"Hei, kamu kenapa?? Habis jatuh apa gimana??" serangnya begitu teleponnya kuangkat. Aku menceritakan kronologi semalam dengan suara berat dan serak karena menangis semalaman.
"Dengar, kusarankan, sebaiknya kamu ganti dokter. Cari dokter yang reputasinya bagus. Beneran. Coba opsi lain. Siapa tahu diagnosenya berbeda. Kalaupun ternyata sama, setidaknya dia dokter bagus yang akan menjamin kesehatanmu seterusnya," katanya.
Kata-kata temanku semakin menguatkan keinginanku yang memang sejak tadi sudah terbersit di pikiranku. Aku ingin mencoba ke dokter kandungan lain lagi, sekalian yang perempuan seperti yang aku inginkan sejak awal. Setidaknya, jika diagnosenya pun sama, yang melakukan tindakan adalah dokter perempuan. Sehingga aku merasa agak lebih nyaman.
Akhirnya agenda kami yang tadinya meminta rujukan BPJS, beralih ke dokter kandungan di rumah sakit yang lain. Suamiku terus menerus menenangkanku. Mungkin karena ia melihat ekspresiku yang begitu tegang. Untungnya teknis pendaftaran di rumah sakit yang ini cukup menyenangkan. Tidak bertele-tele. Begitu namaku dipanggil, aku masuk ruangan dan disambut dengan sapaan yang menyenangkan.
"Pagi ibu, ada keluhan nggak nih?" kata dokternya.
Akhirnya aku menceritakan riwayat kehamilanku mulai dari awal tes sampai diagnose dokter kedua. Kutunjukkan pula foto USG dari dua dokter sebelumnya. dr. Adyuta, nama dokter yang kukunjungi ini, memeriksanya dan mengangguk kemudian memintaku untuk rebah di tempat periksa dan melakukan pemeriksaan dengan USG transvaginal. Ia terdiam sesaat, mengangguk lagi. Lalu mulai berkata.
"Baik, kita lihat bareng-bareng ya. Ini bayinya, ini jantungnya, berdenyut. Kalo kayak gini saya nggak berani kuret. Kalaupun misal, nih, misal, ternyata gak tertolong, gak akan langsung saya kuret juga. Saya kasih obat, kita kasih waktu buat keluar dengan sendirinya. Tapi ini ada kok, ukuran janin sama usia kandungannya sesuai. Bismillah yuk, diusahain bareng-bareng yaa,"
Aku hampir tidak percaya dengan yang kudengar. Bayiku ada! Dia tidak apa-apa! Akhirnya dokter memintaku untuk meneruskan obat penguat kandungan yang sudah kutebus dari resep dokter yang pertama, dan ia memberiku vitamin untuk kehamilan serta menuliskan surat ijin istirahat untuk kepentingan administrasi kantorku.
Aku keluar ruang periksa nyaris melompat.
"Gimana?" tanya suamiku. Kalau aku tidak ingat bahwa kami masih di rumah sakit, aku mungkin akan memeluk suamiku dengan erat.
"The baby is here....," jawabku.
"Bayinya ada??"
"Iya, dan dia baik-baik aja. Dia nggak apa-apa," jawabku lagi.
Suamiku menahan diri untuk tidak melompat kegirangan, aku bisa melihatnya dari raut wajahnya. Sambil berjalan ke apotik, ia mulai mengomel kredibilitas dokter kedua yang kemarin mendiagnoseku untuk menyerah dengan janinku. Ia langsung menelepon orang tuanya. Ternyata mereka pun tidak tidur semalaman setelah semalam ditelepon oleh suamiku perkara dokter yang mendiagnoseku untuk kuret. Kami kemudian segera pulang untuk istirahat. Dan memberikan hadiah bagi diri kami dengan memesan makanan enak!
Blitar, 23 Juni 2021