Sunday, 15 October 2017

Salah Satu Alasan Aku Mencintai Kopi, Aku Bertemu Banyak Orang Baik Melalui Kopi

Aku pernah membaca sebuah buku kompilasi cerita tentang kopi. Dari sekian banyak cerita yang kubaca dalam buku itu, satu kutipan yang langsung tertanam di otakku : Kopi yang enak memanggil orang-orang baik. 
Dan aku langsung teringat akan orang-orang di sekitarku, yang setiap hari meminum kopi untuk mengawali hari.

Aku teringat akan Papa. Pekerjaannya dulu sebagai arsitek, ditambah sifatnya yang workaholic, mendorongnya untuk bekerja larut malam. Tak jarang hingga fajar datang. Dan untuk membantunya tetap terjaga, ia butuh kopi dalam hidupnya.
Aku penasaran bagaimana kopi hitam bisa dipadukan hingga tercipta berbagai rasa. Sampai aku kemudian mulai membaca beberapa jenis kopi. Tapi aku tak pernah benar-benar mendalaminya. Aku membiarkan diriku hanya sebagai penikmat. Beberapa pecinta kopi fanatik bahkan bisa menentukan apakah kopi tersebut dipanggang (atau digoreng) dengan tepat atau terlalu lama. Apakah kopi tersebut diseduh dengan suhu air sekian, dan lain-lain. Aku biarkan saja posisiku berada di tengah-tengah. Tidak terlalu buta, tapi tidak ahli.

Kembali ke kutipan tadi. Sepertinya memang benar jika kopi bisa memanggil orang-orang baik. Aku langsung teringat pada seseorang yang meminum kopi sebanyak dokter menyarankan kita jumlah air yang harus kita minum setiap harinya. Awalnya aku begitu takjub dengan betapa seringnya ia minum kopi dalam sehari. Dan kopinya pun hanya kopi hitam. Tanpa campuran apapun selain gula.

Baru kali ini aku melihat orang yang begitu mencintai dan tergantung pada kopi. Yang menularkan keinginanku untuk meminum kopi seketika itu juga. Mengajakku untuk melupakan sejenak permasalahan yang dihadapi. Menghentikan waktu dan tenggelam dalam aroma pekat kopi. Mengabaikan decak tak setuju dari mereka yg hanya pernah meminum kopi, dan bukan penikmat kopi. Berawal dari ajakanku yang tak sengaja untuk ngopi di jam istirahat. Setelah beberapa tegukan, diskusi mengalir begitu saja. Berbagai topik, berbagai pemikiran, berbagai pendapat. Hal ini terjadi beberapa kali. Dalam kurun waktu yang kami miliki untuk kami habiskan bersama. Di situ aku menyadari satu hal, kopi bisa membuka obrolan. Hingga yang paling dalam sekali pun.

Pikiranku kemudian teringat akan beberapa teman dalam hidupku. Kalau dipikir-pikir memang, rata-rata mereka adalah peminum kopi. Meski awalnya kami dipertemukan karena hal yang berbeda, ujung-ujungnya kopi juga termasuk di dalamnya. Senior di kantor pusat, gadis Arab yang berteman denganku karena buku dan tulisan, teman kerja sekaligus sahabat di kantor yang mejanya persis ada di depan mejaku, dan masih banyak lagi. Dari kopi, aku mengenal banyak orang baik.

Kopi rasanya sudah menjadi salah satu hal penting dalam hidupku. Bahkan ketika aku tak menemukan teman yang bisa kuajak untuk menemaniku minum kopi, aku memilih ke kedai kopi sendirian. Menikmati kopi sambil mengamati sekitar. Ketika salah satu temanku masuk ruanganku dan tiba-tiba meneteskan air mata tanpa berkata sepatah kata pun, aku langsung mengajaknya ke kedai kopi. Menenangkan dirinya dengan aroma kopi, melemaskan bahu dan mengembalikan sedikit senyum di wajahnya dengan segelas es cappucinno favoritnya.

Aku juga mengamati bagaimana teman-temanku menikmati kopi mereka. Ada yang setelah menyeduhnya di kantor, ia sisakan setengah cangkir untuk diminum keesokan harinya. Meski tak lagi panas, tapi menurutnya rasanya jadi lebih pekat. Ada yang ketika kopi tersebut masih panas, ia hirup dulu aromanya sebelum ia hirup cairannya melewati bibirnya. Kalau kopinya disajikan di cangkir atau gelas dengan pegangan, ia akan menghirup kopinya tepat dari ujung bagian pegangan cangkir tersebut. Kalau dari gelas tanpa pegangan, ia akan menghirupnya dari ujung yang mana saja. Dengan kelingking teracung. Lalu setelah meneguknya, ia akan mendecakkan lidah dan bibirnya. Mencecap setiap tetes yang lewat di bibirnya.

Rasanya baru kali ini aku benar-benar menyadari, kopi tak hanya sekedar minuman. Ia menjadi bagian dari banyak kejadian penting dan bermakna. Ia menyatukan banyak orang. Ia menjadi sebuah pembuka dari kata-kata yang tadinya sulit terucap, inspirasi yang hadir terlambat, serta pengurai penat. Ia juga bisa menjadi pembangkit kenangan. Bahkan bagiku, meski kenangan yang hadir tak selalu menyunggingkan senyuman, aroma kopi menyembuhkan pemikiran akan kenangan tersebut menjadi sebuah pemahaman dan penerimaan. Seperti kutipan lain dalam buku yang sama, Selama perjalanan yang ditempuh oleh secangkir kopi, hati menjadi terbuka. Dan kadang luka hati pun disembuhkan.


Sudah kopi ke berapa hari ini?

Blitar, 15 Oktober 2017
Merindukanmu sebagai partner ngopi dan diskusi

AnindRustiyan


sebuah tulisan setelah membaca buku Chicken Soup for Coffee Lover's Soul, dan setelah cangkir ketiga hari ini.


Thursday, 31 August 2017

Upacara 17 Agustus di Tahun 17. Memaknai Kemerdekaan RI dengan Satu Tujuan

Seberapa sering kita ingat akan pahlawan bangsa? Mungkin setahun sekali, pada tanggal 17 Agustus saat Peringatan Kemerdekaan RI atau sewaktu Hari Pahlawan tanggal 10 November. Di zaman yang serba sibuk ini, mengingat mereka pada hari-hari tertentu sudah cukup bagus. Dalam mengingat itu, pernahkah kita mencoba memaknai perjuangan tersebut? Mengapa para pendahulu kita berjuang begitu kerasnya agar Indonesia menjadi negara yang merdeka? Lalu, ketika kita sebagai generasi penerus yang hidup di negara yang telah dinyatakan merdeka dari penjajahan negara asing, apa yang kemudian harus kita lakukan? Sudahkah kita berterima kasih atas kemerdekaan negara yang telah diraih?

Seperti tahun 2016 kemarin, saya berkesempatan untuk mengikuti kembali di tahun 2017 ini Upacara Peringatan Kemerdekaan RI di Tugu Proklamasi, Jakarta.  Nyaris sama, rangkaian Peringatan tersebut diawali dengan kegiatan Napak Tilas lalu Upacara 17 Agustus.

Napak Tilas dimulai dari Gedung Joang 45 yang terletak di Jalan Menteng 31. Acara dibuka oleh Gubernur DKI Jakarta, Bp. Drs. Djarot Saiful Hidayat bersama Bp. Try Sutrisno, Wakil Presiden RI ke-6. Gedung Joang '45 ini dulunya merupakan Hotel Schomper I yang didirikan oleh seorang pengusaha Belanda, LC. Schomper pada tahun 1938. Kemudian setelah Jepang menaklukkan Belanda pada tahun 1942, Gedung tersebut beralih fungsi menjadi tempat penggemblengan bagi para pemuda dan sekarang menjadi salah satu museum sejarah Indonesia.

Rombongan Napak Tilas mulai berjalan dari Gedung Joang 45 menuju Museum Naskah Proklamasi. Sepanjang perjalanan, rombongan yang dipimpin oleh paskibraka dan drum band serta diikuti oleh berbagai kelompok seperti mahasiswa, pelajar, veteran dan tentunya dari PKB-PPK, masing-masing menyerukan semangat perjuangan. Menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, yel-yel perjuangan, tak henti-henti untuk menyemarakkan acara Napak Tilas Proklamasi.

Tiba di Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Rombongan telah dinanti oleh Panitia Napak Tilas. Sambil rombongan beristirahat, saya menyempatkan diri sejenak untuk masuk dan melihat-lihat bangunan bekas kediaman Laksamana Tadashi Maeda, yang dulu dengan rela hati mempersilakan Ir. Soekarno, Drs. Mochammad Hatta, Achmad Soebardjo dan Sayuti Melik untuk merumuskan dan mengetik Naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 16-17 Agustus 1945. Ruangan tersebut ditata semirip mungkin dengan tatanan dahulu, memberikan gambaran peristiwa bersejarah pada kala itu. Ruang tamu sekaligus kantor Laksamana Maeda, ruangan yang digunakan untuk merumuskan teks Proklamasi lengkap dengan diorama ukuran asli Ir. Soekarno, Drs. Moch. Hatta dan Achmad Soebardjo, ruangan untuk mengetik naskah Proklamasi, dan piano yang menjadi pengganti meja bagi Ir. Soekarno dan Drs. Moch.Hatta untuk menandatangani teks Proklamasi yang telah diketik. Pengunjung museum bisa membayangkan bagaimana situasi pada saat perumusan teks Proklamasi.

Akhirnya rombongan kembali melanjutkan Napak Tilas menuju Tugu Proklamasi. Lelah seperti tidak terlihat dan terasa oleh peserta Napak Tilas. Anak-anak pelajar yang turut serta masih terus bersemangat. Bernyanyi dan menyerukan yel-yel ciptaan mereka. Peluh yang meluruh seperti tak ada artinya. Sampai tiba di tujuan akhir Napak Tilas, Tugu Proklamasi. Masing-masing kelompok duduk bersama, senyum puas dan lepas. Rombongan disambut oleh Bp. Djarot Saiful Hidayat, Bp. Try Sutrisno, dan Ibu Meutia Hatta yang tahun lalu juga hadir dalam Napak Tilas di Tugu Proklamasi.

Malamnya merupakan Malam Renungan. Para tamu undangan diharapkan mengenakan pakaian adat Betawi, baju kurung dan kain, baju koko dan sarung yang dikalungkan. Salah satu upaya kami untuk melestarikan salah satu budaya Indonesia. Dalam Malam Renungan ini juga diadakan pelantikan bagi Paskibra yang akan bertugas besok dalam Upacara 17 Agustus.

Dan esoknya, Upacara Peringatan Kemerdekaan RI di Tugu Proklamasi dimulailah. Seperti yang sudah-sudah, Upacara 17 di Tugu Proklamasi berlangsung khidmat. Dan masih seperti dahulu, tangis haru para peserta upacara, kami para generasi penerus para pejuang, masih tetap menetes, mana kala lagu Indonesia Raya dan Mengheningkan Cipta mengalun. Ada rasa rindu. Rindu akan mereka para pendahulu yang telah berpulang. Terkadang saya merasa, ketika kami semua menundukkan kepala untuk mengheningkan cipta, mengucap doa di hati masing-masing, para pendahulu kami pun berkumpul dan tersenyum, menerima setiap doa yang dipanjatkan. Menyaksikan kami dari surga.

Selesai upacara, setiap rumpun berfoto bersama. Tak terkecuali TGP. Tentunya berfoto bersama Panji TGP merupakan suatu kebanggaan. Ketika sedang berfoto, ada sebuah keramaian yang tak biasa di ujung halaman Tugu Proklamasi yang lain. Hampir lupa bahwa selesai Upacara, kami para peserta dihibur oleh musik RAN. Band yang terdiri dari tiga laki-laki, Rayi, Asta dan Nino menyanyikan beberapa lagu hits mereka. Bangga dong, kita upacara di Tugu Proklamasi dihibur RAN. Lebih bangga lagi karena salah satu personilnya, Asta, merupakan putra dari salah satu anggota TGP Jabodetabek, Om Tommy Tamtomo.

Agenda TGP kemudian berlanjut dengan Sarasehan di Puncak, Bogor. Seluruh anggota TGP yang hadir dalam rangkaian acara Upacara 17 di Tugu Proklamasi kemudian bersama-sama menuju Wisma Arga Mulia di Puncak dalam satu bis. Sempat mampir di Cimory sebentar, dan setelah beberapa menit akhirnya sampai juga di tempat tujuan, Wisma Arga Mulia, yang merupakan salah satu tempat pelatihan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah beristirahat sejenak, akhirnya semua anggota TGP yang hadir di Wisma Arga Mulia berkumpul di Meeting Room untuk Sarasehan.

Sarasehan dengan tema "Kembali Ke Jati Diri IKB Ex TGP Be 17 sesuai Nilai-Nilai Kejoangan 1945 di Era Generasi Penerusnya", sarasehan pun dimulai. Dipandu Tante Susi Ariyadi sebagai MC, Sarasehan dibuka dengan sambutan dari Om Tommy Tamtomo sebagai Ketua IKB Jabodetabek dan Om Agus Suseto sebagai Ketua I dari Pengurus TGP Pusat. Lalu disambung dengan Penyerahan Bantuan berupa gergaji besi dan mesin pemotong rumput dari TGP Jabodetabek yang diwakili oleh Tante Vonny Pawaka untuk pembenahan Stadion Godean Jogjakarta, yang diterima oleh Om Danang perwakilan TGP Jogjakarta.

Sarasehan kemudian dipandu oleh dr. Gatot Yudono Kusumo sebagai moderator, serta dipimpin oleh Om Agus Suseto dan Om Nurhadi (TGP Surabaya). Masing-masing sebagai Ketua dari perwakilan Pengurus TGP Pusat. Sedangkan saya sebagai Generasi Ketiga (biasa disingkat G3) didaulat untuk menjadi notulen dalam Sarasehan ini. Sarasehan dimulai pukul delapan malam dan berakhir pukul dua belas malam. Sepanjang sarasehan, saya perhatikan hanya beberapa anggota yang mulai mengantuk. Selebihnya masih luar biasa semangat! Ini buat saya sungguh mengagumkan. Bagaimana tidak? Sarasehan ini waktunya melebihi saya rapat di kantor. Saking semangatnya sampai seakan lupa waktu sudah tengah malam. Semangat ingin memajukan organisasi TGP ke depannya.

Apa yang kami diskusikan bersama dalam sarasehan adalah dengar pendapat dari perwakilan TGP daerah kepada Pengurus TGP Pusat. Inti yang dapat disimpulkan dari Sarasehan adalah tentang program kerja TGP yang harus dievaluasi, dibenahi dan ditetapkan sebagai acuan kegiatan TGP baik di Pusat maupun Daerah. Para anggota ingin adanya kegiatan rutin TGP selain Rangkaian Upacara 17 dan Peringatan Hari Pahlawan 10 November. Selain itu, para G2 (Generasi Kedua) merasa sudah waktunya ada regenerasi ke G3. Sudah seharusnya G3 mulai ikut berpartisipasi aktif dalam organisasi. Bukan semata sebagai perwakilan garis keturunan, tetapi juga sebagai generasi penerus yang melestarikan nilai-nilai TGP. Dalam Sarasehan ini juga dibahas tentang rencana bantuan bagi SMPN 2 Saradan, Madiun, yang merupakan salah satu sekolah TGP di Jawa Timur. SMPN 2 Sumberpucung Malang juga sharing tentang bagaimana mereka melestarikan nilai-nilai TGP dan mengimplementasikannya dalam kegiatan belajar mengajar. Mengingat SMPN 2 Sumberpucung juga merupakan salah satu cagar budaya TGP dan dijuluki Sekolah TGP saat ini.

Dari hasil Sarasehan TGP ini saya kemudian teringat akan pikiran saya beberapa tahun silam, lebih tepatnya keluhan. TGP, menurut saya, saat ini jarang sekali dikenal orang sebagai salah satu pasukan pejuang kemerdekaan RI. Saya sering harus menjelaskan secara singkat apa itu TGP ketika ada orang bertanya. TGP minim sekali literatur. Sehingga akses untuk orang yang ingin mengenal TGP menjadi kurang terfasilitasi. Tentang sejarah TGP, profil TGP, dan perbandingan TGP dengan pasukan pejuang lainnya. Saya akui, dengan kesibukan masing-masing, agak susah bagi kami menyempatkan waktu sejenak untuk mengumpulkan referensi, lalu merangkumnya dalam bahasa terkini agar mudah dibaca dan dipahami generasi muda jaman sekarang. Padahal tentunya kami ingin TGP juga dikenang dan dikenal. Jujur saja deh, jangankan sampai meluas ke orang lain, G3 dalam lingkup TGP sendiri, apakah ada yang benar-benar mengenal TGP? Bagaimana kita akan melestarikan TGP jika kita sendiri tidak mengenal TGP? Saya sendiri saja sangat minim pengetahuan tentang TGP. Hanya garis besarnya saja. Ini merupakan penyesalan terdalam saya karena tidak memanfaatkan kesempatan di masa lampau untuk menggali informasi dari Eyang Uti saya sendiri, Ibu Moestamien Soedibyo, anggota TGP Blitar sebagai pelaku sejarah. Tentunya informasi dari beliau para Generasi Pendahulu  TGP merupakan sumber informasi paling valid. Tapi saya ucapkan terima kasih kepada SMPN 2 Sumberpucung Malang yang telah mulai mengumpulkan informasi tentang sejarah TGP dari berbagai sumber, salah satunya dari Eyang Darmadi (Pak Dengkek), anggota TGP Malang yang Alhamdulillah masih sehat wal'afiat.

Masalah literatur TGP ini dapat direalisasikan meskipun secara perlahan (mengingat waktu dan tenaga yang sangat minim). Tetapi tentunya akan lebih baik apabila semua G3 dapat terlibat dalam kegiatan TGP. Minimal dalam kegiatan rutin tahunan seperti Napak Tilas dan Upacara 17, serta Peringatan Hari Pahlawan 10 November secara kontinyu. Kenapa? Minimal untuk menimbulkan Sense of Belonging, rasa kepemilikan. Ini penting, karena ketika seseorang mempunyai rasa kepemilikan (Rumangsa Handarbeni) dalam sebuah organisasi, maka timbul rasa tanggung jawab untuk menjaga, melindungi, mempertahankan, dan mengembangkan apa yang menjadi miliknya tersebut. Sayang banget ketika saya melihat G2 begitu guyub rukun, rasa persaudaraannya tinggi, perasaan yang diwariskan dari Generasi Pendahulu TGP, tidak terlihat di G3. Saya rasa, kalau sering ikut kegiatan TGP, saling mengenal, muncul sense of belonging, G3 akan menciptakan gebrakan baru di TGP. Melestarikan nilai-nilai TGP yaitu disiplin, jujur, kasih sayang, dan guyub rukun dengan cara anak muda.

Karena ditilik dari tema Sarasehan, "Kembali ke Jati Diri IKB Ex. TGP Be 17 Sesuai Nilai-Nilai Kejoangan 1945 di Era Generasi Penerusnya" ada satu keinginan utama untuk terus melestarikan TGP. Baik profilnya, figurnya maupun nilai-nilai yang terkandung dalam TGP. Karena perjuangan para Generasi Pendahulu TGP hendaknya tidak hanya diperingati secara simbolis setiap tahunnya. Tetapi juga dijaga agar sumbangsih mereka tidak sia-sia. Bahwa kami para generasi penerus sekarang dapat meneruskan langkah dengan kondisi negara merdeka adalah berkat perjuangan para Generasi Pendahulu. Dalam rangkaian Upacara Tujuh Belas Agustus tahun Dua Ribu Tujuh Belas ini, saya menyimpulkan satu hal. Kita semua sebagai Generasi Penerus TGP sebenarnya memiliki SATU TUJUAN. Melestarikan Tentara Genie Peladjar di masa depan.


Blitar, 31 Agustus 2017
Sebuah tulisan di penghujung Agustus,

Anindhita Rustiyan Kusumaningtyas
G3 TGP Blitar


Sambutan dari Gubernur DKI Jakarta, Drs. Djarot Saiful Hidayat

Rombongan PKB-PPK yang siap ikut Napak Tilas

Bp. Drs. Djarot Saiful Hidayat dan Bp. Try Sutrisno membuka Napak Tilas



Melanjutkan Napak Tilas dari Museum Naskah Proklamasi menuju Tugu Proklamasi

Rombongan PKB-PPK tiba di gerbang Tugu Proklamasi

17 Agustus 2017. Berfoto bersama Eyang Mukartini, istri dari Alm. Eyang Dewo Kusumo, TGP Jakarta

Suasana Upacara 17 Agustus di Tugu Proklamasi

Berfoto bersama dengan Panji TGP
 


RAN!

Foto bareng sebelum Sarasehan

Sambutan dari Om Agus Suseto

Penyerahan bantuan bagi pembenahan Stadion Godean, dari TGP Jabodetabek yg diwakili oleh Tante Vonny Pawaka kepada Om Danang dari TGP Jogjakarta

Suasana Sarasehan



18 Agustus 2017, mengunjungi Warso Farm, kebun durian dan buah naga milik keluarga Soewarso Pawaka, sebelum kembali ke Jakarta

Menyempatkan diri ziarah ke makam Eyang Soewarso Pawaka, salah satu anggota /Generasi Pendahulu TGP

Until we meet again next year! We are TGP, we are Unity!


Tuesday, 29 August 2017

Memanggil Kenangan Untuk Melepaskan

Ada berapa banyak kenangan yang telah kau buat? Baik sendiri maupun bersama orang lain? Dengan orang di sekitarmu, bahkan dengan orang yang paling berarti bagimu. Kenangan baik, kenangan buruk. Begitu indah sampai ingin terus mencium aromanya, memeluk wujudnya. Atau begitu buruk sampai sakit, perih, seakan ulu hati terpuntir, sesak tanpa akhir, yang meski sudah kau coba bawa tidur tak juga pergi.

Ketika baru saja terjadi, kenangan akan masih terus jelas terlihat kapan pun kau memejamkan mata. Masih terasa genggamannya, sentuhannya. Masih tercium aromanya. Masih terlihat jelas senyumnya, kilat mata saat tatapannya beradu pandang denganmu. Masih terdengar jelas nyanyiannya. Andai jarimu sanggup menuliskan, atau bibirmu sanggup menuturkan, mendeskripsikan rasanya akan begitu mudah. Tapi terkadang, kenangan itu hanya ingin kita simpan dalam memori kita. Terlalu sayang untuk dibagikan.

Dan segala hal di semesta ini, seakan menggodamu untuk mengingatnya. Mendengar lagu yang biasa ia gumamkan, menghirup aroma kopi yang biasa ia teguk. Hanya dengan memejamkan mata, bisa tergambar jelas caranya mengetuk jari sesuai irama lagu, caranya mendekatkan cangkir ke hidungnya untuk mencium aroma kopi sebelum kemudian menghirupnya pelan-pelan, caranya berjalan, tegap punggungnya ketika memandang jauh dengan lintingan tembakau di jarinya. Tercium jelas aroma tembakau dan parfum yang menguar dari tubuhnya. Tergambar jelas senyumnya, matanya yang tinggal segaris ketika terpingkal. Mata yang pernah menatap tajam ketika menunggu jawaban. Mata yang berkilat protes ketika kau memaksa dirimu untuk terus bekerja padahal tubuhmu sudah kelelahan. Mata yang tak sanggup untuk kau pandang ketika ia terkejut. Mata yang tak mampu kau tatap ketika kau tahu ia memandangmu. Semakin kau gali, terasa jelas sentuhan jemarinya yang ragu-ragu tapi enggan menjauh, yang keesokan harinya berubah menjadi genggaman kukuh. Awal mula dari rangkaian kenangan. Terasa jelas saat jemarimu menyentuh hangat kulitnya, menenangkannya hingga ia terlelap. Penghujung dari susunan kenangan.

Tampak indah, terasa manis. Tapi kemudian tak berani untuk diingat lagi. Setiap kali teringat, hati seperti disiram air dingin, ulu hati seakan terpuntir. Terjaga sepanjang malam, seakan paham akan terputar lagi seperti pita film jika memejam. Ingin membuangnya, ingin mengenyahkan, ingin menjauhkan, tapi tak tahu bagaimana caranya.

Hingga akhirnya, perlahan justru kau panggil semua. Kau urutkan dari awal mula, hingga penghujung akhir. Mengingatnya menimbulkan pedih, tapi terus kau panggil, terus kau nikmati, sampai hilang pedih itu. Sampai ketika kau putar lagi, sudah tak terasa apapun. Hanya senyum. Senyum bahwa kau pernah mengalaminya. Senyum bahwa kau pernah mengenalnya, pernah menghabiskan waktu dengannya, pernah menyusun kenangan bersamanya, pernah begitu peduli padanya. Sampai saat ini. Tak ada pedih lagi. Kau panggil lagi, hanya ada senyum dan nafas yang semakin teratur.

Mungkin ini salah satu caraku untuk berdamai. Memanggil kenangan bukan karena tak ingin melepaskan. Tapi memanggil kenangan justru untuk membebaskan. Kita cenderung tak ingin mengingat karena takut akan rasa sakitnya. Padahal ketika kita memanggilnya, menikmati sensasinya, menghadapinya, kita akan siap. Siap untuk menyimpannya, siap bersahabat dengannya. Sehingga jika suatu saat Tuhan mempertemukan kita kembali, kita akan bertemu bukan dengan tubuh yang berbalik menghindar, telapak tangan yang dingin dan hati yang mencelos samar. Tapi bertukar senyum tulus dan tatapan hangat. Dan tangan kita akan berjabat, lalu berujar, "Apa kabar?"


Blitar, 29 Agustus 2017
Sebuah tulisan di hampir penghujung Agustus, sebelum menyambut September,

AnindRustiyan

(Song while I write this down : Kenangan Yang Salah by Judika)





Sunday, 27 August 2017

Manusia, Sampai Akhir Harus Terus Belajar

Pernahkah kau menyempatkan waktu sejenak untuk memaknai sebuah pertemuan?
Aku percaya, ketika kita mengenal seseorang, ada makna di baliknya yang akan membentuk kita. Entah berupa pemahaman, hingga membentuk pribadi dan mengubah tingkah laku kita.
Dan aku percaya, tak ada yang sia-sia di dunia ini. Segala sesuatu yang baik, tentunya akan bermanfaat bagi kita. Sedangkan yang kurang baik, bisa dijadikan pelajaran berharga bagi kita.

Aku bertemu dengannya, sama seperti aku bertemu dengan yang lainnya. Pada sebuah tempat, pada suatu waktu yang telah diatur Tuhan sedemikian rupa. Lagi-lagi aku percaya, apapun yang terjadi dalam kehidupan kita, semuanya telah digerakkan oleh Tuhan. Termasuk momen di mana aku bertemu dengannya.

Biasa saja. Seorang mahasiswa yang ijin melakukan penelitian. Penelitian yang ia susun berbeda dengan teman-temannya. Entah kenapa, subyek penelitian yang ia pilih, salah satunya adalah aku. Sehingga waktu yang dihabiskan, seringnya bersamaku. Tapi dari awal aku melihatnya, ia berbeda. Sebuah kedewasaan tampak jelas dalam gerak-geriknya. Suatu waktu ia begitu santun, dalam waktu tertentu ia bisa begitu lepas. Alami, tak dibuat-buat.

Dalam suatu kesempatan kami mengobrol. Tanpa disadari kami perlahan saling bercerita. Baru berapa hari kami kenal, tapi cerita yang terlontar bukan sekedar cerita ringan. Ada diskusi di dalamnya, ada telaah pemaknaan di baliknya. Apa yang telah kami alami masing-masing, tersampaikan sebagai contoh dari pembelajaran yang kami ambil. Suatu hal yang jarang kutemui pada orang yang baru kukenal. Obrolan kami semakin sering, pemahaman kami semakin mendalam. Ada keinginan untuk bertemu dengannya setiap hari. Ada keinginan untuk ditemani. Sampai kemudian ada sebuah rasa, yang sampai kemarin aku masih mencoba untuk memahami. Rasa yang melawan logika. Ingin melangkah namun meragu, ingin berbalik namun terpaku.

Aku seakan tak ingin melewatkan waktu. Setiap detik bersamanya selalu memberikan hal baik bagiku. Entah dari kisah-kisahnya, maupun dari tawa lepas yang dibagikan. Aku mengagumi kedewasaannya, caranya memberikan pemahaman pada orang lain, caranya bertanggung jawab, betapa ia sudah mencapai jauh melampaui apa yang bisa dicapai oleh laki-laki seusianya.

Tapi aku merasakan kelelahan padanya. Ada masa di mana ia ingin rehat sejenak. Ketika ia merasakan pening luar biasa, sampai raganya seakan ingin pecah. Aku paham akan hal itu. Sekuat-kuatnya manusia, ada masa di mana ia ingin berhenti sejenak, menangis, mengeluh, teriak, tersedu. Mempertanyakan kenapa harus dia, kenapa bukan orang lain. Meski akhirnya ketika ia telah tenang, semua telah tumpah, ia akan kembali dan meneruskan perjalanannya. Meneruskan apa yang telah ia mulai, dan mengakhirinya. Lalu memulai lagi sebuah hal baru. Ada rasa ingin memeluknya. Ingin menemaninya ketika lelah menghampirinya. Ingin menguatkannya. Ingin menampung keluh kesah dan lelahnya. Karena terkadang, manusia mengeluh hanya untuk didengar. Untuk mengurangi beban dalam dirinya. Dan aku tanpa sadar membiarkan rasa itu terus tumbuh tanpa bisa kukendalikan. Satu-satunya yang bisa menahanku hanyalah kondisi. Kuucapkan terima kasih pada logika, yang dengan susah payah kupanggil demi kewarasanku.

Kuakui aku pernah egois. Aku menikmati segala sikap yang ia berikan padaku dengan tangan terbuka. Sebuah sikap yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Karena aku sadar tak akan lama, akan tiba masa ia akan kembali ke kehidupannya. Ada ketakutan dalam diriku, jika masa itu tiba, aku takut aku akan menjadi orang lain baginya. Karena kami berawal dari tak kenal sama sekali, aku tak ingin pertemuan ini berakhir seperti itu juga.

Pada akhirnya aku menyimpulkan bahwa ini merupakan sebuah kekaguman. Kekaguman akan teguh dan tulusnya. Akan apa yang telah ia khatamkan di usia sedemikian, yang mana dalam masaku dulu masih dalam pencarian. Tapi sekaligus keinginan untuk memeluknya, ketika ia berlutut lelah dalam kerapuhan. Memandangnya, mengajarkanku betapa pencapaian setiap orang bisa berbeda-beda. Dengannya, aku tahu ada orang yang percaya bahwa aku kuat. Mengenalnya, menyadarkanku bahwa betapa aku dicintai oleh orang-orang di sekitarku. Manusia masih sering terpaku pada pemikirannya bahwa ia kurang dicintai, padahal ia hanya perlu melihat sekitarnya, dan akan menemukan bahwa setiap orang yang hadir di hidupnya memberikan cinta dalam banyak cara.

Aku belum berani pada kesimpulan akhir tentang tujuan Tuhan mempertemukanku dengannya. Kilas balik waktu singkat yang kuhabiskan dengannya menorehkan poin bahwa masih banyak orang baik di kehidupan ini. Bahwa kita sebagai manusia, yang bahkan tak pernah kenal sebelumnya, bisa saling menguatkan. Belajar memahami dan saling menopang, baik lewat tutur langsung maupun bisikan doa yang kita haturkan pada Tuhan.

Manusia, sampai akhir harus terus belajar.

Untukmu, pernahkah kau mencari tahu arti namamu? Yang memberikan cahaya penerangan. Semoga kamu terus memberikan pemahaman baik dan penerangan bagi orang lain.


Blitar, 27 Agustus 2017

AnindRustiyan




Barisan Kalimat Untuk Mereka Yang Telah Mengingatkanku Untuk Kembali Tertawa

Kapan terakhir kali kita tertawa lepas? Tanpa beban, tanpa canggung, tanpa khawatir. Sampai bahu terguncang, perut kaku, nafas tersengal, air mata keluar, dan otot pipi yang pegal.
Menertawakan apa? Menertawakan "Bukan Apa-Apa". Hanya dengan sentilan kecil, sudah cukup membuat terpingkal. Dan aku rasa, yang seperti ini sudah mulai jarang ditemukan di dunia yang manusianya serba tergantung pada teknologi. Yang mulai dihinggapi ketidakpercayaan, baik pada orang lain maupun diri sendiri.

Hidup adalah sebuah sekolah. Tempat di mana kita sebagai manusia terus belajar. Sampai akhir. Tak terputus, tak terbatas. Tinggal kita mau melakukannya atau hanya berjalan saja pada sebuah rutinitas. Semakin ke sini, dua puluh empat jam sehari seperti tak pernah cukup. Terlalu cepat. Atau apakah kita yang terlalu sibuk dan enggan menyempatkan waktu untuk kontemplasi? Atau apakah semenit saja terlalu sayang bagi kita untuk meresapi makna pada sebuah peristiwa yang baru saja terjadi? Kita yang tak menyadari atau terlalu menikmati?

Hadirnya empat orang ini di tempat kerjaku memberikan warna baru. Sudah cukup sering kami menerima mahasiswa yang ingin mengadakan penelitian, tapi baru kali ini ada yang bisa memberikan senyum bagi semua orang. Mereka hadir saat kami semua lelah, saat kami semua penat. Bahkan seakan-akan kami lupa bagaimana caranya tertawa lepas tanpa alasan. Dan mereka datang mengingatkan kami akan hal tersebut yang sudah lama tertinggal.

Awalnya biasa saja. Dan seperti yang sudah-sudah, perkenalan akan pribadi masing-masing serta tujuan penelitian. Entah kenapa mereka berempat dari awal diletakkan di bidangku. Yang kalau ditilik dari pendidikan mereka dengan tupoksi pekerjaan di bidangku bisa dibilang sama sekali nggak nyambung. Lagi-lagi aku percaya, Tuhan bekerja menggerakkan umatNya dengan caraNya sendiri. Kuarahkan agar mereka mendapat data yang mereka butuhkan, sembari membantu beberapa tugas pekerjaan.

Waktu berjalan, lambat laun kami mengenal lebih dari biasanya. Tapi dari semua itu, yang paling membekas bagiku adalah tawa mereka. Cara mereka bercanda, cara mereka bersikap. Apakah kami yang semakin menua hingga tak lagi menemukan alasan untuk tertawa? Terlalu banyak energi negatif yang membuatku lelah pada saat itu. Ketidakpercayaan, kemarahan, kekecewaan, keengganan.

Melihat mereka menyadarkanku bahwa waktu terlalu berharga untuk dilalui tanpa bahagia. Menemukan kebahagiaan tak sesulit yang dibayangkan. Tinggal sudut pandang mana yang kita gunakan untuk menyaksikan. Serta maukah kita untuk memandang positif dari hal-hal negatif yang kita temukan? Dan aku percaya, selalu ada hal positif, meskipun itu sedikit, pada hal negatif.

Kehadiran mereka tak hanya berpengaruh padaku, tapi kulihat juga pada rekan kerjaku yang lain. Keterlibatan mereka dalam setiap kegiatan selalu diinginkan. Aku rasa, ketulusan mereka yang menggerakkan hati kami semua. Bahkan hanya dengan memandang mereka tertawa berempat sudah bisa menyunggingkan senyum bagi kami, menularkan energi positif bagi kami.

Dan akhirnya, kami terlalu menikmati kebersamaan dengan mereka, hingga tiba waktu mereka harus kembali pada kehidupan semula sebagai mahasiswa. Berat bagi kami, baru tersadar waktu berlari. Harapan kami tali silaturahim terus terjaga sampai nanti. Karena manusia diciptakan tak pernah sendiri. Selalu ada hal yang bisa dipetik dan dimaknai. Dari setiap pertemuan, dari setiap perpisahan, dari menjaga persaudaraan.

Untuk Aldo, kuharap semakin ke depan kamu semakin menemukan kedewasaan, menemukan jati diri yang sebenarnya, menemukan "Aldo" sejatinya seperti apa.

Untuk Aji, kudoakan apa yang kau inginkan, selama itu memiliki niat baik, semoga terkabulkan oleh Tuhan. Karena setiap hal baik yang kita niatkan dan inginkan, pasti akan terkabulkan, semesta akan mendukung, hanya menunggu waktu yang tepat untuk terlaksana.

Untuk Dinno, semoga menjadi lebih baik lagi, memberikan semakin banyak kebahagiaan bagi orang lain di sekitarmu. Seperti apa yang telah kau sampaikan, "Jangan lupa bahagia, karena dunia tidak sesempit seperti yang kita bayangkan."

Untuk Bagaskara, tetaplah menjadi Bagaskara yang kukenal. Tetaplah menjadi bijak tanpa menggurui, tetaplah memberikan pemahaman baik bagi orang lain tanpa pamrih. Teruslah belajar sampai nanti. Semoga lelahmu, menjadi Lillah.

Untuk kalian berempat, TERIMA KASIH. Adanya kalian mengajarkan banyak hal pada kami. Semoga satu bulan kalian bersama kami, apa yang telah kalian pelajari, segala yang baik semoga bermanfaat, yang kurang baik jadikan pelajaran. Kudoakan kalian sukses dengan cara dan jalan masing-masing.


AnindRustiyan





Friday, 17 February 2017

That's The Way It Is

World today moves so fast. Now you’re at home, tomorrow on the road, next day you’re giggling with your friends, and in the next morning, you’re already in your office.
So does your feelings. Moves so fast like nothing could stop. Up and down. Yesterday you were so sad, crying overnight. Now you laugh out loud, and then in the night, you feel nothing at all. Lying on your bed, staring at the ceiling. Thinking about nothing.
Or when you’re on your way to lunch, imagining the delicious food you’ll get. But on the way to be there, you see something that reminds you of someone. Then you imagining them doing the things they would do. And then you realized, they are not here anymore. And just in a minute, you shed a tear.
Ooh, we’re just a human. We feel so many feelings. Now we’re like this, in another minute we’re like that.
Somebody once told me, everything happens to us, already moved by God. It’s not our will. Even when you just sitting there, daydreaming. That’s the God’s will. So whatever happens in our life, we shouldn’t regret it. It already moves the way it is. Just be grateful. That God loves us and protects us, with God’s own way. Always.

Blitar, 17 February 2017

Thursday, 2 February 2017

Hey, Dad. I love you....

Dan pada akhirnya tiba juga masa itu. Fisikmu kini sudah tak lagi dapat kusentuh. Apalagi kurengkuh. Telah berkumpul dengan pendahulumu. Sudah hilang rasa sakitmu, Pa. Hilang sudah nyeri itu. Harapanku, rasa sakitmu selama ini dapat menjadi penghapus kesalahan dan dosamu semasa hidup.

Ya, aku pernah berkata, berbisik di telingamu, saat terakhir kita bertemu. Aku tak apa-apa. Jika sudah tiba masa engkau harus kembali kepada Tuhan, pergilah. Aku ikhlas. Karena aku tahu itu yang terbaik untukmu. Namun kenyaataannya, seikhlas-ikhlasnya aku, sesiap-sesiapnya aku, tetap saja sulit bagiku menahan tangis. Sampai kepalaku sakit. Tapi jika tidak kutahan, tangisku tak mau berhenti.

Perih rasanya membaca namamu di batu nisan. Aku tahu setiap manusia nantinya akan demikian. Tapi tiap kali kueja namamu, lubang hatiku rasanya semakin dalam.

Betapa terbatasnya ruang dan waktuku untuk berbakti padamu, Papa. Betapa tidak berdayanya aku menghadapi kondisi pelik itu. Apakah aku pengecut dengan tidak memperjuangkanmu dari mereka? Apakah aku lemah dengan tidak menghadapi mereka?

Kondisi itu terlalu pelik untuk kucerna, apalgi sampai kuhadapi. Yang akhirnya aku memilih untuk tidak bertindak. Semoga itu tidak membuatmu berpikir bahwa aku tidak memprioritaskanmu, Pa.

Mungkin akan ada yang berpikir. Sudah lama berpisah, tak selalu setiap saat bertemu, maka rasa kehilangan itu tidak akan terlalu berat. Salah. Justru sangat sakit karena kenyataan bahwa semakin aku tidak bisa menggapai tanganmu lagi, Pa.

Sedih itu masih terasa, rasa kehilangan itu terus ada, kekosongan itu tidak tergantikan. Tetapi fakta bahwa engkau sudah tak lagi merasakan sakit, baik fisik maupun batin, menjadi satu penghiburanku saat ini.

I may not saying "I love you, Dad" everyday, but I hope that you still feel it, until now.


I love you, Dad...