Aku teringat dokter kandungan pertama yang kukunjungi, dalam kalimatnya ia seolah berkata karena aku belum mual, itu adalah tanda janin lambat berkembang. Aku jadi merasa mual adalah suatu keharusan dalam menjalani trimester pertama kehamilan.
Ini yang membuatku mengobrol dengan si bayi, aku tak apa-apa mual asal ia tumbuh berkembang. Aku siap dengan mual, sehebat apapun itu, asal itu memang tanda ia berkembang.
Tapi dr. Adyuta tidak mengisyaratkan bahwa mual adalah keharusan. Ia hanya bertanya apakah aku mual, dan tidak berkata apa-apa lagi ketika kujawab tidak.
Setelah kunjungan ke dr. Adyuta yang kedua karena aku meminta tambahan surat ijin istirahat, dr. Adyuta hanya menambahkan obat penguat kandungan yang dosisnya dikurangi dan tambahan vitamin zat besi. Dua hari berikutnya flekku berhenti. Sebagai gantinya aku mulai merasa mual.
Penciumanku menjadi lebih tajam dari biasanya. Aku benci aroma parfum yang biasa kukenakan, membuatku pusing seharian. Aku tidak suka aroma suamiku, yang biasa kuendus setiap pagi dan malam sebelum tidur. Aku langsung mual ketika membuang sampah, yang biasanya kulakukan dengan tenang mau sebusuk apapun baunya.
Tapi aku bersyukur mualku tidak sampai mual muntah heboh. Lebih banyak hanya merasa eneg. Kalaupun sampai muntah, hanya sekali dua kali dan tidak keluar apa-apa.
Hanya saja enegnya memang tidak segera hilang. Dan ia baru hilang kalau aku mengkonsumsi yoghurt paling asam atau makan bakso dengan kuah panas mengepul.
Jadilah hampir dua minggu lebih aku lebih banyak mengkonsumsi yoghurt, bakso panas, dan buah-buahan banyak air seperti semangka dan mangga.
Aku, yang bisa dibilang tidak pernah makan buah kalau tidak sedang kepingin sekali, sekarang setiap hari selalu ada buah di kulkas untuk kumakan. Aku bisa menghabiskan satu buah mangga, dua buah pear, dua buah apel, dan seperempat semangka potong untukku sendiri dalam sehari. Sepertinya bayiku memang lebih suka makanan sehat daripada makanan cepat saji.
Aku yang biasanya suka beli gorengan dan makanan cepat saji lainnya, hampir tidak pernah ada keinginan untuk menikmati itu lagi sekarang.
Satu hal lagi yang berubah. Aku sama sekali tidak menyentuh kopi sejak aku mulai hamil. Aku yang setiap pagi baru bangun tidur selalu menyeduh kopi, sekarang tidak pernah sama sekali. Pernah aku karena kangen dan kepingin mencicip sedikit, baru setengah gelas, aku ngeflek lagi. Kenyataan ini membuatku harus menghentikan konsumsi kopi selama aku hamil. Dan aku rela melakukannya. Toh aku tidak lagi merasakan urgensi untuk meminum kopi seperti yang biasa kulakukan selama ini.
Blitar, 26 Juni 2021