Friday, 13 September 2024
The Joy of Parenting-nya Ashana
Konseling Kedua Ashana
Ashana kembali melajukan motornya ke rumah sakit lagi. Seminggu yang lalu ia konseling pertama kali ke Psikolog dan merasa lebih baik. Terkadang ia sungkan, akankah masalah yang diceritakannya ini sebenarnya adalah sesuatu hal kecil yang remeh? Bahwa sebenarnya masalah yang ia pikirkan hingga sulit tidur ini adalah hal yang tidak penting.
Namun melihat respon Bu Kirana kemarin, ia tidak melihat gelagat yang menunjukkan pendapat seseorang yang meremehkan. Ia menangkap respon orang bersimpati, dan hal itu melegakannya. Ia tumbuh dalam kritikan. Setiap pencapaiannya terasa masih kurang saja bagi ibunya. Ibunya ingin ia dulu selalu ranking tiga besar. Nyatanya dia selalu bertahan menjadi ranking sepuluh. Sekalinya naik menjadi rangking tujuh, ia membayangkan ibunya akan bahagia bukan kepalang. Namun kegembiraannya tersebut ternyata dibalas dengan respon yang di luar bayangannya. Ibunya berbaring santai di sofa sambil memejamkan mata, dan bertanya sambil lalu ia ingin hadiah apa, dengan nada bosan dan seolah informasi kenaikan rankingnya adalah sesuatu hal biasa dan memang seharusnya Ashana lakukan.
Ibunya dulu sering berkata, anak seusia Ashana tugasnya hanya belajar. Ia tidak dibebani kewajiban mencari nafkah di usia anak-anak, tidak memiliki kegiatan lain selain belajar. Merupakan suatu kewajiban bagi Ashana untuk meningkatkan prestasi akademiknya. Ashana kecewa. Seolah perjuangannya menaikkan ranking dari sepuluh menjadi tujuh seperti sia-sia. Ia ingin selebrasi. Ia ingin disanjung dengan gegap gempita. Namun yang ia dapatkan ternyata sebuah reaksi datar yang melebihi datarnya kaca. Belakangan Ashana menyadari, di usia yang beranjak dewasa, peristiwa itu menjadi pelajaran baginya untuk tidak terlalu mengharapkan pujian dari orang lain. Ternyata, mengapresiasi diri sendiri juga merupakan hal yang bisa dan boleh dilakukan, bukan berarti kita menjadi sombong atau tinggi hati.
Ashana melangkah mengikuti prosedur pendaftaran. Hari ini tidak seramai minggu lalu. Ia langsung masuk ke ruang poli psikologi dan tersenyum menatap Bu Kirana.
"Halo," sapa Bu Kirana cerah. Ashana meletakkan jaket dan tasnya, bersamaan dengan Bu Kirana menggelar matras yoga berwarna merah jambu nan ceria.
"Hari ini kita belajar teknik relaksasi ya. Saya beri setidaknya tiga gerakan dulu, biar kamu gak lupa. Nanti ini jadi PR kamu untuk dilakukan di rumah," kata Bu Kirana. Ashana kagum. Baru saja dia akan bertanya atau meminta teknik relaksasi, ternyata Bu Kirana sudah siap akan hal itu.
Ashana melepas sepatunya dan melihat gerakan yang dicontohkan Bu Kirana. Selanjutnya giliran dia untuk mencoba. Setelahnya Ashana kembali duduk di sofa dekat pintu dan berhadapan dengan Bu Kirana.
"Bagaimana seminggu kemarin dengan Mama? Ada kejadian menarik atau tidak?" tanya Bu Kirana. Ashana menceritakannya, pun menceritakan tentang suami dan anaknya. Sesekali Bu Kirana menimpali. Sesi konseling ini terasa seperti dua teman sedang bercerita. Hanya saja, bedanya bukan saling menceritakan keluarga masing-masing, seperti yang biasa terjadi antara Ashana dengan teman-temannya. Bu Kirana menimpali cerita Ashana dengan penjelasan. Inilah mungkin yang membuat konseling ke Psikolog terasa berbeda kelegaannya, dibanding bercerita hal yang sama dengan sahabat atau suami sendiri.
Selesai konseling, Ashana kembali ke kantor dan buru-buru mengambil jurnalnya. Ia menulis poin-poin yang bisa ia ambil dari konseling hari ini. Ashana mengamati ada dua poin besar.
- Orang tua usia 65 tahun ke atas, naturalnya akan semakin susah diberi pemahaman. Kita sebagai anak menyikapinya dengan pemakluman, bukan pengabaian, atau menuruti semua keinginannya. Ada kalanya kita akan merasa sangat tidak setuju atau tidak nyaman dengan pendapatnya atau sikap mereka yang sulit diberi masukan. Namun kita harus memaklumi bahwa memang orang tua usia 65 tahun ke atas itu secara natural akan demikian.
- Dampingi pasanganmu dalam hal positif. Terutama jika ia mengalami kesulitan penyesuaian diri di lingkungan baru. Namun, tanggung jawab terbesarmu adalah anakmu. Pemenuhan keinginan (bukan batiniah) suamimu bukan menjadi tanggung jawabmu. Fokuslah ke anakmu karena itu adalah tujuan dan tanggung jawabmu.
Ashana berhenti sejenak. Ia memejam menahan air mata yang akan keluar. Sekarang, setiap kali membahas anak, ia terenyuh. Sebelum menikah dan lahir anak, ia merasa hidupnya seperti tak ada tujuan. Dulu ia merasa seperti tahu tujuan hidup. Lulus SD, memilih SMP tujuan, lanjut SMA tujuan, lanjut kuliah tujuan, lanjut lagi mencari kerja. Itu semua terasa terarah. Setelah semua tercapai, kala itu ia merasa tujuan berikutnya adalah menikah. Namun hingga target usia menikahnya terlewat, ia seperti hilang arah. Setiap pria nampak seperti berlalu lalang di sekitarnya namun tidak ada satu pun yang menoleh dan melihatnya. Seolah ia adalah makhluk tak kasat mata. Bertahun-tahun ia bertanya-tanya apa yang kurang. Apakah kurang cantik? Kurang pintar? Kurang seksi? Kurang manja? Kurang kaya? Atau malah terlalu pintar? Terlalu mandiri? Terlalu tinggi pencapaiannya sehingga membuat para pria minder dan silau mendekatinya?
Thursday, 12 September 2024
Ashana Kembali Jurnaling
Ashana beranjak dari kursi tunggu. Kakinya berjalan melewati banyak pasien yang sedang menunggu giliran periksa. Ia tidak menyangka setiap hari poliklinik rumah sakit menangani sekian banyak pasien. Tapi dari sekian poli, poli psikologi lah yang paling sepi pengunjung.
Sampai saat ini, pentingnya kesehatan mental masih menjadi sesuatu yang diabaikan. Mungkin karena tidak ada batasan yang jelas atau terlihat mata, orang dengan gangguan mental yang perlu bantuan profesional itu pada taraf yang seperti apa. Banyak yang masih mengabaikan gejala-gejala yang dialami karena merasa masih baik-baik saja. Padahal tanpa ia sadari sudah mulai mengganggu aktifitas sehari-harinya.
Selain itu, stigma masyarakat yang menganggap bahwa gangguan mental sama dengan sakit jiwa atau orang gila membuat mereka masih amat enggan untuk memeriksakan dirinya. Dalam sesi konselingnya tadi, Bu Kirana juga bercerita bahwa sampai saat ini, bantuan BPJS untuk poli kejiwaan masih sulit ditembus. Seakan-akan masalah kejiwaan bukan masalah kesehatan yang darurat untuk ditangani. Padahal obat untuk pasien kejiwaan tergolong mahal, dan tidak semua orang memiliki dana untuk membelinya, padahal mereka membutuhkan. Dianggapnya mungkin hanya dengan bercerita saja sudah cukup melegakan. Padahal ternyata banyak pasien psikiater yang mengalami kecemasan berlebihan hingga badan gemetar dan sulit tidur berhari-hari serta mengalami halusinasi karena lama terabaikan.
Orang-orang menunggu parah dulu baru berobat. Kebanyakan demikian. Kesehatan mental jika terus diabaikan dapat mempengaruhi kesehatan fisik juga. Ini yang kurang dipahami masyarakat. Padahal sering kita jumpai, orang-orang yang mengeluh sakit kepala berlebih, ketika general check-up secara fisik semua baik-baik saja. Tapi ia mengeluh sakit kepala hebat dan sulit tidur.
Ashana memikirkan hal ini sambil terus berjalan menuju parkiran. Ia kemudian melajukan motornya ke sebuah kedai kopi. Bu Kirana menyarankan ia untuk melakukan jurnaling. Ia terdiam. Ashana sudah melakukan jurnaling namun mengalami kesulitan untuk konsisten melakukannya.
Ia mencari inspirasi dari Pinterest, yang ada jadi lebih mengutamakan tampilan jurnalingnya daripada isi dan esensi jurnaling untuk mengurai atau mengurangi beban pikirannya. Ia akhirnya memutuskan untuk memulainya lagi. Ia berkomitmen pada dirinya sendiri untuk melakukan jurnaling sesimple mungkin. Yang mana memang benar-benar untuk menuang isi pikirannya. Ia akan mengesampingkan kesempurnaan demi melegakan isi otak dan hatinya.
Sayangnya, ia lupa membawa notes kecilnya. Namun notes kecil itu telah terisi emosi-emosinya sejak awal tahun dan sepertinya sudah waktunya untuk menyerahkan tongkat estafet ke notes lain, meskipun masih ada sisa beberapa lembar.
Ia memutuskan untuk mampir ke sebuah toko buku dan memilih buku notes kecil beserta pulpen, dan bergegas ke sebuah kedai kopi yang sudah lama ingin ia kunjungi.
Kedai kopi di tengah kota, kecil terhimpit di antara dua bangunan besar. Dari luar nampak seperti warung kopi kecil. Siapa sangka kalau kau berjalan di gang sebelahnya, menuju di belakang yang nampak seperti warung tadi, ada beberapa tempat duduk dan meja yang siap menahan berat badanmu dan berat pikiranmu.
Selain itu, jika kau naik melewati tangga yang menempel dinding, kau akan menemukan meja kursi lain dengan pemandangan genteng rumah warga sekitar yang bisa kau lihat sambil menyesap kopi pesananmu.
Ashana memasuki kedai dan disambut barista yang langsung beranjak muncul dari balik bar. Ashana bimbang memandang papan menu. Antara Americano dingin minim kalori untuk menunjang diet dan olahraganya atau Butterscotch Latte untuk memanjakan diri setelah menahan untuk tidak mengkonsumsi gula. Akhirnya ia memutuskan untuk cheat coffee break. Segelas Butterscotch Latte minim gula dengan beberapa potong cireng setelah enam belas hari makan sehat ia rasa tidak akan terlalu berdosa.
Setelah memesan dan melakukan pembayaran, Ashana berjalan melewati gang di sebelah kedai dan memilih duduk tepat di belakang kedai. Sudah ada dua orang yang duduk di meja pojok. Sekilas tampak sepertinya mereka berusia 20-an. Laki-laki dan perempuan. Mereka mengobrol sesuatu seperti sebuah rencana liburan beramai-ramai. Yang perempuan sembari menghirup vapour.
Ashana tidak habis pikir, tren vapour ini meresahkan untuknya. Dia tidak peduli gender, baginya vapour tetap sama merugikannya seperti rokok konvensional. Vapour malah kau menghirup uap air, bayangkan kau mengantar uap air itu memasuki paru-parumu dan dia akan mengendap di sana. Terakumulasi berhari-hari. Tapi bagaimanapun, itu pilihan orang. Ashana tidak memiliki hak untuk menegur apalagi melarang. Ia hanya menyayangkan dalam hatinya.
Sembari menunggu pesanannya datang, Ashana membuka notes barunya. Ia sempat merenung, apa yang akan ia tulis di jurnal barunya?
Tanpa sadar, ia memulai dengan kata :
Hai, Ashana. Aku ucapkan terima kasih atas keberanianmu melawan dirimu sendiri untuk tidak mengabaikan kebutuhan bantuan profesional atas kesehatan mentalmu. Aku tahu kau merasa baik-baik saja. Saat ini. Tapi kau tidak baik-baik saja kemarin dan beberapa hari sebelumnya. Hari ini kau sudah berhasil mendorong dirimu untuk ke psikolog dan aku bangga denganmu. Tidak menakutkan bukan?
Ashana melanjutkan jurnalingnya dengan membuat daftar rangkuman dari apa saja yang disampaikan dan disarankan oleh Bu Kirana. Sepertinya ia perlu untuk mencatat setiap hasil konseling nantinya. Agar bisa ia baca ulang dan mengingatkan diri sendiri.
Tak lama pesanannya tiba. Ia mengaduk Butterscotch Latte dan mulai menyesapnya. Lidahnya seakan menari dengan sensasi dingin dan manis yang perlahan bergulir dari gelas ke tenggorokannya dengan lembut. Dasarnya ia tak terlalu suka manis. Jadi mengurangi gula dalam dietnya tak terlalu sulit baginya. Ia beralih ke potongan cireng yang sudah disiram dengan sambal gula di atasnya. Ia meniriskan sambal gula itu ke wadah, dan menggigit pelan. Kekenyalan cireng yang ia santap terasa pas. Mengingat ia pernah merasakan cireng yang terlampau keras sampai-sampai berbunyi saat di lempar ke meja. Ironisnya itu adalah cireng pertama kali dalam hidupnya, dicicip saat berkunjung ke Bogor beberapa tahun yang lalu. Ia mendengus geli mengingatnya.
- Tidak perlu malu dan khawatir menunjukkan kelemahan di depan orang, terutama di depan orang terdekat kita. Tidak perlu terus menerus berusaha menunjukkan bahwa kita selalu bisa dan tidak butuh bantuan.
- Kelelahan ibu yang memiliki anak di usia 1-5 tahun, ibu pekerja, adalah sebuah hal yang wajar.
- Belajar teknik relaksasi untuk menurunkan emosi
- Usahakan untuk nggak ketrigger dengan emosinya Mama, terutama yang nggak berhubungan langsung dengan kamu
- Orang usia 60 tahun ke atas itu makin menua makin kaku, makin susah diberi penjelasan, kita yang harus memaklumi, kembali lagi jangan ketrigger.
Ashana meletakkan pulpennya. Ia merasa sepertinya ini saja sudah cukup untuk pemanasan menulis jurnalnya. Kurangnya konsistensi membuat kemampuan menulisnya tumpul kembali. Ia ingat masa kuliahnya dulu, di tengah kesibukannya menyusun skripsi, ia sering berkorespondensi dengan salah satu penulis ternama, dan sering mencoba menulis cerita. Tak jarang hasil karyanya dimuat di majalah. Ia rindu masa itu, rindu dengan dirinya yang fokus dan terlena dalam dunia penulisan. Sekarang, bahkan untuk menyelesaikan membaca satu bab buku novel saja dia membutuhkan waktu berhari-hari. Masanya sudah berganti. Kesibukan sebagai ibu pekerja memang sangat menyita pikiran dan tenaga. Sembari menghabiskan kopi dan cireng, ia berdoa dalam hati, semoga para ibu pekerja di luar sana selalu diberikan kekuatan dan ketangguhan, begitupun bagi ibu rumah tangga dan ibu-ibu yang lain.
Konseling Pertama Ashana
Ini bukan Jumat seperti biasanya. Jumat yang biasa Ashana jalani adalah sampai kantor pukul tujuh, saat kantor masih sepi belum berpenghuni, menyapa OB, lalu menyantap bekal sarapan di mejanya sampai satu per satu karyawan kantor berdatangan. Lalu memulai pekerjaan pukul delapan, istirahat pukul dua belas, pulang pukul empat. Begitu seterusnya, Jumat dan hari kerja lainnya.
Tapi hari Jumat ini berbeda. Ashana mengajukan cuti untuk dua hari, Kamis dan Jumat. Kamis kemarin dihabiskannya dengan berolahraga di pagi hari, sarapan salad buatan sendiri, membersihkan rumah dan membaca e-book sambil menikmati kopi. Terhitung sudah lima belas hari ia rutin berolahraga dan mengatur asupan makannya. Hal yang sering ia abaikan sejak bertahun-tahun yang lalu. Yang mengejutkan, efek dari rutin olahraga ini membuatnya candu. Selain lemak tubuh nampak berkurang, ia merasa moodnya jadi cukup baik dan terkontrol.
Hari ini, ia awali paginya dengan olahraga lagi. Lalu pukul sembilan, kakinya sudah melangkah di koridor rumah sakit. Tidak, ia tidak cidera. Ia tidak juga sakit fisik. Tapi ia merasa perlu bantuan untuk pikirannya.
Ia agak linglung masuk area rumah sakit. Dari area parkir ia langsung ke loket pendaftaran. Sepanjang menuju loket pendaftaran ia melihat banyak orang mengantri di depan poliklinik. Anak-anak batuk pilek bermain perosotan kecil di depan poli anak, beberapa orang tua duduk di depan poli mata, beberapa orang lain membuat ia bingung menentukan mereka pasien untuk poli apa karena mereka duduk di antara dua poli. Area loket pendaftaran dipenuhi orang-orang mengantre, beberapa dari mereka bahkan sudah duduk di kursi roda atau malah berbaring di stretcher, istilah untuk hospital bed yang mudah untuk mentransfer dan memindahkan pasien dari ruangan yang berbeda.
Ashana menghampiri loket yang kosong, berkata bahwa ia telah melakukan janji dengan psikolog. Ia diarahkan untuk mengambil nomor antrian dulu di lobby, lalu kembali ke loket pendaftaran. Ia mencari lobby, kebingungan di antara koridor yang nampak berputar-putar, alih-alih langsung mengarah dengan jelas. Akhirnya ia menemukannya, petugas resepsionis langsung tanggap. Ashana kembali ke loket pendaftaran dan melakukan pembayaran di kasir lalu berjalan ke poli psikologi. Kaget melewati koridor poli internis yang penuh pasien. Rata-rata usia tua, ada yang kondisinya nampak sehat bugar, ada yang sehat tapi terlihat lelah, ada yang nampak lemah tak berdaya. Ia ingat ayahnya pernah menjadi salah satu dari mereka. Entah apakah ayahnya masih melakukan kontrol atau tidak.
Sampai di depan poli psikologi, ia menengok layar ponselnya. Ada pesan masuk yang menyuruh dia langsung masuk saja karena pintu tidak dikunci. Ia melakukannya.
Ia langsung disambut wanita muda berbatik kuning cerah. Dialah Bu Kirana, psikolognya. Sesuai namanya, ia tampak cantik dan bersinar. Jantung Ashana berdegup. Tapi tidak seperti yang ia bayangkan. Ia membayangan ia akan gugup, menangis, lalu mulai bercerita tanpa henti.
Bu Kirana menyuruhnya duduk di sofa dekat pintu, sedangkan Bu Kirana sendiri duduk di kursi kampus dengan selembar kertas asesmen dan pulpen. Ia mengawali sesi konseling dengan mengajukan beberapa pertanyaan untuk Ashana. Pertanyaan seperti apakah ia sering ketakutan, sering sakit kepala, sering sakit perut, merasa tidak berguna, hilang minat berbagai hal, sampai pertanyaan apakah pernah terbersit keinginannya untuk mengakhiri hidupnya. Ashana sedikit bergidik dengan pertanyaan paling akhir. Jujur, ia takut dengan kematian. Ada tanggung jawab besar yang harus ia penuhi. Dan ia selalu berdoa kepada Tuhan agar dipanjangkan umurnya agar bisa melakukan tanggung jawab itu hingga benar-benar tuntas.
"Nah, gimana, mbak Ashana. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Bu Kirana dengan senyum tipisnya.
Ashana terdiam. Ia sempat membayangkan ia akan menangis dan memuntahkan semua isi pikirannya. Tapi malah ia terpaku dan kebingungan mau mulai dari mana. Semua terasa seperti akumulasi baginya. Bukan satu masalah terbaru saja yang membebani pikirannya. Terlalu banyak.
"Saya bingung, Bu, mau mulai dari mana," sahut Ashana. Bu Kirana tersenyum.
"Mulailah dari masalah yang paling memberatkan mbak Ashana saat ini," katanya.
Ashana akhirnya mulai bercerita. Entah karena efek olahraga atau bagaimana. Kegundahan yang setiap hari ia rasakan, yang membuatnya hari ini kemari, terasa seperti biasa saja. Perasaan gundah itu masih ada, tapi ibarat orang mengetuk pintu meminta keluar, ia mengetuk dengan sopan. Bukan lagi menggedor dengan brutal. Cerita mulai bergulir dari bibirnya dengan tenang. Sesekali ia memandang ke jendela. Pucuk pohon besar di luar bergoyang diterpa angin seperti cheerleader mengayunkan pom-pomnya, memberi semangat bagi para atlet yang sedang bertanding. Bu Kirana memandanganya, sesekali mengangguk, sesekali menulis sesuatu di balik kertas asesmen.
Setelah dirasanya cukup, Ashana berhenti bercerita. Bu Kirana juga mengangguk lagi dengan anggukan lebih dalam dan lebih mantap. Seakan ikut menegaskan bahwa cerita Ashana telah selesai.
"Mbak Ashana, dari hasil asesmen singkat saya, serta dari cerita mbak Ashana, mbak Ashana ini mengalami gangguan kecemasan. Pertama, saya mau bilang ke mbak Ashana, hal ini di usia mbak Ashana, dengan status mbak Ashana yang sudah menikah dan punya anak, adalah hal yang wajar. Apalagi, kita baru saja melewati masa pandemi, tingkat kecemasan masyarakat meningkat cukup signifikan. Sayangnya, meskipun kebanyakan orang sudah mulai aware dengan pentingnya kesehatan mental, mereka masih belum punya keberanian untuk meminta bantuan profesional untuk mengurai dan meredakan kecemasan mereka. Jadi, sebelum saya lanjutkan, saya mau bilang terima kasih dan selamat untuk mbak Ashana yang sudah mau mendengar kebutuhan jiwanya untuk pulih dan tidak menunggu parah terlebih dahulu," ucap Bu Kirana dengan lembut namun tegas.
Ashana tersenyum lega. Apresiasi seperti ini jarang sekali ia dapatkan dari orang terdekat pertamanya, ibu kandungnya. Ashana lebih sering dipuji cantik pada moment tertentu, jarang dipuji pintar kecuali untuk hal yang benar-benar tidak bisa dilakukan oleh ibunya seperti menyetir. Jadi, apresiasi semacam ini seperti oase baginya.
Thursday, 2 September 2021
Pregnancy Diaries : Morning Sickness & Ngidam, Benarkah Suatu Keharusan?
Aku teringat dokter kandungan pertama yang kukunjungi, dalam kalimatnya ia seolah berkata karena aku belum mual, itu adalah tanda janin lambat berkembang. Aku jadi merasa mual adalah suatu keharusan dalam menjalani trimester pertama kehamilan.
Ini yang membuatku mengobrol dengan si bayi, aku tak apa-apa mual asal ia tumbuh berkembang. Aku siap dengan mual, sehebat apapun itu, asal itu memang tanda ia berkembang.
Tapi dr. Adyuta tidak mengisyaratkan bahwa mual adalah keharusan. Ia hanya bertanya apakah aku mual, dan tidak berkata apa-apa lagi ketika kujawab tidak.
Setelah kunjungan ke dr. Adyuta yang kedua karena aku meminta tambahan surat ijin istirahat, dr. Adyuta hanya menambahkan obat penguat kandungan yang dosisnya dikurangi dan tambahan vitamin zat besi. Dua hari berikutnya flekku berhenti. Sebagai gantinya aku mulai merasa mual.
Penciumanku menjadi lebih tajam dari biasanya. Aku benci aroma parfum yang biasa kukenakan, membuatku pusing seharian. Aku tidak suka aroma suamiku, yang biasa kuendus setiap pagi dan malam sebelum tidur. Aku langsung mual ketika membuang sampah, yang biasanya kulakukan dengan tenang mau sebusuk apapun baunya.
Tapi aku bersyukur mualku tidak sampai mual muntah heboh. Lebih banyak hanya merasa eneg. Kalaupun sampai muntah, hanya sekali dua kali dan tidak keluar apa-apa.
Hanya saja enegnya memang tidak segera hilang. Dan ia baru hilang kalau aku mengkonsumsi yoghurt paling asam atau makan bakso dengan kuah panas mengepul.
Jadilah hampir dua minggu lebih aku lebih banyak mengkonsumsi yoghurt, bakso panas, dan buah-buahan banyak air seperti semangka dan mangga.
Aku, yang bisa dibilang tidak pernah makan buah kalau tidak sedang kepingin sekali, sekarang setiap hari selalu ada buah di kulkas untuk kumakan. Aku bisa menghabiskan satu buah mangga, dua buah pear, dua buah apel, dan seperempat semangka potong untukku sendiri dalam sehari. Sepertinya bayiku memang lebih suka makanan sehat daripada makanan cepat saji.
Aku yang biasanya suka beli gorengan dan makanan cepat saji lainnya, hampir tidak pernah ada keinginan untuk menikmati itu lagi sekarang.
Satu hal lagi yang berubah. Aku sama sekali tidak menyentuh kopi sejak aku mulai hamil. Aku yang setiap pagi baru bangun tidur selalu menyeduh kopi, sekarang tidak pernah sama sekali. Pernah aku karena kangen dan kepingin mencicip sedikit, baru setengah gelas, aku ngeflek lagi. Kenyataan ini membuatku harus menghentikan konsumsi kopi selama aku hamil. Dan aku rela melakukannya. Toh aku tidak lagi merasakan urgensi untuk meminum kopi seperti yang biasa kulakukan selama ini.
Blitar, 26 Juni 2021
Friday, 12 December 2014
Perlu Sepuluh Tahun Bagiku Untuk Akhirnya Mampu Memanggilnya "Bapak"
Kudapati Ayahku tak lagi serumah dengan kami. Lalu bulan berikutnya Om itu pulang ke rumahku setiap hari. Aku yang sehari-harinya sibuk dengan urusan sekolah, mainan dan buku, tak pernah mengerti apa artinya. Tak pernah pula kutanyakan pada Ibuku. Karena jawabannya sudah kudengar dari Ayahku. Setiap hari ia meneleponku di sekolah saat jam istirahat. Membuat jam bermainku hilang dan perutku berkeruyuk kelaparan. Sakit hati dan marahnya ia ceritakan ke aku, yang saat itu masih berseragam merah putih dengan rambut dikelabang satu. Sering ia menyindir si Om dengan sebutan Ayah baru. Aku mendengar semua curhatannya dengan tatapan kosong ke pintu.
Entah sejak kapan, yang jelas aku masih memanggilnya Om, kubiasakan diriku menerimanya sebagai Ayah yang baru. Dua tahun berlalu, saudara-saudara baruku, bahkan tetanggaku, semuanya bersatu padu berseru, “Lho, kok manggilnya Om, sih? Papa dong harusnya!”
Saat itu aku marah. Siapa mereka berhak mengaturku mau panggil dia apa? Ibuku saja tidak menyuruhku, apalagi memaksaku. Satu dari Bibiku yang memang paling kemayu, terus menerus menyuruhku memanggil Papa ke Ayah baru. Kalau bukan karena didikan Eyang Uti bahwa yang muda harus menghormati orang tua dan berlaku sopan, sudah kumaki benar Bibiku itu. Berani betul dia begitu. Ayahku cuma satu!
Aku yang kemudian berseragam putih biru, akhirnya tak tahan dengan semua seruan itu. Aku mengadu pada Ibuku sambil bersungut-sungut. “Aku benci didikte harus memanggil Om dengan sebutan Papa. Om ya Om, Ayah ya Ayah! Suruh Bibi berhenti merecokiku, Bu!” Ibuku menenangkanku. Ia bilang tak usah didengar omongan Bibi. Ibuku tak memaksaku untuk mengubah panggilan kebiasaan itu.
Tahun berikutnya, entah bisikan dari mana. Kuberanikan diri memanggilnya Papa. Saat itu aku di rumah berempat dengan Om dan kedua anaknya yang kemudian menjadi saudaraku, serumah pula denganku. Ibuku menelepon menyuruhku menyampaikan pesan pada Om bahwa Ibu pulang kantor terlambat. Kutelan ludahku. “Ibu barusan telepon, katanya pulangnya terlambat…..P..Pa…,” kataku. Dengan volume yang makin mengecil pada akhir kalimat. Om membalas dengan kata Ya, tanpa mengalihkan pandangannya dari koran yang dibacanya. Aku cepat-cepat pergi. Jantungku bergemuruh. Berat sekali rasanya memanggilnya dengan sebutan Papa.
Tahun berikutnya, entah bagaimana awalnya, aku jadi menyebutnya Pak disertai dengan namanya. Seperti Pak Jo, Pak Ri, Pak Yon. Lidahku semakin fasih menyebutnya Pak. Hingga tahun ketujuh dan kedelapan, aku memanggilnya Pak. Tanpa embel-embel nama. Aku sudah masuk perguruan tinggi, tak serumah lagi, setidaknya untuk Senin sampai Jumat. Karena kuliahku di lain kota. Saat itu aku baru menyadari ia jadi Ayahku. Bukannya aku tak menganggapnya sebagai Ayahku selama ini. SD kelas enam aku les sampai jam delapan malam. Rute perjalananku melewati sawah gelap, dan aku hanya bersepeda. Tapi ia menungguku di perempatan jalan besar sebelum sawah. Lalu aku diboncengnya sampai rumah. Ia menungguiku di rumah sakit saat aku opname karena tifus. Sejak SMP ia pula yang ambil raportku di sekolah. Sempat menjadi pergulatan pikir saat aku mengisi formulir pendaftaran sekolah dan kuliah, kolom nama Ayah kutulis nama siapa? Hingga Ibuku berkata, tulis sesuai Akte saja.
Tapi ketika aku kuliah, ia yang paling sering tanya aku kapan pulang. Paling sering melongok ke pintu gerbang tiap Jumat malam, dan bertanya apakah aku tidak pulang minggu ini. Aku pernah buru-buru pulang dari kuliah, padahal masih hari Rabu, ketika kudengar kabar ia masuk rumah sakit setelah stroke ringan. Sepanjang jalan di bus aku terus menangis. Bahkan saat KKN sebulan yang harusnya tak boleh pulang sebelum waktunya, aku diantar temanku di pangkalan bus menuju kotaku karena kudengar kabar ia masuk rumah sakit karena kecelakaan, lagi-lagi sambil menangis di bus.
Tahun berikutnya, kudapati diriku dengan ikhlas, ringan dan bebas memanggilnya Bapak. Di saat jumlah warna putih rambut dan kumisnya sudah semakin banyak. Suatu hari aku merenung sendirian. Selama itu aku telah menganggapnya sebagai Bapakku. Bukan sekedar laki-laki yang menikahi Ibuku, tapi sebagai Bapakku. Yang selalu khawatir meski tak ditampakkan, yang selalu bangga meski tak ditunjukkan. Dan aku perlu sepuluh tahun untuk akhirnya memanggilnya Bapak. Meski dari tahun pertama, otak dan hatiku sudah berkata “Dia Bapakku” sambil menunjuknya.
Thursday, 11 December 2014
Duh Gusti, lindungilah mereka ke mana pun mereka pergi.........
Monday, 20 May 2013
Monolog Hati
Friday, 17 May 2013
Gemini
Friday, 26 April 2013
Raya dan Raja
Thursday, 18 April 2013
Penyulut Kenangan
Thursday, 10 January 2013
The Unknown : Try to Impress
Ia melanjutkan memulas eye shadow warna......apa ya? Hijau tua ini tampak bagus. Ia pernah melihat riasan smokey eyes di majalah. Ia menirunya, dipulas di ujung luar matanya. Dipulasnya lipstik yang dia punya. Pink muda. Setelah selesai........dia diam. Mendadak pintu kamarnya dibuka.
Sunday, 14 October 2012
Logika dan Emosi
Sakit. Nyeri. Perih. Terus aku memperingatkannya. Ia hanya melirikku. Kadang malah mencebik padaku. Dan kemudian berlalu.
Seperti hari ini. Ia berdandan begitu rapi. Cermin di depannya memantulkan kemolekannya yang kukagumi. Senyum tersungging. Mata bersemangat berapi-api. Aroma tubuhnya begitu wangi. Sesuai namanya.
"Wangi," panggilku lirih. Ia melirik sekilas, lalu berlanjut konsentrasi pada bibirnya yang dipulas.
"Jangan pergi," kataku. Memohon. Seperti biasa. Aku tahu tak akan berhasil. Tak pernah berhasil.
"Kamu akan terluka lagi," lanjutku. Ia mendengus kesal. Lalu pergi sambil menghentak-hentak. Aku hanya bisa diam. Memandangnya dengan sedih.
*
"Wangi..," panggilku lagi. Letih mendera. Tapi tak jua aku menyerah. Tetap saja aku bertahan. Tapi aku tak bisa berbuat lebih banyak. Ia yang memilih. Ia yang memegang kendali. Aku hanya bisa memanggil. Terus memanggil. Dan ia menangis. Terisak. Teriak. Pilu mendengarnya. Ia meracau di sela isaknya. Sesak.
"Maaf.....maaf aku tak mendengarmu. Maaf aku mengacuhkanmu....," isaknya. Aku hanya bisa memandangnya dalam diam. Ia bersandar pada cermin. Terus terisak sampai pagi. Dan aku terus terjaga sampai fajar menyingsing.
"Aku juga merasakannya, Wangi. Sakitmu adalah sakitku. Perihmu juga perihku. Tak perlu kau ceritakan, aku sudah merasakan," kataku pelan.
"Berkali-kali kau memperingatkanku, tapi aku malah tak peduli dengan semua itu. Kau sudah bilang nanti aku sakit lagi. Nanti aku luka lagi. Tapi aku terus saja. Sakit rasanya....sakit karena dia...sakit karena kau juga terluka...," tangisnya.
"Aku terus memanggilmu, Wangi. Tapi aku juga tidak pergi. Karena aku tahu kamu akan begini. Maka aku terus berjaga. Agar saat kamu sadar kau tahu aku ada," jawabku.
Dadaku sesak. Sesak oleh perihnya. Sesak oleh sakitnya. Oleh isaknya. Sampai akhirnya ia berhenti. Menyeka tangis dari pipinya. Masih terisak. Namun makin lama makin berkurang. Ia menarik nafas panjang. Menghembusnya. Mencoba melepas sesak yang mengikat. Mencari kelegaan dalam kehampaan.
*
Terjadi lagi. Ia menjalin hubungan dengan yang lain lagi. Dan aku masih merasa ini tak baik. Sama seperti yang sudah-sudah. Bahagia, lalu sedih. Tawa, lalu tangis. Bukan seperti yang biasa. Tapi sedih dan sakit yang tak berkesudahan. Perih dan nyeri yang melebihi irisan pedang pada nadi. Dan kini aku sudah lelah. Aku letih. Lelah akan acuhnya. Letih akan tangisnya.
"Wangi," panggilku pelan. Ia tak menoleh. Bahkan melirikku pun tidak.
"Wangi!" panggilku lebih keras. "Apa sih??" balasnya.
"Jangan pergi lagi!" kataku.
"Diam!" serunya.
"DENGARKAN AKU!!!!!" teriakku. Dan ia terhenyak. Terhuyung dalam keterkejutan akan suaraku yang meninggi tak biasa.
"Berkali-kali, berkali-kali!!! Tidak letih kah kau dengan mereka?? Kau begitu terpesona oleh mereka sampai aku kau pinggirkan!!! Dan saat ganti kau yang didepak oleh mereka, kau baru kembali dengan tangismu!!! Kau memohon maaf padaku karena tak mendengarku. Aku capek!! Aku letih!!!" jeritku. Ia masih diam. Memandangku tak percaya.
"Wangi.....aku begini karena aku menyayangimu. Hanya karena aku bayanganmu bukan berarti aku tak mengerti. Aku memang tak bisa apa-apa. Aku tak bisa merangkulmu, menahanmu. Tapi aku melihatmu dan aku merasakan pedihmu. Karena aku bagian dalam dirimu.....," kataku pelan. Letih sudah mendera. Wangi jatuh lemas. Air mata mengalir lagi. Aku telah menamparnya. Dan kami lalu terisak bersama.
*anind*
Thursday, 2 August 2012
Klenteng Merah
Tuesday, 10 July 2012
Redup
Monday, 18 June 2012
The Unknown : The Fashionable One
Nania menyesap tehnya dengan penuh syukur. Setelah diterima dan disambut dengan hangat, serta melewatkan hari pertamanya bekerja di sini membuat Nania merasa lebih rileks. Sebelumnya ia telah menyiapkan mental untuk hal-hal buruk. Seperti tidak diterima, atau penyambutan dingin dan tak menyenangkan dari orang-orang di kantor ini. Betapa terkejutnya ketika semua berjalan sangat mulus. Sangat lancar.
Tapi yah, omelan Mama disela kegembiraannya mau tak mau mengusiknya juga. Mama yang tiap pagi ngomel dengan penampilannya agar tampak lebih menarik, kehebohan Mama dan harapan Mama yang memintanya untuk segera cinlok dengan salah satu teman sejawatnya tidak bisa diabaikan begitu saja. Pengen sih pengen. Tapi apa mungkin bisa secepat itu? Ah, sudahlah. Yang penting kerja dulu.
Suara kletak-kletok hak sepatu menggema di ruangan. Ini asing. Orang-orang di ruangan ini jarang mengenakan sepatu yang berisik macam itu. Kadang mereka memilih wira-wiri dengan sandal karet yang mereka simpan di bawah meja masing-masing. Tapi ini? Nania agak terganggu, menoleh dengan sangat penasaran ke arah suara. JEBRET!!! Nania membelalak.
Tinggi semampai, langsing, setelan jas warna marun rapi tanpa kusut setitik pun. Sepatu stilleto hitam mengilat tanpa debu. Rambut pendek model bob yang tersisir rapi. Make up sempurna tanpa cela, tak berkesan tua. Beberapa pria di ruangan menoleh. Ardi yang terkenal rame bersiul nakal. Para wanita menyapa ramah, sebagian tak menggubris. Nania makin membelalak ketika sosok cantik dengan penampilan sempurna itu berjalan ke arahnya.
"Kamu ya anak baru itu?" tanyanya. Nania mengangguk, tersenyum sopan.
"Ckckck, apa-apaan. Rambut berantakan, kemeja lusuh, rok kusut, makeup luntur, sepatu kusam. Gimana citra kantor kita kalo ketauan punya pegawai nggak oke kayak gini??" cerocosnya. Nania bengong. Apa dia bilang??
"Dandan dikit kek kalo ke kantor. Malu tau punya pegawai berantakan kayak kamu gini. Iyuuuh,"
"Lily, udah lah. Namanya juga anak baru. Lagian beda ruang juga ama kamu, jangan digituin ah," sahut Rosa dari biliknya.
"Ckckck, kalian ini. Kalo bukan aku yang ingetin kalian, mana mungkin kalian berpenampilan lumayan oke kayak gini? Masih lumayan lho ya. Yang ini...aduuh, males ah training dia lagi," kata Lily.
Nania masih terdiam. Kalo nggak inget dia masih baru di sini, udah meledak kali dia. Siapa juga yang mau ditrainee ama dia? Penampilan nggak oke? Masih mending pake baju, daripada telanjang ke kantor?? Mood kerja jadi anjlok kalo begini caranya!!
Tuesday, 1 May 2012
Kembali
Saturday, 28 April 2012
Sebuah Nama, Sepenggal Kenangan
Monday, 27 February 2012
Keputusan Terakhir, cerpen duet bareng @rayfarahsoraya
Fafa menatap jam di dinding
’8 jam lagi’,batin Fafa.Dibereskan lagi semua yang masih belum masuk.
Satu,dua,tiga,,,Tiga koper besar dan masih ada yang harus ia urus dan ia masukkan ke dalam koper berikutnya. Fafa menghela nafas panjang,lelah. Hampir tiga jam lebih ia masih sibuk mengepak barang.
‘Kenapa harus mendadak gini sih?’
Semuanya hampir ia salahkan,ini bukan karena keinginan Fafa,ini keinginan mereka,atau mungkin Fafa menginginkannya tapi urung mengakuinya.
***
Lima tahun mereka bersama, lima tahun itu pula Fafa memujanya. Rasanya seperti sebagian hidup Fafa didedikasikan hanya untuknya. Hampir seluruh temannya bilang ia terobsesi, berambisi, terhadap wanita itu. Fafa hanya menggeleng, menepis perkataan mereka, olokan mereka, yang berkata bahwa Fafa terlalu berlebihan. Fafa merasa nyaman dengan dia. Itu saja. Itu yang membuat Fafa bertahan dengannya lima tahun ini, meng’iya’kan segala perkataannya. Bukan hanya permintaannya, bahkan omelan kecilnya untuk bergegas mandi atau membereskan ruang TV yg berantakan. Semua Fafa patuhi. Seperti sekarang ini. Ketika ia berkata ingin pindah ke Singapura, tiga hari lalu. Dan ia ingin pergi bersama Fafa. Dan itu harus. Yang berarti mengorbankan pekerjaan Fafa, kuliah Fafa, juga tabungan Fafa.
Tok tok tok
Bunda mengetuk lembut pintu, Fafa tahu, ada yang sangat ingin Bunda katakan sebelum keputusan ini terlanjur bulat. Bagi Fafa, semua sudah positif, Fafa ingin selalu bersama Ninda.
“Masuk,Bunda”
Bunda masuk dan tersenyum kepada anak lelaki yang ia cintai.
“Kamu belum sarapan,Mas”
Fafa menggeleng pelan, “Sebentar ya Bunda, masih banyak yang harus Mas packing“
Bunda duduk di sebelah Fafa, membantu melipat pakaian. Menatap lama anaknya, Fafa tidak ingin Bunda menangis, atau mengatakan sesuatu yang membuat semua keputusan menjadi berat. Bunda mengelus kepala putranya sekilas.
“Kamu yakin sama semua keputusanmu,Nak?”
‘Bunda..kok pertanyaan itu lagi?’,Fafa tersenyum dan mengalihkan pandangannya ke semua barang-barangnya.
“Kuliah kamu gimana?”
“Bunda, disana banyak beasiswa. Bunda jangan pernah khawatir sama Fafa ya?”
Fafa tahu, semakin ia menghibur Bunda kalau semua semakin baik-baik saja, semakin Bunda khawatir. Tapi keputusan Fafa sudah bulat, demi Ninda. Ia bersedia mengajak serta ke Singapura. Barang-barang Ninda sudah dikemas dan ia bergegas pulang, bahkan Fafa sendiri belum berkemas, namun Ninda yang didahulukan, diutamakan.
Bunda meninggalkan kamar Fafa, tapi ada satu pertanyaan yang membuat Fafa tertegun, hanya satu, yang tidak pernah diajukan Bunda.
“Mas, seberapa yakin Ninda akan menjadi milik kamu? Jawab dengan hatimu sendiri,Bunda tidak perlu tahu. Tapi hati kecil kamu harus tahu”.
*****
Semua sudah siap. Fafa meminta keluarga untuk tidak mengantarnya. Pedih rasanya melihat wajah mereka yang berat melepasnya. Fafa ingin tinggal. Tapi ia juga ingin bersama Ninda. Ia juga ingin merasakan hidup mandiri di negeri orang. Ninda juga tidak diantar keluarga. Hanya sopir yang bertugas mengantar mereka, tanpa menunggu. Dan di sinilah mereka. Duduk berhadapan di sebuah cafe di bandara. Tak ada obrolan. Tak ada candaan. Tak ada kalimat mesra. Masing-masing menggenggam cangkir berisi kopi yang masih utuh. Dari mulai masih mengepul hingga menjadi dingin. Seakan ada hal sama yang mereka pikirkan. Benarkah keputusan ini? Ninda yang ngotot pindah ke Singapura karena tak tahan dengan kondisi keluarganya yang tidak harmonis. Dan dia butuh Fafa untuk terus di sampingnya. Fafa yang tak pernah bilang “tidak” untuknya.
Mereka menunggu panggilan operator yang mengumumkan mereka untuk segera ke pesawat. Setengah jam, satu jam. Fafa mulai merasa ada yang tak beres. Fafa beranjak dari kursinya.
“Aku tanya petugas dulu ya,” katanya, dibalas anggukan Ninda. Fafa mendekati petugas berseragam merah, seragam maskapai penerbangan yang pesawatnya akan mengantar mereka. Menerbangkan mereka ke negara tetangga. Fafa tampak shock, kemudian berlari ke arah counter check in di bawah. Ninda melihatnya, bergegas menyusulnya. Ninda melihat Fafa lemas di depan counter check in.
“Ada apa?” tanya Ninda, heran melihat wajah pucat Fafa.
“Kita ketinggalan pesawat dua jam yang lalu….,” jawab Fafa lemas. Dan di antara kebingungannya, ia seperti melihat sosok Bunda-nya, merentangkan kedua tangan mengajak Fafa untuk pulang.