Tuesday, 14 August 2012

Catatan Semarang - Membuka Kenangan dan Membuat Kenangan (Day 1)

Butuh empat tahun bagi saya untuk akhirnya kembali kemari. Kota ini, bukan kota kelahiran saya. Bukan pula kota di mana saya dibesarkan atau menuntut ilmu. Namun ada yang mengikat sayan dengan kota ini. Kepingan-kepingan kenangan ada di sini. 

Dengan persiapan seadanya, dan secepatnya, saya ditemani Mama, menyempatkan waktu ke Semarang. Nawaitu kami adalah bertemu Papa. Saya tak berani membayangkan seperti apa kondisi Papa sekarang. Yang jelas keinginan saya untuk bertemu dengan beliau sangat besar. Sejak minggu lalu, saya sudah memesan tiket travel dan booking kamar hotel untuk dua malam. Saya menghitung hari dengan sangat tidak sabar. Anehnya sampai H-1 keberangkatan ke Semarang saya masih enggan untuk siap-siap. Meski akhirnya hari Kamis malam saya paksakan untuk packing. Itu pun sebelumnya sempat kesal karena keberangkatan Jumat pagi nyaris diundur Jumat malam karena Mama mendadak ada rapat. Namun akhirnya rapat dimajukan hari Kamis sehingga kami tetap bisa berangkat hari Jumat pagi. 

Jumat pagi, pukul 10.30 kami berangkat. Agak terkejut dengan mobil travel yang akan kami tumpangi, tampak kurang meyakinkan. Ketika berangkat, saya cukup kesal dengan sopir travel yang menyetir sambil menelepon, padahal setirannya kencang sekali. Multitasking yang riskan. Sampai di Kediri dia baru meletakkan ponselnya dan saya mulai bisa terlelap. 

Suhu panas di luar membangunkan saya. AC tak lagi mempan mendinginkan meski masih terasa sedikit-sedikit. Kami berhenti istirahat sebentar di Caruban. Tak berapa lama melanjutkan lagi perjalanan. Suhu di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah ini benar-benar panas. Kami melewati hutan yang meranggas. Pepohonan tampak kering dan kurus. Saya membayangkan bila ada pengendara motor sedang beristirahat di sini dan membuang puntung rokok sembarangan, esoknya pasti akan ada berita di media telah terjadi kebakaran hutan di kawasan Ngawi. 

Kami sampai di Sragen. Kota ini juga menyimpan kenangan bagi keluarga saya. Salah seorang Om saya tinggal di sini. Sayang beliau sudah meninggal. Kami dulu begitu dekat. 

Selepas Sragen saya mencoba untuk tidur. Berhasil. Bangun-bangun kami sudah sampai di Salatiga. Karena lewat jalan alternatif, saya jadi tak begitu mengamati keadaan di luar. Jalan di kota Salatiga biasanya membangkitkan kenangan saya juga. Saya ingat pernah berhenti di sebuah restoran di Salatiga bersama Papa dan Mama. Dan menurut saya, sampai di Salatiga artinya sudah dekat dengan Semarang. Ponsel saya tak berhenti bergetar. SMS bertubi-tubi dari Papa, kakak dan teman-teman yang menanyakan posisi saya terus berdatangan. 

Macet di Ungaran. Teman-teman memprediksikan saya sampai di hotel sekitar pukul tujuh malam. Sebenarnya bisa lebih awal. Tapi sopir mendahulukan mengantar paket-paket. Saya makin tak sabar. Apalagi kami melewati daerah Banyumanik, Semarang Atas. Tampak pabrik, truk-truk dan baliho sebuah minuman bersoda yang terkenal. Sejak kecil, apabila sudah sampai kawasan ini, artinya sebentar lagi kami sudah sampai di rumah eyang. Semakin ke bawah, saya melihat bukit dengan kerlap-kerlip lampu. Ini yang saya rindukan dari Semarang. Ini juga merupakan kepingan kenangan. 

Ternyata kami diantar paling akhir. Karena kami menginap di hotel di pusat kota, yang letaknya cukup dekat dengan kantor agen travel. Setelah check-in, saya bergegas mandi. Saya dahulukan bertemu dengan teman-teman saya. Mereka menjemput saya di hotel, malah membawakan makanan juga untuk Mama. Kami pun pergi. Teman saya ini ada empat. Mas Ardhelas, Mbak Odhiet, Meta dan Mas Luthfi. Kami berkenalan dan bersahabat dari sebuah aplikasi chatting dengan nama room Harry Potter. Kesukaan dan kecintaan kami akan Harry Potter membuat kami bersahabat sejak SMA hingga sekarang. 

Sambil digonceng Mas Luthfi, saya mengamati sekitar. Merasakan hawa Semarang yang hangat, menghirup aroma dan atmosfer Semarang yang selalu sama. Tak pernah berubah sejak dulu. Semarang merupakan ibu kota Jawa Tengah, tapi nuansanya tak pernah seperti ibu kota. Ini juga yang saya rindukan dari Semarang. 

Kami berlima makan malam sambil mengobrol. Tertawa bersama mereka selalu menyenangkan. Saya jarang ke Semarang. Dan ini kunjungan ke Semarang sambil bertemu mereka untuk pertama kali. Tapi setiap kemari saya seperti merasa pulang. Dewasa ini, keinginan saya untuk menyatukan kembali sepupu-sepupu dan kakak-kakak saya yang ‘hilang’ semakin besar. Arti keluarga bagi saya sangat luar biasa. Pulang dari makan malam, kami putar-putar terlebih dahulu. Melewati jalan besar di kawasan Simpang Lima, dan akhirnya, jalan Thamrin. 

Mas Luthfi orangnya anteng. Sepanjang memboncengkan saya, dia hanya diam. Mungkin ia mempersilakan saya reuni dengan atmosfer Semarang. Mungkin juga karena ia tak tahu harus berkata apa. Tapi begitu sampai di jalan Thamrin, ia menoleh ke belakang, ke arah saya, dan berkata, “Ini Thamrin,”. Dari awal berbelok dan memasuki jalan Thamrin, saya sudah merasakannya. Saya bisa bilang, ini jalan pulang. Sebentar lagi saya akan menggeser pintu kamar, mengganti baju dan bermain nintendo bersama Papa di depan Eyang. 

Laju motor Mas Luthfi sedikit melambat. Mata saya mencari angka 23. Nomor rumah Mbah Rayi, eyang saya. Hati saya mencelos. Tubuh saya lemas. Rumah itu sudah bukan lagi rumah. Ia berubah menjadi sebuah warung makan. Tak ada lagi pagar sepinggang. Tak ada lagi halaman luas dengan daun kering berserakan. Saya ingin berpegangan. Ingin memeluk seseorang, sekadar untuk menguatkan saya. Tapi saya hanya bisa berpegangan pada belakang motor. Pikiran saya kosong. 

Dua kali belok kami sudah sampai lagi di hotel. Melihat punggung teman-teman saya menjauh pulang, sebenarnya saya tak rela. Saya masih ingin menghabiskan waktu dengan mereka. Kalau bisa sampai pagi. Tertawa bersama mereka sangat menguatkan saya. Masih ingin keliling Semarang dengan mereka. Mengenal lebih jauh seperti apa rupa Semarang. Membandingkan wajah Semarang dulu dalam ingatan saya dengan Semarang yang sekarang. Malam itu, saya tak bisa tidur. Sekalinya bisa tidur, tidur saya tak nyenyak.

No comments:

Post a Comment