Tuesday 1 May 2012

Kembali

"Masakin," katanya. Aku mengibaskan tangan, menyuruhnya menjauh dariku.
"Apa sih? Ketemu sekali langsung bilang masak, masak," sungutku.
"Masakanmu enak, aku mau lagi,"
"Lagi nggak pengen masak," jawabku datar.
"Ayolah,"
"Apa sih? Ogah!" jawabku kesal.
""Pelit," katanya. Dalam hati aku mengikik senang.


"Masakin, doong," pintanya lagi.
"Nggak ada kata lain selain itu ya?"
"Aku mau kamu masakin lagi," pintanya memelas.
"Aku lagi nggak mood masak," kataku.
"Masa dari kemaren nggak mood terus?"
"Masa dari kemaren minta dimasakin terus?" sahutku balik.
"Pelit,"
"Biarin," jawabku sambil menjulurkan lidah.


"Ndut,"
"Namaku bukan Ndut," jawabku kesal. Apa sih maunya orang ini? Bisa nggak sih dia manggil aku dengan namaku saja? Dikiranya aku nggak risih dipanggil ndut? Aku kan nggak gendut. Terus dia nyuruh aku ke taman ini buat apa coba? Sore-sore begini kan enaknya di rumah aja. Kenapa juga aku turutin dia buat ke sini. Aku sebal dengan diriku sendiri.
"Main yuk," ajaknya.
"Ke mana?"
"Main futsal,"
"Heh, aku nggak main futsal!" jawabku.
"Temenin," katanya.
"Cewekmu aja lah," jawabku.
"Udah nggak sama dia," jawabnya.
"Ooooh, baguuus. Jadi aku serepan gitu? Kalo kamu udah nggak ada pacar baru ngajak aku? Pantes dari kemaren kamu minta dimasakin segala, mulai sms-sms juga. Ke mana aja kamu kemaren? Sibuk sama pacarmu?" kataku sengit.
"Kok kamu marah?" tanyanya.
"Siapa yang marah? Nggak!" jawabku dengan nada sedikit meninggi.
"Itu tadi?"
"Apa sih? Sana pergi," usirku. Dia diam. Tak beranjak.
"Lavender Violeta Arum," katanya, menyebut nama lengkapku. Aku tak menoleh. Aku pura-pura tak mendengarnya. Ia memanggilku lagi dan aku masih saja tak peduli. Aku kesal. Ke mana saja dia? Ketika ia berpacaran dengan wanita itu, tak sekalipun dia menghubungiku. Giliran udah putus baru sms, baru ngehubungin. Ish. Dikiranya aku ini serepan apa?
Aku pergi meninggalkannya. Dalam perjalanan mendadak ponselku berbunyi.

La, balik, please. Ada barang milikmu yang ketinggalan.

Barangku? Aku nggak merasa ninggalin barang apapun. Aku saja nggak bawa apa-apa selain tas berisi dompet dan ponsel, dan semuanya masih utuh di dalam tas. Penasaran aku berbalik dan berjalan menuju dia. Dia masih di sana. Dalam posisi yang sama. Kedua tangannya berada di balik punggungnya. Ia berdiri tegap. Sinar matahari sore di belakangnya, membuatnya tampak seperti siluet. Seperti lukisan. Jingga, siluet, taman. Novel banget.
"Apa?" tanyaku ketus. Aku hampir melonjak ketika ia mendadak berlutut di hadapanku. Kupikir dia jatuh pingsan karena kelamaan berdiri menungguku balik. Tapi dia nggak ambruk. Hanya bersimpuh di depanku, mendongak menatapku. Tangan kanannya mendadak meraih tangan kiriku. Aku tak sempat mengelaknya. Tapi aku berusaha menepis tangannya. Nggak bisa. Tangannya lebih kuat dari tanganku. Dan mendadak, sebuah cincin emas mungil sudah melingkar di jari manis kiriku.

1 comment: