Ashana beranjak dari kursi tunggu. Kakinya berjalan melewati banyak pasien yang sedang menunggu giliran periksa. Ia tidak menyangka setiap hari poliklinik rumah sakit menangani sekian banyak pasien. Tapi dari sekian poli, poli psikologi lah yang paling sepi pengunjung.
Sampai saat ini, pentingnya kesehatan mental masih menjadi sesuatu yang diabaikan. Mungkin karena tidak ada batasan yang jelas atau terlihat mata, orang dengan gangguan mental yang perlu bantuan profesional itu pada taraf yang seperti apa. Banyak yang masih mengabaikan gejala-gejala yang dialami karena merasa masih baik-baik saja. Padahal tanpa ia sadari sudah mulai mengganggu aktifitas sehari-harinya.
Selain itu, stigma masyarakat yang menganggap bahwa gangguan mental sama dengan sakit jiwa atau orang gila membuat mereka masih amat enggan untuk memeriksakan dirinya. Dalam sesi konselingnya tadi, Bu Kirana juga bercerita bahwa sampai saat ini, bantuan BPJS untuk poli kejiwaan masih sulit ditembus. Seakan-akan masalah kejiwaan bukan masalah kesehatan yang darurat untuk ditangani. Padahal obat untuk pasien kejiwaan tergolong mahal, dan tidak semua orang memiliki dana untuk membelinya, padahal mereka membutuhkan. Dianggapnya mungkin hanya dengan bercerita saja sudah cukup melegakan. Padahal ternyata banyak pasien psikiater yang mengalami kecemasan berlebihan hingga badan gemetar dan sulit tidur berhari-hari serta mengalami halusinasi karena lama terabaikan.
Orang-orang menunggu parah dulu baru berobat. Kebanyakan demikian. Kesehatan mental jika terus diabaikan dapat mempengaruhi kesehatan fisik juga. Ini yang kurang dipahami masyarakat. Padahal sering kita jumpai, orang-orang yang mengeluh sakit kepala berlebih, ketika general check-up secara fisik semua baik-baik saja. Tapi ia mengeluh sakit kepala hebat dan sulit tidur.
Ashana memikirkan hal ini sambil terus berjalan menuju parkiran. Ia kemudian melajukan motornya ke sebuah kedai kopi. Bu Kirana menyarankan ia untuk melakukan jurnaling. Ia terdiam. Ashana sudah melakukan jurnaling namun mengalami kesulitan untuk konsisten melakukannya.
Ia mencari inspirasi dari Pinterest, yang ada jadi lebih mengutamakan tampilan jurnalingnya daripada isi dan esensi jurnaling untuk mengurai atau mengurangi beban pikirannya. Ia akhirnya memutuskan untuk memulainya lagi. Ia berkomitmen pada dirinya sendiri untuk melakukan jurnaling sesimple mungkin. Yang mana memang benar-benar untuk menuang isi pikirannya. Ia akan mengesampingkan kesempurnaan demi melegakan isi otak dan hatinya.
Sayangnya, ia lupa membawa notes kecilnya. Namun notes kecil itu telah terisi emosi-emosinya sejak awal tahun dan sepertinya sudah waktunya untuk menyerahkan tongkat estafet ke notes lain, meskipun masih ada sisa beberapa lembar.
Ia memutuskan untuk mampir ke sebuah toko buku dan memilih buku notes kecil beserta pulpen, dan bergegas ke sebuah kedai kopi yang sudah lama ingin ia kunjungi.
Kedai kopi di tengah kota, kecil terhimpit di antara dua bangunan besar. Dari luar nampak seperti warung kopi kecil. Siapa sangka kalau kau berjalan di gang sebelahnya, menuju di belakang yang nampak seperti warung tadi, ada beberapa tempat duduk dan meja yang siap menahan berat badanmu dan berat pikiranmu.
Selain itu, jika kau naik melewati tangga yang menempel dinding, kau akan menemukan meja kursi lain dengan pemandangan genteng rumah warga sekitar yang bisa kau lihat sambil menyesap kopi pesananmu.
Ashana memasuki kedai dan disambut barista yang langsung beranjak muncul dari balik bar. Ashana bimbang memandang papan menu. Antara Americano dingin minim kalori untuk menunjang diet dan olahraganya atau Butterscotch Latte untuk memanjakan diri setelah menahan untuk tidak mengkonsumsi gula. Akhirnya ia memutuskan untuk cheat coffee break. Segelas Butterscotch Latte minim gula dengan beberapa potong cireng setelah enam belas hari makan sehat ia rasa tidak akan terlalu berdosa.
Setelah memesan dan melakukan pembayaran, Ashana berjalan melewati gang di sebelah kedai dan memilih duduk tepat di belakang kedai. Sudah ada dua orang yang duduk di meja pojok. Sekilas tampak sepertinya mereka berusia 20-an. Laki-laki dan perempuan. Mereka mengobrol sesuatu seperti sebuah rencana liburan beramai-ramai. Yang perempuan sembari menghirup vapour.
Ashana tidak habis pikir, tren vapour ini meresahkan untuknya. Dia tidak peduli gender, baginya vapour tetap sama merugikannya seperti rokok konvensional. Vapour malah kau menghirup uap air, bayangkan kau mengantar uap air itu memasuki paru-parumu dan dia akan mengendap di sana. Terakumulasi berhari-hari. Tapi bagaimanapun, itu pilihan orang. Ashana tidak memiliki hak untuk menegur apalagi melarang. Ia hanya menyayangkan dalam hatinya.
Sembari menunggu pesanannya datang, Ashana membuka notes barunya. Ia sempat merenung, apa yang akan ia tulis di jurnal barunya?
Tanpa sadar, ia memulai dengan kata :
Hai, Ashana. Aku ucapkan terima kasih atas keberanianmu melawan dirimu sendiri untuk tidak mengabaikan kebutuhan bantuan profesional atas kesehatan mentalmu. Aku tahu kau merasa baik-baik saja. Saat ini. Tapi kau tidak baik-baik saja kemarin dan beberapa hari sebelumnya. Hari ini kau sudah berhasil mendorong dirimu untuk ke psikolog dan aku bangga denganmu. Tidak menakutkan bukan?
Ashana melanjutkan jurnalingnya dengan membuat daftar rangkuman dari apa saja yang disampaikan dan disarankan oleh Bu Kirana. Sepertinya ia perlu untuk mencatat setiap hasil konseling nantinya. Agar bisa ia baca ulang dan mengingatkan diri sendiri.
Tak lama pesanannya tiba. Ia mengaduk Butterscotch Latte dan mulai menyesapnya. Lidahnya seakan menari dengan sensasi dingin dan manis yang perlahan bergulir dari gelas ke tenggorokannya dengan lembut. Dasarnya ia tak terlalu suka manis. Jadi mengurangi gula dalam dietnya tak terlalu sulit baginya. Ia beralih ke potongan cireng yang sudah disiram dengan sambal gula di atasnya. Ia meniriskan sambal gula itu ke wadah, dan menggigit pelan. Kekenyalan cireng yang ia santap terasa pas. Mengingat ia pernah merasakan cireng yang terlampau keras sampai-sampai berbunyi saat di lempar ke meja. Ironisnya itu adalah cireng pertama kali dalam hidupnya, dicicip saat berkunjung ke Bogor beberapa tahun yang lalu. Ia mendengus geli mengingatnya.
- Tidak perlu malu dan khawatir menunjukkan kelemahan di depan orang, terutama di depan orang terdekat kita. Tidak perlu terus menerus berusaha menunjukkan bahwa kita selalu bisa dan tidak butuh bantuan.
- Kelelahan ibu yang memiliki anak di usia 1-5 tahun, ibu pekerja, adalah sebuah hal yang wajar.
- Belajar teknik relaksasi untuk menurunkan emosi
- Usahakan untuk nggak ketrigger dengan emosinya Mama, terutama yang nggak berhubungan langsung dengan kamu
- Orang usia 60 tahun ke atas itu makin menua makin kaku, makin susah diberi penjelasan, kita yang harus memaklumi, kembali lagi jangan ketrigger.
Ashana meletakkan pulpennya. Ia merasa sepertinya ini saja sudah cukup untuk pemanasan menulis jurnalnya. Kurangnya konsistensi membuat kemampuan menulisnya tumpul kembali. Ia ingat masa kuliahnya dulu, di tengah kesibukannya menyusun skripsi, ia sering berkorespondensi dengan salah satu penulis ternama, dan sering mencoba menulis cerita. Tak jarang hasil karyanya dimuat di majalah. Ia rindu masa itu, rindu dengan dirinya yang fokus dan terlena dalam dunia penulisan. Sekarang, bahkan untuk menyelesaikan membaca satu bab buku novel saja dia membutuhkan waktu berhari-hari. Masanya sudah berganti. Kesibukan sebagai ibu pekerja memang sangat menyita pikiran dan tenaga. Sembari menghabiskan kopi dan cireng, ia berdoa dalam hati, semoga para ibu pekerja di luar sana selalu diberikan kekuatan dan ketangguhan, begitupun bagi ibu rumah tangga dan ibu-ibu yang lain.
No comments:
Post a Comment