Saturday 28 April 2012

Sebuah Nama, Sepenggal Kenangan

Sore yang panas membuat Ratna memutuskan untuk membuat segelas es kopi dengan shaker-nya. Ia tuang serbuk kopi yang diserukan sebagai kopi dengan kadar asam rendah ke dalam shaker, lalu menuang air es dan tiga bongkah es batu. Ditutupnya shaker dan mulai mengocok, lebih tepatnya mengguncang shaker warna pink putihnya. Ditenggaknya dengan penuh kepuasan. Sore yang tenang, meskipun hawanya panas. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Mama.

"Halo,"
"Halo, ndhuk. Lagi ngapain?" tanya Mama. Ada nada semangat tersirat dalam suaranya.
"Bikin es kopi, panas," jawab Ratna.
"Oooh. Ndhuk, kamu inget Mas Angga?"
"Mas Angga siapa, Ma?"
"Mas Angga, yang anaknya temen Mama waktu SMA, Tante Yuni. Yang rumahnya di Malang juga," jawab Mama.
"Ma, itu Mas Galih, bukan Mas Angga," jawab Ratna.
"Oooh, iya, Mas Galih! Aduh, lupa Mama. Iya, Mas Galih mau nikah,"
JDAAARRRRR!!!!! Ratna terpaku.
"Minggu depan, ndhuk, resepsi di Malang. Mama mau dateng, kamu ikut ya,"
JDAAAARRRRRR!!!!! Ratna ambruk.




Gelap. Kemudian terang perlahan. Ada sosok tak dikenal berdiri di sana. Wajahnya, posturnya, sepertinya kenal. Tapi berkesan lebih matang. Ia tersenyum rupawan.
"Mas Galih?" tanya Ratna. Dikerjap-kerjapkannya kedua matanya. Sosok itu mengangguk. Mengulurkan tangan, membantu Ratna berdiri.
"Apa kabar, dek?" tanyanya. Ratna merasa agak asing dengan suara itu. Hampir tujuh tahun sudah ia tak lagi mendengar suara itu.
"Baik, Mas. Mas, bener mau nikah?" tanya Ratna. Galih mengangguk lagi. Senyumnya tak lagi selebar tadi. Nita meremas lengan baju Galih.
"Mas, maaf," kata Ratna lirih.
"Bukan salah kamu, dek. Aku yang salah, nggak nyari kamu, nggak nunggu kamu, nggak berusaha sekuat yang aku mampu,"
"Aku juga salah, Mas. Aku terlalu gengsi untuk menghubungimu duluan. Sering aku berpikir, aku sudah tinggal di Malang, dan ingin menghubungimu, tapi aku nggak tahu caranya, dan nggak berusaha mencari cara itu," jawab Ratna.
"Mas, aku nyesel," sambung Ratna.
"Nyesel kenapa?" tanya Galih.
"Nyesel karena waktu itu aku nggak bilang iya. Nyesel untuk nggak menjaga komunikasi kita,"
"Aku juga nyesel, karena waktu itu aku nggak berusaha keep contact sama kamu," jawab Galih. Mereka berdua terdiam. Galih tersenyum.
"Lagipula waktu itu kamu masih SMP juga. Mas sudah kuliah semester lima. Wajar kalo kamu belum siap untuk pacaran," katanya sambil mengacak rambut Ratna. Ratna terdiam menatap Galih.
"Mas, maaf, aku nggak bisa jadi 'Ratna' buat kamu,"


"Ndhuk, kamu masih denger Mama?"
"Ma..masih, Ma,"
"Ya udah, minggu ini kamu nggak usah pulang nggak apa-apa, di kostan aja, sekalian abis dari resepsi aja pulangnya sama Mama, ya?"
"Hu um."
Ratna lemas. Nama itu. Nama itu sudah lama sekali dicarinya. Dengan berbekal informasi sejengkal yang masih ia ingat, ia berusaha mencarinya dengan mesin pencari dari sebuah situs jejaring sosial. Namun hasilnya nihil. Setiap mengingat nama itu ia selalu menyesal. Menyesal untuk tidak menjaga hubungan itu. Malah menghempaskannya karena kelabilannya. Kini pria itu jelas sudah matang. Dan ia kini telah memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya. Ratna mendesah. Ia tak bisa menjadi 'Ratna' bagi Galih-nya. Tinggal kini ia harus menyiapkan mental untuk melihat Galih bersanding dengan 'Ratna' yang telah ia temukan.

No comments:

Post a Comment