Monday 9 November 2015

Napak Tilas serta Pelantikan Pengurus TGP Cabang Blitar & Malang

Menjadi cucu seorang pejuang kemerdekaan itu penuh kebanggan. Tetapi juga tidak mudah. Secara tidak langsung, tugas memelihara perdamaian dan kemerdekaan negara juga menjadi tugas kami. Sebisa mungkin, nama para generasi pendahulu kami, terutama organisasinya, tak boleh hilang karena zaman yang semakin modern.

Tentara Genie Peladjar (TGP) merupakan salah satu kelompok tentara pejuang kemerdekaan Indonesia. Dan almh. Mbah Uti saya termasuk salah satu anggota TGP cabang Blitar. Sejak saya masih kecil belum sekolah, sering saya diajak di pertemuan-pertemuan TGP. Semenjak Indonesia telah dinyatakan benar-benar merdeka, kegiatan para anggota organik pada kala itu diisi dengan arisan bulanan dan paguyuban, serta secara berkala diadakan Mubes (Musyawarah Besar).
Saat itu, saya sering sekali merasa bosan jika diajak ke acara pertemuan TGP. Tapi mau bagaimana lagi, serumah berangkat ke sana, ya masa saya ditinggal di rumah sendirian. Tetapi ketika Mbah Uti meninggal, kenangan itu menjadi sangat berharga buat saya. Semakin menua usia para anggota TGP, kegiatan perkumpulan mereka semakin jarang dihelat. Apalagi kemudian satu per satu mereka berpulang ke Rahmatullah. Sedangkan generasi penerus, anak-anak mereka, semakin sibuk dengan kegiatan masing-masing. Jadilah kegiatan TGP makin vakum.

Memang tak banyak orang jaman sekarang yang mengenal TGP. Kalau TRIP atau TP masih ada yang paham. Mungkin ini juga menjadi tugas kami untuk mengangkat nama TGP. Bukan untuk pamer, tetapi sebagai pengingat bahwa mereka juga lah yang menjadikan kita sekarang menghirup udara kebebasan dari penjajah asing. Jarang sekali saya melihat anggota TGP yang turut diundang dalam acara peringatan nasional di Indonesia. Paling hanya di daerah masing-masing saja. Itu pun tak semua. Hingga kemudian sekitar tahun 2013, saya melihat panji TGP berkibar di Upacara Peringatan Kemerdekaan RI, 17 Agustus, di Tugu Proklamasi.

Singkat cerita, para generasi penerus TGP di berbagai daerah memang masih aktif. Seperti Blitar, Malang, Pare, Madiun dan Surabaya. Tetapi memang tak lantang suaranya. Hingga kemudian, TGP pusat didapuk sebagai panitia Upacara Peringatan Kemerdekaan RI 17 Agustus 2015 di Tugu Proklamasi, yang kemudian mengambil beberapa pengurus daerah diangkat menjadi pengurus pusat di Jakarta. Termasuk Mama saya. Dan karena terjadi kekosongan jabatan pada pengurus cabang, maka kemudian diadakanlah pelantikan pengurus TGP baru cabang Blitar dan Malang yang dilaksanakan bertepatan dengan Napak Tilas IKB Ex TGP Brigade 17 yang diikuti oleh Pengurus TGP Jabodetabek dan Bandung. Acara Napak Tilas sendiri dimulai pada tanggal 6 November dari Madiun dan puncaknya pada tanggal 10 November di Surabaya bertepatan dengan Hari Pahlawan.

Rombongan napak tilas singgah di Blitar pada tanggal 6 November malam. Kemudian dilanjutkan tanggal 7 November ziarah ke Makam Bung Karno dan mengunjungi Monumen TGP Blitar. Rombongan melanjutkan perjalanan ke SMP 2 Sumberpucung alias SMP TGP, karena dulunya merupakan markas dari TGP Kompi I. Di sana kami disambut dengan drum band dari siswa-siswi SMP TGP serta yel-yel Pramuka. Kejutan banget waktu di akhir yel-yel mereka menyanyikan lagu Mars TGP yang sukses membuat rombongan berbagi tisu.

Rangkaian acara hiburan dilanjutkan di SMP TGP. Betapa senangnya kami ketika mengetahui para siswa SMP TGP bangga dengan sekolahnya. Tidak hanya karena sekolah tersebut merupakan sekolah favorit, tetapi juga karena nilai historisnya. Mereka bangga bahwa para anggota TGP yang ikut berjuang membela negara juga yang menjadikan sekolah mereka sebagai monumen & saksi bisu perjuangan para anggota TGP.

Selesai rangkaian acara tersebut, kami kemudian berkumpul di lokasi yang sudah disiapkan TGP Cabang Malang untuk mengikuti acara pelantikan, yaitu di Wisma Maninjau, daerah Sawojajar, Malang. Saya sendiri didaulat sebagai Sekretaris TGP Cabang Blitar, menggantikan Ibu saya, Harijanti, G2 TGP Blitar yang diangkat menjadi pengurus pusat. Awalnya saya keberatan, karena saya merasa kurang memahami seluk beluk TGP. Saya merasa kurang siap, kurang menguasai profil TGP karena memang literatur tentang sejarah TGP sedikit sekali. Dan saya sendiri tidak pernah benar-benar bertanya kepada almh. Eyang Uti saya, Ibu Moestamien Soedibyo, tentang TGP. Namun setelah mengikuti sebagian dari acara napak tilas, menjadikan saya akhirnya menerima keputusan tersebut. Bahwa memang saya dari awal sudah memiliki tugas untuk meneruskan organisasi ini. Apalagi melihat semangat para om dan tante yang ingin mempertahankan organisasi ini serta kebanggan mereka akan TGP membuat saya menjadi ingin ikut andil. Dan saya yakin, para om dan tante ini tentunya akan membantu kami, anak-anaknya, cucu-cucu para pejuang. Karena memang jika kita perhatikan, sekarang ini tak banyak yang memperhatikan & menghargai sumbangsih para veteran kemerdekaan RI.

Semoga saya bisa menjaga amanah ini, serta semoga ke depannya, generasi penerus yang berikutnya dapat meneruskan organisasi TGP ini. Kini tongkat estafet pelan-pelan ada di tangan generasi ketiga TGP, regenerasi terus dilakukan agar TGP tak mati. Tugas kami memang tak seberat pendahulu kami, tetapi juga tidak semudah yang ada di pikiran. Semoga Tuhan terus mendampingi kami dalam meneruskan tugas ini. Amin.

Tugu TGP Blitar

Monday 26 October 2015

Review Buku : Halo, karya Alexandra Adornetto



Sudah lama sekali ya saya tidak mereview buku. Jangankan mereview sebuah buku, menulis saja sudah sangat jarang, bahkan bisa dibilang tidak pernah lagi. Rindu, sudah tentu. Ada sensasi rasa tersendiri ketika menulis. Melihat jemari lincah di atas tuts keyboard laptop karena ide yang terus mengalir itu sungguh menyenangkan. Kira-kira hampir tiga tahun saya hiatus menulis. Kesibukan mencari pekerjaan di tahun setelah saya lulus kuliah menjadi alasan utama. Kalau pun saya menulis, paling-paling hanya menjadi seonggok paragraf yang tak selesai. Tahun berikutnya disibukkan dengan segala macam kegiatan lanjutan setelah saya diterima di sebuah lembaga pemerintah non kementrian. Setelah itu, saya hanya menulis sedikit sekali kalimat, yang hanya saya posting di akun Facebook saya. Kemudian, saya terlampau senang dengan ilustrasi, membuat sketsa berdasarkan kondisi hati menjadi lebih menenangkan ketimbang menuliskannya. Lagi-lagi, saya tak merangkai kata lagi karena begitu terpukau dengan memulai belajar fotografi. Aah, seharusnya ketiga hal ini bersinergi. Menulis, menggambar, dan memotret.

Tapi dalam kurun waktu tiga tahun itu pun, minat baca saya pasang surut. Di akhir tahun lalu saya begitu rajin sekali membaca. Ada banyak sekali bacaan yang menarik minat. Terlebih lagi saat itu saya juga sedang menularkan kebiasaan baca saya pada seseorang (tolong jangan tanya siapa XD).
Sepanjang tahun ini perhatian saya loncat-loncat. Ya nggambar, ya baca, ya motret, ya makeup, ya nyanyi, tambah lagi yoga (kapan-kapan saya mau curhat juga masalah ini). Bukan, bukan multitasking. Tapi tak lebih dari seorang gadis yang cepat sekali bosan. Duh, harus belajar konsisten saya. Tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin kan?
Oh, kelamaan bercerita tentang faktor saya hiatus menulis, sampai lupa bahwa seharusnya saya mereview buku. Oke, kita mulai.

Awalnya, saya mendapat buku ini dari seseorang (yang saya tularkan kebiasaan membaca). Dia beli buku ini sepertinya ingin mencoba membaca novel. Dia tipe yang lebih suka buku non fiksi sebenarnya. Dan memang sempat heran dengan saya yang hampir 99 % membaca buku fiksi. Heheh. Tapi dia tidak betah. Diberikan lah buku ini ke saya. Judulnya sangat simpel. Halo. Karya Alexandra Adornetto.

Entah ya, padahal saya sendiri juga tengah membaca Casual Vacancy karya J.K Rowling, tapi saya tangguhkan sementara buat baca buku ini. Dan sepertinya minat saya masih pada buku fiksi Fantasy. Sebelumnya saya baca karya Kami Garcia & Margaret Stohl yang berjudul Beautiful Creatures. Berawal dari rasa penasaran karena saya nonton filmnya duluan. Buku berjudul Halo ini juga terbit berseri dalam tiga buku. Judul semuanya Halo, Hades dan Heaven.
Seri ini bisa dibilang mirip dengan seri Beautiful Creatures. Sebuah makhluk bukan manusia, hidup di bumi, jatuh cinta dengan manusia, hubungan mereka terlarang, banyak yang menentang, mereka berusaha sekuat tenaga, endingnya tenang. Saya tidak bisa bilang endingnya happily ever after, bagaimana pun saya baru baca buku pertamanya. Terlepas endingnya happy atau tidak, tentunya final endingnya tak mungkin bergejolak. Makanya saya sebut tenang.

Diawali dengan perkenalan tokoh yaitu tiga malaikat yang diutus menjalankan misi melindungi manusia dari kekuatan kegelapan dengan menyamar sebagai manusia di bumi. Gabriel dan Ivy karena termasuk malaikat senior dan sudah pernah melaksanakan berbagai misi, mereka hadir sebagai tokoh yang 'dingin' tapi ramah. Artinya, meskipun mereka menyamar menjadi manusia, mereka berusaha untuk tidak terlalu manusiawi dengan sedikit mungkin bersosialisasi. Berbeda dengan Bethany yang tergolong muda dan termasuk dalam malaikat yang paling dekat dengan manusia, yang mendengarkan doa-doa dari para manusia, Bethany ini yang paling 'manusiawi' dan menikmati perannya sebagai manusia. Saking manusiawinya, dia akhirnya jatuh cinta dengan seorang manusia, ketua murid di sekolahnya, Xavier. Sebenarnya kekuatan cinta yang dimiliki Bethany menjadi kekuatan terbesar dia sebagai malaikat. Tapi yah, karena dia malaikat dan Xavier adalah manusia, secara logika tentunya mereka tidak bisa meneruskan hubungan mereka dalam konteks sebagai pasangan, apalagi berujung pada pernikahan. Tapi sempat saya intip sinopsisnya di Goodreads, di buku ketiga mereka ingin menikah lho. Duh.

Overall, buku ini cukup menyenangkan untuk dijadikan hiburan. Tidak sekompleks Beautiful Creatures, memang. Ini versi lebih simpel. Tapi benang merah mereka sama, bahwa di dunia ini ada yang namanya baik dan buruk. Keburukan tidak bisa hilang, karena kalau keburukan hilang, manusia tidak tahu yang namanya berusaha menjadi baik. Tetapi keburukan yang berlebihan pun juga tidak bagus karena bisa merusak perdamaian dunia. Bumbu romansanya juga hampir sama. Kalau saya lihat dari kesamaan hubungannya, yaitu hubungan yang terlarang, saya pribadi mengambil kesimpulan bahwa manusia kebanyakan cenderung mengutamakan emosi dalam hal cinta ketimbang logika. Padahal semestinya emosi dan logika seimbang. Yah, tapi ketika orang jatuh cinta, kita bisa apa? Kita bisa memilih menikah dengan siapa, tapi kita tidak bisa memilih untuk jatuh cinta kepada siapa. Kata Sudjiwo Tedjo sih begitu. (,--)>

Anyway, melihat dari review para pembaca Halo Series yang bertahan hingga buku ketiga, kebanyakan mereka tidak merekomendasikan buku ini untuk terus dibaca. Mereka merasa buku ini terlalu emosional, labil, dan dipaksakan imajinya dari berbagai hal. Meskipun fiksi, ada hal-hal di mana logika tetap berperan. Untuk menjaga kewarasan pembacanya. Eh, maksudnya kalau settingnya kehidupan sehari-hari sih biar tetap sesuai kaidah kehidupan. Kecuali kalau mau bikin dunia sendiri, sekalian total berfantasi. Tetapi bagaimanapun juga, jalan cerita fiksi  tergantung dari penulisnya kan?

Rating saya untuk buku pertama Halo Series ini 3.5 dari 5.

Love,
anindrustiyan