Saturday, 3 December 2011

#DearPapa - a letter to the Guardian

Sabtu, 3 Desember 2011

Dear Papa,
Papa lagi apa? Pasti sedang menonton TV sambil menunggu sms dariku kan? Maafkan aku tak pandai berkata-kata untuk sms denganmu. Bukannya aku tak sayang lagi padamu, atau mengabaikanmu. Aku hanya bingung dengan diriku sendiri. Aku bingung bagaimana menyampaikan perasaan sayangku padamu.

Papa, aku yakin Papa kangen banget sama aku dan Mama.
Aku juga, Pa. Aku kangen banget sama Papa. Tahukah, Pa? Mama juga kangen sama Papa. Meskipun kalian sekarang tak lagi bersama, percayalah, cinta Mama sebenarnya hanya untuk Papa. Tapi keadaan lah yang memaksa begini. Dan aku bangga dengan kalian, karena bisa melewati ini dengan baik, dan masih menyimpan cinta itu. Cinta yang tumbuh tiga puluh tahun yang lalu. Cinta yang melahirkanku.

Papa, ingatkah?
Ketika kita bertiga pergi bersama, membeli buku bahasa Inggris untukku. Aku menangis sambil menggenggam buku cerita bergambar yang kumau, tapi tak diperbolehkan Mama. Kau kesal, lalu mendorong tubuhku dengan kakimu agar berdiri, tapi aku menganggapnya sebagai tendangan? Aku tak marah, dan maafkan aku yang salah paham. Aku masih ingat lho, judul buku itu. The Wizard of Oz.

Papa, aku masih ingat.
Betapa kau menyayangiku. Sayangmu padaku begitu besar. Setiap pulang dari Jakarta, kau membawa banyak hadiah untukku. Dan kau berikan padaku secara berkala. Aku menganggapnya sebagai kejutan tiada habisnya. Seakan koper Papa adalah kantong ajaib Doraemon. Yang setiap saat menyimpan berbagai kejutan dan hadiah untukku. Kau tahu dulu aku suka Sailor Moon. Kau hafal aku dulu suka Westlife, sampai sekarang. Aku juga ingat ketika aku menginap di kantor Papa dulu. Aku tidur di karpet, di bawah meja komputer. Dan kau menjagaku semalaman. Ketika pagi menjelang, kau ingatkan aku untuk meminum obatku. Obat yang kala itu tak boleh absen kuminum, untuk mengobati jantungku. Syukurlah, berkat doamu, aku sembuh, dan bisa berlari tanpa takut sesak nafas lagi.

Papa, masih ingat juga?
Ketika Papa mandi, dan aku mengira Papa akan pergi. Aku berdandan karena aku kira akan kau ajak. Memang aku diajak. Tapi ternyata Papa mengajakku pergi tidur. Aku marah. Aku merasa kau bohongi. Aku menangis hingga tertidur di kamar Om Wid. Juga ketika Papa sedang istirahat dan aku bermain di mobil. Tanpa sengaja mobil berjalan sendiri dengan aku masih di dalam sendirian. Aku yakin kau cemas.

Papa, aku juga masih ingat,
Ketika aku sakit, kau menjagaku di sampingku. Memijat kakiku, berharap panas tubuhku menurun dan aku berlari ceria lagi. Tertawa dan memelukmu lagi.

Papa, begitu banyak kenangan antara kita.
Tapi entah kenapa, aku tak bisa sms lebih dari sekedar membalas "Pagi, papa" setiap pagi. Aku seketika terdiam, tak bisa merangkai kata, untuk bercerita padamu, bagaimana aku sekarang. Aku ingin mengunjungimu. Tetapi keadaan di sana yang mengurungkan niatku. Aku tak ingin ada pertengakaran, Pa. Dengan orang yang menemanimu sekarang di rumah.

Papa, percayalah.
Sebenarnya aku menyayangimu. Sama seperti aku menyayangi Mama. Aku hanya tak pandai menunjukkannya.

Papa, ketahuilah.
Aku ingin menemuimu. Aku ingin memelukmu. Aku terus berdoa supaya Papa lekas sembuh. Bisa berjalan tanpa tongkat lagi. Bisa menggerakkan tangan lagi. Dan aku ingin bertemu kedua kakakku. Aku ingin bisa akrab dengan mereka, Pa. Aku tak peduli dengan masa lalu Papa, mereka dan aku. Aku ingin mereka menganggapku adik. Semua sudah berlalu. Aku ingin mereka dan aku berdamai. Karena bagaimanapun, darah Papa mengalir dalam nadi kami. Dan aku selalu berdoa untuk itu. Kalaupun mereka belum menerimaku saat ini, aku siap kapan pun mereka mau menerimaku. Aku siap memeluk mereka dan memelukmu juga, Pa. Kapan saja.

Papa, I Love You. Aku bangga memiliki namamu di nama tengahku.

Your daughter,
Dhita


No comments:

Post a Comment