Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Friday, 13 September 2024

The Joy of Parenting-nya Ashana

Rutinitas Ashana setiap pagi selalu sama. Bangun pukul empat, menyeduh kopi dan menyesapnya beberapa kali sebelum kemudian berkutat di dapur. Kadang kala, sering sebenarnya, ia kehabisan ide menu masakan. Hingga tanpa sadar menunya terus itu-itu saja. Apalagi kalau putrinya sedang kurang nafsu makan. Entah karena tumbuh gigi atau sakit batuk pilek pada musimnya. Kepala Ashana semakin pening mencari menu makanan yang menggugah selera dan membuat suami dan putrinya lahap.

Setelah masakan selesai, dibantu suaminya bertugas menanak nasi, ia akan membangunkan putrinya untuk mandi bersama. Sembari putrinya berdandan bersama Papanya, Ashana akan berdandan untuk dirinya sendiri dan menyiapkan kotak bekal untuknya dan putrinya. Begitu semua selesai, ia akan berangkat ke kantor dengan mengantar putrinya lebih dulu ke daycare.

Ia akan menjemput putrinya sesuai jam pulang kantornya. Sama seperti hari lain, hari ini pun demikian. Namun karena usia putrinya sudah hampir tiga tahun, anak itu sudah mulai mengerti berbagai emosi, termasuk kesal pada ibunya karena merasa terlalu lama menunggu. Putrinya memanggilnya dari balik pagar daycare dengan kesal, sudah siap lengkap mengenakan jaket dan tasnya serta telah mengenakan sandal. Ia memeluk Mamanya sambil memberengut. 

"Adek kesal ya, Mama jemputnya lama? Maaf ya, Mama hari ini pulangnya agak telat," kata Ashana sambil mengelus punggung putrinya. 

"Yaudah yuk pulang, Mama bawa bakso buat Adek nih," lanjut Ashana. Putrinya sumringah mendengarnya. "Bakso? Ayooo, " katanya ceria. 

Sesampainya di rumah, putrinya menyantap bakso bersama Papanya sedangkan Ashana mandi dan berganti pakaian. Putrinya lanjut makan pisang dan meminta susu. Ashana geleng-geleng dengan tingkah putrinya. Tapi juga bersyukur setelah beberapa hari nafsu makannya menurun karena batuk pilek. Karena dirasa makan sorenya sudah terlalu banyak, Ashana tidak menawari putrinya makan malam.

Ternyata prediksinya salah. Putrinya melihat Papa dan Mamanya makan malam bihun goreng, ia langsung berseru, "Ma, mau mie,"

"Loh, adek kan udah makan banyak tadi, nanti kekenyangan, sakit perutnya," sahut Ashana.

"Mau miiiee," seru putrinya kekeuh. Ashana mengalah. Ia buatkan mie lagi dengan porsi kecil. Setelah selesai, disodorkannya ke hadapan putrinya yang sedang corat coret di buku gambar di meja lipatnya. Putrinya menoleh ke arah mie yang baru matang, lalu membuang muka. "Nggak!" katanya.

Ashana terkesiap. Kesal dengan tingkah putrinya.

"Adek, jangan gitu. Kan adek tadi udah minta makan mie, sudah dibuatkan Mama, makan ya. Dikit aja gapapa, gak habis gapapa, tapi dimakan," bujuk Ashana.

"Nggaaaaak!" kata putrinya setengah berteriak. Tiba-tiba suaminya mencubit kaki putrinya.

"Makan. Papa nggak suka ya kalau kamu kayak gitu, buang-buang makanan! Mama sudah capek-capek masak kok kamu gak mau makan!" hardik suaminya sambil terus mencubit. Ashana terkejut, ketakutan. Ashana tahu suaminya hanya pura-pura mencubit, namun Ashana tetap ketakutan. Ashana membayangkan kekuatan laki-laki yang menurutnya hanya mencubit tidak sakit namun kenyataannya tetap sakit bagi anak-anak. Ashana juga seperti merasa dicubit, seperti dahulu ketika ia kecil. Bahkan dulu sampai membekas memar di pahanya. Dan ia masih ingat rasanya.

Putrinya menangis, tapi hanya sekejap. Mungkin tangisannya adalah tangisan terkejut dengan reaksi Papanya, dan merasa ternyata tidak sakit dicubit Papanya.

Suaminya terus memarahi putrinya. Lalu putrinya memandang Ashana, "Mama, Papa...," katanya.

"Adek takut Papa marah ya?" tanya Ashana.

"Takut Papa mayah..," kata putrinya.

"Adek nggak suka ya dicubit Papa?" tanya Ashana lagi.

"Tak suka dicubit," jawab putrinya lagi.

"Kalau adek nggak mau Papa marah dan nyubit, adek jangan ulangi lagi ya. Kalau minta makan ya harus dimakan. Kalau udah kenyang, ya jangan minta makan dulu. Ngerti?"

"Ngeti...,"

"Udah, sekarang say sorry dulu sama Papa,"

"Sorry, pa...,"

"Iya, Papa juga sorry ya udah cubit adek," sahut suaminya.

"Ayo, sekarang kita berpelukan bertiga," kata Ashana. Dan mereka pun berpelukan, lalu putrinya mendaratkan kecupan di pipinya dan suaminya.

Tak lama Ashana menidurkan putrinya. Dan tersenyum melihat wajah putrinya. Ia kagum, anak sekecil ini mulai merasakan emosi, dan mau menyampaikan emosi yang dirasakannya. Kebanyakan anak-anak akan takut menyampaikan emosinya meskipun sudah dipandu atau ditanyai oleh orang tuanya. Namun putrinya dengan tenang menyampaikan emosinya. Dan dia bangga akan hal itu.

Ashana kemudian beranjak, mengambil posisi duduk yang rileks dan mulai mempraktekkan teknik relaksasi yang diajarkan Bu Kirana. Ia merasa malam ini tenaganya terkuras dengan emosi negatif, dan ia butuh tidur yang tenang. Ia menyalakan musik yang lembut, melakukan gerakan relaksasi dari Bu Kirana dan gerakan lain yang ia butuhkan. Setelah merasa lebih tenang, ia meminum air putih dan beranjak tidur. Sambil berdoa semoga pikirannya tidak meliar lagi malam ini.

Konseling Kedua Ashana

Ashana kembali melajukan motornya ke rumah sakit lagi. Seminggu yang lalu ia konseling pertama kali ke Psikolog dan merasa lebih baik. Terkadang ia sungkan, akankah masalah yang diceritakannya ini sebenarnya adalah sesuatu hal kecil yang remeh? Bahwa sebenarnya masalah yang ia pikirkan hingga sulit tidur ini adalah hal yang tidak penting.

Namun melihat respon Bu Kirana kemarin, ia tidak melihat gelagat yang menunjukkan pendapat seseorang yang meremehkan. Ia menangkap respon orang bersimpati, dan hal itu melegakannya. Ia tumbuh dalam kritikan. Setiap pencapaiannya terasa masih kurang saja bagi ibunya. Ibunya ingin ia dulu selalu ranking tiga besar. Nyatanya dia selalu bertahan menjadi ranking sepuluh. Sekalinya naik menjadi rangking tujuh, ia membayangkan ibunya akan bahagia bukan kepalang. Namun kegembiraannya tersebut ternyata dibalas dengan respon yang di luar bayangannya. Ibunya berbaring santai di sofa sambil memejamkan mata, dan bertanya sambil lalu ia ingin hadiah apa, dengan nada bosan dan seolah informasi kenaikan rankingnya adalah sesuatu hal biasa dan memang seharusnya Ashana lakukan.

Ibunya dulu sering berkata, anak seusia Ashana tugasnya hanya belajar. Ia tidak dibebani kewajiban mencari nafkah di usia anak-anak, tidak memiliki kegiatan lain selain belajar. Merupakan suatu kewajiban bagi Ashana untuk meningkatkan prestasi akademiknya. Ashana kecewa. Seolah perjuangannya menaikkan ranking dari sepuluh menjadi tujuh seperti sia-sia. Ia ingin selebrasi. Ia ingin disanjung dengan gegap gempita. Namun yang ia dapatkan ternyata sebuah reaksi datar yang melebihi datarnya kaca. Belakangan Ashana menyadari, di usia yang beranjak dewasa, peristiwa itu menjadi pelajaran baginya untuk tidak terlalu mengharapkan pujian dari orang lain. Ternyata, mengapresiasi diri sendiri juga merupakan hal yang bisa dan boleh dilakukan, bukan berarti kita menjadi sombong atau tinggi hati.

Ashana melangkah mengikuti prosedur pendaftaran. Hari ini tidak seramai minggu lalu. Ia langsung masuk ke ruang poli psikologi dan tersenyum menatap Bu Kirana.

"Halo," sapa Bu Kirana cerah. Ashana meletakkan jaket dan tasnya, bersamaan dengan Bu Kirana menggelar matras yoga berwarna merah jambu nan ceria.

"Hari ini kita belajar teknik relaksasi ya. Saya beri setidaknya tiga gerakan dulu, biar kamu gak lupa. Nanti ini jadi PR kamu untuk dilakukan di rumah," kata Bu Kirana. Ashana kagum. Baru saja dia akan bertanya atau meminta teknik relaksasi, ternyata Bu Kirana sudah siap akan hal itu.

Ashana melepas sepatunya dan melihat gerakan yang dicontohkan Bu Kirana. Selanjutnya giliran dia untuk mencoba. Setelahnya Ashana kembali duduk di sofa dekat pintu dan berhadapan dengan Bu Kirana.

"Bagaimana seminggu kemarin dengan Mama? Ada kejadian menarik atau tidak?" tanya Bu Kirana. Ashana menceritakannya, pun menceritakan tentang suami dan anaknya. Sesekali Bu Kirana menimpali. Sesi konseling ini terasa seperti dua teman sedang bercerita. Hanya saja, bedanya bukan saling menceritakan keluarga masing-masing, seperti yang biasa terjadi antara Ashana dengan teman-temannya. Bu Kirana menimpali cerita Ashana dengan penjelasan. Inilah mungkin yang membuat konseling ke Psikolog terasa berbeda kelegaannya, dibanding bercerita hal yang sama dengan sahabat atau suami sendiri.

Selesai konseling, Ashana kembali ke kantor dan buru-buru mengambil jurnalnya. Ia menulis poin-poin yang bisa ia ambil dari konseling hari ini. Ashana mengamati ada dua poin besar.

  • Orang tua usia 65 tahun ke atas, naturalnya akan semakin susah diberi pemahaman. Kita sebagai anak menyikapinya dengan pemakluman, bukan pengabaian, atau menuruti semua keinginannya. Ada kalanya kita akan merasa sangat tidak setuju atau tidak nyaman dengan pendapatnya atau sikap mereka yang sulit diberi masukan. Namun kita harus memaklumi bahwa memang orang tua usia 65 tahun ke atas itu secara natural akan demikian.
  • Dampingi pasanganmu dalam hal positif. Terutama jika ia mengalami kesulitan penyesuaian diri di lingkungan baru. Namun, tanggung jawab terbesarmu adalah anakmu. Pemenuhan keinginan (bukan batiniah) suamimu bukan menjadi tanggung jawabmu. Fokuslah ke anakmu karena itu adalah tujuan dan tanggung jawabmu.

Ashana berhenti sejenak. Ia memejam menahan air mata yang akan keluar. Sekarang, setiap kali membahas anak, ia terenyuh. Sebelum menikah dan lahir anak, ia merasa hidupnya seperti tak ada tujuan. Dulu ia merasa seperti tahu tujuan hidup. Lulus SD, memilih SMP tujuan, lanjut SMA tujuan, lanjut kuliah tujuan, lanjut lagi mencari kerja. Itu semua terasa terarah. Setelah semua tercapai, kala itu ia merasa tujuan berikutnya adalah menikah. Namun hingga target usia menikahnya terlewat, ia seperti hilang arah. Setiap pria nampak seperti berlalu lalang di sekitarnya namun tidak ada satu pun yang menoleh dan melihatnya. Seolah ia adalah makhluk tak kasat mata. Bertahun-tahun ia bertanya-tanya apa yang kurang. Apakah kurang cantik? Kurang pintar? Kurang seksi? Kurang manja? Kurang kaya? Atau malah terlalu pintar? Terlalu mandiri? Terlalu tinggi pencapaiannya sehingga membuat para pria minder dan silau mendekatinya?

Hingga akhirnya ia bertemu dengan yang sekarang menjadi suaminya. Ia merasa seperti keluar dari dunia yang hambar menuju dunia yang lebih berwarna. Pun ketika ia mengandung dan melahirkan putrinya. Detik di mana ia pertama kali menggendong putrinya yang baru lahir, ia merasakan tujuan baru. Terasa lebih jelas, lebih utama. Ia mencium lembut putrinya sambil berjanji, putrinya akan menjadi prioritas utamanya mulai dari sekarang.

Thursday, 12 September 2024

Ashana Kembali Jurnaling

Ashana beranjak dari kursi tunggu. Kakinya berjalan melewati banyak pasien yang sedang menunggu giliran periksa. Ia tidak menyangka setiap hari poliklinik rumah sakit menangani sekian banyak pasien. Tapi dari sekian poli, poli psikologi lah yang paling sepi pengunjung.

Sampai saat ini, pentingnya kesehatan mental masih menjadi sesuatu yang diabaikan. Mungkin karena tidak ada batasan yang jelas atau terlihat mata, orang dengan gangguan mental yang perlu bantuan profesional itu pada taraf yang seperti apa. Banyak yang masih mengabaikan gejala-gejala yang dialami karena merasa masih baik-baik saja. Padahal tanpa ia sadari sudah mulai mengganggu aktifitas sehari-harinya.

Selain itu, stigma masyarakat yang menganggap bahwa gangguan mental sama dengan sakit jiwa atau orang gila membuat mereka masih amat enggan untuk memeriksakan dirinya. Dalam sesi konselingnya tadi, Bu Kirana juga bercerita bahwa sampai saat ini, bantuan BPJS untuk poli kejiwaan masih sulit ditembus. Seakan-akan masalah kejiwaan bukan masalah kesehatan yang darurat untuk ditangani. Padahal obat untuk pasien kejiwaan tergolong mahal, dan tidak semua orang memiliki dana untuk membelinya, padahal mereka membutuhkan. Dianggapnya mungkin hanya dengan bercerita saja sudah cukup melegakan. Padahal ternyata banyak pasien psikiater yang mengalami kecemasan berlebihan hingga badan gemetar dan sulit tidur berhari-hari serta mengalami halusinasi karena lama terabaikan.

Orang-orang menunggu parah dulu baru berobat. Kebanyakan demikian. Kesehatan mental jika terus diabaikan dapat mempengaruhi kesehatan fisik juga. Ini yang kurang dipahami masyarakat. Padahal sering kita jumpai, orang-orang yang mengeluh sakit kepala berlebih, ketika general check-up secara fisik semua baik-baik saja. Tapi ia mengeluh sakit kepala hebat dan sulit tidur.

Ashana memikirkan hal ini sambil terus berjalan menuju parkiran. Ia kemudian melajukan motornya ke sebuah kedai kopi. Bu Kirana menyarankan ia untuk melakukan jurnaling. Ia terdiam. Ashana sudah melakukan jurnaling namun mengalami kesulitan untuk konsisten melakukannya.

Ia mencari inspirasi dari Pinterest, yang ada jadi lebih mengutamakan tampilan jurnalingnya daripada isi dan esensi jurnaling untuk mengurai atau mengurangi beban pikirannya. Ia akhirnya memutuskan untuk memulainya lagi. Ia berkomitmen pada dirinya sendiri untuk melakukan jurnaling sesimple mungkin. Yang mana memang benar-benar untuk menuang isi pikirannya. Ia akan mengesampingkan kesempurnaan demi melegakan isi otak dan hatinya.

Sayangnya, ia lupa membawa notes kecilnya. Namun notes kecil itu telah terisi emosi-emosinya sejak awal tahun dan sepertinya sudah waktunya untuk menyerahkan tongkat estafet ke notes lain, meskipun masih ada sisa beberapa lembar.

Ia memutuskan untuk mampir ke sebuah toko buku dan memilih buku notes kecil beserta pulpen, dan bergegas ke sebuah kedai kopi yang sudah lama ingin ia kunjungi.

Kedai kopi di tengah kota, kecil terhimpit di antara dua bangunan besar. Dari luar nampak seperti warung kopi kecil. Siapa sangka kalau kau berjalan di gang sebelahnya, menuju di belakang yang nampak seperti warung tadi, ada beberapa tempat duduk dan meja yang siap menahan berat badanmu dan berat pikiranmu.

Selain itu, jika kau naik melewati tangga yang menempel dinding, kau akan menemukan meja kursi lain dengan pemandangan genteng rumah warga sekitar yang bisa kau lihat sambil menyesap kopi pesananmu.

Ashana memasuki kedai dan disambut barista yang langsung beranjak muncul dari balik bar. Ashana bimbang memandang papan menu. Antara Americano dingin minim kalori untuk menunjang diet dan olahraganya atau Butterscotch Latte untuk memanjakan diri setelah menahan untuk tidak mengkonsumsi gula. Akhirnya ia memutuskan untuk cheat coffee break. Segelas Butterscotch Latte minim gula dengan beberapa potong cireng setelah enam belas hari makan sehat ia rasa tidak akan terlalu berdosa. 

Setelah memesan dan melakukan pembayaran, Ashana berjalan melewati gang di sebelah kedai dan memilih duduk tepat di belakang kedai. Sudah ada dua orang yang duduk di meja pojok. Sekilas tampak sepertinya mereka berusia 20-an. Laki-laki dan perempuan. Mereka mengobrol sesuatu seperti sebuah rencana liburan beramai-ramai. Yang perempuan sembari menghirup vapour.

Ashana tidak habis pikir, tren vapour ini meresahkan untuknya. Dia tidak peduli gender, baginya vapour tetap sama merugikannya seperti rokok konvensional. Vapour malah kau menghirup uap air, bayangkan kau mengantar uap air itu memasuki paru-parumu dan dia akan mengendap di sana. Terakumulasi berhari-hari. Tapi bagaimanapun, itu pilihan orang. Ashana tidak memiliki hak untuk menegur apalagi melarang. Ia hanya menyayangkan dalam hatinya.

Sembari menunggu pesanannya datang, Ashana membuka notes barunya. Ia sempat merenung, apa yang akan ia tulis di jurnal barunya?

Tanpa sadar, ia memulai dengan kata :

Hai, Ashana. Aku ucapkan terima kasih atas keberanianmu melawan dirimu sendiri untuk tidak mengabaikan kebutuhan bantuan profesional atas kesehatan mentalmu. Aku tahu kau merasa baik-baik saja. Saat ini. Tapi kau tidak baik-baik saja kemarin dan beberapa hari sebelumnya. Hari ini kau sudah berhasil mendorong dirimu untuk ke psikolog dan aku bangga denganmu. Tidak menakutkan bukan?

Ashana melanjutkan jurnalingnya dengan membuat daftar rangkuman dari apa saja yang disampaikan dan disarankan oleh Bu Kirana. Sepertinya ia perlu untuk mencatat setiap hasil konseling nantinya. Agar bisa ia baca ulang dan mengingatkan diri sendiri.

Tak lama pesanannya tiba. Ia mengaduk Butterscotch Latte dan mulai menyesapnya. Lidahnya seakan menari dengan sensasi dingin dan manis yang perlahan bergulir dari gelas ke tenggorokannya dengan lembut. Dasarnya ia tak terlalu suka manis. Jadi mengurangi gula  dalam dietnya tak terlalu sulit baginya. Ia beralih ke potongan cireng yang sudah disiram dengan sambal gula di atasnya. Ia meniriskan sambal gula itu ke wadah, dan menggigit pelan. Kekenyalan cireng yang ia santap terasa pas. Mengingat ia pernah merasakan cireng yang terlampau keras sampai-sampai berbunyi saat di lempar ke meja. Ironisnya itu adalah cireng pertama kali dalam hidupnya, dicicip saat berkunjung ke Bogor beberapa tahun yang lalu. Ia mendengus geli mengingatnya. 

Ia telah 'berpuasa' menikmati gorengan bersamaan dengan dimulainya ia konsisten berolahraga. Lemak di perut dan pinggul pasca melahirkan membuatnya sedih. Baju banyak yang mulai kesempitan, sering mengeluh sakit pinggang, naik turun tangga di kantor saja ngos-ngosan.

Setelah habis satu potong cireng, ia kemudian memegang pulpennya lagi dan mulai menuliskan poin-poin konselingnya.
  • Tidak perlu malu dan khawatir menunjukkan kelemahan di depan orang, terutama di depan orang terdekat kita. Tidak perlu terus menerus berusaha menunjukkan bahwa kita selalu bisa dan tidak butuh bantuan.
  • Kelelahan ibu yang memiliki anak di usia 1-5 tahun, ibu pekerja, adalah sebuah hal yang wajar. 
  • Belajar teknik relaksasi untuk menurunkan emosi
  • Usahakan  untuk nggak ketrigger dengan emosinya Mama, terutama yang nggak berhubungan langsung dengan kamu
  • Orang usia 60 tahun ke atas itu makin menua makin kaku, makin susah diberi penjelasan, kita yang harus memaklumi, kembali lagi jangan ketrigger.

Ashana meletakkan pulpennya. Ia merasa sepertinya ini saja sudah cukup untuk pemanasan menulis jurnalnya.  Kurangnya konsistensi membuat kemampuan menulisnya tumpul kembali. Ia ingat masa kuliahnya dulu, di tengah kesibukannya menyusun skripsi, ia sering berkorespondensi dengan salah satu penulis ternama, dan sering mencoba menulis cerita. Tak jarang hasil karyanya dimuat di majalah. Ia rindu masa itu, rindu dengan dirinya yang fokus dan terlena dalam dunia penulisan. Sekarang, bahkan untuk menyelesaikan membaca satu bab buku novel saja dia membutuhkan waktu berhari-hari. Masanya sudah berganti. Kesibukan sebagai ibu pekerja memang sangat menyita pikiran dan tenaga. Sembari menghabiskan kopi dan cireng, ia berdoa dalam hati, semoga para ibu pekerja di luar sana selalu diberikan kekuatan dan ketangguhan, begitupun bagi ibu rumah tangga dan ibu-ibu yang lain.

Konseling Pertama Ashana

Ini bukan Jumat seperti biasanya. Jumat yang biasa Ashana jalani adalah sampai kantor pukul tujuh, saat kantor masih sepi belum berpenghuni, menyapa OB, lalu menyantap bekal sarapan di mejanya sampai satu per satu karyawan kantor berdatangan. Lalu memulai pekerjaan pukul delapan, istirahat pukul dua belas, pulang pukul empat. Begitu seterusnya, Jumat dan hari kerja lainnya.

Tapi hari Jumat ini berbeda. Ashana mengajukan cuti untuk dua hari, Kamis dan Jumat. Kamis kemarin dihabiskannya dengan berolahraga di pagi  hari, sarapan salad buatan sendiri, membersihkan rumah dan membaca e-book sambil menikmati kopi. Terhitung sudah lima belas hari ia rutin berolahraga dan mengatur asupan makannya. Hal yang sering ia abaikan sejak bertahun-tahun yang lalu. Yang mengejutkan, efek dari rutin olahraga ini membuatnya candu. Selain lemak tubuh nampak berkurang, ia merasa moodnya jadi cukup baik dan terkontrol.

Hari ini, ia awali paginya dengan olahraga lagi. Lalu pukul sembilan, kakinya sudah melangkah di koridor rumah sakit. Tidak, ia tidak cidera. Ia tidak juga sakit fisik. Tapi ia merasa perlu bantuan untuk pikirannya.

Ia agak linglung masuk area rumah sakit. Dari area parkir ia langsung ke loket pendaftaran. Sepanjang menuju loket pendaftaran ia melihat banyak orang mengantri di depan poliklinik. Anak-anak batuk pilek bermain perosotan kecil di depan poli anak, beberapa orang tua duduk di depan poli mata, beberapa orang lain membuat ia bingung menentukan mereka pasien untuk poli apa karena mereka duduk di antara dua poli. Area loket pendaftaran dipenuhi orang-orang mengantre, beberapa dari mereka bahkan sudah duduk di kursi roda atau malah berbaring di stretcher, istilah untuk hospital bed yang mudah untuk mentransfer dan memindahkan pasien dari ruangan yang berbeda.

Ashana menghampiri loket yang kosong, berkata bahwa ia telah melakukan janji dengan psikolog. Ia diarahkan untuk mengambil nomor antrian dulu di lobby, lalu kembali ke loket pendaftaran. Ia mencari lobby, kebingungan di antara koridor yang nampak berputar-putar, alih-alih langsung mengarah dengan jelas. Akhirnya ia menemukannya, petugas resepsionis langsung tanggap. Ashana kembali ke loket pendaftaran dan melakukan pembayaran di kasir lalu berjalan ke poli psikologi. Kaget melewati koridor poli internis yang penuh pasien. Rata-rata usia tua, ada yang kondisinya nampak sehat bugar, ada yang sehat tapi terlihat lelah, ada yang nampak lemah tak berdaya. Ia ingat ayahnya pernah menjadi salah satu dari mereka. Entah apakah ayahnya masih melakukan kontrol atau tidak.

Sampai di depan poli psikologi, ia menengok layar ponselnya. Ada pesan masuk yang menyuruh dia langsung masuk saja karena pintu tidak dikunci. Ia melakukannya.

Ia langsung disambut wanita muda berbatik kuning cerah. Dialah Bu Kirana, psikolognya. Sesuai namanya, ia tampak cantik dan bersinar. Jantung Ashana berdegup. Tapi tidak seperti yang ia bayangkan. Ia membayangan ia akan gugup, menangis, lalu mulai bercerita tanpa henti.

Bu Kirana menyuruhnya duduk di sofa dekat pintu, sedangkan Bu Kirana sendiri duduk di kursi kampus dengan selembar kertas asesmen dan pulpen. Ia mengawali sesi konseling dengan mengajukan beberapa pertanyaan untuk Ashana. Pertanyaan seperti apakah ia sering ketakutan, sering sakit kepala, sering sakit perut, merasa tidak berguna, hilang minat berbagai hal, sampai pertanyaan apakah pernah terbersit keinginannya untuk mengakhiri hidupnya. Ashana sedikit bergidik dengan pertanyaan paling akhir. Jujur, ia takut dengan kematian. Ada tanggung jawab besar yang harus ia penuhi. Dan ia selalu berdoa kepada Tuhan agar dipanjangkan umurnya agar bisa melakukan tanggung jawab itu hingga benar-benar tuntas.

"Nah, gimana, mbak Ashana. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Bu Kirana dengan senyum tipisnya.

Ashana terdiam. Ia sempat membayangkan ia akan menangis dan memuntahkan semua isi pikirannya. Tapi malah ia terpaku dan kebingungan mau mulai dari mana. Semua terasa seperti akumulasi baginya. Bukan satu masalah terbaru saja yang membebani pikirannya. Terlalu banyak.

"Saya bingung, Bu, mau mulai dari mana," sahut Ashana. Bu Kirana tersenyum.

"Mulailah dari masalah yang paling memberatkan mbak Ashana saat ini," katanya.

Ashana akhirnya mulai bercerita. Entah karena efek olahraga atau bagaimana. Kegundahan yang setiap hari ia rasakan, yang membuatnya hari ini kemari, terasa seperti biasa saja. Perasaan gundah itu masih ada, tapi ibarat orang mengetuk pintu meminta keluar, ia mengetuk dengan sopan. Bukan lagi menggedor dengan brutal. Cerita mulai bergulir dari bibirnya dengan tenang. Sesekali ia memandang ke jendela. Pucuk pohon besar di luar bergoyang diterpa angin seperti cheerleader mengayunkan pom-pomnya, memberi semangat bagi para atlet yang sedang bertanding. Bu Kirana memandanganya, sesekali mengangguk, sesekali menulis sesuatu di balik kertas asesmen.

Setelah dirasanya cukup, Ashana berhenti bercerita. Bu Kirana juga mengangguk lagi dengan anggukan lebih dalam dan lebih mantap. Seakan ikut menegaskan bahwa cerita Ashana telah selesai.

"Mbak Ashana, dari hasil asesmen singkat saya, serta dari cerita mbak Ashana, mbak Ashana ini mengalami gangguan kecemasan. Pertama, saya mau bilang ke mbak Ashana, hal ini di usia mbak Ashana, dengan status mbak Ashana yang sudah menikah dan punya anak, adalah hal yang wajar. Apalagi, kita baru saja melewati masa pandemi, tingkat kecemasan masyarakat meningkat cukup signifikan. Sayangnya, meskipun kebanyakan orang sudah mulai aware dengan pentingnya kesehatan mental, mereka masih belum punya keberanian untuk meminta bantuan profesional untuk mengurai dan meredakan kecemasan mereka. Jadi, sebelum saya lanjutkan, saya mau bilang terima kasih dan selamat untuk mbak Ashana yang sudah mau mendengar kebutuhan jiwanya untuk pulih dan tidak menunggu parah terlebih dahulu," ucap Bu Kirana dengan lembut namun tegas.

Ashana tersenyum lega. Apresiasi seperti ini jarang sekali ia dapatkan dari orang terdekat pertamanya, ibu kandungnya. Ashana lebih sering dipuji cantik pada moment tertentu, jarang dipuji pintar kecuali untuk hal yang benar-benar tidak bisa dilakukan oleh ibunya seperti menyetir. Jadi, apresiasi semacam ini seperti oase baginya.

"Mbak Ashana, menjadi generasi sandwich memang menyebalkan. Dan nggak ada salahnya, bahkan menurut saya harus, mbak Ashana harus bisa menolak jika dimintai bantuan yang mbak Ashana nggak bisa. Jangan memaksakan sesuatu yang mbak Ashana nggak bisa dan malah membuat masalah baru. Mbak Ashana butuh support, dan support ini dari orang-orang terdekat mbak Ashana. Berat, iya. Tapi terkadang kita nggak tahu kan respon seseorang itu persis seperti yang kita bayangkan atau nggak? Kalau ternyata benar, latih pikiran mbak Ashana untuk berterima kasih ke tubuh dan pikiran mbak Ashana karena telah memberikan warning, sehingga rasanya akan tidak terlalu nggak enak," lanjut Bu Kirana.

"Saran saya, jangan ketrigger sama Mamanya ya. Kalau ketrigger, nanti jadi timbul masalah baru. Nggak ada salahnya kok kita yang minta bantuan, nggak apa-apa kita nampak lemah, kita nggak harus terus-terusan menunjukkan ke orang lain kalau kita kuat dan bisa. Boleh banget kok kita ngomong kita butuh," kata Bu Kirana.

"Bu, kalau saya masih merasa marah gimana? Marahnya kayak yang gemes banget pengen keluar gitu," tanya Ashana.

"Belajar teknik relaksasi ya, saya rasa belum butuh obat, masih bisa ditangani kok dengan olah pikiran. Sesi minggu depan, kita belajar bareng ya kalau masih kesulitan," jawab Bu Kirana.

Ashana mengangguk dan mengakhiri sesinya hari ini. Ia keluar dari ruangan merasa lebih ringan. Yang ia herankan, ia sudah sering sekali curhat masalah yang sama ke suami dan teman terdekatnya, tapi belum pernah seringan ini rasanya. Padahal mereka juga mendengarkan dan tidak menghakimi.

Sebelum beranjak pulang, ia duduk dulu di salah satu kursi tunggu di depan poli. Ia melihat ada anak remaja perempuan memegang buku notes erat-erat, memandang lantai dengan kosong, sambil menggigit kukunya. Bahkan ia menggigit sambil sedikit menariknya. Ia duduk di sebelah wanita muda, nampaknya kakaknya, yang ikut menunggu sambil bermain ponsel sendiri. Anak itu kemudian menoleh ketika namanya dipanggil Bu Kirana, dan bergegas masuk ke dalam poli. Ashana berdoa dalam hati, semoga anak itu segera pulih.

Thursday, 2 September 2021

Pregnancy Diaries : Morning Sickness & Ngidam, Benarkah Suatu Keharusan?

Banyak orang di sekitarku yang bercerita ketika ia atau istrinya hamil, mengalami morning sickness yang cukup parah. Ada yang tidak kuat dengan aroma nasi matang, tidak mau mencium aroma suaminya, muntah-muntah berlebihan, dan lain-lain. Cerita-cerita itu agak membuatku khawatir juga, seperti apa morning sickness yang akan kuhadapi nantinya. Mengingat di usia kandungan lima minggu ini aku belum merasakan apa-apa, hanya menunggu flek ini berhenti dengan sendirinya.


Aku teringat dokter kandungan pertama yang kukunjungi, dalam kalimatnya ia seolah berkata karena aku belum mual, itu adalah tanda janin lambat berkembang. Aku jadi merasa mual adalah suatu keharusan dalam menjalani trimester pertama kehamilan.

Ini yang membuatku mengobrol dengan si bayi, aku tak apa-apa mual asal ia tumbuh berkembang. Aku siap dengan mual, sehebat apapun itu, asal itu memang tanda ia berkembang.

Tapi dr. Adyuta tidak mengisyaratkan bahwa mual adalah keharusan. Ia hanya bertanya apakah aku mual, dan tidak berkata apa-apa lagi ketika kujawab tidak.

Setelah kunjungan ke dr. Adyuta yang kedua karena aku meminta tambahan surat ijin istirahat, dr. Adyuta hanya menambahkan obat penguat kandungan yang dosisnya dikurangi dan tambahan vitamin zat besi. Dua hari berikutnya flekku berhenti. Sebagai gantinya aku mulai merasa mual.

Penciumanku menjadi lebih tajam dari biasanya. Aku benci aroma parfum yang biasa kukenakan, membuatku pusing seharian. Aku tidak suka aroma suamiku, yang biasa kuendus setiap pagi dan malam sebelum tidur. Aku langsung mual ketika membuang sampah, yang biasanya kulakukan dengan tenang mau sebusuk apapun baunya.

Tapi aku bersyukur mualku tidak sampai mual muntah heboh. Lebih banyak hanya merasa eneg. Kalaupun sampai muntah, hanya sekali dua kali dan tidak keluar apa-apa.

Hanya saja enegnya memang tidak segera hilang. Dan ia baru hilang kalau aku mengkonsumsi yoghurt paling asam atau makan bakso dengan kuah panas mengepul.

Jadilah hampir dua minggu lebih aku lebih banyak mengkonsumsi yoghurt, bakso panas, dan buah-buahan banyak air seperti semangka dan mangga.

Aku, yang bisa dibilang tidak pernah makan buah kalau tidak sedang kepingin sekali, sekarang setiap hari selalu ada buah di kulkas untuk kumakan. Aku bisa menghabiskan satu buah mangga, dua buah pear, dua buah apel, dan seperempat semangka potong untukku sendiri dalam sehari. Sepertinya bayiku memang lebih suka makanan sehat daripada makanan cepat saji.

Aku yang biasanya suka beli gorengan dan makanan cepat saji lainnya, hampir tidak pernah ada keinginan untuk menikmati itu lagi sekarang.

Satu hal lagi yang berubah. Aku sama sekali tidak menyentuh kopi sejak aku mulai hamil. Aku yang setiap pagi baru bangun tidur selalu menyeduh kopi, sekarang tidak pernah sama sekali. Pernah aku karena kangen dan kepingin mencicip sedikit, baru setengah gelas, aku ngeflek lagi. Kenyataan ini membuatku harus menghentikan konsumsi kopi selama aku hamil. Dan aku rela melakukannya. Toh aku tidak lagi merasakan urgensi untuk meminum kopi seperti yang biasa kulakukan selama ini.

 

Blitar, 26 Juni 2021

Friday, 12 December 2014

Perlu Sepuluh Tahun Bagiku Untuk Akhirnya Mampu Memanggilnya "Bapak"

Perlu sepuluh tahun bagiku untuk akhirnya mampu memanggilnya dengan sebutan Bapak. Sepuluh tahun itu aku memanggilnya dengan sebutan Om. Pertama kali Ibu mengenalkanku dengannya dan menyuruhku memanggilnya Om. Aku manut saja. Kusangka ia teman Ibuku seperti yang lainnya. Teman biasa. Namun kemudian semuanya menjadi tak biasa.

Kudapati Ayahku tak lagi serumah dengan kami. Lalu bulan berikutnya Om itu pulang ke rumahku setiap hari. Aku yang sehari-harinya sibuk dengan urusan sekolah, mainan dan buku, tak pernah mengerti apa artinya. Tak pernah pula kutanyakan pada Ibuku. Karena jawabannya sudah kudengar dari Ayahku. Setiap hari ia meneleponku di sekolah saat jam istirahat. Membuat jam bermainku hilang dan perutku berkeruyuk kelaparan. Sakit hati dan marahnya ia ceritakan ke aku, yang saat itu masih berseragam merah putih dengan rambut dikelabang satu. Sering ia menyindir si Om dengan sebutan Ayah baru. Aku mendengar semua curhatannya dengan tatapan kosong ke pintu.

Entah sejak kapan, yang jelas aku masih memanggilnya Om, kubiasakan diriku menerimanya sebagai Ayah yang baru. Dua tahun berlalu, saudara-saudara baruku, bahkan tetanggaku, semuanya bersatu padu berseru, “Lho, kok manggilnya Om, sih? Papa dong harusnya!”

Saat itu aku marah. Siapa mereka berhak mengaturku mau panggil dia apa? Ibuku saja tidak menyuruhku, apalagi memaksaku. Satu dari Bibiku yang memang paling kemayu, terus menerus menyuruhku memanggil Papa ke Ayah baru. Kalau bukan karena didikan Eyang Uti bahwa yang muda harus menghormati orang tua dan berlaku sopan, sudah kumaki benar Bibiku itu. Berani betul dia begitu. Ayahku cuma satu!

Aku yang kemudian berseragam putih biru, akhirnya tak tahan dengan semua seruan itu. Aku mengadu pada Ibuku sambil bersungut-sungut. “Aku benci didikte harus memanggil Om dengan sebutan Papa. Om ya Om, Ayah ya Ayah! Suruh Bibi berhenti merecokiku, Bu!” Ibuku menenangkanku. Ia bilang tak usah didengar omongan Bibi. Ibuku tak memaksaku untuk mengubah panggilan kebiasaan itu.



Tahun berikutnya, entah bisikan dari mana. Kuberanikan diri memanggilnya Papa. Saat itu aku di rumah berempat dengan Om dan kedua anaknya yang kemudian menjadi saudaraku, serumah pula denganku. Ibuku menelepon menyuruhku menyampaikan pesan pada Om bahwa Ibu pulang kantor terlambat. Kutelan ludahku. “Ibu barusan telepon, katanya pulangnya terlambat…..P..Pa…,” kataku. Dengan volume yang makin mengecil pada akhir kalimat. Om membalas dengan kata Ya, tanpa mengalihkan pandangannya dari koran yang dibacanya. Aku cepat-cepat pergi. Jantungku bergemuruh. Berat sekali rasanya memanggilnya dengan sebutan Papa.



Tahun berikutnya, entah bagaimana awalnya, aku jadi menyebutnya Pak disertai dengan namanya. Seperti Pak Jo, Pak Ri, Pak Yon. Lidahku semakin fasih menyebutnya Pak. Hingga tahun ketujuh dan kedelapan, aku memanggilnya Pak. Tanpa embel-embel nama. Aku sudah masuk perguruan tinggi, tak serumah lagi, setidaknya untuk Senin sampai Jumat. Karena kuliahku di lain kota. Saat itu aku baru menyadari ia jadi Ayahku. Bukannya aku tak menganggapnya sebagai Ayahku selama ini. SD kelas enam aku les sampai jam delapan malam. Rute perjalananku melewati sawah gelap, dan aku hanya bersepeda. Tapi ia menungguku di perempatan jalan besar sebelum sawah. Lalu aku diboncengnya sampai rumah. Ia menungguiku di rumah sakit saat aku opname karena tifus. Sejak SMP ia pula yang ambil raportku di sekolah. Sempat menjadi pergulatan pikir saat aku mengisi formulir pendaftaran sekolah dan kuliah, kolom nama Ayah kutulis nama siapa? Hingga Ibuku berkata, tulis sesuai Akte saja.



Tapi ketika aku kuliah, ia yang paling sering tanya aku kapan pulang. Paling sering melongok ke pintu gerbang tiap Jumat malam, dan bertanya apakah aku tidak pulang minggu ini. Aku pernah buru-buru pulang dari kuliah, padahal masih hari Rabu, ketika kudengar kabar ia masuk rumah sakit setelah stroke ringan. Sepanjang jalan di bus aku terus menangis. Bahkan saat KKN sebulan yang harusnya tak boleh pulang sebelum waktunya, aku diantar temanku di pangkalan bus menuju kotaku karena kudengar kabar ia masuk rumah sakit karena kecelakaan, lagi-lagi sambil menangis di bus.



Tahun berikutnya, kudapati diriku dengan ikhlas, ringan dan bebas memanggilnya Bapak. Di saat jumlah warna putih rambut dan kumisnya sudah semakin banyak. Suatu hari aku merenung sendirian. Selama itu aku telah menganggapnya sebagai Bapakku. Bukan sekedar laki-laki yang menikahi Ibuku, tapi sebagai Bapakku. Yang selalu khawatir meski tak ditampakkan, yang selalu bangga meski tak ditunjukkan. Dan aku perlu sepuluh tahun untuk akhirnya memanggilnya Bapak. Meski dari tahun pertama, otak dan hatiku sudah berkata “Dia Bapakku” sambil menunjuknya.

Thursday, 11 December 2014

Duh Gusti, lindungilah mereka ke mana pun mereka pergi.........

Hujan terus mengguyur kota. Kau terus mengemudi menuju rumah. Pada satu titik hujan mulai mereda. Tongkat pembersih tak lagi mengayun pada kaca. Satu kilometer dari rumah, kau melihat mereka beriringan. Tak banyak, cukup tiga. Satu telah renta, yang dua masih begitu muda. Sudah sering kau melihatnya, duduk bertiga di depan rumah orang. Bersandar pada tembok pagar menjulang, terkadang yang paling kecil mengecipakkan kakinya di selokan. Yang tua tepekur kelelahan. Dari manakah mereka? Tak ada yang pernah dapat menduga. Ada niat dalam dirimu menolong mereka. Tetapi kesempatan itu masih saja belum ada. Sering kau melihat mereka. Yang renta selalu tampak seperti tertidur, kali lain yang paling kecil tidur bersandar pada yang renta, memainkan jenggotnya yang kotor tak keruan.

Tapi hari itu, ya, hari itu. Kau tak lagi mau menunda. Segera berhenti roda besar mobilmu di depan restoran. Dengan terengah kau pesan tiga bungkus nasi dan air mineral. Menunggu dengan berdebar. Tuhan, niatku baik, lancarkanlah, bisikmu tak tenang. Istirahatkan dulu mereka sejenak di sana, sampai aku datang. Rasanya ingin sekali kau bantu pegawai restoran untuk membungkus pesanan. Begitu lama. Hingga akhirnya tiba. Degup jantungmu makin tak beraturan. Perlahan kau pinggirkan mobilmu ke tepian di seberang. Tak peduli banyak mata memandangmu keheranan. Bergegas kau hampiri mereka. Senyum kau sunggingkan, jangan sampai mereka takut!

"Dek, sudah makan?" tanyamu. Mereka tak menyahut. Air muka mereka penuh harap, tangan si kecil seakan-akan sudah ingin segera meraih plastik di tanganmu. Mereka tahu, itu nasi. Dengan ukuran tiga kali dari sehari-hari.

"Pak, makan ya," katamu pada yang renta. Ia tergeragap. Mukanya tertutup topi. Kakinya dia tarik-tarik, ditekuk-tekuk. Entah takut, entah merasa tak pantas, merasa kotor. Kau tahu kalau kau terlalu lama di sana, kau akan menakuti mereka. Si kecil sudah penuh harap. Segera kau sodorkan. "Makan ya, Pak, Dek," katamu lirih. Bergegas kau pergi. Sengaja kau putar balik. Mereka bertiga menghadap dinding pagar. Melahap nasi penuh syukur tanpa sisa.

Sampai di rumah, saat tak ada orang. tak ada AC yang mengeringkan air mata, kau merasakan pipimu basah. Banjir. Kau menangis sampai sesak. Sampai tak ada tenaga untuk mengganti karbon dioksida dengan oksigen di dada. Tanpa suara. Tapi perih terasa. Bibirmu mengucap syukur tanpa henti. Atas semua rezeki yang diberi. Pedih hati melihat mereka, yang seharusnya bahagia dengan masa kecilnya, mendapatkan ilmu dengan mudahnya, malah harus berjalan tak tentu arah setiap harinya, hanya agar perutnya tak bergemuruh tiada hentinya.

Hujan sudah lama berhenti. Tapi sendunya masih kau resapi. Denting butiran air dari daun ke bumi, menjadi melodi pengiring di sore hari. Menyaksikan mata kosongmu yang masih merekam kejadian tadi. Duh Gusti, lindungilah mereka ke mana pun mereka pergi.........

Monday, 20 May 2013

Monolog Hati

Di sini lah aku, kembali pada waktu lalu. Seakan jarum jam diputar terbalik ke masa itu. Rasanya sama. Getirnya, sakitnya, nyerinya. Semua sama. Hanya karena kesalahpahaman, serta keegoisan, sifat dasar manusia. Keinginan memilikinya menutupi semua logika yang kupunya. Dan pada akhirnya semua terulang. Meski dengan pribadi yang berbeda. 

Aku pernah berpikir, akankah aku kembali? Akankah bisa aku merasakan lagi rasa sayang yang membuncah? Keinginan untuk memilikinya hanya untukku seorang? Keinginan untuk mendekapnya. Pada akhirnya aku memang sempat mendekapnya. Merasakan hangatnya. Tetapi kemudian kini, ketika jarak memisahkan, sesuatu dalam diriku berbicara. Raganya memang kupeluk, tangannya memang merengkuhku, tetapi apakah itu menjangkau hingga ke dalam hatinya? Pernah aku menulis kepada seorang sahabat, percuma menggandeng tangannya jika tak ada rasa. Percikannya tak ada. Dan kemudian aku terdiam. Apakah itu yang ada padanya? 

Aku mengabaikan banyak tanda. Aku sudah diwanti-wanti sejak awal. Tapi semua kukesampingkan. Hanya karena aku terus memberinya kesempatan. 

Ada dua kubu dalam diriku. Kubu yang menunggu, dan kubu yang berlalu. Apakah kau memintaku untuk menunggu? Kalau aku terlanjur menunggu, ternyata kau sendiri tak sadar jika kutunggu, atau bahkan kau tak ingin aku menunggu, maka waktuku terbuang percuma hanya untukmu. Tetapi jika aku berlalu, tapi kemudian hari kau datang dan menuntut. Membalik semua dan menyuruhku kembali, tapi aku terlanjur melepasmu, harus bagaimana lagi aku? 

Aku sempat lupa semua perkataanmu yang lalu. Bagaimana bisa aku ingat jika kau tak memberi tanda padaku? Rasanya seperti melayang kemudian jatuh seketika. Sama persis seperti waktu itu. Kala itu mungkin kau belum datang. Tetapi aku mengenali tandanya. Sama. Persis. Hanya saja saat itu aku berhak menuntut, berhak menangis, berhak marah. Tetapi yang sekarang, aku pikir aku bodoh jika aku kembali merasakan sakit hanya untuk seseorang yang bahkan tak jelas maunya apa. Atau aku saja yang kurang memahamimu? Bagaimana aku bisa paham kalau kau kemudian memasang palang itu? Perkataanmu yang lain kala itu. Ambigu. Ada saat di mana kau terkesan ingin ditunggu. Tetapi ada pula saat di mana kau ingin menjauh. Harusnya kubiarkan saja. Harusnya jangan kurasakan. Harusnya jangan kuharapkan. Harusnya biar saja kita menikmati indahnya. Tetapi aku lupa. Ketiadaanmu secara mendadak dalam lingkaranku, padahal kau terus berkeliaran di sekitarnya, membuatku menggila. Menuntut penjelasan. Penjelasan atas semuanya. Padahal aku tahu kamu bukan orang yang demikian. 

Kau bilang kau tidak terbiasa bicara. Kau pernah bilang kau tak biasa dicari. Bagaimana kalau aku ingin mencarimu? Mengertimu? Bagaimana kalau aku ingin kau terbiasa dicari? Karena tak selamanya kau sendirian bukan? Sampai saat ini, hingga tulisan ini aku henti, aku masih belum mengerti.

Friday, 17 May 2013

Gemini

Kadang, ketika kita menginginkan sesuatu dengan berlebihan, kita jadi mentolerir dan memaklumi kekurangan dari sesuatu tersebut, asalkan kita bisa mendapatkannya pada akhirnya. Misalnya ketika kita menginginkan sebuah buku yang sudah kita cari kemana-mana dan baru ketemu saat itu. Tapi buku itu sudah lama, lecek, kekuningan. Namun karena kita suka, kita ingin mendapatkannya, kita memaklumi dan tetap menerima kondisi buku tersebut yang sudah lusuh dan ringkih, asal buku itu menjadi milik kita. 

Tetapi yang namanya manusia entah kenapa selalu tak pernah merasa puas. Ketika kita sudah memilikinya (atau merasa memilikinya), kita maunya lebih. Ketika buku lusuh itu di tangan kita, kita buka per lembarnya, lalu salah satu halamannya lepas, yang kemudian diikuti halaman-halaman lain juga lepas, kita lalu menggerutu. Menyalahkan kenapa buku ini ringkih sekali, lusuh sekali. Menyalahkan pemilik sebelumnya yang tidak hati-hati dan membuat kita repot karena bukunya tak utuh lagi. Padahal sebelumnya kita sudah diwanti-wanti, bahwa buku ini sudah kehilangan kekuatannya, keremajaannya, dan kesegarannya. Dan kita dengan semangatnya bilang, "tidak apa-apa, namanya juga buku tua, asal saya bisa membacanya dan koleksi saya terpenuhi kelengkapannya". Tetapi ketika di rumah, bibir kita kemudian berucap, "Aduh, lusuh sekali, halamannya lembap, lepas-lepas, gampang sobek. Ini yang punya dulu bagaimana merawatnya sih sampai bisa jadi begini?" 

Sama dalam sebuah hubungan. Ketika kita menyukai seseorang, ingin memilikinya, padahal kita sudah diberi peringatan di awal, kekurangannya seperti ini. Namun karena kita ingin memilikinya, ingin memiliki hangat dan senyumnya, serta tangannya yang menggenggam menenangkan, kita mengesampingkan kekurangannya. "Tak apa-apa, aku bisa menerima kesibukanmu. Diduakan karena pekerjaan itu aku sudah biasa, tapi diduakan karena hati kamu buat orang lain itu yang aku nggak bisa. Asal aku bisa bersamamu, bisa menjadi milikmu, dan kamu menjadi orang yang aku tahu memilikiku"

Namun ketika hubungan itu berjalan, kau sudah merasa memilikinya, karena tangan hangatnya sudah merengkuhmu dengan begitu lembut, senyumnya tersungging setiap saat ketika bersamamu, hingga pada suatu ketika kau mulai mempermasalahkan saat di mana ia tak bisa bersamamu. "Aku sakit, tak bisa kah kau peduli sejenak? Sms menanyakan kabar saja cukup." Atau "Kenapa tak merespon? Kenapa tak membalas? Sedangkan dengan yang lain saja kau bisa begitu lepas bercengkrama. Kenapa denganku tidak?" 

Tak adanya respon itu kemudian menjadikannya semakin blingsatan. Ia merasa termarjinalkan, merasa terkesampingkan. Ia tahu konsekuensinya, tetapi masih saja ia menuntut. Meminta celah sesedikit mungkin, sebaris kalimat penyemangat, secarik tulisan penenang. Seperti pecandu yang mulai tak tenang ketika zat adiktifnya mulai hilang. Meracau tak jelas dan terperangkap dalam pemikirannya sendiri. Asal ia tahu, yang di sana sebenarnya mengkhawatirkan, memperhatikan, dan ikut memikirkan. Meski mungkin saja tidak.

Friday, 26 April 2013

Raya dan Raja

Raya merapikan rambutnya untuk entah yang keberapa kalinya. Ini adalah job interview keduanya setelah enam tahun ia bekerja. Ia resign dari jabatan amannya sebagai marketing senior di sebuah perusahaan furniture ternama dan sekarang ia melamar pekerjaan sebagai manager produksi di sebuah perusahaan film. Ini mimpinya. Ini keinginannya. Sejak lulus kuliah ia selalu ingin menjadi penulis skenario atau manager produksi. Ia tak terlalu mahir mengoperasikan kamera, apalagi lancang menjadi sutradara. Tapi ia ingin namanya tertulis sebagai salah satu kru yang ikut dalam sebuah produksi film. Tercantum di akhir film dan di sampul atau poster film yang ikut digarapnya. Ia tak terlalu ingin menjadi pemain film meskipun ia sempat menjadi primadona di teater kampusnya. 

Seorang pria bertubuh atletis keluar dari pintu di hadapannya. Raya tegak berdiri dan menatap pria tersebut. Ia berasumsi pria ini pasti rajin nge-gym atau minimal jogging keliling kompleks dan menerapkan gaya hidup sehat. Pria itu menatapnya, tersenyum lalu menjabatnya. Raya balas menjabat dan tersenyum rikuh. Pria itu menyuruhnya duduk lagi di sofa ruang tunggu dan ikut duduk di sofa depannya. Ia mengenalkan diri sebagai Raja. 

“Jadi, Anda dulu bekerja marketing?” tanya Raja. Raya mengangguk. 

“Kenapa ingin bekerja dengan perusahaan kami? Saya lihat Anda tidak apply sebagai marketing, tapi manager produksi,” katanya lagi. 

“Saya lulusan Ilmu Komunikasi Audio Visual, pak...,” kata-kata Raya terhenti dengan telapak tangan Raja yang terhenti di udara. “Panggil saja Raja,” katanya. 

“Saya lulusan Ilmu Komunikasi Audio Visual, dan sejak dulu ingin menjadi penulis skenario atau manager produksi. Saya tak terlalu mahir mengoperasikan kamera tapi saya ingin ikut memproduksi film dan produksi....,” kata-katanya terhenti lagi. Raja bangkit dari duduknya. Raya bingung dan hampir putus asa. Duh, jangan-jangan ditolak nih, pikirnya. 

“Mari ikut saya,” kata Raja. Raya meraih tasnya dan berjalan mengikuti Raja. Raja membawanya ke sebuah ruangan satu lantai di atas ruangan Raja. 

“Ini ruangan manager produksi. Mungkin akan ada sedikit pembenahan, tata saja sesuai seleramu. Ini kuncinya dan datanglah hari Senin depan untuk mulai kerja. Kamu punya waktu seminggu penuh untuk renovasi ruangan ini,” kata Raja sambil menjejalkan kunci pintu ruangan di tangan Raya. Raya tertegun dan tersenyum lebar. Ingin rasanya ia memeluk pria ini tapi jelas nggak mungkin kan. Raja menepuk bahunya dan berlalu. Raya melonjak-lonjak di ruangan barunya dan mulai membayangkan mengisi perabotan apalagi di setiap sudut ruang kerja barunya. 

*

Satu minggu yang diberikan Raja untuk Raya benar-benar dimanfaatkan. Ruangan yang tadinya hanya berisi meja dan kursi kini bertambah dengan lemari, buffet, karpet, kelambu, beberapa bingkai foto dan perangkat audio sederhana dan televisi kecil. Nuansa coklat dipilih Raya agar teduh, hangat dan berkesan profesional. Sebenarnya ia menyesuaikan warnanya dengan sofa panjang dan meja kopi berwarna krem tua di sudut. Perabotan ini semua ia angkut dari rumahnya. Rumah kecilnya kini menjadi sedikit lebih lega. Betapa beruntungnya Raya, mendapat pekerjaan yang ia impikan, langsung dengan posisi dan ruang khusus untuknya, bukan kubikel seperti karyawan yang lain. Padahal ia tak punya pengalaman sebagai manajer produksi. Sedikit bertanya-tanya, dan sedikit curiga. Tapi Raya menepis kecurigaannya. Ia yakin Raja tak mungkin menerimanya untuk berbuat macam-macam. Namun ia tetap akan waspada. Ia siap resign lagi sewaktu-waktu ia merasa mendapat ancaman di perusahaan ini. Semoga saja itu tak perlu ia lakukan. 

Senin pertama ia bekerja, ia memilih setelan hitam andalannya. Blazer hitam dengan ujung lengan warna putih dan pantalon hitam, kemeja putih dan sepatu hitam. Simpel, klasik, nyaman dan profesional. Ia menyetir Honda Civic peninggalan ayahnya dengan puas. Sesampai di kantor, ia tertegun. Semua berpakaian sangat kasual!! 

“Selamat pagi, Raya. Rapi sekali kamu. Masa hari pertama kerja sudah ada meeting dengan klien?” sapa Raja. Ia mengenakan kaus berkerah, jaket denim dan jeans serta sepatu kets. 

“S..sepertinya aku salah kostum,” kata Raya gugup. Raja tergelak. 

“Tak ada yang salah kostum di sini. Semua berkostum sesuai ‘skenario’ masing-masing. Jadi hari ini kamu berperan sebagai apa? Ibu direktur galak?” tanya Raja, sinar matanya jenaka. Raya tersipu dan melanjutkan langkah ke ruangannya. Ia menghela nafas lega begitu menutup pintu. Dinyalakannya TV. Tiba-tiba pintunya diketuk. Ia berseru mempersilakan masuk. Seorang wanita dengan baju ala Lolita tapi lebih simpel masuk ke ruangannya. 

“Ibu Raya, ini konsep produk yang rencananya akan dibuat tahun depan,” katanya sambil meletakkan tumpukan map di meja Raya. 

“Siapa namamu?” tanya Raya. 

“Mai. Asisten sutradara,” jawabnya sambil tersenyum. 

“Panggil saja aku Raya, Mai. Bajumu lucu sekali,” katanya. Mai tersenyum lebih lebar dan pamit keluar dari ruangan. Here we go, pikir Raya. Diraihnya map paling atas. Konsep iklan layanan masyarakat masalah kesehatan. Tugasnya sebagai manajer produksi adalah bertemu dengan kepala departemen produksi dan menentukan kru yang terlibat dalam produksi tersebut. Ia juga bisa membebaskan kepala departemen untuk memilih sendiri kru-nya. Dan ia bertanggung jawab kepada produser yang mencari dana dari para klien. Telepon di ruangannya berbunyi. 

“Halo,” kata Raya. 

“Raya, bisa ke ruangan aku sebentar? Bawa map yang sedang kamu pegang itu ya,” suara Raja menyentuh gendang telinga Raya dengan lembut. Raya heran, bagaimana bisa Raja tahu bahwa ia sedang memegang map dan mengetahui isi map tersebut? Bisa saja kan map lain yang ia maksud? Raya menengadah, menatap tiap sudut ruangannya, mencari kamera tersembunyi yang mungkin dipasang ketika ia tidak di kantor. Tapi hasilnya nihil. Akhirnya Raya membawa map tersebut dan berjalan menuju ruangan Raja. 

“Ah, ini dia manajer produksi kita yang baru, Raya Ratih Ambarini,” kata Raja sambil membuka lengannya menyambut Raya. Di ruangan Raja ada empat orang lagi, satu wanita dan tiga pria. Raya berkenalan satu-satu dengan mereka. Si wanita yang bernama Padma, mengenakan blus berwarna hijau dan kain sari, ia benar-benar keturunan India asli. Ia bekerja sebagai marketing. Ada Ben, eksekutif produser, pria berkacamata dan agak lebih pendek dari Raja, keliatan sering gugup tanpa sebab. Lalu Pujo, pria Jawa yang mengenakan batik (dan ternyata ia memang selalu mengenakan batik), kurus tinggi dengan rambut agak spiky, ia di bagian HRD. Terakhir ada Indra, cowok jangkung dengan badan tak terlalu atletis namun apik, yang menjadi produser. 

“Tenang, Raya. Aku tak pernah menyelinap ruanganmu dan memasang cctv tanpa sepengetahuanmu. Aku tadi berpapasan dengan Mai dan sempat melirik map teratas yang dibawanya. Dan aku yakin kalau kamu pasti memeriksa tumpukan map itu di hari pertama kamu kerja,” kata Raja sambil tersenyum. Raya hanya bisa tersenyum. Pria ini sepertinya berbakat cenayang atau mind reader. 

“Raya, santai saja. Ikut heboh aja kayak kita,” kata Padma. 

“Euh, aku memang tipe orang yang agak lama menyesuaikan diri,” jawab Raya. 

“Becanda kamu? Kalau kamu memang gitu, bagaimana bisa kamu langsung berkostum ala direktur profesional begitu di hari pertama kerja? Beberapa pegawai baru di sini kebanyakan mengenakan kemeja dan celana jeans di hari pertama kerja,” sahut Indra. 

“Insting,” jawab Raya, yang dibalas dengan gelak tawa Raja. 

“Instingmu bagus juga ternyata,” katanya. 

“Jadi, kita ngapain nih?” tanya Pujo. Raya mengakui bahwa ia sedikit terkejut dengan perubahan sikap Raja ketika menjawab pertanyaan Pujo. Ia tampak begitu berwibawa dan muncul aura pemimpinnya. Semua orang yang berada di ruangan memperhatikan setiap ucapan Raja. 

“...dan Raya bisa meng-handle iklan ini untuk pembagian kru. Raya, kamu bisa mulai menghubungi setiap kepala departemen dan bertemu dengan mereka hari Rabu. Buat laporannya dan serahkan ke Indra secepatnya,” kata Raja. Raya sedikit tersentak. Ia agak kehilangan fokus dan sedikit tidak menyimak kata-kata Raja. Ia buru-buru mengangguk. 

“Sip! Kalau nggak ada masalah, minggu depan kita sudah bisa take dan presentasi akhir ke klien,” tutup Raja sambil tersenyum. Semuanya kemudian kembali ke ruangan masing-masing, termasuk Raya. 

“Raya, nanti kita maksi bareng ya,” ajak Padma. Raya mengangguk. Raya bermaksud untuk menghubungi para kepala departemen tapi ia kemudian sadar bahwa ia tidak tahu siapa saja dan bagaimana menghubungi mereka. Ia mencari-cari di tumpukan map yang dibawa Mai tadi pagi, barangkali terselip daftarnya. Tapi ia tak menemukan apa pun. Ia bergegas kembali ke ruangan Raja dan entah kenapa, ia lupa mengetuk pintu dan langsung masuk begitu saja. 

“Raja...astaga, maaf!” seru Raya sambil cepat-cepat menutup kembali pintu ruangan Raja. 

“Hey, nggak apa-apa, Raya. Masuk aja. Aku cuma pemanasan sedikit kok,” kata Raja. Alih-alih mengenakan kaus dan jaket denimnya, pria itu kini hanya mengenakan celana jeansnya dan berbaring menelungkup di karpetnya. 

“Kamu sering push-up di kantor?” tanya Raya. 

“Akhir-akhir ini sudah mulai jarang, dan aku merasakan akibatnya. Sering kaku otot selesai jogging,” jawab Raja sambil duduk di mejanya. 

“Nge-gym?” 

“Pfft, nggak. Pernah sekali tapi nggak lagi. Aku takut dengan pelatihnya yang tampak ingin menggerayangiku setiap saat,” jawab Raja membuat Raya tertawa. 

“So, what can I do?” 

“Aku cuma mau minta daftar kepala departemen dan nomor telepon mereka,” 

“Oh, tunggu sebentar, biar ku-print-kan. Aku lupa menitipkannya pada Mai,” kata Raja sambil memutar laptop ke arahnya. 

“Ini. Kalau perlu sesuatu lagi, telepon saja dari ruangan,” kata Raja. 

“Thank’s ya,” kata Raya ceria sambil keluar dari ruangan diikuti pandangan Raja. 

*

Pekerjaan Raya minggu ini tak terlalu berat. Para kepala departemen yang sudah bertemu Raya memutuskan untuk memilih sendiri kru yang bertugas membantu mereka. Sejauh ini Raya belum ikut dalam produksi film, masih iklan-iklan untuk televisi. Raya menikmati setiap detik yang dilaluinya dan belajar dari orang-orang sekitarnya. Ia cukup dekat dengan Denny yang bekerja sebagai penulis skenario. Denny sering membantunya berlatih menulis dan bermain mengubah skenario. Seringnya mereka tertawa ketika skenario serius yang mereka diskusikan berubah menjadi skenario komedi. 

Raya sedang berlatih mengubah skenario sebuah FTV ketika pintu ruangan Denny menjeblak keras dan tiba-tiba. 

“Raya, Denny, ke ruangan Raja secepatnya,” seru Indra tergesa. Raya dan Denny berlari mengikuti Indra. Raya mendapati Raja duduk di mejanya sambil melipat lengannya. 

“Ada apa?” tanya Denny. 

“Perusahaan kita mau dibeli sama Elang Media Group,” jawab Pujo. 

“Hah? Mereka kan rival kita. Apa katanya?” tanya Denny. 

“Mereka bilang perusahaan kita tak lebih dari agen iklan. Karena sudah lima tahun ini kita nggak pernah ngerjain film layar lebar,” jawab Ben sambil mengelap dahinya yang berkeringat. Raya melirik Raja. Pria itu hanya diam menatap karpet di bawahnya. 

“Mau bagaimana lagi? Film layar lebar di sini rata-rata film horor seksis. Sementara itu tidak sesuai dengan tujuan perusahaan kita,” sahut Padma. 

“Tidak bisakah kita membuatnya sendiri?” tanya Raya yang agak menyesali pertanyaannya karena seluruh orang yang ada di ruangan menatapnya, kecuali Raja. 

“Film layar lebar nggak semurah FTV atau iklan, Raya. Kita mau pakai artis yang mana? Kalau film layar lebar tanpa artis yang dikenal masyarakat, kita bisa tekor. Cerita yang kita buat harus sangat kuat. Persaingan di dunia perfilman layar lebar nggak sama dengan FTV,” jawab Indra. 

“Ada baiknya kita mencoba. Kita pikirkan dulu cerita apa yang mau kita buat,” jawab Raya. 

“Waktu yang diberikan Elang Media Group hanya tiga minggu. Kalau dalam waktu itu kita tidak bisa membuat cerita film layar lebar dan mendapat klien dan sponsor, habis,” jawab Padma. Raya menatap Raja. 

“Raja....,” panggil Raya. Raja diam, masih dengan posisi yang sama. 

“Mungkin, inilah yang terbaik buat kita....,” kata Ben lirih. 

“No! Don’t give up, guys,” kata Raya. 

“Apa? Bilang aja kamu nggak mau kehilangan jabatanmu yang baru seumur jagung kan?” sahut Padma. 

“Ap...bukan itu!” jawab Raya. 

“Yaudah, kalo gitu, coba kamu beri kita ide cerita....,” 

“Cukup. Ini masalah kita bersama. Jangan dibebankan hanya pada satu orang,” sela Raja. Raya menatapnya sambil menghela nafas. 

“Kita pikirkan ini bersama. Minggu depan semua presentasi ide cerita masing-masing, lebih bagus lagi kalau ada yang punya strategi pemasaran dan penggunaan budget lebih sedikit dari standar. Sekarang bubar,” kata Raja. Semua menurut. 

“Raja, I’m sorry for my big mouth...,” kata Raya menyesal. 

“It’s ok. Aku juga nggak rela perusahaan ini jatuh gitu aja di tangan mereka. Satu-satunya jalan ya kayak yang kamu omongin,” jawab Raja. Raya menunduk. 

“Hey, don’t be sad. Kamu nggak salah kok,” kata Raja sambil mendongakkan wajah Raya yang tertunduk. 

“Dan lagi, you don’t have a big mouth but....,” kata Raja menggantung. Raya menelengkan kepalanya, menunggu lanjutannya. Raja mendekatkan kepalanya dan berbisik di telinga Raya, menyergapi hidung mungil Raya dengan parfum Raja yang segar. 

“....you have a little sexy lips,” lanjut Raja, membuat mata Raya membelalak dan memukul lengan Raja. Raja tergelak. 

Thursday, 18 April 2013

Penyulut Kenangan

Apa yang membangkitkan kenangan? Ia menjawab ingatan. Ia yang lain menjawab kesendirian. Sedangkan dia yang di sana menjawab hujan deras kala senja. Masing-masing memiliki cara tersendiri untuk membangkitkan kenangan. Masing-masing mempunyai apa yang kusebut penyulut, untuk membangkitkan kenangan. Kenangan apa saja. Kenangan yang disimpan. Kenangan yang terlupa. Kenangan yang sengaja dilupa. 

Kenangan yang disimpan. Kenangan yang dengan penuh sadar kau simpan pada laci-laci dalam kepalamu. Kenangan yang kapan pun kau mau untuk kau ingat bisa muncul dengan mudahnya. Lengkap dengan detil-detil dan remeh temeh yang kau lalui. Kenangan ini bisa menyenangkan. Bisa juga membuatmu menertawakannya karena malu. Tetapi ada juga kenangan perih yang sengaja disimpan. Yang begini biasanya menyimpan dendam. 

Kenangan yang terlupa. Ketika sebuah peristiwa kau lalui, kau mengingatnya di awal. Namun kala hidupmu berlanjut, dan kau merasa tak punya waktu luang untuk mengingatnya, kenangan itu sejenak hilang. Kenangan ini akan bangkit kala kau bertemu dengan sebuah penyulutnya. Mungkin kau melihat, mendengar, mencium, mengecap dan merabanya. Lalu sesuatu dalam kepalamu mendadak mengetuk-ketuk. Sesekali semua detil dalam kenangan itu langsung merekah terang. Tak jarang pula berupa kenangan semu. Yang mereka sebut dengan deja vu. Kau merasa pernah melihat, mendengar, mencium, mengecap dan merabanya. Tetapi butuh penyulut lain untuk membantumu membuat kenangan itu menjadi terang dan jelas. Yang ketika kau tak kunjung menemukannya bisa membuatmu gelisah penasaran, dan ketika akhirnya kau mendapatkannya bisa membuatmu melonjak begitu bahagia. 

Kenangan yang dilupa. Dengan sengaja memori itu dilupakan. Dihempas, dibuang, dilempar jauh-jauh. Biasanya berupa kenangan yang menyebabkan nyeri pada benakmu. Hingga kau memutuskan untuk tak mengingatnya lagi. Tetapi terkadang kenangan itu dapat muncul ketika kau bertemu dengan penyulut. Kalau kau bisa berdamai dengannya, maka tak akan mengganggumu begitu rupa. Tetapi kalau kau masih mendendam padanya, nyeri itu jelas akan datang. Membetotmu dengan kepalannya. Luka mungkin bisa sembuh, tetapi bekas itu masih ada. 

Penyulut kenangan. Lebih banyak berupa pendukung suasana saat kenangan itu dibuat. Bisa alunan lagu, yang kala kau mengalaminya dan lagu itu mengalun dengan santainya lalu kau dengarkan dengan seksama. Ketika kau mendengarnya terkadang bukan hanya ingatanmu yang membawamu ke sana. Tetapi juga rasanya. Mendadak dadamu sesak dan hatimu mencelos tak keruan. Saking begitu kau mendalami baik nada maupun liriknya. Tetapi lagu itu bisa juga membuatmu ingin tenggelam di dalamnya. Kau biarkan dirimu larut dalam kenangan lama, mensyukuri bahwa kau dikaruniai kenangan indah begitu rupa, tetapi juga sekaligus sedih karena tahu bahwa itu tak bisa terulang. 

Penyulut kenangan bisa juga berupa aroma. Saat kenangan itu kau buat, angin di sekitarmu menghembuskan aroma khas yang begitu kuat. Aroma tubuh, aroma hujan, segala macam wewangian. Ketika kau merindunya kau bisa menghadirkan aroma tersebut di sekitarmu. Endus dan hiruplah sesukamu. Tetapi yang begini malah menciptakan sendu. Karena betapa miripnya aroma itu, tetap tak akan sama bila tanpa memelukmu.

Thursday, 10 January 2013

The Unknown : Try to Impress


Hari berlalu dengan cepat. Nania membereskan kubikelnya tepat jam empat sore. Sampai di rumah, Nania merebahkan tubuhnya di sofa. Melemaskan ototnya, merilekskan pikirannya. Tapi masih terbayang Bu Lily. Entah kenapa Nania merasa tertantang. Ia harus membuat Bu Lily terkesan dengan penampilannya. Buru-buru dia mandi, membersihkan debu dan sisa makeup tipis di wajahnya. Setelah mandi, ia menatap meja riasnya. Nania tidak bisa dibilang buta makeup. Tapi juga bukan pesolek. Makeup yang ia punya hanya satu lipstik, satu lipgloss, bedak, dan palet eyeshadow yang ia sendiri lupa kapan belinya. Ia meringis.

Kemudian ia beranjak ke kamar Mamanya, berharap menemukan beberapa makeup. Sama saja. Mamanya hanya punya satu palet eyeshadow tiga warna : coklat tua, coklat muda dan krem terang. Lipstik juga cuma satu, warna merah cabe membara huah huah. Bedak, foundation cair yang ia yakin Mamanya sendiri juga sudah lupa kapan belinya, dan sebatang pensil alis. Ia membuka lemari meja rias, menemukan blush on warna orange. Akhirnya ia memutuskan meminjam pensil alis dan blush on. Tangannya hampir meraih lipstik warna merah itu, tapi mengurungkannya. Ia tak mau tampak seperti vampir yang baru selesai makan tapi belepotan.

Nania menatap cermin. Wajahnya sudah bebas jerawat. Hanya masih meninggalkan bekas berupa bintik-bintik. Ia tak pernah menyadarinya. Ia terlalu cuek dengan wajahnya. Akhirnya ia mulai. Dioleskannya krim wajah yang tiap hari dia pakai. Lalu menepuk-nepuk bedak. Dilanjut menebalkan alis. Matih!! Alisnya tebal sebelah! Ia terpaksa menambah ketebalan di alis yang satunya. Lumayan...

Ia melanjutkan eyeshadow. Warna di palet eyeshadownya sebenarnya cukup banyak. Tapi ia tidak tahu mana yang dipakai lebih dulu. Ia pulaskan warna coklat muda. Dia pilih aman saja. Tapi...nggak ada salahnya nyoba warna lain kan?
Ia melanjutkan memulas eye shadow warna......apa ya? Hijau tua ini tampak bagus. Ia pernah melihat riasan smokey eyes di majalah. Ia menirunya, dipulas di ujung luar matanya. Dipulasnya lipstik yang dia punya. Pink muda. Setelah selesai........dia diam. Mendadak pintu kamarnya dibuka.

"Lhah, kamu ngapain??"

Sunday, 14 October 2012

Logika dan Emosi

Lagi-lagi dia begitu. Tak lagi mengindahkanku. Selalu saja aku dianggap angin lalu. Semua kata-kataku didengar tanpa acuh.
Sakit. Nyeri. Perih. Terus aku memperingatkannya. Ia hanya melirikku. Kadang malah mencebik padaku. Dan kemudian berlalu.

Seperti hari ini. Ia berdandan begitu rapi. Cermin di depannya memantulkan kemolekannya yang kukagumi. Senyum tersungging. Mata bersemangat berapi-api. Aroma tubuhnya begitu wangi. Sesuai namanya.

"Wangi," panggilku lirih. Ia melirik sekilas, lalu berlanjut konsentrasi pada bibirnya yang dipulas.
"Jangan pergi," kataku. Memohon. Seperti biasa. Aku tahu tak akan berhasil. Tak pernah berhasil.
"Kamu akan terluka lagi," lanjutku. Ia mendengus kesal. Lalu pergi sambil menghentak-hentak. Aku hanya bisa diam. Memandangnya dengan sedih.

*

"Wangi..," panggilku lagi. Letih mendera. Tapi tak jua aku menyerah. Tetap saja aku bertahan. Tapi aku tak bisa berbuat lebih banyak. Ia yang memilih. Ia yang memegang kendali. Aku hanya bisa memanggil. Terus memanggil. Dan ia menangis. Terisak. Teriak. Pilu mendengarnya. Ia meracau di sela isaknya. Sesak.

"Maaf.....maaf aku tak mendengarmu. Maaf aku mengacuhkanmu....," isaknya. Aku hanya bisa memandangnya dalam diam. Ia bersandar pada cermin. Terus terisak sampai pagi. Dan aku terus terjaga sampai fajar menyingsing.

"Aku juga merasakannya, Wangi. Sakitmu adalah sakitku. Perihmu juga perihku. Tak perlu kau ceritakan, aku sudah merasakan," kataku pelan.
"Berkali-kali kau memperingatkanku, tapi aku malah tak peduli dengan semua itu. Kau sudah bilang nanti aku sakit lagi. Nanti aku luka lagi. Tapi aku terus saja. Sakit rasanya....sakit karena dia...sakit karena kau juga terluka...," tangisnya.
"Aku terus memanggilmu, Wangi. Tapi aku juga tidak pergi. Karena aku tahu kamu akan begini. Maka aku terus berjaga. Agar saat kamu sadar kau tahu aku ada," jawabku.
Dadaku sesak. Sesak oleh perihnya. Sesak oleh sakitnya. Oleh isaknya. Sampai akhirnya ia berhenti. Menyeka tangis dari pipinya. Masih terisak. Namun makin lama makin berkurang. Ia menarik nafas panjang. Menghembusnya. Mencoba melepas sesak yang mengikat. Mencari kelegaan dalam kehampaan.

*

Terjadi lagi. Ia menjalin hubungan dengan yang lain lagi. Dan aku masih merasa ini tak baik. Sama seperti yang sudah-sudah. Bahagia, lalu sedih. Tawa, lalu tangis. Bukan seperti yang biasa. Tapi sedih dan sakit yang tak berkesudahan. Perih dan nyeri yang melebihi irisan pedang pada nadi. Dan kini aku sudah lelah. Aku letih. Lelah akan acuhnya. Letih akan tangisnya.
"Wangi," panggilku pelan. Ia tak menoleh. Bahkan melirikku pun tidak.
"Wangi!" panggilku lebih keras. "Apa sih??" balasnya.
"Jangan pergi lagi!" kataku.
"Diam!" serunya.
"DENGARKAN AKU!!!!!" teriakku. Dan ia terhenyak. Terhuyung dalam keterkejutan akan suaraku yang meninggi tak biasa.
"Berkali-kali, berkali-kali!!! Tidak letih kah kau dengan mereka?? Kau begitu terpesona oleh mereka sampai aku kau pinggirkan!!! Dan saat ganti kau yang didepak oleh mereka, kau baru kembali dengan tangismu!!! Kau memohon maaf padaku karena tak mendengarku. Aku capek!! Aku letih!!!" jeritku. Ia masih diam. Memandangku tak percaya.

"Wangi.....aku begini karena aku menyayangimu. Hanya karena aku bayanganmu bukan berarti aku tak mengerti. Aku memang tak bisa apa-apa. Aku tak bisa merangkulmu, menahanmu. Tapi aku melihatmu dan aku merasakan pedihmu. Karena aku bagian dalam dirimu.....," kataku pelan. Letih sudah mendera. Wangi jatuh lemas. Air mata mengalir lagi. Aku telah menamparnya. Dan kami lalu terisak bersama.


*anind*

Thursday, 2 August 2012

Klenteng Merah

Imlek. Tahun Baru Cina. Semua warga keturunan Tiong Hoa berduyun-duyun ke klenteng. Ramai-ramai mereka berdoa agar tahun ini penuh berkah. Apalagi ini tahun Naga. Naga dipercaya sebagai dewa yang membawa keberuntungan. Tapi, menjelang tahun baru ini sama sekali tak dirasakan hujan dan angin yang mendekati badai. Ini malah membuat para warga keturunan Cina gelisah. Tak ada angin dan tak ada hujan artinya susah mencari rejeki selama setahun mendatang. Pertunjukkan barongsai digelar semalam suntuk. Para biksu dan warga berdoa dengan khusyuk. Yang lain menonton barongsai atau duduk diam dirumah masing-masing sambil menatap langit. Berharap hujan dan angin segera datang ke bumi. 

Ni O menatap klenteng di depan rumahnya. Klenteng kini ramai dikunjungi warga, tidak hanya warga keturunan tapi juga warga lokal. Menyaksikan barongsai. Seperti tiada lelah, pemain barongsai itu terus menerus menari di balik kostum barongsai, mengedip-kedipkan mata dengan genit dan mengundang tawa. Lampion-lampion terus menyala. Ornamen naga raksasa di depan klenteng tampak gagah dan indah. Suka cita itu tak sampai di hati Ni O. Entah mengapa ia tak menikmati malam pergantian tahun Cina ini. Biasanya ia akan semalaman di klenteng. Setelah sembahyang ia akan membantu ibu-ibu di sana atau bergosip dengan para remaja. Atau bercanda dengan Han Wen, teman sejak kecilnya. 

Dari kejauhan Ni O bisa melihat Han Wen berkeringat di balik kostum barongsai warna kuning. Biasanya Ni O akan melemparkan handuk ke muka Han Wen sambil menyodorkan sebotol air mineral. Lalu Han Wen akan menjepit dirinya dengan mulut barongsai. Dan mereka tertawa bersama. Tapi kali ini tidak. 

Ni O berbaring lagi di kasurnya. Menatap langit-langit. Menyusuri garis kecoklatan bekas bocor di sana. Panjang, meliuk, seperti tubuh naga. Kamarnya bau Hio. Setengah jam yang lalu ibunya berdoa di kamarnya, sebenarnya di setiap ruangan di rumah ini. Ni O pura-pura tidur agar tidak mengganggu ibunya. Dan juga agar ia tak disuruh ke klenteng. Bukannya malas. Ia hanya sedang tidak bersemangat. 

Tiba-tiba jam besar di ruang tengah berdentang. Dua belas kali. Sudah ganti tahun. Ni O mendengar sorak sorai di klenteng. Tetapi ia juga mendengar suara tangis kecemasan samar-samar. Suara nyanyian seorang wanita menelusup di telinganya. Ni O diam, menajamkan pendengarannya. Nyanyian itu masih ada, namun kemudian hilang. Ni O duduk di kasurnya dan menatap klenteng dari jendela. Tak ada yang menyadari, mata naga raksasa itu bersinar sekejap tepat ke mata Ni O. 

Tuesday, 10 July 2012

Redup

Hampir setahun sejak pertemuan pertamaku dengannya. Samar-samar aku ingat wajahnya, senyumnya. Bagaimana ia serius ketika bekerja, alisnya yang bertaut tanda ia sedang berpikir. Kegesitannya, emosinya, keceriaannya. Namun dalam pertemuan pertamaku itu perhatianku tak hanya tertuju padanya. Ada yang lain, yang tak teraih, namun membekas di hati. Kesederhanaannya, kedewasaannya, ketenangannya. Mereka berdua berbeda. Mereka berdua bersahabat.

**

Aku berjanji bertemu dengannya pagi ini. Kupersiapkan diriku sebaik mungkin. Aku tak sabar ingin melihatnya. Apakah dia juga? Lama tak bertemu, berubah kah dia? Sebenarnya ada saat kami bertemu kembali setelah pertemuan pertama kami. Tapi aku tak pernah punya nyali untuk mendekatinya. Seperti biasa dia tampak ceria. Akan kah ia menebar senyum cerianya lagi?

Aku menghubunginya. Ia membalas posisi dia sekarang. Aku sengaja mengulur waktu sedikit meskipun jarakku sudah dekat dengannya. Menata hati. Dan akhirnya aku menemukannya. Duduk bersila di hadapan sebuah laptop. Tampak serius seperti biasa. Namun ada ceria di matanya, dan seulas senyum di bibirnya. Cantik. Tapi kenapa dadaku berhenti bergemuruh? Ada yang salah. Bukan, bukan dari dia. Dariku kah?

Aku berjalan di depannya. Ia tak menyadari kehadiranku. Lalu aku menghempaskan tubuhku di sebelahnya, ia menoleh dan aku langsung disambut senyum lebarnya. Sejenak kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Hampir dua jam, kalau itu bisa dibilang sejenak. Aku meliriknya. Astaga, ia melihatku! Dengan matanya yang bulat besar, senyum mengembang di wajahnya yang makin lebar ketika aku menyadari bahwa ia melihatku. Laptopnya sudah ditutup.

"Sudah selesai?" tanyaku. Ia mengangguk. Tapi ia tak beranjak dari duduknya. Ia tampak bosan. Aku....entah kenapa aku tak bisa memberikan inisiatif. Otakku sepertinya berhenti berkreasi. Andai saja aku bisa membaca apa yang ada di pikirannya. Senang kah dia bertemu aku? Atau jemu? Jangan-jangan dia juga berpikir sama sepertiku. Ini di luar ekspektasiku!!

Bukan...bukan dia yang salah. Dia tampak menyenangkan, seperti biasa. Hanya saja, setelah bertemu dengannya, semangat yang tadinya ada mendadak menguap. Entah kenapa. Biasa saja.  Aku paksakan untuk berbicara. Menanyakan kesehariannya. Ceritanya menyenangkan. Beberapa hal membuatku terpingkal. Tapi kemudian ada jeda setelah tawa. Ada hening setelah ramai. Mungkin aku jahat. Tapi aku malah ingin bertemu dengan yang lain. Ingin melihat ketenangannya. Keteduhannya. Yang bisa menyeimbangkan sinar menyilaukan.

Akhirnya aku menyerah. Kami pun pulang. Tak ada indikasi pertemuan akan diteruskan. Tak ada yang berkata "Senang bertemu denganmu" atau semacamnya. Hanya saling bertukar senyum, saling melambai, lalu pulang ke arah masing-masing. Hanya demikian. Singkat saja. Seandainya tadi aku berani, mungkin aku akan menambahkan kata "maaf" setelah kata "terima kasih".

Monday, 18 June 2012

The Unknown : The Fashionable One

nerusin cerita dari Ichy The Unknown : Hari Pertama yang digagas ama Farah The Unknown : Penentuan

Nania menyesap tehnya dengan penuh syukur. Setelah diterima dan disambut dengan hangat, serta melewatkan hari pertamanya bekerja di sini membuat Nania merasa lebih rileks. Sebelumnya ia telah menyiapkan mental untuk hal-hal buruk. Seperti tidak diterima, atau penyambutan dingin dan tak menyenangkan dari orang-orang di kantor ini. Betapa terkejutnya ketika semua berjalan sangat mulus. Sangat lancar.

Tapi yah, omelan Mama disela kegembiraannya mau tak mau mengusiknya juga. Mama yang tiap pagi ngomel dengan penampilannya agar tampak lebih menarik, kehebohan Mama dan harapan Mama yang memintanya untuk segera cinlok dengan salah satu teman sejawatnya tidak bisa diabaikan begitu saja. Pengen sih pengen. Tapi apa mungkin bisa secepat itu? Ah, sudahlah. Yang penting kerja dulu.

Suara kletak-kletok hak sepatu menggema di ruangan. Ini asing. Orang-orang di ruangan ini jarang mengenakan sepatu yang berisik macam itu. Kadang mereka memilih wira-wiri dengan sandal karet yang mereka simpan di bawah meja masing-masing. Tapi ini? Nania agak terganggu, menoleh dengan sangat penasaran ke arah suara. JEBRET!!! Nania membelalak.

Tinggi semampai, langsing, setelan jas warna marun rapi tanpa kusut setitik pun. Sepatu stilleto hitam mengilat tanpa debu. Rambut pendek model bob yang tersisir rapi. Make up sempurna tanpa cela, tak berkesan tua. Beberapa pria di ruangan menoleh. Ardi yang terkenal rame bersiul nakal. Para wanita menyapa ramah, sebagian tak menggubris. Nania makin membelalak ketika sosok cantik dengan penampilan sempurna itu berjalan ke arahnya.

"Kamu ya anak baru itu?" tanyanya. Nania mengangguk, tersenyum sopan.
"Ckckck, apa-apaan. Rambut berantakan, kemeja lusuh, rok kusut, makeup luntur, sepatu kusam. Gimana citra kantor kita kalo ketauan punya pegawai nggak oke kayak gini??" cerocosnya. Nania bengong. Apa dia bilang??
"Dandan dikit kek kalo ke kantor. Malu tau punya pegawai berantakan kayak kamu gini. Iyuuuh,"

"Lily, udah lah. Namanya juga anak baru. Lagian beda ruang juga ama kamu, jangan digituin ah," sahut Rosa dari biliknya.
"Ckckck, kalian ini. Kalo bukan aku yang ingetin kalian, mana mungkin kalian berpenampilan lumayan oke kayak gini? Masih lumayan lho ya. Yang ini...aduuh, males ah training dia lagi," kata Lily.

Nania masih terdiam. Kalo nggak inget dia masih baru di sini, udah meledak kali dia. Siapa juga yang mau ditrainee ama dia? Penampilan nggak oke? Masih mending pake baju, daripada telanjang ke kantor?? Mood kerja jadi anjlok kalo begini caranya!!

Tuesday, 1 May 2012

Kembali

"Masakin," katanya. Aku mengibaskan tangan, menyuruhnya menjauh dariku.
"Apa sih? Ketemu sekali langsung bilang masak, masak," sungutku.
"Masakanmu enak, aku mau lagi,"
"Lagi nggak pengen masak," jawabku datar.
"Ayolah,"
"Apa sih? Ogah!" jawabku kesal.
""Pelit," katanya. Dalam hati aku mengikik senang.


"Masakin, doong," pintanya lagi.
"Nggak ada kata lain selain itu ya?"
"Aku mau kamu masakin lagi," pintanya memelas.
"Aku lagi nggak mood masak," kataku.
"Masa dari kemaren nggak mood terus?"
"Masa dari kemaren minta dimasakin terus?" sahutku balik.
"Pelit,"
"Biarin," jawabku sambil menjulurkan lidah.


"Ndut,"
"Namaku bukan Ndut," jawabku kesal. Apa sih maunya orang ini? Bisa nggak sih dia manggil aku dengan namaku saja? Dikiranya aku nggak risih dipanggil ndut? Aku kan nggak gendut. Terus dia nyuruh aku ke taman ini buat apa coba? Sore-sore begini kan enaknya di rumah aja. Kenapa juga aku turutin dia buat ke sini. Aku sebal dengan diriku sendiri.
"Main yuk," ajaknya.
"Ke mana?"
"Main futsal,"
"Heh, aku nggak main futsal!" jawabku.
"Temenin," katanya.
"Cewekmu aja lah," jawabku.
"Udah nggak sama dia," jawabnya.
"Ooooh, baguuus. Jadi aku serepan gitu? Kalo kamu udah nggak ada pacar baru ngajak aku? Pantes dari kemaren kamu minta dimasakin segala, mulai sms-sms juga. Ke mana aja kamu kemaren? Sibuk sama pacarmu?" kataku sengit.
"Kok kamu marah?" tanyanya.
"Siapa yang marah? Nggak!" jawabku dengan nada sedikit meninggi.
"Itu tadi?"
"Apa sih? Sana pergi," usirku. Dia diam. Tak beranjak.
"Lavender Violeta Arum," katanya, menyebut nama lengkapku. Aku tak menoleh. Aku pura-pura tak mendengarnya. Ia memanggilku lagi dan aku masih saja tak peduli. Aku kesal. Ke mana saja dia? Ketika ia berpacaran dengan wanita itu, tak sekalipun dia menghubungiku. Giliran udah putus baru sms, baru ngehubungin. Ish. Dikiranya aku ini serepan apa?
Aku pergi meninggalkannya. Dalam perjalanan mendadak ponselku berbunyi.

La, balik, please. Ada barang milikmu yang ketinggalan.

Barangku? Aku nggak merasa ninggalin barang apapun. Aku saja nggak bawa apa-apa selain tas berisi dompet dan ponsel, dan semuanya masih utuh di dalam tas. Penasaran aku berbalik dan berjalan menuju dia. Dia masih di sana. Dalam posisi yang sama. Kedua tangannya berada di balik punggungnya. Ia berdiri tegap. Sinar matahari sore di belakangnya, membuatnya tampak seperti siluet. Seperti lukisan. Jingga, siluet, taman. Novel banget.
"Apa?" tanyaku ketus. Aku hampir melonjak ketika ia mendadak berlutut di hadapanku. Kupikir dia jatuh pingsan karena kelamaan berdiri menungguku balik. Tapi dia nggak ambruk. Hanya bersimpuh di depanku, mendongak menatapku. Tangan kanannya mendadak meraih tangan kiriku. Aku tak sempat mengelaknya. Tapi aku berusaha menepis tangannya. Nggak bisa. Tangannya lebih kuat dari tanganku. Dan mendadak, sebuah cincin emas mungil sudah melingkar di jari manis kiriku.

Saturday, 28 April 2012

Sebuah Nama, Sepenggal Kenangan

Sore yang panas membuat Ratna memutuskan untuk membuat segelas es kopi dengan shaker-nya. Ia tuang serbuk kopi yang diserukan sebagai kopi dengan kadar asam rendah ke dalam shaker, lalu menuang air es dan tiga bongkah es batu. Ditutupnya shaker dan mulai mengocok, lebih tepatnya mengguncang shaker warna pink putihnya. Ditenggaknya dengan penuh kepuasan. Sore yang tenang, meskipun hawanya panas. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Mama.

"Halo,"
"Halo, ndhuk. Lagi ngapain?" tanya Mama. Ada nada semangat tersirat dalam suaranya.
"Bikin es kopi, panas," jawab Ratna.
"Oooh. Ndhuk, kamu inget Mas Angga?"
"Mas Angga siapa, Ma?"
"Mas Angga, yang anaknya temen Mama waktu SMA, Tante Yuni. Yang rumahnya di Malang juga," jawab Mama.
"Ma, itu Mas Galih, bukan Mas Angga," jawab Ratna.
"Oooh, iya, Mas Galih! Aduh, lupa Mama. Iya, Mas Galih mau nikah,"
JDAAARRRRR!!!!! Ratna terpaku.
"Minggu depan, ndhuk, resepsi di Malang. Mama mau dateng, kamu ikut ya,"
JDAAAARRRRRR!!!!! Ratna ambruk.


Monday, 27 February 2012

Keputusan Terakhir, cerpen duet bareng @rayfarahsoraya

Ini cerpen duet aku sama @rayfarahsoraya. Baru kenal, dikenalin @IchyFitri. Dia ikut #20hariNulisDuet. Bikin beginian ternyata asik juga :3


Fafa menatap jam di dinding
’8 jam lagi’,batin Fafa.Dibereskan lagi semua yang masih belum masuk.
Satu,dua,tiga,,,Tiga koper besar dan masih ada yang harus ia urus dan ia masukkan ke dalam koper berikutnya. Fafa menghela nafas panjang,lelah. Hampir tiga jam lebih ia masih sibuk mengepak barang.
‘Kenapa harus mendadak gini sih?’
Semuanya hampir ia salahkan,ini bukan karena keinginan Fafa,ini keinginan mereka,atau mungkin Fafa menginginkannya tapi urung mengakuinya.
***

Lima tahun mereka bersama, lima tahun itu pula Fafa memujanya. Rasanya seperti sebagian hidup Fafa didedikasikan hanya untuknya. Hampir seluruh temannya bilang ia terobsesi, berambisi, terhadap wanita itu. Fafa hanya menggeleng, menepis perkataan mereka, olokan mereka, yang berkata bahwa Fafa terlalu berlebihan. Fafa merasa nyaman dengan dia. Itu saja. Itu yang membuat Fafa bertahan dengannya lima tahun ini, meng’iya’kan segala perkataannya. Bukan hanya permintaannya, bahkan omelan kecilnya untuk bergegas mandi atau membereskan ruang TV yg berantakan. Semua Fafa patuhi. Seperti sekarang ini. Ketika ia berkata ingin pindah ke Singapura, tiga hari lalu. Dan ia ingin pergi bersama Fafa. Dan itu harus. Yang berarti mengorbankan pekerjaan Fafa, kuliah Fafa, juga tabungan Fafa.

Tok tok tok
Bunda mengetuk lembut pintu, Fafa tahu, ada yang sangat ingin Bunda katakan sebelum keputusan ini terlanjur bulat. Bagi Fafa, semua sudah positif, Fafa ingin selalu bersama Ninda.
“Masuk,Bunda”
Bunda masuk dan tersenyum kepada anak lelaki yang ia cintai.
“Kamu belum sarapan,Mas”
Fafa menggeleng pelan, “Sebentar ya Bunda, masih banyak yang harus Mas packing“
Bunda duduk di sebelah Fafa, membantu melipat pakaian. Menatap lama anaknya, Fafa tidak ingin Bunda menangis, atau mengatakan sesuatu yang membuat semua keputusan menjadi berat. Bunda mengelus kepala putranya sekilas.
“Kamu yakin sama semua keputusanmu,Nak?”
‘Bunda..kok pertanyaan itu lagi?’,Fafa tersenyum dan mengalihkan pandangannya ke semua barang-barangnya.
“Kuliah kamu gimana?”
“Bunda, disana banyak beasiswa. Bunda jangan pernah khawatir sama Fafa ya?”
Fafa tahu, semakin ia menghibur Bunda kalau semua semakin baik-baik saja, semakin Bunda khawatir. Tapi keputusan Fafa sudah bulat, demi Ninda. Ia bersedia mengajak serta ke Singapura. Barang-barang Ninda sudah dikemas dan ia bergegas pulang, bahkan Fafa sendiri belum berkemas, namun Ninda yang didahulukan, diutamakan.
Bunda meninggalkan kamar Fafa, tapi ada satu pertanyaan yang membuat Fafa tertegun, hanya satu, yang tidak pernah diajukan Bunda.
“Mas, seberapa yakin Ninda akan menjadi milik kamu? Jawab dengan hatimu sendiri,Bunda tidak perlu tahu. Tapi hati kecil kamu harus tahu”.

*****

Semua sudah siap. Fafa meminta keluarga untuk tidak mengantarnya. Pedih rasanya melihat wajah mereka yang berat melepasnya. Fafa ingin tinggal. Tapi ia juga ingin bersama Ninda. Ia juga ingin merasakan hidup mandiri di negeri orang. Ninda juga tidak diantar keluarga. Hanya sopir yang bertugas mengantar mereka, tanpa menunggu. Dan di sinilah mereka. Duduk berhadapan di sebuah cafe di bandara. Tak ada obrolan. Tak ada candaan. Tak ada kalimat mesra. Masing-masing menggenggam cangkir berisi kopi yang masih utuh. Dari mulai masih mengepul hingga menjadi dingin. Seakan ada hal sama yang mereka pikirkan. Benarkah keputusan ini? Ninda yang ngotot pindah ke Singapura karena tak tahan dengan kondisi keluarganya yang tidak harmonis. Dan dia butuh Fafa untuk terus di sampingnya. Fafa yang tak pernah bilang “tidak” untuknya.
Mereka menunggu panggilan operator yang mengumumkan mereka untuk segera ke pesawat. Setengah jam, satu jam. Fafa mulai merasa ada yang tak beres. Fafa beranjak dari kursinya.
“Aku tanya petugas dulu ya,” katanya, dibalas anggukan Ninda. Fafa mendekati petugas berseragam merah, seragam maskapai penerbangan yang pesawatnya akan mengantar mereka. Menerbangkan mereka ke negara tetangga. Fafa tampak shock, kemudian berlari ke arah counter check in di bawah. Ninda melihatnya, bergegas menyusulnya. Ninda melihat Fafa lemas di depan counter check in.
“Ada apa?” tanya Ninda, heran melihat wajah pucat Fafa.

“Kita ketinggalan pesawat dua jam yang lalu….,” jawab Fafa lemas. Dan di antara kebingungannya, ia seperti melihat sosok Bunda-nya, merentangkan kedua tangan mengajak Fafa untuk pulang.