangan kita. Sampe dibikin acara farewell karena anaknya juga klik banget ama kita, baik urusan kerjaan maupun guyonan. Bukan kali pertama sih saya ke Perkebunan Kopi ini. Cuma kebetulan di situ ada cafe baru yang katanya instagramable. Nyampe lokasi, udah sore plus hujan. Pas lah ya. Sore, hujan, kopi, sendu (eh). Nothing special pada saat itu. Maksudnya, belum kepikiran apa-apa. Karena lagi seneng nemu cafe bagus. Baik dari segi lokasi, dekorasi, maupun kopinya sendiri. Dan kita ngobrol terus sampai pulang. Lokasinya yang jauh dari hingar bingar perkotaan, nggak ada akses internet, bikin kita bener-bener ngobrol banyak sampai dalem. Kita bener-bener menikmati rasa kopi yang kita pesan. Nggak sekedar meneguk air kopi sambil main ponsel, trus kemudian ketika ditanya gimana rasanya kita cuma cengo nggak bisa jawab karena pas nyeruput pas lagi scrolling Instagram.







Dua hari kemudian kita niat mau ke salah satu sekolah di Kec. Wlingi untuk melengkapi administrasi kegiatan. Terus tiba-tiba kepikiran, kenapa nggak sekalian ke Sirah Kencong ya? Sirah Kencong ini perkebunan teh. Akhirnya kita memutuskan ke sana beneran. Jalan akses ke sana udah lumayan bagus. Artinya naik mobil biasa pun udah oke. Tadinya masih jelek banget, harus naik sepeda motor, atau mobil model jeep.

Kita melewati perkebunan sengon dan kopi. Banyak banget pohon kopi dengan buah kopi yang udah merah-merah dan besar-besar. Sampai di lokasi Perkebunan Teh Sirah Kencong, kita turun dari mobil. Biasa, foto-foto di antara pohon-pohon teh.

Perkebunan teh Sirah Kencong ini termasuk milik PTPN XII, yang salah satu produk andalannya adalah kopi dan teh Rolas (produk bisa dibeli di warung yang jualan di situ). Ada satu villa yang disewakan untuk umum di situ. Cuma satu unit karena awalnya itu adalah rumah dinas manajer perkebunan. Karena kantor perkebunan dipusatkan di Bantaran, akhirnya rumah dinas tersebut disewakan menjadi villa. Di sini suasananya belum terlalu ramai, memang. Belum benar-benar dijadikan tempat wisata seperti kebun teh Wonosari di Malang. Tetapi tetap menyenangkan bisa jalan-jalan ke sana.
Kami mampir ke salah satu warung yang masih buka. Makan mie rebus panas-panas dengan kopi dan teh panas. Nggak ada yang main ponsel, karena nggak ada sinyal internet sama sekali. Sambil makan, saya melihat ada beberapa anak kecil yang dari tadi lewat. Ketika pandangan kami bertemu, mereka malu-malu menunduk sambil bilang, "Nuwun sewu (permisi),". Mereka kemudian berlarian sambil tertawa. Lepas. Di kejauhan nampak kelompok anak kecil lain yang lagi main. Ada yang masih berseragam, jalan kaki bareng-bareng menuju rumah masing-masing. Mereka nggak ada yang kenal gadget. Nggak ada yang terkoneksi internet setiap detik. Yang mereka obrolkan bukan gosip terkini yang mereka akses lewat internet, yang mereka mainkan bukan game dalam tab.

Begitu pun orang-orang dewasa di situ yang mayoritas adalah pekerja perkebunan. Entah itu pemetik, entah itu pegawai pabrik. Setiap orang lewat selalu mereka sapa, plus senyuman. Kadang ditanya kami berasal dari mana. Semuanya ramah, semuanya menyapa.

Di sini kemudian tiba-tiba di otak saya muncul pertanyaan. Seberapa sering kamu menyadari bahwa kita ini cuma sebagian kecil dari alam semesta?  Akses menuju ke lokasi dari kantor ataupun rumah yang tidak bisa dibilang dekat. Ketika melihat hamparan kebun teh dan kopi yang luas. Dan kita berada di tengah pohon-pohon teh yang begitu banyak. Kecil. Kecil banget. Ini baru di satu lokasi kebun teh. Bagaimana kita di dunia? Lebih kecil lagi kan?

Tapi sekarang, saya sering menemukan orang-orang yang merasa "besar". Omongannya besar, ke mana-mana. Tapi orangnya masih di situ-situ juga. Ingin dihargai, tapi tidak menghargai orang lain. Merasa penting, tapi tidak mementingkan orang lain. Mendahulukan dirinya, tapi tidak medahulukan yang lain. Kadang-kadang saya merasa, kenapa saya semakin banyak menemukan orang yang tidak ramah? Makin banyak orang yang saling curiga. Membentengi dirinya kuat-kuat dan sangat tinggi dari orang lain. Pura-pura tidak dengar ketika disapa, dan lebih mudah berkata kasar ketika tidak sengaja disenggol orang. Lebih banyak yang tempramen, banyak yang menjadi tidak peduli sekitar. Bukan berarti kita jadi orang kepo sih. Yang pengen tahu banget urusan pribadi orang lain. Tapi lebih kepada kepedulian kita dalam bermasyarakat. Kita lebih suka menunduk memandang gadget, daripada berinteraksi dengan orang-orang di sekitar kita. Giliran kita mau ngobrol, ditinggal chattingan, mencak-mencak. Anak-anak jadi lebih suka main game dengan tablet di dalam kamar, di saat teman-temannya yang lain kejar-kejaran main layangan di lapangan.

Jujur saya sendiri sudah mengarah ke sana. Lebih suka mantengin social media daripada memperhatikan suasana cafe, misalnya. Saya sendiri sadar mulai ngerasa lebih tempramen. Dan saya sendiri juga mulai menyadari perubahan yang sama pada orang-orang di sekitar saya, yang saya temui di luar sana. Saya bukannya mau menyalahkan gadget sih. Manfaatnya tetap ada kok untuk segi informasi dan komunikasi. Tapi jadi banyak yang berubah perilakunya gara-gara kecanduan main ponsel dan tabletnya.

Saya pengen lebih "hidup". Ngobrol sama banyak orang, menyapa orang lain, melihat lebih banyak senyum, mendengar lebih banyak sapa. Seperti kehidupan warga Sirah Kencong. Melihat anak-anak kecil main bergerombol di luar, mendengar orang-orang dewasa saling tegur sapa, mengobrol tentang banyak hal, lebih banyak kontemplasi, sharing pengalaman dan inspirasi. Mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan. Saya rasa, kita semua butuh hal demikian. Butuh lebih banyak senyum dan tegur sapa. Daripada wajah bersungut-sungut dan caci makian.

Kita ini cuma sebagian kecil dari alam semesta. Tak perlu kita menyombongkan diri hanya agar terlihat besar bagi orang lain. Bangga boleh, tapi jangan sombong. Kita butuh lebih banyak senyum dan tegur sapa ke orang lain. Mungkin kita takut kalau kita terlalu ramah dengan orang yang belum kita kenal, akan disalahartikan dan dimanfaatkan. Orang lain belum tentu orang asing. Sapa lah orang-orang di sekitar kita. Kapan terakhir kali kamu menyapa tetanggamu? Kapan terakhir kali kamu curhat ke saudaramu? Kapan terakhir kali kamu berkunjung ke sepupumu? Kapan terakhir kali kamu memberanikan diri berkenalan dengan orang lain di luar 'irisan'mu? Percayalah, semakin banyak kamu berbuat baik kepada semesta, meskipun hanya sekedar senyuman, semakin banyak pula kebahagiaan yang akan kamu dapatkan.


Blitar, 3 September 2016
AnindRustiyan

Biji kopi pilihan, ciptakan kopi enak ^o^
sebelum sampai di Kebun Teh Sirah Kencong, kita melewati Kebun Kopi Pidjiombo



Permukiman warga perkebunan Sirah Kencong



Sunday 21 August 2016

Upacara Peringatan Kemerdekaan RI di Tugu Proklamasi



Tiga tahun lalu, ketika itu saya masih baru saja lulus kuliah, peringatan kemerdekaan RI saya rayakan sendiri saja di rumah. Kala itu, saya mau ikut upacara di mana? Terakhir kalinya upacara kemerdekaan RI saya ikuti ketika SMA. Masa-masa kuliah tak pernah saya rayakan HUT Kemerdekaan RI di kampus. Karena bertepatan dengan libur penerimaan mahasiswa baru, upacara peringatan kemerdekaan RI tak pernah menjadi tradisi di kampus. Cukup aneh kah jika saya bilang saya rindu ikut upacara? Akhirnya kerinduan itu hanya bisa saya obati dengan menyaksikan Upacara Peringatan Kemerdekaan RI dari televisi.

Itu saya lakukan empat tahun selama saya kuliah, tentunya. Ditambah tahun berikutnya, tahun 2013, masa-masa di mana saya masih mencari jodoh saya dalam hal pekerjaan. Tapi pada tahun 2013 itu, ketika saya menyaksikan Upacara Peringatan Kemerdekaan RI dari Tugu Proklamasi yang ditayangkan televisi, saya terhenyak. Sekilas saja, tak ada siaran ulang pula, hampir saya kira saya salah melihat. Tapi saya yakin, meskipun hampir tak percaya, pada saat itu saya melihat Panji TGP dikibarkan.

Jujur saat itu mata saya basah. Meskipun itu bukan kali pertama saya menangis ketika menyaksikan upacara 17 Agustus, di mana pun. Tapi saat itu saya terharu, karena Panji TGP berkibar. Sepengetahuan saya pada saat itu, TGP kalah terkenal dengan pasukan tentara lain. Pengalaman saya, banyak orang yang masih familier dengan TRIP dan TP. Tapi ketika mendengar istilah TGP, masih sering saya mendapat pertanyaan balik, "TGP itu apa?" Hanya orang-orang tertentu saja yang mengenal TGP ternyata. Maka ketika saya melihat Panji TGP berkibar di Upacara Peringatan Kemerdekaan RI tahun 2013 itu, saya terharu. Saya merasa saat itu, akhirnya ada yang tahu TGP. Akhirnya TGP bangkit lagi.

Kemudian sejak saat itu, perkembangan untuk membangkitkan TGP kembali seperti gayung bersambut. Putra putri Ex TGP Brigade 17 dari berbagai kota saling menjalin komunikasi kembali dan bersama-sama ingin mengaktifkan kembali TGP yang sempat vakum. Salah satu dari sekian banyak kegiatan yang saya ikuti termasuk ini : Napak Tilas & Pelantikan Pengurus TGP Cabang Blitar & Malang.

Upacara Peringatan Kemerdekaan RI tahun 2015 dengan berat hati tidak bisa saya ikuti karena dari kantor pusat saya pun memberi kewajiban bagi para pegawai untuk mengikuti upacara di satuan kerja masing-masing. Pada saat itu yang mewakili dari Blitar termasuk Mama dan Tante saya.

Tahun ini, Upacara Peringatan Kemerdekaan RI di Tugu Proklamasi akhirnya bisa saya ikuti. Meskipun saya tidak mengikuti semua rangkaian kegiatan, tetapi pengalaman mengikuti upacara langsung di Tugu Proklamasi, tak pelak menjadi kesan tersendiri.

Tanggal 14 Agustus rombongan mengadakan ziarah ke Taman Makam Bung Hatta dan TPU Tanah Kusir. Tanggal 15 Agustus saya berangkat dari Blitar dan tiba tanggal 16 Agustus. Bertemu dengan om dan tante generasi penerus lain, yang sebagian sudah pernah saya temui pula dari kegiatan sebelumnya. Senang! They're so humble. Dan welcome sekali dengan saya meskipun saya sangat jarang ikut acara TGP. Ini juga salah satu kelebihan TGP yang saya suka dan saya rindukan. Keramahan serta eratnya persaudaraan tidak hanya pada anggota Generasi Pendahulu, tetapi juga menular ke Generasi Penerus.

Rombongan kemudian memulai Napak Tilas dari Gedung Joang. Bapak Djarot Saiful Hidayat, mantan Walikota Blitar yang sekarang menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI, yang hadir didampingi Ibu Happy Djarot Saiful Hidayat, memberikan sambutan dan membuka acara Napak Tilas. Kemudian dilanjutkan ke Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Di sini melihat secara langsung bagaimana proses perumusan naskah Proklamasi itu dibuat, dengan suasana bangunan dan interior yang ditata sesuai aslinya kala itu. Rute Napak Tilas kemudian berakhir di Tugu Proklamasi. Tamu pada saat selesai Napak Tilas ternyata adalah Ibu Meutia Hatta dan Ibu Halida Hatta. Di antara sekian banyak orang yang ingin berfoto bersama beliau, Alhamdulillah saya juga dapat kesempatan. Selfie, malah. Bu Meutia memberikan sambutan pula di Tugu Proklamasi. Acara kemudian dilanjutkan dengan nonton bareng film sejarah Kemerdekaan RI bagi para peserta Napak Tilas yang mayoritas adalah pelajar.

Malamnya, berkumpul lagi di Tugu Proklamasi untuk mengikuti acara Pemasangan Pin bagi PASKIBRA, baca puisi dan renungan, kemudian makan tumpeng bersama. Ketika saya sampai di Tugu Proklamasi, Bapak Djarot Saiful Hidayat tengah membacakan puisi. Sesudahnya seperti biasa berfoto bersama. Tapi tidak bisa benar-benar jenak, karena beliau segera ke acara berikutnya yang sudah diagendakan.







Bapak Djarot Saiful Hidayat beserta Ibu Happy Djarot Saiful Hidayat tiba di Gedung Joang
Bapak Djarot Saiful Hidayat memberikan sambutan






Tugu Proklamasi
Kami PKB-PPK!!

Rombongan Napak Tilas tiba di Tugu Proklamasi


Tante Susie mendampingi Bu Meutia Hatta
Bersama Bu Meutia

Penyematan Pin kepada PASKIBRA oleh Bapak Djarot Saiful Hidayat


Pembacaan puisi oleh Bapak Djarot Saiful Hidayat

Potong Tumpeng
Esoknya, tanggal 17 Agustus adalah Upacara Peringatan Kemerdekaan RI. Tamu undangan sebagian besar sudah hadir. Disusul dengan peserta upacara yang lain. Tepat pukul tujuh pagi, barisan peserta upacara dibimbing dan ditata. Masing-masing barisan diharuskan mempunyai komandan pleton. Barisan PKB-PPK tadinya dikomandani oleh Om Agus Suseta. Mungkin karena sudah lama sekali tidak jadi komandan, nampaknya Om Agus agak ndhredheg juga. Jadilah saya mencoba menawarkan diri menggantikan, eeh, ternyata langsung di-acc sama Om Agus. Hehe, maaf ya Om.

Upacara kemudian dimulai. Hening, khidmat. Pada saat rekaman pidato dan pembacaan teks Proklamasi oleh Bung Karno diputar, saat itu rasanya dalam diri saya ada yang berdesir. Membayangkan pada saat itu, ribuan orang mendengarkan dengan tegang, dengan seksama, dengan hati-hati, setiap kata yang diucapkan oleh Bung Karno, bahwa pada detik itu, Indonesia dinyatakan merdeka. Merdeka dari penjajahan yang telah beratus tahun dialami oleh rakyat Indonesia. Meskipun kenyataannya, perang masih tetap ada setelah Proklamasi dibacakan.

PASKIBRA yang bertugas di Tugu Proklamasi semuanya merupakan cucu pejuang, baik dari TGP, TRIP maupun TP. Pada saat pengibaran bendera, air mata saya mulai merebak. Sampai pada saat mengheningkan cipta, ketika menunduk mendoakan para pejuang, kelebatan wajah para pejuang TGP Blitar yang sempat saya kenal, muncul dalam benak saya. Senyum beliau, tangan keriput beliau yang saya raih dan saya cium tiap kali berjumpa, pelukan beliau, semua yang saya rindukan dari mereka. Tangan yang pernah memegang erat senjata, jantung yang terus berdebar dalam kemungkinan gugur di medan perang, kaki yang melangkah dan berlari tak terhitung jumlah jarak yang ditempuhnya. Di masa tua menjadi tangan keriput yang lembut, hangat memeluk kami para generasi penerus. Sampai pada akhirnya satu per satu beliau semua kembali ke Sang Pencipta. Dengan senyum seorang pejuang yang sudah menyelesaikan misi kemerdekaan.

Sampai saat ini masih ada penyesalan dalam diri saya. Kenapa pada saat Generasi Pendahulu TGP Blitar masih ada, saya tak banyak bertanya tentang sejarah mereka? Sumber paling akurat tentunya dari pelaku sejarah itu sendiri bukan? Apalagi referensi tentang TGP dalam bentuk dokumen masih sangat minim. Bagaimana pun saat itu saya memang masih kecil dan tidak terpikir sama sekali bahwa tongkat estafet itu akan tiba di tangan saya. Sehingga tidak terpikirkan pula untuk mewawancara mereka pada saat mereka semua masih lengkap. Setidaknya saya bersyukur menjadi cucu dari salah satu anggota TGP. Sehingga saya bisa memaknai, bahwa peringatan kemerdekaan RI bukan sekedar mengikuti upacara, yang bisa-bisa membuat saya mengeluh kenapa harus berpanas ria. Namun saya bisa memaknai, tanpa perjuangan mereka, saya belum tentu bisa seperti ini.

Mereka para pendahulu, rendah hati dan berbudi luhur. Tak pernah mereka memaksa untuk terkenal karena sumbangsih tenaga, pikiran dan nyawa mereka untuk negara. Hanya mereka titipkan kemerdekaan ini teruslah kau jaga. Perjuangan generasi penerus tentu bukan lagi dengan bambu runcing dan senapan. Menjaga perdamaian dalam negeri, melestarikan nilai luhur budaya, ini tentu tidaklah mudah. Tetapi bukan berarti tidak bisa. Tentunya salah satu PR saya termasuk membuat TGP dikenal masyarakat umum juga. Bahwa TGP adalah salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia. Semoga amanah ini bisa saya laksanakan dengan baik dan selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Amin.

di depan gerbang Tugu Proklamasi



Generasi Pendahulu dan Generasi Penerus Ketiga










Blitar, 21 Agustus 2016
Anindhita Rustiyan K