Ini bukan Jumat seperti biasanya. Jumat yang biasa Ashana jalani adalah sampai kantor pukul tujuh, saat kantor masih sepi belum berpenghuni, menyapa OB, lalu menyantap bekal sarapan di mejanya sampai satu per satu karyawan kantor berdatangan. Lalu memulai pekerjaan pukul delapan, istirahat pukul dua belas, pulang pukul empat. Begitu seterusnya, Jumat dan hari kerja lainnya.
Tapi hari Jumat ini berbeda. Ashana mengajukan cuti untuk dua hari, Kamis dan Jumat. Kamis kemarin dihabiskannya dengan berolahraga di pagi hari, sarapan salad buatan sendiri, membersihkan rumah dan membaca e-book sambil menikmati kopi. Terhitung sudah lima belas hari ia rutin berolahraga dan mengatur asupan makannya. Hal yang sering ia abaikan sejak bertahun-tahun yang lalu. Yang mengejutkan, efek dari rutin olahraga ini membuatnya candu. Selain lemak tubuh nampak berkurang, ia merasa moodnya jadi cukup baik dan terkontrol.
Hari ini, ia awali paginya dengan olahraga lagi. Lalu pukul sembilan, kakinya sudah melangkah di koridor rumah sakit. Tidak, ia tidak cidera. Ia tidak juga sakit fisik. Tapi ia merasa perlu bantuan untuk pikirannya.
Ia agak linglung masuk area rumah sakit. Dari area parkir ia langsung ke loket pendaftaran. Sepanjang menuju loket pendaftaran ia melihat banyak orang mengantri di depan poliklinik. Anak-anak batuk pilek bermain perosotan kecil di depan poli anak, beberapa orang tua duduk di depan poli mata, beberapa orang lain membuat ia bingung menentukan mereka pasien untuk poli apa karena mereka duduk di antara dua poli. Area loket pendaftaran dipenuhi orang-orang mengantre, beberapa dari mereka bahkan sudah duduk di kursi roda atau malah berbaring di stretcher, istilah untuk hospital bed yang mudah untuk mentransfer dan memindahkan pasien dari ruangan yang berbeda.
Ashana menghampiri loket yang kosong, berkata bahwa ia telah melakukan janji dengan psikolog. Ia diarahkan untuk mengambil nomor antrian dulu di lobby, lalu kembali ke loket pendaftaran. Ia mencari lobby, kebingungan di antara koridor yang nampak berputar-putar, alih-alih langsung mengarah dengan jelas. Akhirnya ia menemukannya, petugas resepsionis langsung tanggap. Ashana kembali ke loket pendaftaran dan melakukan pembayaran di kasir lalu berjalan ke poli psikologi. Kaget melewati koridor poli internis yang penuh pasien. Rata-rata usia tua, ada yang kondisinya nampak sehat bugar, ada yang sehat tapi terlihat lelah, ada yang nampak lemah tak berdaya. Ia ingat ayahnya pernah menjadi salah satu dari mereka. Entah apakah ayahnya masih melakukan kontrol atau tidak.
Sampai di depan poli psikologi, ia menengok layar ponselnya. Ada pesan masuk yang menyuruh dia langsung masuk saja karena pintu tidak dikunci. Ia melakukannya.
Ia langsung disambut wanita muda berbatik kuning cerah. Dialah Bu Kirana, psikolognya. Sesuai namanya, ia tampak cantik dan bersinar. Jantung Ashana berdegup. Tapi tidak seperti yang ia bayangkan. Ia membayangan ia akan gugup, menangis, lalu mulai bercerita tanpa henti.
Bu Kirana menyuruhnya duduk di sofa dekat pintu, sedangkan Bu Kirana sendiri duduk di kursi kampus dengan selembar kertas asesmen dan pulpen. Ia mengawali sesi konseling dengan mengajukan beberapa pertanyaan untuk Ashana. Pertanyaan seperti apakah ia sering ketakutan, sering sakit kepala, sering sakit perut, merasa tidak berguna, hilang minat berbagai hal, sampai pertanyaan apakah pernah terbersit keinginannya untuk mengakhiri hidupnya. Ashana sedikit bergidik dengan pertanyaan paling akhir. Jujur, ia takut dengan kematian. Ada tanggung jawab besar yang harus ia penuhi. Dan ia selalu berdoa kepada Tuhan agar dipanjangkan umurnya agar bisa melakukan tanggung jawab itu hingga benar-benar tuntas.
"Nah, gimana, mbak Ashana. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Bu Kirana dengan senyum tipisnya.
Ashana terdiam. Ia sempat membayangkan ia akan menangis dan memuntahkan semua isi pikirannya. Tapi malah ia terpaku dan kebingungan mau mulai dari mana. Semua terasa seperti akumulasi baginya. Bukan satu masalah terbaru saja yang membebani pikirannya. Terlalu banyak.
"Saya bingung, Bu, mau mulai dari mana," sahut Ashana. Bu Kirana tersenyum.
"Mulailah dari masalah yang paling memberatkan mbak Ashana saat ini," katanya.
Ashana akhirnya mulai bercerita. Entah karena efek olahraga atau bagaimana. Kegundahan yang setiap hari ia rasakan, yang membuatnya hari ini kemari, terasa seperti biasa saja. Perasaan gundah itu masih ada, tapi ibarat orang mengetuk pintu meminta keluar, ia mengetuk dengan sopan. Bukan lagi menggedor dengan brutal. Cerita mulai bergulir dari bibirnya dengan tenang. Sesekali ia memandang ke jendela. Pucuk pohon besar di luar bergoyang diterpa angin seperti cheerleader mengayunkan pom-pomnya, memberi semangat bagi para atlet yang sedang bertanding. Bu Kirana memandanganya, sesekali mengangguk, sesekali menulis sesuatu di balik kertas asesmen.
Setelah dirasanya cukup, Ashana berhenti bercerita. Bu Kirana juga mengangguk lagi dengan anggukan lebih dalam dan lebih mantap. Seakan ikut menegaskan bahwa cerita Ashana telah selesai.
"Mbak Ashana, dari hasil asesmen singkat saya, serta dari cerita mbak Ashana, mbak Ashana ini mengalami gangguan kecemasan. Pertama, saya mau bilang ke mbak Ashana, hal ini di usia mbak Ashana, dengan status mbak Ashana yang sudah menikah dan punya anak, adalah hal yang wajar. Apalagi, kita baru saja melewati masa pandemi, tingkat kecemasan masyarakat meningkat cukup signifikan. Sayangnya, meskipun kebanyakan orang sudah mulai aware dengan pentingnya kesehatan mental, mereka masih belum punya keberanian untuk meminta bantuan profesional untuk mengurai dan meredakan kecemasan mereka. Jadi, sebelum saya lanjutkan, saya mau bilang terima kasih dan selamat untuk mbak Ashana yang sudah mau mendengar kebutuhan jiwanya untuk pulih dan tidak menunggu parah terlebih dahulu," ucap Bu Kirana dengan lembut namun tegas.
Ashana tersenyum lega. Apresiasi seperti ini jarang sekali ia dapatkan dari orang terdekat pertamanya, ibu kandungnya. Ashana lebih sering dipuji cantik pada moment tertentu, jarang dipuji pintar kecuali untuk hal yang benar-benar tidak bisa dilakukan oleh ibunya seperti menyetir. Jadi, apresiasi semacam ini seperti oase baginya.
No comments:
Post a Comment