Showing posts with label Cuap2. Show all posts
Showing posts with label Cuap2. Show all posts

Thursday, 2 September 2021

Pregnancy Diaries : Morning Sickness & Ngidam, Benarkah Suatu Keharusan?

Banyak orang di sekitarku yang bercerita ketika ia atau istrinya hamil, mengalami morning sickness yang cukup parah. Ada yang tidak kuat dengan aroma nasi matang, tidak mau mencium aroma suaminya, muntah-muntah berlebihan, dan lain-lain. Cerita-cerita itu agak membuatku khawatir juga, seperti apa morning sickness yang akan kuhadapi nantinya. Mengingat di usia kandungan lima minggu ini aku belum merasakan apa-apa, hanya menunggu flek ini berhenti dengan sendirinya.


Aku teringat dokter kandungan pertama yang kukunjungi, dalam kalimatnya ia seolah berkata karena aku belum mual, itu adalah tanda janin lambat berkembang. Aku jadi merasa mual adalah suatu keharusan dalam menjalani trimester pertama kehamilan.

Ini yang membuatku mengobrol dengan si bayi, aku tak apa-apa mual asal ia tumbuh berkembang. Aku siap dengan mual, sehebat apapun itu, asal itu memang tanda ia berkembang.

Tapi dr. Adyuta tidak mengisyaratkan bahwa mual adalah keharusan. Ia hanya bertanya apakah aku mual, dan tidak berkata apa-apa lagi ketika kujawab tidak.

Setelah kunjungan ke dr. Adyuta yang kedua karena aku meminta tambahan surat ijin istirahat, dr. Adyuta hanya menambahkan obat penguat kandungan yang dosisnya dikurangi dan tambahan vitamin zat besi. Dua hari berikutnya flekku berhenti. Sebagai gantinya aku mulai merasa mual.

Penciumanku menjadi lebih tajam dari biasanya. Aku benci aroma parfum yang biasa kukenakan, membuatku pusing seharian. Aku tidak suka aroma suamiku, yang biasa kuendus setiap pagi dan malam sebelum tidur. Aku langsung mual ketika membuang sampah, yang biasanya kulakukan dengan tenang mau sebusuk apapun baunya.

Tapi aku bersyukur mualku tidak sampai mual muntah heboh. Lebih banyak hanya merasa eneg. Kalaupun sampai muntah, hanya sekali dua kali dan tidak keluar apa-apa.

Hanya saja enegnya memang tidak segera hilang. Dan ia baru hilang kalau aku mengkonsumsi yoghurt paling asam atau makan bakso dengan kuah panas mengepul.

Jadilah hampir dua minggu lebih aku lebih banyak mengkonsumsi yoghurt, bakso panas, dan buah-buahan banyak air seperti semangka dan mangga.

Aku, yang bisa dibilang tidak pernah makan buah kalau tidak sedang kepingin sekali, sekarang setiap hari selalu ada buah di kulkas untuk kumakan. Aku bisa menghabiskan satu buah mangga, dua buah pear, dua buah apel, dan seperempat semangka potong untukku sendiri dalam sehari. Sepertinya bayiku memang lebih suka makanan sehat daripada makanan cepat saji.

Aku yang biasanya suka beli gorengan dan makanan cepat saji lainnya, hampir tidak pernah ada keinginan untuk menikmati itu lagi sekarang.

Satu hal lagi yang berubah. Aku sama sekali tidak menyentuh kopi sejak aku mulai hamil. Aku yang setiap pagi baru bangun tidur selalu menyeduh kopi, sekarang tidak pernah sama sekali. Pernah aku karena kangen dan kepingin mencicip sedikit, baru setengah gelas, aku ngeflek lagi. Kenyataan ini membuatku harus menghentikan konsumsi kopi selama aku hamil. Dan aku rela melakukannya. Toh aku tidak lagi merasakan urgensi untuk meminum kopi seperti yang biasa kulakukan selama ini.

 

Blitar, 26 Juni 2021

Thursday, 26 August 2021

Pregnancy Diaries : Dokter Ketiga, Opsi Kedua dan Kelegaan Tiada Tara

Tidurku tak nyenyak. Pagi aku terbangun dengan perasaan hampa. Aku menulis ijin lewat chat ke beberapa orang kantor yang berwenang. Termasuk aku memberi tahu teman seruanganku. Tak kusangka ia langsung meneleponku.


"Hei, kamu kenapa?? Habis jatuh apa gimana??" serangnya begitu teleponnya kuangkat. Aku menceritakan kronologi semalam dengan suara berat dan serak karena menangis semalaman.

"Dengar, kusarankan, sebaiknya kamu ganti dokter. Cari dokter yang reputasinya bagus. Beneran. Coba opsi lain. Siapa tahu diagnosenya berbeda. Kalaupun ternyata sama, setidaknya dia dokter bagus yang akan menjamin kesehatanmu seterusnya," katanya.

Kata-kata temanku semakin menguatkan keinginanku yang memang sejak tadi sudah terbersit di pikiranku. Aku ingin mencoba ke dokter kandungan lain lagi, sekalian yang perempuan seperti yang aku inginkan sejak awal. Setidaknya, jika diagnosenya pun sama, yang melakukan tindakan adalah dokter perempuan. Sehingga aku merasa agak lebih nyaman.

Akhirnya agenda kami yang tadinya meminta rujukan BPJS, beralih ke dokter kandungan di rumah sakit yang lain. Suamiku terus menerus menenangkanku. Mungkin karena ia melihat ekspresiku yang begitu tegang. Untungnya teknis pendaftaran di rumah sakit yang ini cukup menyenangkan. Tidak bertele-tele. Begitu namaku dipanggil, aku masuk ruangan dan disambut dengan sapaan yang menyenangkan.

"Pagi ibu, ada keluhan nggak nih?" kata dokternya.

Akhirnya aku menceritakan riwayat kehamilanku mulai dari awal tes sampai diagnose dokter kedua. Kutunjukkan pula foto USG dari dua dokter sebelumnya. dr. Adyuta, nama dokter yang kukunjungi ini, memeriksanya dan mengangguk kemudian memintaku untuk rebah di tempat periksa dan melakukan pemeriksaan dengan USG transvaginal. Ia terdiam sesaat, mengangguk lagi. Lalu mulai berkata.

"Baik, kita lihat bareng-bareng ya. Ini bayinya, ini jantungnya, berdenyut. Kalo kayak gini saya nggak berani kuret. Kalaupun misal, nih, misal, ternyata gak tertolong, gak akan langsung saya kuret juga. Saya kasih obat, kita kasih waktu buat keluar dengan sendirinya. Tapi ini ada kok, ukuran janin sama usia kandungannya sesuai. Bismillah yuk, diusahain bareng-bareng yaa,"

Aku hampir tidak percaya dengan yang kudengar. Bayiku ada! Dia tidak apa-apa! Akhirnya dokter memintaku untuk meneruskan obat penguat kandungan yang sudah kutebus dari resep dokter yang pertama, dan ia memberiku vitamin untuk kehamilan serta menuliskan surat ijin istirahat untuk kepentingan administrasi kantorku.

Aku keluar ruang periksa nyaris melompat.

"Gimana?" tanya suamiku. Kalau aku tidak ingat bahwa kami masih di rumah sakit, aku mungkin akan memeluk suamiku dengan erat.

"The baby is here....," jawabku.

"Bayinya ada??"

"Iya, dan dia baik-baik aja. Dia nggak apa-apa," jawabku lagi.

Suamiku menahan diri untuk tidak melompat kegirangan, aku bisa melihatnya dari raut wajahnya. Sambil berjalan ke apotik, ia mulai mengomel kredibilitas dokter kedua yang kemarin mendiagnoseku untuk menyerah dengan janinku. Ia langsung menelepon orang tuanya. Ternyata mereka pun tidak tidur semalaman setelah semalam ditelepon oleh suamiku perkara dokter yang mendiagnoseku untuk kuret. Kami kemudian segera pulang untuk istirahat. Dan memberikan hadiah bagi diri kami dengan memesan makanan enak!

 

Blitar, 23 Juni 2021

 


 

 

Tuesday, 24 August 2021

Pregnancy Diaries : Dokter Kedua, Dalam Kepanikan

Esoknya aku berkegiatan seperti biasa. Aku ke kantor bahkan menyiapkan kegiatan sosialisasi di sebuah sekolah dan menyetir cukup jauh. Mencoba untuk mengalihkan pikiranku dari diagnose dokter yang mengkhawatirkanku. Seharian itu aku memang merasa nyeri yang agak aneh di perutku. Aku mengelus perutku dan mengajak ngobrol janinku, berdoa agar ia tumbuh sehat dan kuat.

Malamnya selesai mandi, aku sedang menunggu suamiku bersiap untuk kami makan malam di luar. Namun tiba-tiba saat aku beranjak dari dudukku, aku merasa ada darah keluar di bawah sana. Banyak. Aku panik, jelas. Bahkan aku sampai pakai pembalut. Kepalaku saat itu sudah tak bisa berpikir positif. Yang ada dalam benakku hanyalah kemungkinan terburuk. Aku dan suamiku bergegas ke Rumah Sakit terdekat, dengan dokter kandungan yang berbeda. Harapan kami diagnosenya berbeda, dan baik-baik saja.

Aku mendapat urutan terakhir. Kami menunggu lama sekali. Sampai kami sempat untuk makan malam di area luar Rumah Sakit. Pukul sebelas malam akhirnya namaku dipanggil. Begitu kami masuk ruang periksa, dokter tak melihatku sama sekali. Asyik masyuk dengan ponselnya. Dan bertanya, "Ada keluhan apa?" sambil terus menatap ponselnya. Kuceritakan yang kualami. Dan kemudian ia mendeteksi rahimku dengan USG.

Ia melihat ke layar, lalu berkata, "Sudah kisut ini. Kalau saya sih nggak saya teruskan."

Aku terdiam. "Lalu baiknya bagaimana, Dok?"

"Kuret. Secepatnya," katanya cuek. Aku mencelos.

"Mau umum apa BPJS?" tanyanya lagi.

"Umum berapa, Dok?"

"Lima juta," sahutnya cepat.

"Eh...BPJS saja, dok....," sahutku lirih. Dokter itu menanyakan Faskes Tingkat I-ku dan menuliskan rujukan. Kemudian asistennya menyarankanku untuk mendaftar sekalian malam ini untuk kunjungan besok. Kejutan, aku sudah berada di nomor urut dua belas untuk besok!

Begitu masuk mobil aku hanya bisa menangis. Terus menangis. Kuajak ngobrol lagi si janin, "Ayo nak....kuat nak....sama Mama ya...," Sampai rumah pun aku masih terus menangis. Sedihnya begitu menusuk. Pilu sekali. Suamiku terus menenangkanku. Ia berusaha ikhlas jika memang begitu adanya.

"Rasanya gimana?" tanyanya pelan.

"Tadi siang terasa, lho....," jawabku sambil terus menangis.

"Tadi....tadi terasa ada lembuuut sekali. Sekarang....sekarang....sekarang kenapa gak terasa....," lanjutku. Tangisku lebih keras.

"Iya..iya, tadi terasa ya? Tadi pagi kamu mau berangkat aku peluk, aku juga bilang aku ngerasa juga kan ya," kata suamiku. Tiba-tiba, ketegarannya runtuh.

"Tuhan....," katanya. Suaranya mulai bergetar.

"Aku tahu aku mungkin bukan hamba favorit-Mu. Aku tahu aku sering abai dalam kewajibanku beribadah kepada-Mu. Tapi aku mohon, Tuhan. Jangan buat istriku bersedih dan terluka hatinya. Aku tidak sanggup melihatnya terluka. Tolong, Tuhan, lindungilah dia. Lindungilah anak kami," lanjutnya sambil menangis.

Malam itu kami berdoa bersama, lebih kuat dari biasanya, dan tidur sembari bergandengan tangan.

 

Blitar, 22 Juni 2021


 

Friday, 20 August 2021

Pregnancy Diaries : Memilih Dokter


Aku bersyukur hidup di era di mana kita sudah memiliki banyak pilihan. Termasuk memilih dokter kandungan. Aku merasa bahwa aku harus memilih dokter kandungan yang membuatku nyaman, bukan serta merta karena dia terkenal dan pasiennya banyak. Reputasi itu penting, karena juga bisa menjadi tolok ukur kepiawaiannya sebagai dokter kandungan. Tapi aku merasa aku nyaman kalau dokter kandunganku adalah perempuan. Tolong jangan berpikir aku feminis. Tapi memang murni aku merasa nyaman jika dokternya perempuan. Ayolah, selama sembilan bulan ke depan dia tentu akan melihat kelaminku kan? Dokternya mungkin nggak ada masalah, aku sebagai pasien kalau kurang nyaman ya bagaimana.


Aku mencari info tentang dokter kandungan perempuan di kotaku. Aku kagum juga sudah mulai cukup banyak dokter kandungan perempuan di sini, setelah sebelumnya lebih banyak laki-laki. Jaman ibuku dulu malah cuma dua dokter kandungan di sini dan semua laki-laki.

Hari di mana aku melakukan tes kehamilan mandiri waktu itu Sabtu, tanggal 19 Juni, yang mana tidak ada jadwal dokter kandungan perempuan. Ya sudah aku menunggu hari Senin tentunya. Tapi hari Minggu ternyata keluar flek, dan aku agak khawatir dengan itu. Sedangkan Senin pagi aku masih ke kantor, jadi Senin sore aku coba ke dokter kandungan terdekat dari rumahku, siapa saja deh yang penting aku bisa segera tahu kondisiku. Aku sengaja tidak ijin kantor untuk periksa kehamilan, sejujurnya aku belum ingin memberi kabar ini ke lebih banyak orang sampai kira-kira tiga bulan. Itu sebabnya agak susah bagiku menemukan dokter kandungan perempuan yang buka praktek sore hari.

Akhirnya aku diperiksa dengan USG. Dokter yang ini vibes-nya cukup bagus. Menyapa dengan riang dan bertanya apa keluhanku. Kuceritakan aku mengalami flek dan baru dua hari lalu aku tes kehamilan mandiri. Dari USG pada saat itu usia kandunganku terdeteksi lima minggu. Dokter pertama ini (di sini aku sebut dokter pertama, karena sampai nanti aku cerita, aku sudah ganti dokter sampai ketiga kalinya) berkata bahwa ada dua kemungkinan : janin belum berkembang atau tidak berkembang. Tentunya ia berharap janin belum berkembang, sehingga dua minggu lagi sudah bisa terdeteksi detak jantungnya. Dokter memberiku obat penguat kandungan. Dan aku pulang dengan perasaan campur aduk tak keruan. Aku tak bisa menahan tangisku saat itu. Suamiku mencoba menguatkanku. Aku tahu ia sendiri juga ada ketakutan, tapi mungkin karena melihatku menangis, ia berusaha tegar. Ia berkata, jika memang rejeki kami, tentu bayi ini akan terus bersama kami. Tapi jika belum rejeki, maka kami harus ikhlas. Tentu aku ingin mendengar bahwa kehamilanku baik-baik saja. Tapi catatan dari dokter tadi membuatku takut juga. Apalagi dokter sempat menyebutkan kuret pula. Aku sudah membayangkan berbagai macam hal. Malam itu aku langsung membeli obatnya, yang tidak sembarang apotek punya, dan meminumnya sebelum tidur.

Blitar, 21 Juni 2021

 


 

Friday, 6 August 2021

Pregnancy Diaries : I'm Pregnant???

Kalau aku ditanya, apakah aku sangat menginginkan hamil? Aku rasa aku akan agak bingung menjawabnya. Bukan karena aku tidak menginginkannya. Aku jelas menginginkannya. Tapi ada sisi diriku yang mempertanyakan kesiapan diriku sendiri untuk memiliki anak. Bukan sekedar hamil, melahirkan, memberinya makan. Tetapi menghidupinya pula. Bertanggung jawab tidak hanya pada fisiknya saja tetapi juga pada mentalnya, pendidikannya, dan segala aspek kebutuhan hidupnya sampai ia mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Dibutuhkan waktu, finansial, dan mental yang siap untuk itu semua. Menjaganya untuk tumbuh dan berkembang dengan sehat secara fisik dan mental. Menjaga diriku sendiri untuk menjadi orang tua yang ia butuhkan. Bukan yang aku kira ia butuhkan.


Yang menjadi konsentrasiku adalah kesehatan mentalku sendiri. Aku sedang berada pada fase menyembuhkan luka diri, berdamai dengan trauma masa kecil dan berteman dengan anak kecil dalam diriku sendiri (inner child). Dan aku tidak bilang aku sudah sembuh total. Aku pernah menjalani proses konseling, tapi terpaksa berhenti karena pandemi. Aku tentunya tidak ingin anakku nanti menjalani hidup penuh tekanan untuk menjadi sempurna seperti yang aku alami. Tapi aku sendiri juga tidak bisa serta merta mengesampingkan gambaran ideal anak yang sukses menurut versiku berdasarkan apa yang ditanamkan dalam pemahamanku selama ini.

Aku menikah pada akhir Januari, aku dan suami tidak ingin menunda punya bayi juga. Ia berharap aku segera hamil, malah. Katanya karena usiaku sudah masuk kepala tiga, ia mengkhawatirkan kemampuan fisik dan kondisi kesehatanku apabila aku belum kunjung hamil. Suamiku sendiri usianya jauh lebih muda dariku. Tapi dia juga tidak menekan, dan kami sempat sepakat memberi diri kami waktu setahun untuk mencoba sambil perlahan menyesuaikan diri satu sama lain. Kalau setelah setahun aku belum kunjung hamil, bisa lah kami membuat jadwal kunjungan untuk program hamil.

Sampai kemudian, pada bulan Juni aku merasa ada perubahan di tubuhku. Suatu siang di hari Jumat, aku baru menghabiskan makan siangku dan tiba-tiba merasa perutku sesak. Sampai aku harus membetulkan postur tubuhku untuk membuatku agak nyaman. Ini agak di luar kebiasaan. Lalu aku teringat, itu sudah tanggal delapan belas. Sedangkan bulan lalu aku mulai menstruasi tanggal tiga belas. Mundurnya lumayan juga. Pulang kantor diam-diam aku membeli alat tes kehamilan dan melakukan tes pada urineku di pagi hari berikutnya. Dan aku bisa bilang aku sudah memprediksinya. Garisnya dua.

Aku menunjukkannya ke suamiku. Wajahnya campuran antara senang tapi menahan diri untuk tidak terlalu menggebu. Dan pada saat itu dia baru merasakan beberapa kekhawatiranku tentang kesiapan diri dalam menjadi orang tua. Tapi ia tetap begitu senang sampai langsung menelepon orang tuanya memberitahukan kabar itu. Aku sendiri malah tidak segera mengumumkannya ke orang tuaku. Aku ingin memastikannya dulu ke dokter kandungan, baru mengumumkannya.

Tapi ternyata aku sendiri tidak bisa menahan diriku untuk tidak mengabarkannya. Hanya saja aku selektif. Bukan orangtuaku yang pertama kuberi tahu. Tapi Om-ku, yang sudah seperti ayahku sendiri. Beliau nampak senang, tapi juga menahan diri untuk tidak menangis terharu. Dasar laki-laki. 

 

Blitar, 19  Juni 2021

Aku melihat garis dua.




Saturday, 3 September 2016

Kita Butuh Lebih Banyak Senyum Buat Dunia



"Seberapa sering kamu menyadari bahwa kamu, kita, cuma sebagian kecil dari alam semesta?"

Kalimat ini tiba-tiba muncul ketika saya baru jalan-jalan sama teman-teman kantor (can I call them 'squad'?) minggu kemarin. Ceritanya sih sumpek abis dua kegiatan gede yang jadwalnya berurutan dalam sebulan (keliatannya dua kegiatan gede, tapi dibagi jadi ENAM kegiatan. Seriously, we're so tired). Tapi karena kita masih banyak kegiatan lagi sampai bulan November, mau ngerencanain liburan bareng yang agak jauhan kok kayaknya masih impossible. Jadilah, pas kita lagi nyicil kerjaan administrasi, kita sempetin buat jalan-jalan juga. Dan asli, ini kebetulan. Nggak direncanain gitu.

Yang pertama kita ke Perkebunan Kopi di Desa Karanganyar, Kec. Nglegok. Ini ceritanya sambil perpisahan ama anak magang di ruangan kita. Sampe dibikin acara farewell karena anaknya juga klik banget ama kita, baik urusan kerjaan maupun guyonan. Bukan kali pertama sih saya ke Perkebunan Kopi ini. Cuma kebetulan di situ ada cafe baru yang katanya instagramable. Nyampe lokasi, udah sore plus hujan. Pas lah ya. Sore, hujan, kopi, sendu (eh). Nothing special pada saat itu. Maksudnya, belum kepikiran apa-apa. Karena lagi seneng nemu cafe bagus. Baik dari segi lokasi, dekorasi, maupun kopinya sendiri. Dan kita ngobrol terus sampai pulang. Lokasinya yang jauh dari hingar bingar perkotaan, nggak ada akses internet, bikin kita bener-bener ngobrol banyak sampai dalem. Kita bener-bener menikmati rasa kopi yang kita pesan. Nggak sekedar meneguk air kopi sambil main ponsel, trus kemudian ketika ditanya gimana rasanya kita cuma cengo nggak bisa jawab karena pas nyeruput pas lagi scrolling Instagram.







Dua hari kemudian kita niat mau ke salah satu sekolah di Kec. Wlingi untuk melengkapi administrasi kegiatan. Terus tiba-tiba kepikiran, kenapa nggak sekalian ke Sirah Kencong ya? Sirah Kencong ini perkebunan teh. Akhirnya kita memutuskan ke sana beneran. Jalan akses ke sana udah lumayan bagus. Artinya naik mobil biasa pun udah oke. Tadinya masih jelek banget, harus naik sepeda motor, atau mobil model jeep.

Kita melewati perkebunan sengon dan kopi. Banyak banget pohon kopi dengan buah kopi yang udah merah-merah dan besar-besar. Sampai di lokasi Perkebunan Teh Sirah Kencong, kita turun dari mobil. Biasa, foto-foto di antara pohon-pohon teh.

Perkebunan teh Sirah Kencong ini termasuk milik PTPN XII, yang salah satu produk andalannya adalah kopi dan teh Rolas (produk bisa dibeli di warung yang jualan di situ). Ada satu villa yang disewakan untuk umum di situ. Cuma satu unit karena awalnya itu adalah rumah dinas manajer perkebunan. Karena kantor perkebunan dipusatkan di Bantaran, akhirnya rumah dinas tersebut disewakan menjadi villa. Di sini suasananya belum terlalu ramai, memang. Belum benar-benar dijadikan tempat wisata seperti kebun teh Wonosari di Malang. Tetapi tetap menyenangkan bisa jalan-jalan ke sana.
Kami mampir ke salah satu warung yang masih buka. Makan mie rebus panas-panas dengan kopi dan teh panas. Nggak ada yang main ponsel, karena nggak ada sinyal internet sama sekali. Sambil makan, saya melihat ada beberapa anak kecil yang dari tadi lewat. Ketika pandangan kami bertemu, mereka malu-malu menunduk sambil bilang, "Nuwun sewu (permisi),". Mereka kemudian berlarian sambil tertawa. Lepas. Di kejauhan nampak kelompok anak kecil lain yang lagi main. Ada yang masih berseragam, jalan kaki bareng-bareng menuju rumah masing-masing. Mereka nggak ada yang kenal gadget. Nggak ada yang terkoneksi internet setiap detik. Yang mereka obrolkan bukan gosip terkini yang mereka akses lewat internet, yang mereka mainkan bukan game dalam tab.

Begitu pun orang-orang dewasa di situ yang mayoritas adalah pekerja perkebunan. Entah itu pemetik, entah itu pegawai pabrik. Setiap orang lewat selalu mereka sapa, plus senyuman. Kadang ditanya kami berasal dari mana. Semuanya ramah, semuanya menyapa.

Di sini kemudian tiba-tiba di otak saya muncul pertanyaan. Seberapa sering kamu menyadari bahwa kita ini cuma sebagian kecil dari alam semesta?  Akses menuju ke lokasi dari kantor ataupun rumah yang tidak bisa dibilang dekat. Ketika melihat hamparan kebun teh dan kopi yang luas. Dan kita berada di tengah pohon-pohon teh yang begitu banyak. Kecil. Kecil banget. Ini baru di satu lokasi kebun teh. Bagaimana kita di dunia? Lebih kecil lagi kan?

Tapi sekarang, saya sering menemukan orang-orang yang merasa "besar". Omongannya besar, ke mana-mana. Tapi orangnya masih di situ-situ juga. Ingin dihargai, tapi tidak menghargai orang lain. Merasa penting, tapi tidak mementingkan orang lain. Mendahulukan dirinya, tapi tidak medahulukan yang lain. Kadang-kadang saya merasa, kenapa saya semakin banyak menemukan orang yang tidak ramah? Makin banyak orang yang saling curiga. Membentengi dirinya kuat-kuat dan sangat tinggi dari orang lain. Pura-pura tidak dengar ketika disapa, dan lebih mudah berkata kasar ketika tidak sengaja disenggol orang. Lebih banyak yang tempramen, banyak yang menjadi tidak peduli sekitar. Bukan berarti kita jadi orang kepo sih. Yang pengen tahu banget urusan pribadi orang lain. Tapi lebih kepada kepedulian kita dalam bermasyarakat. Kita lebih suka menunduk memandang gadget, daripada berinteraksi dengan orang-orang di sekitar kita. Giliran kita mau ngobrol, ditinggal chattingan, mencak-mencak. Anak-anak jadi lebih suka main game dengan tablet di dalam kamar, di saat teman-temannya yang lain kejar-kejaran main layangan di lapangan.

Jujur saya sendiri sudah mengarah ke sana. Lebih suka mantengin social media daripada memperhatikan suasana cafe, misalnya. Saya sendiri sadar mulai ngerasa lebih tempramen. Dan saya sendiri juga mulai menyadari perubahan yang sama pada orang-orang di sekitar saya, yang saya temui di luar sana. Saya bukannya mau menyalahkan gadget sih. Manfaatnya tetap ada kok untuk segi informasi dan komunikasi. Tapi jadi banyak yang berubah perilakunya gara-gara kecanduan main ponsel dan tabletnya.

Saya pengen lebih "hidup". Ngobrol sama banyak orang, menyapa orang lain, melihat lebih banyak senyum, mendengar lebih banyak sapa. Seperti kehidupan warga Sirah Kencong. Melihat anak-anak kecil main bergerombol di luar, mendengar orang-orang dewasa saling tegur sapa, mengobrol tentang banyak hal, lebih banyak kontemplasi, sharing pengalaman dan inspirasi. Mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan. Saya rasa, kita semua butuh hal demikian. Butuh lebih banyak senyum dan tegur sapa. Daripada wajah bersungut-sungut dan caci makian.

Kita ini cuma sebagian kecil dari alam semesta. Tak perlu kita menyombongkan diri hanya agar terlihat besar bagi orang lain. Bangga boleh, tapi jangan sombong. Kita butuh lebih banyak senyum dan tegur sapa ke orang lain. Mungkin kita takut kalau kita terlalu ramah dengan orang yang belum kita kenal, akan disalahartikan dan dimanfaatkan. Orang lain belum tentu orang asing. Sapa lah orang-orang di sekitar kita. Kapan terakhir kali kamu menyapa tetanggamu? Kapan terakhir kali kamu curhat ke saudaramu? Kapan terakhir kali kamu berkunjung ke sepupumu? Kapan terakhir kali kamu memberanikan diri berkenalan dengan orang lain di luar 'irisan'mu? Percayalah, semakin banyak kamu berbuat baik kepada semesta, meskipun hanya sekedar senyuman, semakin banyak pula kebahagiaan yang akan kamu dapatkan.


Blitar, 3 September 2016
AnindRustiyan

Biji kopi pilihan, ciptakan kopi enak ^o^
sebelum sampai di Kebun Teh Sirah Kencong, kita melewati Kebun Kopi Pidjiombo



Permukiman warga perkebunan Sirah Kencong



Sunday, 21 August 2016

Upacara Peringatan Kemerdekaan RI di Tugu Proklamasi



Tiga tahun lalu, ketika itu saya masih baru saja lulus kuliah, peringatan kemerdekaan RI saya rayakan sendiri saja di rumah. Kala itu, saya mau ikut upacara di mana? Terakhir kalinya upacara kemerdekaan RI saya ikuti ketika SMA. Masa-masa kuliah tak pernah saya rayakan HUT Kemerdekaan RI di kampus. Karena bertepatan dengan libur penerimaan mahasiswa baru, upacara peringatan kemerdekaan RI tak pernah menjadi tradisi di kampus. Cukup aneh kah jika saya bilang saya rindu ikut upacara? Akhirnya kerinduan itu hanya bisa saya obati dengan menyaksikan Upacara Peringatan Kemerdekaan RI dari televisi.

Itu saya lakukan empat tahun selama saya kuliah, tentunya. Ditambah tahun berikutnya, tahun 2013, masa-masa di mana saya masih mencari jodoh saya dalam hal pekerjaan. Tapi pada tahun 2013 itu, ketika saya menyaksikan Upacara Peringatan Kemerdekaan RI dari Tugu Proklamasi yang ditayangkan televisi, saya terhenyak. Sekilas saja, tak ada siaran ulang pula, hampir saya kira saya salah melihat. Tapi saya yakin, meskipun hampir tak percaya, pada saat itu saya melihat Panji TGP dikibarkan.

Jujur saat itu mata saya basah. Meskipun itu bukan kali pertama saya menangis ketika menyaksikan upacara 17 Agustus, di mana pun. Tapi saat itu saya terharu, karena Panji TGP berkibar. Sepengetahuan saya pada saat itu, TGP kalah terkenal dengan pasukan tentara lain. Pengalaman saya, banyak orang yang masih familier dengan TRIP dan TP. Tapi ketika mendengar istilah TGP, masih sering saya mendapat pertanyaan balik, "TGP itu apa?" Hanya orang-orang tertentu saja yang mengenal TGP ternyata. Maka ketika saya melihat Panji TGP berkibar di Upacara Peringatan Kemerdekaan RI tahun 2013 itu, saya terharu. Saya merasa saat itu, akhirnya ada yang tahu TGP. Akhirnya TGP bangkit lagi.

Kemudian sejak saat itu, perkembangan untuk membangkitkan TGP kembali seperti gayung bersambut. Putra putri Ex TGP Brigade 17 dari berbagai kota saling menjalin komunikasi kembali dan bersama-sama ingin mengaktifkan kembali TGP yang sempat vakum. Salah satu dari sekian banyak kegiatan yang saya ikuti termasuk ini : Napak Tilas & Pelantikan Pengurus TGP Cabang Blitar & Malang.

Upacara Peringatan Kemerdekaan RI tahun 2015 dengan berat hati tidak bisa saya ikuti karena dari kantor pusat saya pun memberi kewajiban bagi para pegawai untuk mengikuti upacara di satuan kerja masing-masing. Pada saat itu yang mewakili dari Blitar termasuk Mama dan Tante saya.

Tahun ini, Upacara Peringatan Kemerdekaan RI di Tugu Proklamasi akhirnya bisa saya ikuti. Meskipun saya tidak mengikuti semua rangkaian kegiatan, tetapi pengalaman mengikuti upacara langsung di Tugu Proklamasi, tak pelak menjadi kesan tersendiri.

Tanggal 14 Agustus rombongan mengadakan ziarah ke Taman Makam Bung Hatta dan TPU Tanah Kusir. Tanggal 15 Agustus saya berangkat dari Blitar dan tiba tanggal 16 Agustus. Bertemu dengan om dan tante generasi penerus lain, yang sebagian sudah pernah saya temui pula dari kegiatan sebelumnya. Senang! They're so humble. Dan welcome sekali dengan saya meskipun saya sangat jarang ikut acara TGP. Ini juga salah satu kelebihan TGP yang saya suka dan saya rindukan. Keramahan serta eratnya persaudaraan tidak hanya pada anggota Generasi Pendahulu, tetapi juga menular ke Generasi Penerus.

Rombongan kemudian memulai Napak Tilas dari Gedung Joang. Bapak Djarot Saiful Hidayat, mantan Walikota Blitar yang sekarang menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI, yang hadir didampingi Ibu Happy Djarot Saiful Hidayat, memberikan sambutan dan membuka acara Napak Tilas. Kemudian dilanjutkan ke Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Di sini melihat secara langsung bagaimana proses perumusan naskah Proklamasi itu dibuat, dengan suasana bangunan dan interior yang ditata sesuai aslinya kala itu. Rute Napak Tilas kemudian berakhir di Tugu Proklamasi. Tamu pada saat selesai Napak Tilas ternyata adalah Ibu Meutia Hatta dan Ibu Halida Hatta. Di antara sekian banyak orang yang ingin berfoto bersama beliau, Alhamdulillah saya juga dapat kesempatan. Selfie, malah. Bu Meutia memberikan sambutan pula di Tugu Proklamasi. Acara kemudian dilanjutkan dengan nonton bareng film sejarah Kemerdekaan RI bagi para peserta Napak Tilas yang mayoritas adalah pelajar.

Malamnya, berkumpul lagi di Tugu Proklamasi untuk mengikuti acara Pemasangan Pin bagi PASKIBRA, baca puisi dan renungan, kemudian makan tumpeng bersama. Ketika saya sampai di Tugu Proklamasi, Bapak Djarot Saiful Hidayat tengah membacakan puisi. Sesudahnya seperti biasa berfoto bersama. Tapi tidak bisa benar-benar jenak, karena beliau segera ke acara berikutnya yang sudah diagendakan.







Bapak Djarot Saiful Hidayat beserta Ibu Happy Djarot Saiful Hidayat tiba di Gedung Joang
Bapak Djarot Saiful Hidayat memberikan sambutan






Tugu Proklamasi
Kami PKB-PPK!!

Rombongan Napak Tilas tiba di Tugu Proklamasi


Tante Susie mendampingi Bu Meutia Hatta
Bersama Bu Meutia

Penyematan Pin kepada PASKIBRA oleh Bapak Djarot Saiful Hidayat


Pembacaan puisi oleh Bapak Djarot Saiful Hidayat

Potong Tumpeng
Esoknya, tanggal 17 Agustus adalah Upacara Peringatan Kemerdekaan RI. Tamu undangan sebagian besar sudah hadir. Disusul dengan peserta upacara yang lain. Tepat pukul tujuh pagi, barisan peserta upacara dibimbing dan ditata. Masing-masing barisan diharuskan mempunyai komandan pleton. Barisan PKB-PPK tadinya dikomandani oleh Om Agus Suseta. Mungkin karena sudah lama sekali tidak jadi komandan, nampaknya Om Agus agak ndhredheg juga. Jadilah saya mencoba menawarkan diri menggantikan, eeh, ternyata langsung di-acc sama Om Agus. Hehe, maaf ya Om.

Upacara kemudian dimulai. Hening, khidmat. Pada saat rekaman pidato dan pembacaan teks Proklamasi oleh Bung Karno diputar, saat itu rasanya dalam diri saya ada yang berdesir. Membayangkan pada saat itu, ribuan orang mendengarkan dengan tegang, dengan seksama, dengan hati-hati, setiap kata yang diucapkan oleh Bung Karno, bahwa pada detik itu, Indonesia dinyatakan merdeka. Merdeka dari penjajahan yang telah beratus tahun dialami oleh rakyat Indonesia. Meskipun kenyataannya, perang masih tetap ada setelah Proklamasi dibacakan.

PASKIBRA yang bertugas di Tugu Proklamasi semuanya merupakan cucu pejuang, baik dari TGP, TRIP maupun TP. Pada saat pengibaran bendera, air mata saya mulai merebak. Sampai pada saat mengheningkan cipta, ketika menunduk mendoakan para pejuang, kelebatan wajah para pejuang TGP Blitar yang sempat saya kenal, muncul dalam benak saya. Senyum beliau, tangan keriput beliau yang saya raih dan saya cium tiap kali berjumpa, pelukan beliau, semua yang saya rindukan dari mereka. Tangan yang pernah memegang erat senjata, jantung yang terus berdebar dalam kemungkinan gugur di medan perang, kaki yang melangkah dan berlari tak terhitung jumlah jarak yang ditempuhnya. Di masa tua menjadi tangan keriput yang lembut, hangat memeluk kami para generasi penerus. Sampai pada akhirnya satu per satu beliau semua kembali ke Sang Pencipta. Dengan senyum seorang pejuang yang sudah menyelesaikan misi kemerdekaan.

Sampai saat ini masih ada penyesalan dalam diri saya. Kenapa pada saat Generasi Pendahulu TGP Blitar masih ada, saya tak banyak bertanya tentang sejarah mereka? Sumber paling akurat tentunya dari pelaku sejarah itu sendiri bukan? Apalagi referensi tentang TGP dalam bentuk dokumen masih sangat minim. Bagaimana pun saat itu saya memang masih kecil dan tidak terpikir sama sekali bahwa tongkat estafet itu akan tiba di tangan saya. Sehingga tidak terpikirkan pula untuk mewawancara mereka pada saat mereka semua masih lengkap. Setidaknya saya bersyukur menjadi cucu dari salah satu anggota TGP. Sehingga saya bisa memaknai, bahwa peringatan kemerdekaan RI bukan sekedar mengikuti upacara, yang bisa-bisa membuat saya mengeluh kenapa harus berpanas ria. Namun saya bisa memaknai, tanpa perjuangan mereka, saya belum tentu bisa seperti ini.

Mereka para pendahulu, rendah hati dan berbudi luhur. Tak pernah mereka memaksa untuk terkenal karena sumbangsih tenaga, pikiran dan nyawa mereka untuk negara. Hanya mereka titipkan kemerdekaan ini teruslah kau jaga. Perjuangan generasi penerus tentu bukan lagi dengan bambu runcing dan senapan. Menjaga perdamaian dalam negeri, melestarikan nilai luhur budaya, ini tentu tidaklah mudah. Tetapi bukan berarti tidak bisa. Tentunya salah satu PR saya termasuk membuat TGP dikenal masyarakat umum juga. Bahwa TGP adalah salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia. Semoga amanah ini bisa saya laksanakan dengan baik dan selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Amin.

di depan gerbang Tugu Proklamasi



Generasi Pendahulu dan Generasi Penerus Ketiga










Blitar, 21 Agustus 2016
Anindhita Rustiyan K