Tuesday 10 July 2012

Redup

Hampir setahun sejak pertemuan pertamaku dengannya. Samar-samar aku ingat wajahnya, senyumnya. Bagaimana ia serius ketika bekerja, alisnya yang bertaut tanda ia sedang berpikir. Kegesitannya, emosinya, keceriaannya. Namun dalam pertemuan pertamaku itu perhatianku tak hanya tertuju padanya. Ada yang lain, yang tak teraih, namun membekas di hati. Kesederhanaannya, kedewasaannya, ketenangannya. Mereka berdua berbeda. Mereka berdua bersahabat.

**

Aku berjanji bertemu dengannya pagi ini. Kupersiapkan diriku sebaik mungkin. Aku tak sabar ingin melihatnya. Apakah dia juga? Lama tak bertemu, berubah kah dia? Sebenarnya ada saat kami bertemu kembali setelah pertemuan pertama kami. Tapi aku tak pernah punya nyali untuk mendekatinya. Seperti biasa dia tampak ceria. Akan kah ia menebar senyum cerianya lagi?

Aku menghubunginya. Ia membalas posisi dia sekarang. Aku sengaja mengulur waktu sedikit meskipun jarakku sudah dekat dengannya. Menata hati. Dan akhirnya aku menemukannya. Duduk bersila di hadapan sebuah laptop. Tampak serius seperti biasa. Namun ada ceria di matanya, dan seulas senyum di bibirnya. Cantik. Tapi kenapa dadaku berhenti bergemuruh? Ada yang salah. Bukan, bukan dari dia. Dariku kah?

Aku berjalan di depannya. Ia tak menyadari kehadiranku. Lalu aku menghempaskan tubuhku di sebelahnya, ia menoleh dan aku langsung disambut senyum lebarnya. Sejenak kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Hampir dua jam, kalau itu bisa dibilang sejenak. Aku meliriknya. Astaga, ia melihatku! Dengan matanya yang bulat besar, senyum mengembang di wajahnya yang makin lebar ketika aku menyadari bahwa ia melihatku. Laptopnya sudah ditutup.

"Sudah selesai?" tanyaku. Ia mengangguk. Tapi ia tak beranjak dari duduknya. Ia tampak bosan. Aku....entah kenapa aku tak bisa memberikan inisiatif. Otakku sepertinya berhenti berkreasi. Andai saja aku bisa membaca apa yang ada di pikirannya. Senang kah dia bertemu aku? Atau jemu? Jangan-jangan dia juga berpikir sama sepertiku. Ini di luar ekspektasiku!!

Bukan...bukan dia yang salah. Dia tampak menyenangkan, seperti biasa. Hanya saja, setelah bertemu dengannya, semangat yang tadinya ada mendadak menguap. Entah kenapa. Biasa saja.  Aku paksakan untuk berbicara. Menanyakan kesehariannya. Ceritanya menyenangkan. Beberapa hal membuatku terpingkal. Tapi kemudian ada jeda setelah tawa. Ada hening setelah ramai. Mungkin aku jahat. Tapi aku malah ingin bertemu dengan yang lain. Ingin melihat ketenangannya. Keteduhannya. Yang bisa menyeimbangkan sinar menyilaukan.

Akhirnya aku menyerah. Kami pun pulang. Tak ada indikasi pertemuan akan diteruskan. Tak ada yang berkata "Senang bertemu denganmu" atau semacamnya. Hanya saling bertukar senyum, saling melambai, lalu pulang ke arah masing-masing. Hanya demikian. Singkat saja. Seandainya tadi aku berani, mungkin aku akan menambahkan kata "maaf" setelah kata "terima kasih".

1 comment:

  1. aaaaaaaaaahhhhh.....aku pernah merasakan itu tahun laluuuuuuuuuuuuuuuuuu :(

    ga lama orangnya malah jadian dengan yang lain #makjleb

    ReplyDelete