Ingatkah kau kemarin saat kita bertemu?
Sesekali aku menghirup aromamu
Iya, aroma tubuhmu
Menguar lembut, tidak menusuk
Secercah segar, manis menelusup
Ingatkah kau aku menyurukkan hidungku di bahumu?
Menghirupmu dengan penuh syukur
Tidak, aku tidak serakah
Tidak kuhirup aromamu dengan tergesa-gesa
Biarkan manisnya pelan-pelan masuk
Biarkan segarnya perlahan meresap
Kecanduan kah?
Jika aku terus mengingatnya
Terus menginginkannya
Tapi aku tidak terburu-buru
Tak seperti pecandu yang hilang akal
Karena aku tahu sifat aroma
Menggoda, namun lekas sekali hilang
Jika kau memburunya, ia tak ada
Jika kau mendiamkannya, ia akan datang
Persis seperti aromamu
Yang lain kuat sekali kucoba untuk kuingat tapi malah menghilang
Aromamu, yang dengan santai kuhirup
Masih ada endapannya dalam otakku
Meski tak kuingat, meski tak kulupa
Ia masih sesekali membelai
Aromamu, yang berbeda dengan yang lain
Mengendap di benakku
Tuesday, 23 December 2014
Friday, 12 December 2014
Perlu Sepuluh Tahun Bagiku Untuk Akhirnya Mampu Memanggilnya "Bapak"
Perlu sepuluh tahun bagiku untuk akhirnya mampu memanggilnya dengan sebutan Bapak. Sepuluh tahun itu aku memanggilnya dengan sebutan Om. Pertama kali Ibu mengenalkanku dengannya dan menyuruhku memanggilnya Om. Aku manut saja. Kusangka ia teman Ibuku seperti yang lainnya. Teman biasa. Namun kemudian semuanya menjadi tak biasa.
Kudapati Ayahku tak lagi serumah dengan kami. Lalu bulan berikutnya Om itu pulang ke rumahku setiap hari. Aku yang sehari-harinya sibuk dengan urusan sekolah, mainan dan buku, tak pernah mengerti apa artinya. Tak pernah pula kutanyakan pada Ibuku. Karena jawabannya sudah kudengar dari Ayahku. Setiap hari ia meneleponku di sekolah saat jam istirahat. Membuat jam bermainku hilang dan perutku berkeruyuk kelaparan. Sakit hati dan marahnya ia ceritakan ke aku, yang saat itu masih berseragam merah putih dengan rambut dikelabang satu. Sering ia menyindir si Om dengan sebutan Ayah baru. Aku mendengar semua curhatannya dengan tatapan kosong ke pintu.
Entah sejak kapan, yang jelas aku masih memanggilnya Om, kubiasakan diriku menerimanya sebagai Ayah yang baru. Dua tahun berlalu, saudara-saudara baruku, bahkan tetanggaku, semuanya bersatu padu berseru, “Lho, kok manggilnya Om, sih? Papa dong harusnya!”
Saat itu aku marah. Siapa mereka berhak mengaturku mau panggil dia apa? Ibuku saja tidak menyuruhku, apalagi memaksaku. Satu dari Bibiku yang memang paling kemayu, terus menerus menyuruhku memanggil Papa ke Ayah baru. Kalau bukan karena didikan Eyang Uti bahwa yang muda harus menghormati orang tua dan berlaku sopan, sudah kumaki benar Bibiku itu. Berani betul dia begitu. Ayahku cuma satu!
Aku yang kemudian berseragam putih biru, akhirnya tak tahan dengan semua seruan itu. Aku mengadu pada Ibuku sambil bersungut-sungut. “Aku benci didikte harus memanggil Om dengan sebutan Papa. Om ya Om, Ayah ya Ayah! Suruh Bibi berhenti merecokiku, Bu!” Ibuku menenangkanku. Ia bilang tak usah didengar omongan Bibi. Ibuku tak memaksaku untuk mengubah panggilan kebiasaan itu.
Tahun berikutnya, entah bisikan dari mana. Kuberanikan diri memanggilnya Papa. Saat itu aku di rumah berempat dengan Om dan kedua anaknya yang kemudian menjadi saudaraku, serumah pula denganku. Ibuku menelepon menyuruhku menyampaikan pesan pada Om bahwa Ibu pulang kantor terlambat. Kutelan ludahku. “Ibu barusan telepon, katanya pulangnya terlambat…..P..Pa…,” kataku. Dengan volume yang makin mengecil pada akhir kalimat. Om membalas dengan kata Ya, tanpa mengalihkan pandangannya dari koran yang dibacanya. Aku cepat-cepat pergi. Jantungku bergemuruh. Berat sekali rasanya memanggilnya dengan sebutan Papa.
Tahun berikutnya, entah bagaimana awalnya, aku jadi menyebutnya Pak disertai dengan namanya. Seperti Pak Jo, Pak Ri, Pak Yon. Lidahku semakin fasih menyebutnya Pak. Hingga tahun ketujuh dan kedelapan, aku memanggilnya Pak. Tanpa embel-embel nama. Aku sudah masuk perguruan tinggi, tak serumah lagi, setidaknya untuk Senin sampai Jumat. Karena kuliahku di lain kota. Saat itu aku baru menyadari ia jadi Ayahku. Bukannya aku tak menganggapnya sebagai Ayahku selama ini. SD kelas enam aku les sampai jam delapan malam. Rute perjalananku melewati sawah gelap, dan aku hanya bersepeda. Tapi ia menungguku di perempatan jalan besar sebelum sawah. Lalu aku diboncengnya sampai rumah. Ia menungguiku di rumah sakit saat aku opname karena tifus. Sejak SMP ia pula yang ambil raportku di sekolah. Sempat menjadi pergulatan pikir saat aku mengisi formulir pendaftaran sekolah dan kuliah, kolom nama Ayah kutulis nama siapa? Hingga Ibuku berkata, tulis sesuai Akte saja.
Tapi ketika aku kuliah, ia yang paling sering tanya aku kapan pulang. Paling sering melongok ke pintu gerbang tiap Jumat malam, dan bertanya apakah aku tidak pulang minggu ini. Aku pernah buru-buru pulang dari kuliah, padahal masih hari Rabu, ketika kudengar kabar ia masuk rumah sakit setelah stroke ringan. Sepanjang jalan di bus aku terus menangis. Bahkan saat KKN sebulan yang harusnya tak boleh pulang sebelum waktunya, aku diantar temanku di pangkalan bus menuju kotaku karena kudengar kabar ia masuk rumah sakit karena kecelakaan, lagi-lagi sambil menangis di bus.
Tahun berikutnya, kudapati diriku dengan ikhlas, ringan dan bebas memanggilnya Bapak. Di saat jumlah warna putih rambut dan kumisnya sudah semakin banyak. Suatu hari aku merenung sendirian. Selama itu aku telah menganggapnya sebagai Bapakku. Bukan sekedar laki-laki yang menikahi Ibuku, tapi sebagai Bapakku. Yang selalu khawatir meski tak ditampakkan, yang selalu bangga meski tak ditunjukkan. Dan aku perlu sepuluh tahun untuk akhirnya memanggilnya Bapak. Meski dari tahun pertama, otak dan hatiku sudah berkata “Dia Bapakku” sambil menunjuknya.
Kudapati Ayahku tak lagi serumah dengan kami. Lalu bulan berikutnya Om itu pulang ke rumahku setiap hari. Aku yang sehari-harinya sibuk dengan urusan sekolah, mainan dan buku, tak pernah mengerti apa artinya. Tak pernah pula kutanyakan pada Ibuku. Karena jawabannya sudah kudengar dari Ayahku. Setiap hari ia meneleponku di sekolah saat jam istirahat. Membuat jam bermainku hilang dan perutku berkeruyuk kelaparan. Sakit hati dan marahnya ia ceritakan ke aku, yang saat itu masih berseragam merah putih dengan rambut dikelabang satu. Sering ia menyindir si Om dengan sebutan Ayah baru. Aku mendengar semua curhatannya dengan tatapan kosong ke pintu.
Entah sejak kapan, yang jelas aku masih memanggilnya Om, kubiasakan diriku menerimanya sebagai Ayah yang baru. Dua tahun berlalu, saudara-saudara baruku, bahkan tetanggaku, semuanya bersatu padu berseru, “Lho, kok manggilnya Om, sih? Papa dong harusnya!”
Saat itu aku marah. Siapa mereka berhak mengaturku mau panggil dia apa? Ibuku saja tidak menyuruhku, apalagi memaksaku. Satu dari Bibiku yang memang paling kemayu, terus menerus menyuruhku memanggil Papa ke Ayah baru. Kalau bukan karena didikan Eyang Uti bahwa yang muda harus menghormati orang tua dan berlaku sopan, sudah kumaki benar Bibiku itu. Berani betul dia begitu. Ayahku cuma satu!
Aku yang kemudian berseragam putih biru, akhirnya tak tahan dengan semua seruan itu. Aku mengadu pada Ibuku sambil bersungut-sungut. “Aku benci didikte harus memanggil Om dengan sebutan Papa. Om ya Om, Ayah ya Ayah! Suruh Bibi berhenti merecokiku, Bu!” Ibuku menenangkanku. Ia bilang tak usah didengar omongan Bibi. Ibuku tak memaksaku untuk mengubah panggilan kebiasaan itu.
Tahun berikutnya, entah bisikan dari mana. Kuberanikan diri memanggilnya Papa. Saat itu aku di rumah berempat dengan Om dan kedua anaknya yang kemudian menjadi saudaraku, serumah pula denganku. Ibuku menelepon menyuruhku menyampaikan pesan pada Om bahwa Ibu pulang kantor terlambat. Kutelan ludahku. “Ibu barusan telepon, katanya pulangnya terlambat…..P..Pa…,” kataku. Dengan volume yang makin mengecil pada akhir kalimat. Om membalas dengan kata Ya, tanpa mengalihkan pandangannya dari koran yang dibacanya. Aku cepat-cepat pergi. Jantungku bergemuruh. Berat sekali rasanya memanggilnya dengan sebutan Papa.
Tahun berikutnya, entah bagaimana awalnya, aku jadi menyebutnya Pak disertai dengan namanya. Seperti Pak Jo, Pak Ri, Pak Yon. Lidahku semakin fasih menyebutnya Pak. Hingga tahun ketujuh dan kedelapan, aku memanggilnya Pak. Tanpa embel-embel nama. Aku sudah masuk perguruan tinggi, tak serumah lagi, setidaknya untuk Senin sampai Jumat. Karena kuliahku di lain kota. Saat itu aku baru menyadari ia jadi Ayahku. Bukannya aku tak menganggapnya sebagai Ayahku selama ini. SD kelas enam aku les sampai jam delapan malam. Rute perjalananku melewati sawah gelap, dan aku hanya bersepeda. Tapi ia menungguku di perempatan jalan besar sebelum sawah. Lalu aku diboncengnya sampai rumah. Ia menungguiku di rumah sakit saat aku opname karena tifus. Sejak SMP ia pula yang ambil raportku di sekolah. Sempat menjadi pergulatan pikir saat aku mengisi formulir pendaftaran sekolah dan kuliah, kolom nama Ayah kutulis nama siapa? Hingga Ibuku berkata, tulis sesuai Akte saja.
Tapi ketika aku kuliah, ia yang paling sering tanya aku kapan pulang. Paling sering melongok ke pintu gerbang tiap Jumat malam, dan bertanya apakah aku tidak pulang minggu ini. Aku pernah buru-buru pulang dari kuliah, padahal masih hari Rabu, ketika kudengar kabar ia masuk rumah sakit setelah stroke ringan. Sepanjang jalan di bus aku terus menangis. Bahkan saat KKN sebulan yang harusnya tak boleh pulang sebelum waktunya, aku diantar temanku di pangkalan bus menuju kotaku karena kudengar kabar ia masuk rumah sakit karena kecelakaan, lagi-lagi sambil menangis di bus.
Tahun berikutnya, kudapati diriku dengan ikhlas, ringan dan bebas memanggilnya Bapak. Di saat jumlah warna putih rambut dan kumisnya sudah semakin banyak. Suatu hari aku merenung sendirian. Selama itu aku telah menganggapnya sebagai Bapakku. Bukan sekedar laki-laki yang menikahi Ibuku, tapi sebagai Bapakku. Yang selalu khawatir meski tak ditampakkan, yang selalu bangga meski tak ditunjukkan. Dan aku perlu sepuluh tahun untuk akhirnya memanggilnya Bapak. Meski dari tahun pertama, otak dan hatiku sudah berkata “Dia Bapakku” sambil menunjuknya.
Thursday, 11 December 2014
Duh Gusti, lindungilah mereka ke mana pun mereka pergi.........
Hujan terus mengguyur kota. Kau terus mengemudi menuju rumah. Pada satu titik hujan mulai mereda. Tongkat pembersih tak lagi mengayun pada kaca. Satu kilometer dari rumah, kau melihat mereka beriringan. Tak banyak, cukup tiga. Satu telah renta, yang dua masih begitu muda. Sudah sering kau melihatnya, duduk bertiga di depan rumah orang. Bersandar pada tembok pagar menjulang, terkadang yang paling kecil mengecipakkan kakinya di selokan. Yang tua tepekur kelelahan. Dari manakah mereka? Tak ada yang pernah dapat menduga. Ada niat dalam dirimu menolong mereka. Tetapi kesempatan itu masih saja belum ada. Sering kau melihat mereka. Yang renta selalu tampak seperti tertidur, kali lain yang paling kecil tidur bersandar pada yang renta, memainkan jenggotnya yang kotor tak keruan.
Tapi hari itu, ya, hari itu. Kau tak lagi mau menunda. Segera berhenti roda besar mobilmu di depan restoran. Dengan terengah kau pesan tiga bungkus nasi dan air mineral. Menunggu dengan berdebar. Tuhan, niatku baik, lancarkanlah, bisikmu tak tenang. Istirahatkan dulu mereka sejenak di sana, sampai aku datang. Rasanya ingin sekali kau bantu pegawai restoran untuk membungkus pesanan. Begitu lama. Hingga akhirnya tiba. Degup jantungmu makin tak beraturan. Perlahan kau pinggirkan mobilmu ke tepian di seberang. Tak peduli banyak mata memandangmu keheranan. Bergegas kau hampiri mereka. Senyum kau sunggingkan, jangan sampai mereka takut!
"Dek, sudah makan?" tanyamu. Mereka tak menyahut. Air muka mereka penuh harap, tangan si kecil seakan-akan sudah ingin segera meraih plastik di tanganmu. Mereka tahu, itu nasi. Dengan ukuran tiga kali dari sehari-hari.
"Pak, makan ya," katamu pada yang renta. Ia tergeragap. Mukanya tertutup topi. Kakinya dia tarik-tarik, ditekuk-tekuk. Entah takut, entah merasa tak pantas, merasa kotor. Kau tahu kalau kau terlalu lama di sana, kau akan menakuti mereka. Si kecil sudah penuh harap. Segera kau sodorkan. "Makan ya, Pak, Dek," katamu lirih. Bergegas kau pergi. Sengaja kau putar balik. Mereka bertiga menghadap dinding pagar. Melahap nasi penuh syukur tanpa sisa.
Sampai di rumah, saat tak ada orang. tak ada AC yang mengeringkan air mata, kau merasakan pipimu basah. Banjir. Kau menangis sampai sesak. Sampai tak ada tenaga untuk mengganti karbon dioksida dengan oksigen di dada. Tanpa suara. Tapi perih terasa. Bibirmu mengucap syukur tanpa henti. Atas semua rezeki yang diberi. Pedih hati melihat mereka, yang seharusnya bahagia dengan masa kecilnya, mendapatkan ilmu dengan mudahnya, malah harus berjalan tak tentu arah setiap harinya, hanya agar perutnya tak bergemuruh tiada hentinya.
Hujan sudah lama berhenti. Tapi sendunya masih kau resapi. Denting butiran air dari daun ke bumi, menjadi melodi pengiring di sore hari. Menyaksikan mata kosongmu yang masih merekam kejadian tadi. Duh Gusti, lindungilah mereka ke mana pun mereka pergi.........
Subscribe to:
Posts (Atom)