Fafa menatap jam di dinding
’8 jam lagi’,batin Fafa.Dibereskan lagi semua yang masih belum masuk.
Satu,dua,tiga,,,Tiga koper besar dan masih ada yang harus ia urus dan ia masukkan ke dalam koper berikutnya. Fafa menghela nafas panjang,lelah. Hampir tiga jam lebih ia masih sibuk mengepak barang.
‘Kenapa harus mendadak gini sih?’
Semuanya hampir ia salahkan,ini bukan karena keinginan Fafa,ini keinginan mereka,atau mungkin Fafa menginginkannya tapi urung mengakuinya.
***
Lima tahun mereka bersama, lima tahun itu pula Fafa memujanya. Rasanya seperti sebagian hidup Fafa didedikasikan hanya untuknya. Hampir seluruh temannya bilang ia terobsesi, berambisi, terhadap wanita itu. Fafa hanya menggeleng, menepis perkataan mereka, olokan mereka, yang berkata bahwa Fafa terlalu berlebihan. Fafa merasa nyaman dengan dia. Itu saja. Itu yang membuat Fafa bertahan dengannya lima tahun ini, meng’iya’kan segala perkataannya. Bukan hanya permintaannya, bahkan omelan kecilnya untuk bergegas mandi atau membereskan ruang TV yg berantakan. Semua Fafa patuhi. Seperti sekarang ini. Ketika ia berkata ingin pindah ke Singapura, tiga hari lalu. Dan ia ingin pergi bersama Fafa. Dan itu harus. Yang berarti mengorbankan pekerjaan Fafa, kuliah Fafa, juga tabungan Fafa.
Tok tok tok
Bunda mengetuk lembut pintu, Fafa tahu, ada yang sangat ingin Bunda katakan sebelum keputusan ini terlanjur bulat. Bagi Fafa, semua sudah positif, Fafa ingin selalu bersama Ninda.
“Masuk,Bunda”
Bunda masuk dan tersenyum kepada anak lelaki yang ia cintai.
“Kamu belum sarapan,Mas”
Fafa menggeleng pelan, “Sebentar ya Bunda, masih banyak yang harus Mas packing“
Bunda duduk di sebelah Fafa, membantu melipat pakaian. Menatap lama anaknya, Fafa tidak ingin Bunda menangis, atau mengatakan sesuatu yang membuat semua keputusan menjadi berat. Bunda mengelus kepala putranya sekilas.
“Kamu yakin sama semua keputusanmu,Nak?”
‘Bunda..kok pertanyaan itu lagi?’,Fafa tersenyum dan mengalihkan pandangannya ke semua barang-barangnya.
“Kuliah kamu gimana?”
“Bunda, disana banyak beasiswa. Bunda jangan pernah khawatir sama Fafa ya?”
Fafa tahu, semakin ia menghibur Bunda kalau semua semakin baik-baik saja, semakin Bunda khawatir. Tapi keputusan Fafa sudah bulat, demi Ninda. Ia bersedia mengajak serta ke Singapura. Barang-barang Ninda sudah dikemas dan ia bergegas pulang, bahkan Fafa sendiri belum berkemas, namun Ninda yang didahulukan, diutamakan.
Bunda meninggalkan kamar Fafa, tapi ada satu pertanyaan yang membuat Fafa tertegun, hanya satu, yang tidak pernah diajukan Bunda.
“Mas, seberapa yakin Ninda akan menjadi milik kamu? Jawab dengan hatimu sendiri,Bunda tidak perlu tahu. Tapi hati kecil kamu harus tahu”.
*****
Semua sudah siap. Fafa meminta keluarga untuk tidak mengantarnya. Pedih rasanya melihat wajah mereka yang berat melepasnya. Fafa ingin tinggal. Tapi ia juga ingin bersama Ninda. Ia juga ingin merasakan hidup mandiri di negeri orang. Ninda juga tidak diantar keluarga. Hanya sopir yang bertugas mengantar mereka, tanpa menunggu. Dan di sinilah mereka. Duduk berhadapan di sebuah cafe di bandara. Tak ada obrolan. Tak ada candaan. Tak ada kalimat mesra. Masing-masing menggenggam cangkir berisi kopi yang masih utuh. Dari mulai masih mengepul hingga menjadi dingin. Seakan ada hal sama yang mereka pikirkan. Benarkah keputusan ini? Ninda yang ngotot pindah ke Singapura karena tak tahan dengan kondisi keluarganya yang tidak harmonis. Dan dia butuh Fafa untuk terus di sampingnya. Fafa yang tak pernah bilang “tidak” untuknya.
Mereka menunggu panggilan operator yang mengumumkan mereka untuk segera ke pesawat. Setengah jam, satu jam. Fafa mulai merasa ada yang tak beres. Fafa beranjak dari kursinya.
“Aku tanya petugas dulu ya,” katanya, dibalas anggukan Ninda. Fafa mendekati petugas berseragam merah, seragam maskapai penerbangan yang pesawatnya akan mengantar mereka. Menerbangkan mereka ke negara tetangga. Fafa tampak shock, kemudian berlari ke arah counter check in di bawah. Ninda melihatnya, bergegas menyusulnya. Ninda melihat Fafa lemas di depan counter check in.
“Ada apa?” tanya Ninda, heran melihat wajah pucat Fafa.
“Kita ketinggalan pesawat dua jam yang lalu….,” jawab Fafa lemas. Dan di antara kebingungannya, ia seperti melihat sosok Bunda-nya, merentangkan kedua tangan mengajak Fafa untuk pulang.