Thursday 11 December 2014

Duh Gusti, lindungilah mereka ke mana pun mereka pergi.........

Hujan terus mengguyur kota. Kau terus mengemudi menuju rumah. Pada satu titik hujan mulai mereda. Tongkat pembersih tak lagi mengayun pada kaca. Satu kilometer dari rumah, kau melihat mereka beriringan. Tak banyak, cukup tiga. Satu telah renta, yang dua masih begitu muda. Sudah sering kau melihatnya, duduk bertiga di depan rumah orang. Bersandar pada tembok pagar menjulang, terkadang yang paling kecil mengecipakkan kakinya di selokan. Yang tua tepekur kelelahan. Dari manakah mereka? Tak ada yang pernah dapat menduga. Ada niat dalam dirimu menolong mereka. Tetapi kesempatan itu masih saja belum ada. Sering kau melihat mereka. Yang renta selalu tampak seperti tertidur, kali lain yang paling kecil tidur bersandar pada yang renta, memainkan jenggotnya yang kotor tak keruan.

Tapi hari itu, ya, hari itu. Kau tak lagi mau menunda. Segera berhenti roda besar mobilmu di depan restoran. Dengan terengah kau pesan tiga bungkus nasi dan air mineral. Menunggu dengan berdebar. Tuhan, niatku baik, lancarkanlah, bisikmu tak tenang. Istirahatkan dulu mereka sejenak di sana, sampai aku datang. Rasanya ingin sekali kau bantu pegawai restoran untuk membungkus pesanan. Begitu lama. Hingga akhirnya tiba. Degup jantungmu makin tak beraturan. Perlahan kau pinggirkan mobilmu ke tepian di seberang. Tak peduli banyak mata memandangmu keheranan. Bergegas kau hampiri mereka. Senyum kau sunggingkan, jangan sampai mereka takut!

"Dek, sudah makan?" tanyamu. Mereka tak menyahut. Air muka mereka penuh harap, tangan si kecil seakan-akan sudah ingin segera meraih plastik di tanganmu. Mereka tahu, itu nasi. Dengan ukuran tiga kali dari sehari-hari.

"Pak, makan ya," katamu pada yang renta. Ia tergeragap. Mukanya tertutup topi. Kakinya dia tarik-tarik, ditekuk-tekuk. Entah takut, entah merasa tak pantas, merasa kotor. Kau tahu kalau kau terlalu lama di sana, kau akan menakuti mereka. Si kecil sudah penuh harap. Segera kau sodorkan. "Makan ya, Pak, Dek," katamu lirih. Bergegas kau pergi. Sengaja kau putar balik. Mereka bertiga menghadap dinding pagar. Melahap nasi penuh syukur tanpa sisa.

Sampai di rumah, saat tak ada orang. tak ada AC yang mengeringkan air mata, kau merasakan pipimu basah. Banjir. Kau menangis sampai sesak. Sampai tak ada tenaga untuk mengganti karbon dioksida dengan oksigen di dada. Tanpa suara. Tapi perih terasa. Bibirmu mengucap syukur tanpa henti. Atas semua rezeki yang diberi. Pedih hati melihat mereka, yang seharusnya bahagia dengan masa kecilnya, mendapatkan ilmu dengan mudahnya, malah harus berjalan tak tentu arah setiap harinya, hanya agar perutnya tak bergemuruh tiada hentinya.

Hujan sudah lama berhenti. Tapi sendunya masih kau resapi. Denting butiran air dari daun ke bumi, menjadi melodi pengiring di sore hari. Menyaksikan mata kosongmu yang masih merekam kejadian tadi. Duh Gusti, lindungilah mereka ke mana pun mereka pergi.........

No comments:

Post a Comment