Thursday 2 February 2017

Hey, Dad. I love you....

Dan pada akhirnya tiba juga masa itu. Fisikmu kini sudah tak lagi dapat kusentuh. Apalagi kurengkuh. Telah berkumpul dengan pendahulumu. Sudah hilang rasa sakitmu, Pa. Hilang sudah nyeri itu. Harapanku, rasa sakitmu selama ini dapat menjadi penghapus kesalahan dan dosamu semasa hidup.

Ya, aku pernah berkata, berbisik di telingamu, saat terakhir kita bertemu. Aku tak apa-apa. Jika sudah tiba masa engkau harus kembali kepada Tuhan, pergilah. Aku ikhlas. Karena aku tahu itu yang terbaik untukmu. Namun kenyaataannya, seikhlas-ikhlasnya aku, sesiap-sesiapnya aku, tetap saja sulit bagiku menahan tangis. Sampai kepalaku sakit. Tapi jika tidak kutahan, tangisku tak mau berhenti.

Perih rasanya membaca namamu di batu nisan. Aku tahu setiap manusia nantinya akan demikian. Tapi tiap kali kueja namamu, lubang hatiku rasanya semakin dalam.

Betapa terbatasnya ruang dan waktuku untuk berbakti padamu, Papa. Betapa tidak berdayanya aku menghadapi kondisi pelik itu. Apakah aku pengecut dengan tidak memperjuangkanmu dari mereka? Apakah aku lemah dengan tidak menghadapi mereka?

Kondisi itu terlalu pelik untuk kucerna, apalgi sampai kuhadapi. Yang akhirnya aku memilih untuk tidak bertindak. Semoga itu tidak membuatmu berpikir bahwa aku tidak memprioritaskanmu, Pa.

Mungkin akan ada yang berpikir. Sudah lama berpisah, tak selalu setiap saat bertemu, maka rasa kehilangan itu tidak akan terlalu berat. Salah. Justru sangat sakit karena kenyataan bahwa semakin aku tidak bisa menggapai tanganmu lagi, Pa.

Sedih itu masih terasa, rasa kehilangan itu terus ada, kekosongan itu tidak tergantikan. Tetapi fakta bahwa engkau sudah tak lagi merasakan sakit, baik fisik maupun batin, menjadi satu penghiburanku saat ini.

I may not saying "I love you, Dad" everyday, but I hope that you still feel it, until now.


I love you, Dad...










No comments:

Post a Comment