Tuesday 1 May 2012

Social-Media Friends, How Can I Understand Them?

Seperti biasa, jam-jam makan malam anak-anak kost ngumpul di meja makan. Ada yang lagi masak, ada yang mulai menikmati makan malamnya, ada pula yang udah selesai makan duluan. Seperti biasa juga, aku makan sambil ngobrol dan chatting WhatsApp sama anak-anak Plurk. Kadang aku ketawa-ketawa sendiri baca obrolan anak-anak Plurk di WhatsApp grup. Kadang aku nyeritain ke anak-anak kost tentang mereka. Kebiasaan mereka, gilanya mereka, sifat mereka yang aku ketahui. Dan mendadak aku mendapat pertanyaan dari mbak kost yang dosen psikologi :
Kok kamu bisa tahu mereka banget? Kan kamu belum pernah ketemu mereka dan cuma tahu mereka dari kata-kata mereka. Bagaimana kamu bisa men-judge sifat mereka gini gini gini?
Well, beberapa hal di dunia ini kadang tidak terdefinisikan. Dan aku menganggapnya sebagai sebuah keajaiban dan sebagai sesuatu yang memang sudah harus terjadi demikian. Kadang ada kan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan alasan-alasan.
Kalaupun aku harus menjawab pertanyaan mbak kost di atas, aku menjawabnya sebagai sebuah anugerah dan sebagai pengaplikasian dari teori-teori komunikasi yang aku sudah lupa bagaimana bunyinya. Hahaha.

Kalau mau dijawab dengan agak panjang, aku menjawabnya berdasarkan historical perkenalanku dengan mereka. Pertama kali aku punya teman di social-media pas masih SMA kelas dua, jaman masih pake Friendster dan ada Mig33. Karena waktu itu euforia Harry Potter masih ada, aku nyari room Harry Potter di Mig33. Dari situ kami saling kenal satu sama lain. Kecocokan membuat kami bertahan bersahabat sampai sekarang. Meskipun jarak kami berjauhan. Kami saling update kalo ada sesuatu yang baru, yang kami mintai bersama, salah satunya social-media. Saling nge-add. Pada punya Facebook, add Facebook. Pada punya Twitter, pada follow-followan. Pada punya Plurk, saling nge-add.

Salah satu anak Mig33 room Harry Potter (kami sebut diri kami d'Phoenix), Mimi, is a social-media butterfly. Dia yang ngenalin aku ke temen-temen Plurk dia yang lain yang bukan anak d'Phoenix. Just as simple as that. Jadi, sebenernya semua bermula dari Mimi ini. Tapi aku juga nggak asal nge-add. Aku lihat dulu mereka gimana cara ngomongnya di soc-med. Kedekatan mereka dengan Mimi yang bisa jadi referensi karena pasti Mimi kenal mereka banget. Ya udah, lalu saling add, ternyata kita cocok.

Simpel banget ya? Kalo orang lain mungkin mikir-mikir mau kayak gini. Takutnya ternyata mereka punya niat terselubung ato gimana, kalo inget banyak berita penipuan dan penculikan via socmed. Eh, waktu pertama kopdar ama d'Phoenix ama Plurker Jakarta itu, orang rumah di Blitar pada kalang kabut ngewanti-wanti. "Ati-ati, nanti kamu diculik!" "Cari tempat ketemuan yang rame, cepet pulang!" X)

Tapi, sama seperti jatuh cinta. Kadang nggak bisa dijabarkan alasannya. Malah kalau disebutkan alasan dari pertanyaan "Kenapa kamu bisa mencintaiku?" keliatan kalo dibuat-buat. For me, ketika jatuh cinta pada seseorang, yang bener-bener jatuh cinta, sulit buat ngejelasin alasannya. Kalo dijawab dengan "karena kamu ganteng" kok kesannya main fisik. Kalo dijawab "karena kamu baik" katanya itu alasan klise. Kalo dijawab "karena kamu kaya" dibilang matre. Menurutku, jatuh cinta yang bener-bener tulus itu terjadi begitu saja. Karena ya memang begitulah adanya. Nggak bisa ditolak, nggak bisa dipaksa, nggak bisa diredam. Alasan seperti nyaman, dia ngerti aku, dsb itu sih perasaan setelah terbiasa dengannya.

Lah, kenapa jadi bahas jatuh cinta? Balik ke topik. Jadi intinya, bagaimana aku bisa nyaman dan mengerti teman-teman dunia maya-ku, padahal jarang bahkan nggak pernah ketemu, tidak bisa dijabarkan dan didefinisikan dengan kata-kata. Terjadinya ya begitu saja. Bagaimana aku bisa percaya mereka, karena empati dan simpati selama berteman dengan mereka. Bagaimana bisa saling memahami hanya dengan social media, itu yang membuatku percaya dengan mereka. Bagaimanapun juga yang namanya social media nggak bisa lepas dari prasangka. Untuk memproteksi diri, cukuplah dengan memberi informasi seperlunya di akun socmed kita. Nggak perlu sampe nomor hape dan alamat dipajang juga. Dan, kalo sampe ada yang membuat akun dan tokoh palsu dan nggak mau mengakuinya, itu sih namanya dia penipu.

Sekian cuap-cuap saya sore ini.
Adios!

anind

Kembali

"Masakin," katanya. Aku mengibaskan tangan, menyuruhnya menjauh dariku.
"Apa sih? Ketemu sekali langsung bilang masak, masak," sungutku.
"Masakanmu enak, aku mau lagi,"
"Lagi nggak pengen masak," jawabku datar.
"Ayolah,"
"Apa sih? Ogah!" jawabku kesal.
""Pelit," katanya. Dalam hati aku mengikik senang.


"Masakin, doong," pintanya lagi.
"Nggak ada kata lain selain itu ya?"
"Aku mau kamu masakin lagi," pintanya memelas.
"Aku lagi nggak mood masak," kataku.
"Masa dari kemaren nggak mood terus?"
"Masa dari kemaren minta dimasakin terus?" sahutku balik.
"Pelit,"
"Biarin," jawabku sambil menjulurkan lidah.


"Ndut,"
"Namaku bukan Ndut," jawabku kesal. Apa sih maunya orang ini? Bisa nggak sih dia manggil aku dengan namaku saja? Dikiranya aku nggak risih dipanggil ndut? Aku kan nggak gendut. Terus dia nyuruh aku ke taman ini buat apa coba? Sore-sore begini kan enaknya di rumah aja. Kenapa juga aku turutin dia buat ke sini. Aku sebal dengan diriku sendiri.
"Main yuk," ajaknya.
"Ke mana?"
"Main futsal,"
"Heh, aku nggak main futsal!" jawabku.
"Temenin," katanya.
"Cewekmu aja lah," jawabku.
"Udah nggak sama dia," jawabnya.
"Ooooh, baguuus. Jadi aku serepan gitu? Kalo kamu udah nggak ada pacar baru ngajak aku? Pantes dari kemaren kamu minta dimasakin segala, mulai sms-sms juga. Ke mana aja kamu kemaren? Sibuk sama pacarmu?" kataku sengit.
"Kok kamu marah?" tanyanya.
"Siapa yang marah? Nggak!" jawabku dengan nada sedikit meninggi.
"Itu tadi?"
"Apa sih? Sana pergi," usirku. Dia diam. Tak beranjak.
"Lavender Violeta Arum," katanya, menyebut nama lengkapku. Aku tak menoleh. Aku pura-pura tak mendengarnya. Ia memanggilku lagi dan aku masih saja tak peduli. Aku kesal. Ke mana saja dia? Ketika ia berpacaran dengan wanita itu, tak sekalipun dia menghubungiku. Giliran udah putus baru sms, baru ngehubungin. Ish. Dikiranya aku ini serepan apa?
Aku pergi meninggalkannya. Dalam perjalanan mendadak ponselku berbunyi.

La, balik, please. Ada barang milikmu yang ketinggalan.

Barangku? Aku nggak merasa ninggalin barang apapun. Aku saja nggak bawa apa-apa selain tas berisi dompet dan ponsel, dan semuanya masih utuh di dalam tas. Penasaran aku berbalik dan berjalan menuju dia. Dia masih di sana. Dalam posisi yang sama. Kedua tangannya berada di balik punggungnya. Ia berdiri tegap. Sinar matahari sore di belakangnya, membuatnya tampak seperti siluet. Seperti lukisan. Jingga, siluet, taman. Novel banget.
"Apa?" tanyaku ketus. Aku hampir melonjak ketika ia mendadak berlutut di hadapanku. Kupikir dia jatuh pingsan karena kelamaan berdiri menungguku balik. Tapi dia nggak ambruk. Hanya bersimpuh di depanku, mendongak menatapku. Tangan kanannya mendadak meraih tangan kiriku. Aku tak sempat mengelaknya. Tapi aku berusaha menepis tangannya. Nggak bisa. Tangannya lebih kuat dari tanganku. Dan mendadak, sebuah cincin emas mungil sudah melingkar di jari manis kiriku.