Rutinitas Ashana setiap pagi selalu sama. Bangun pukul empat, menyeduh kopi dan menyesapnya beberapa kali sebelum kemudian berkutat di dapur. Kadang kala, sering sebenarnya, ia kehabisan ide menu masakan. Hingga tanpa sadar menunya terus itu-itu saja. Apalagi kalau putrinya sedang kurang nafsu makan. Entah karena tumbuh gigi atau sakit batuk pilek pada musimnya. Kepala Ashana semakin pening mencari menu makanan yang menggugah selera dan membuat suami dan putrinya lahap.
Setelah masakan selesai, dibantu suaminya bertugas menanak nasi, ia akan membangunkan putrinya untuk mandi bersama. Sembari putrinya berdandan bersama Papanya, Ashana akan berdandan untuk dirinya sendiri dan menyiapkan kotak bekal untuknya dan putrinya. Begitu semua selesai, ia akan berangkat ke kantor dengan mengantar putrinya lebih dulu ke daycare.
Ia akan menjemput putrinya sesuai jam pulang kantornya. Sama seperti hari lain, hari ini pun demikian. Namun karena usia putrinya sudah hampir tiga tahun, anak itu sudah mulai mengerti berbagai emosi, termasuk kesal pada ibunya karena merasa terlalu lama menunggu. Putrinya memanggilnya dari balik pagar daycare dengan kesal, sudah siap lengkap mengenakan jaket dan tasnya serta telah mengenakan sandal. Ia memeluk Mamanya sambil memberengut.
"Adek kesal ya, Mama jemputnya lama? Maaf ya, Mama hari ini pulangnya agak telat," kata Ashana sambil mengelus punggung putrinya.
"Yaudah yuk pulang, Mama bawa bakso buat Adek nih," lanjut Ashana. Putrinya sumringah mendengarnya. "Bakso? Ayooo, " katanya ceria.
Sesampainya di rumah, putrinya menyantap bakso bersama Papanya sedangkan Ashana mandi dan berganti pakaian. Putrinya lanjut makan pisang dan meminta susu. Ashana geleng-geleng dengan tingkah putrinya. Tapi juga bersyukur setelah beberapa hari nafsu makannya menurun karena batuk pilek. Karena dirasa makan sorenya sudah terlalu banyak, Ashana tidak menawari putrinya makan malam.
Ternyata prediksinya salah. Putrinya melihat Papa dan Mamanya makan malam bihun goreng, ia langsung berseru, "Ma, mau mie,"
"Loh, adek kan udah makan banyak tadi, nanti kekenyangan, sakit perutnya," sahut Ashana.
"Mau miiiee," seru putrinya kekeuh. Ashana mengalah. Ia buatkan mie lagi dengan porsi kecil. Setelah selesai, disodorkannya ke hadapan putrinya yang sedang corat coret di buku gambar di meja lipatnya. Putrinya menoleh ke arah mie yang baru matang, lalu membuang muka. "Nggak!" katanya.
Ashana terkesiap. Kesal dengan tingkah putrinya.
"Adek, jangan gitu. Kan adek tadi udah minta makan mie, sudah dibuatkan Mama, makan ya. Dikit aja gapapa, gak habis gapapa, tapi dimakan," bujuk Ashana.
"Nggaaaaak!" kata putrinya setengah berteriak. Tiba-tiba suaminya mencubit kaki putrinya.
"Makan. Papa nggak suka ya kalau kamu kayak gitu, buang-buang makanan! Mama sudah capek-capek masak kok kamu gak mau makan!" hardik suaminya sambil terus mencubit. Ashana terkejut, ketakutan. Ashana tahu suaminya hanya pura-pura mencubit, namun Ashana tetap ketakutan. Ashana membayangkan kekuatan laki-laki yang menurutnya hanya mencubit tidak sakit namun kenyataannya tetap sakit bagi anak-anak. Ashana juga seperti merasa dicubit, seperti dahulu ketika ia kecil. Bahkan dulu sampai membekas memar di pahanya. Dan ia masih ingat rasanya.
Putrinya menangis, tapi hanya sekejap. Mungkin tangisannya adalah tangisan terkejut dengan reaksi Papanya, dan merasa ternyata tidak sakit dicubit Papanya.
Suaminya terus memarahi putrinya. Lalu putrinya memandang Ashana, "Mama, Papa...," katanya.
"Adek takut Papa marah ya?" tanya Ashana.
"Takut Papa mayah..," kata putrinya.
"Adek nggak suka ya dicubit Papa?" tanya Ashana lagi.
"Tak suka dicubit," jawab putrinya lagi.
"Kalau adek nggak mau Papa marah dan nyubit, adek jangan ulangi lagi ya. Kalau minta makan ya harus dimakan. Kalau udah kenyang, ya jangan minta makan dulu. Ngerti?"
"Ngeti...,"
"Udah, sekarang say sorry dulu sama Papa,"
"Sorry, pa...,"
"Iya, Papa juga sorry ya udah cubit adek," sahut suaminya.
"Ayo, sekarang kita berpelukan bertiga," kata Ashana. Dan mereka pun berpelukan, lalu putrinya mendaratkan kecupan di pipinya dan suaminya.
Tak lama Ashana menidurkan putrinya. Dan tersenyum melihat wajah putrinya. Ia kagum, anak sekecil ini mulai merasakan emosi, dan mau menyampaikan emosi yang dirasakannya. Kebanyakan anak-anak akan takut menyampaikan emosinya meskipun sudah dipandu atau ditanyai oleh orang tuanya. Namun putrinya dengan tenang menyampaikan emosinya. Dan dia bangga akan hal itu.
Ashana kemudian beranjak, mengambil posisi duduk yang rileks dan mulai mempraktekkan teknik relaksasi yang diajarkan Bu Kirana. Ia merasa malam ini tenaganya terkuras dengan emosi negatif, dan ia butuh tidur yang tenang. Ia menyalakan musik yang lembut, melakukan gerakan relaksasi dari Bu Kirana dan gerakan lain yang ia butuhkan. Setelah merasa lebih tenang, ia meminum air putih dan beranjak tidur. Sambil berdoa semoga pikirannya tidak meliar lagi malam ini.
No comments:
Post a Comment