Ashana kembali melajukan motornya ke rumah sakit lagi. Seminggu yang lalu ia konseling pertama kali ke Psikolog dan merasa lebih baik. Terkadang ia sungkan, akankah masalah yang diceritakannya ini sebenarnya adalah sesuatu hal kecil yang remeh? Bahwa sebenarnya masalah yang ia pikirkan hingga sulit tidur ini adalah hal yang tidak penting.
Namun melihat respon Bu Kirana kemarin, ia tidak melihat gelagat yang menunjukkan pendapat seseorang yang meremehkan. Ia menangkap respon orang bersimpati, dan hal itu melegakannya. Ia tumbuh dalam kritikan. Setiap pencapaiannya terasa masih kurang saja bagi ibunya. Ibunya ingin ia dulu selalu ranking tiga besar. Nyatanya dia selalu bertahan menjadi ranking sepuluh. Sekalinya naik menjadi rangking tujuh, ia membayangkan ibunya akan bahagia bukan kepalang. Namun kegembiraannya tersebut ternyata dibalas dengan respon yang di luar bayangannya. Ibunya berbaring santai di sofa sambil memejamkan mata, dan bertanya sambil lalu ia ingin hadiah apa, dengan nada bosan dan seolah informasi kenaikan rankingnya adalah sesuatu hal biasa dan memang seharusnya Ashana lakukan.
Ibunya dulu sering berkata, anak seusia Ashana tugasnya hanya belajar. Ia tidak dibebani kewajiban mencari nafkah di usia anak-anak, tidak memiliki kegiatan lain selain belajar. Merupakan suatu kewajiban bagi Ashana untuk meningkatkan prestasi akademiknya. Ashana kecewa. Seolah perjuangannya menaikkan ranking dari sepuluh menjadi tujuh seperti sia-sia. Ia ingin selebrasi. Ia ingin disanjung dengan gegap gempita. Namun yang ia dapatkan ternyata sebuah reaksi datar yang melebihi datarnya kaca. Belakangan Ashana menyadari, di usia yang beranjak dewasa, peristiwa itu menjadi pelajaran baginya untuk tidak terlalu mengharapkan pujian dari orang lain. Ternyata, mengapresiasi diri sendiri juga merupakan hal yang bisa dan boleh dilakukan, bukan berarti kita menjadi sombong atau tinggi hati.
Ashana melangkah mengikuti prosedur pendaftaran. Hari ini tidak seramai minggu lalu. Ia langsung masuk ke ruang poli psikologi dan tersenyum menatap Bu Kirana.
"Halo," sapa Bu Kirana cerah. Ashana meletakkan jaket dan tasnya, bersamaan dengan Bu Kirana menggelar matras yoga berwarna merah jambu nan ceria.
"Hari ini kita belajar teknik relaksasi ya. Saya beri setidaknya tiga gerakan dulu, biar kamu gak lupa. Nanti ini jadi PR kamu untuk dilakukan di rumah," kata Bu Kirana. Ashana kagum. Baru saja dia akan bertanya atau meminta teknik relaksasi, ternyata Bu Kirana sudah siap akan hal itu.
Ashana melepas sepatunya dan melihat gerakan yang dicontohkan Bu Kirana. Selanjutnya giliran dia untuk mencoba. Setelahnya Ashana kembali duduk di sofa dekat pintu dan berhadapan dengan Bu Kirana.
"Bagaimana seminggu kemarin dengan Mama? Ada kejadian menarik atau tidak?" tanya Bu Kirana. Ashana menceritakannya, pun menceritakan tentang suami dan anaknya. Sesekali Bu Kirana menimpali. Sesi konseling ini terasa seperti dua teman sedang bercerita. Hanya saja, bedanya bukan saling menceritakan keluarga masing-masing, seperti yang biasa terjadi antara Ashana dengan teman-temannya. Bu Kirana menimpali cerita Ashana dengan penjelasan. Inilah mungkin yang membuat konseling ke Psikolog terasa berbeda kelegaannya, dibanding bercerita hal yang sama dengan sahabat atau suami sendiri.
Selesai konseling, Ashana kembali ke kantor dan buru-buru mengambil jurnalnya. Ia menulis poin-poin yang bisa ia ambil dari konseling hari ini. Ashana mengamati ada dua poin besar.
- Orang tua usia 65 tahun ke atas, naturalnya akan semakin susah diberi pemahaman. Kita sebagai anak menyikapinya dengan pemakluman, bukan pengabaian, atau menuruti semua keinginannya. Ada kalanya kita akan merasa sangat tidak setuju atau tidak nyaman dengan pendapatnya atau sikap mereka yang sulit diberi masukan. Namun kita harus memaklumi bahwa memang orang tua usia 65 tahun ke atas itu secara natural akan demikian.
- Dampingi pasanganmu dalam hal positif. Terutama jika ia mengalami kesulitan penyesuaian diri di lingkungan baru. Namun, tanggung jawab terbesarmu adalah anakmu. Pemenuhan keinginan (bukan batiniah) suamimu bukan menjadi tanggung jawabmu. Fokuslah ke anakmu karena itu adalah tujuan dan tanggung jawabmu.
Ashana berhenti sejenak. Ia memejam menahan air mata yang akan keluar. Sekarang, setiap kali membahas anak, ia terenyuh. Sebelum menikah dan lahir anak, ia merasa hidupnya seperti tak ada tujuan. Dulu ia merasa seperti tahu tujuan hidup. Lulus SD, memilih SMP tujuan, lanjut SMA tujuan, lanjut kuliah tujuan, lanjut lagi mencari kerja. Itu semua terasa terarah. Setelah semua tercapai, kala itu ia merasa tujuan berikutnya adalah menikah. Namun hingga target usia menikahnya terlewat, ia seperti hilang arah. Setiap pria nampak seperti berlalu lalang di sekitarnya namun tidak ada satu pun yang menoleh dan melihatnya. Seolah ia adalah makhluk tak kasat mata. Bertahun-tahun ia bertanya-tanya apa yang kurang. Apakah kurang cantik? Kurang pintar? Kurang seksi? Kurang manja? Kurang kaya? Atau malah terlalu pintar? Terlalu mandiri? Terlalu tinggi pencapaiannya sehingga membuat para pria minder dan silau mendekatinya?
No comments:
Post a Comment