Tuesday 29 August 2017

Memanggil Kenangan Untuk Melepaskan

Ada berapa banyak kenangan yang telah kau buat? Baik sendiri maupun bersama orang lain? Dengan orang di sekitarmu, bahkan dengan orang yang paling berarti bagimu. Kenangan baik, kenangan buruk. Begitu indah sampai ingin terus mencium aromanya, memeluk wujudnya. Atau begitu buruk sampai sakit, perih, seakan ulu hati terpuntir, sesak tanpa akhir, yang meski sudah kau coba bawa tidur tak juga pergi.

Ketika baru saja terjadi, kenangan akan masih terus jelas terlihat kapan pun kau memejamkan mata. Masih terasa genggamannya, sentuhannya. Masih tercium aromanya. Masih terlihat jelas senyumnya, kilat mata saat tatapannya beradu pandang denganmu. Masih terdengar jelas nyanyiannya. Andai jarimu sanggup menuliskan, atau bibirmu sanggup menuturkan, mendeskripsikan rasanya akan begitu mudah. Tapi terkadang, kenangan itu hanya ingin kita simpan dalam memori kita. Terlalu sayang untuk dibagikan.

Dan segala hal di semesta ini, seakan menggodamu untuk mengingatnya. Mendengar lagu yang biasa ia gumamkan, menghirup aroma kopi yang biasa ia teguk. Hanya dengan memejamkan mata, bisa tergambar jelas caranya mengetuk jari sesuai irama lagu, caranya mendekatkan cangkir ke hidungnya untuk mencium aroma kopi sebelum kemudian menghirupnya pelan-pelan, caranya berjalan, tegap punggungnya ketika memandang jauh dengan lintingan tembakau di jarinya. Tercium jelas aroma tembakau dan parfum yang menguar dari tubuhnya. Tergambar jelas senyumnya, matanya yang tinggal segaris ketika terpingkal. Mata yang pernah menatap tajam ketika menunggu jawaban. Mata yang berkilat protes ketika kau memaksa dirimu untuk terus bekerja padahal tubuhmu sudah kelelahan. Mata yang tak sanggup untuk kau pandang ketika ia terkejut. Mata yang tak mampu kau tatap ketika kau tahu ia memandangmu. Semakin kau gali, terasa jelas sentuhan jemarinya yang ragu-ragu tapi enggan menjauh, yang keesokan harinya berubah menjadi genggaman kukuh. Awal mula dari rangkaian kenangan. Terasa jelas saat jemarimu menyentuh hangat kulitnya, menenangkannya hingga ia terlelap. Penghujung dari susunan kenangan.

Tampak indah, terasa manis. Tapi kemudian tak berani untuk diingat lagi. Setiap kali teringat, hati seperti disiram air dingin, ulu hati seakan terpuntir. Terjaga sepanjang malam, seakan paham akan terputar lagi seperti pita film jika memejam. Ingin membuangnya, ingin mengenyahkan, ingin menjauhkan, tapi tak tahu bagaimana caranya.

Hingga akhirnya, perlahan justru kau panggil semua. Kau urutkan dari awal mula, hingga penghujung akhir. Mengingatnya menimbulkan pedih, tapi terus kau panggil, terus kau nikmati, sampai hilang pedih itu. Sampai ketika kau putar lagi, sudah tak terasa apapun. Hanya senyum. Senyum bahwa kau pernah mengalaminya. Senyum bahwa kau pernah mengenalnya, pernah menghabiskan waktu dengannya, pernah menyusun kenangan bersamanya, pernah begitu peduli padanya. Sampai saat ini. Tak ada pedih lagi. Kau panggil lagi, hanya ada senyum dan nafas yang semakin teratur.

Mungkin ini salah satu caraku untuk berdamai. Memanggil kenangan bukan karena tak ingin melepaskan. Tapi memanggil kenangan justru untuk membebaskan. Kita cenderung tak ingin mengingat karena takut akan rasa sakitnya. Padahal ketika kita memanggilnya, menikmati sensasinya, menghadapinya, kita akan siap. Siap untuk menyimpannya, siap bersahabat dengannya. Sehingga jika suatu saat Tuhan mempertemukan kita kembali, kita akan bertemu bukan dengan tubuh yang berbalik menghindar, telapak tangan yang dingin dan hati yang mencelos samar. Tapi bertukar senyum tulus dan tatapan hangat. Dan tangan kita akan berjabat, lalu berujar, "Apa kabar?"


Blitar, 29 Agustus 2017
Sebuah tulisan di hampir penghujung Agustus, sebelum menyambut September,

AnindRustiyan

(Song while I write this down : Kenangan Yang Salah by Judika)





No comments:

Post a Comment