Saya terbangun lebih dulu dari Mama. Tampak beliau sangat menikmati istirahatnya. Saya melongok dari jendela. Mengucapkan selamat pagi pada matahari di langit Semarang. Bersyukur pada Tuhan, akhirnya saya bisa kemari lagi. Entah kenapa begitu sulit hanya untuk kembali.
Saya menyiapkan apa saja yang akan saya bawa untuk Papa. Sambil menunggu kakak saya datang, saya dan Mama sarapan di Dunkin. Hotel kami satu gedung dengan Gramedia dan Dunkin Donuts. Saya sempatkan membeli sebuah buku yang berjudul Kisah Lainnya yang ditulis oleh personel ex-Peterpan. Selanjutnya buku ini, dan buku kiriman sahabat saya Mami Primadonna Angela yang berjudul Japan in June, yang mendorong saya kuat-kuat untuk membuat catatan tiga hari di Semarang ini. Begitu saya kembali ke Dunkin, kakak saya datang. Kami berpelukan. Sepuluh tahun kami berpisah. Sejak Papa mulai stroke dan Pakdhe, ayah kakak saya, meninggal. Kami loose contact nyaris sepuluh tahun ini. Kami bertemu lagi setelah kakak saya sempat menginap beberapa hari di rumah Papa. Senang rasanya bisa mempunyai kakak.
Mama menjelaskan rute yang akan kami jalani pagi ini. Saya dan kakak ke rumah Papa lalu lanjut nyekar ke makam eyang di Bergoto. Mama tak ikut. Untuk efisien waktu, beliau hunting oleh-oleh di pasar Johar. Saya dan kakak berangkat lebih dulu. Rumah Papa yang sekarang ditinggali berada tepat di belakang rumah Thamrin 23. Hanya saja lebih kecil. Rumah itu juga rumah Papa. Dulu rumah itu ditempati saudara Papa.
Saya tak pernah bisa membayangkan, rumah yang ditempati Papa sekarang sebegini kecilnya. Saya sempat merasa, mungkin Kakak salah masuk rumah. Tapi ia tampak begitu yakin dan biasa. Ada seorang wanita tua sedang duduk di teras. Ia mempersilakan kami masuk. Ia sempat mengira saya ini istri Kakak, karena kebetulan Kakak memang baru menikah. Saya tersenyum saja. Saya masuk, rasanya semua seperti runtuh.
Papa. Tua, sakit, tak bisa bergerak. Duduk di kursi roda di depan TV. Kurus, berjenggot, tak terawat. Saraf di bibirnya tak lagi berfungsi sempurna, tak bisa menahan air liur yang terus menetes. Raut mukanya bercahaya ketika melihat saya. Saya, putri terkecilnya, yang paling disayang dan dititipkan harapan terbesarnya pada saya, namun juga yang paling jauh seakan tak tergapai. Hubungan kami...rumit. Kami, terutama saya, susah untuk bilang saya sayang Papa dengan gamblang. Sejak saya masih kecil pun, Papa jarang di rumah. Papa kerja di Jakarta sedangkan saya di Blitar sama Mama. Tapi kami saling menyalurkan energi, kerinduan, dan kasih sayang. Non verbal. Kami saling mendoakan dalam hati. Dalam diam, namun rasa sayang itu tersampaikan. Saya tahu Papa mencintai saya, begitu pun sebaliknya. Sifat dan fisik saya semua mirip dengan Papa. Dan saya bangga. Bangga luar biasa.
Saya meletakkan barang bawaan, oleh-oleh untuk Papa di meja sebelahnya. Saya menarik kursi dari sebelah TV ke sebelah Papa. Mengamati wajahnya yang menua, namun bersinar dengan kehadiran saya. Saya bercerita cukup banyak. Saya ceritakan yang sekiranya Papa belum tahu. Beliau merespon sedikit-sedikit. Lebih banyak "ooo" dan mengangguk, sesekali terkekeh-kekeh. Persis eyang. Papa sudah makin sulit bicara. Jarang dilatihnya. Papa harus mengulang perkataannya dan saya harus memperhatikan dengan seksama, baru saya paham. Saya amati rumah kecil Papa. Hanya ada dua kamar. Pintu belakang yang terbuka, menampakkan halaman kecil. Halaman itu dulu tersambung dengan halaman belakang rumah Thamrin.
Mendadak saya ingat. Salah satu pesanan Papa, cukuran kumis, tertinggal di hotel. Saya berjanji untuk kembali lagi nanti malam, mengantar cukuran kumis. Mungkin ini kehendak Tuhan, agar saya bisa bertemu Papa lebih lama hari ini. Saya pamit untuk ke makam eyang. Saya cium tangan kanannya yang tak bisa digerakkan, menghalau nyamuk yang menghisap darah dari kaki kanannya yang mati rasa. Saya peluk beliau. Kurus, tua. Sempat saya selipkan beberapa lembar uang di saku kanan kemejanya. Ada lubang kecil yang ditisik di kemeja di bagian dada kirinya. Kemeja garis-garis merah yang dulu dibelikan Mama. Hati saya tak karuan. Papa tidak pernah pakai baju berlubang. Ini pertama kalinya saya melihat Papa dalam kondisi demikian.
Selama perjalanan dari Thamrin ke Bergoto saya diam terus. Kakak saya bertanya, setelah lulus nanti saya mau kerja di mana. Dia menyarankan saya kerja di Semarang saja biar bisa merawat Papa. Saya belum bisa menjawabnya.
Setelah membeli bunga, Kakak dan saya menuju makam eyang. Tampak bersih. Persis seperti pertama kali saya kemari tiga belas tahun yang lalu. Kala itu saya disuruh menghafal nama eyang putri dan eyang kakung. Ternyata saya harus membacanya di nisan eyang putri. Kalau tadi saya cukup kagum dengan diri saya sendiri karena tidak menangis di depan Papa, kini saya kalah. Melihat kedua makam eyang saya yang begitu tenang dan damai membuat tangis saya pecah. Kakak hanya bisa menepuk kepala dan pundak saya. Ia biarkan saya menangis lama, memeluk nisan eyang putri. Rindu ini, betapa besar. Saya dulu jarang bertemu beliau, tapi kami begitu dekat. Cara tertawa eyang putri menurun ke saya, terkekeh, kadang terpingkal namun tak bersuara.
Saya menangis hampir lima belas menit lamanya, mungkin lebih. Sedikit meracau, saya curhat kepada mereka tentang kondisi Papa. Berharap mereka bisa membantu. Memohonkan kepada Tuhan untuk menyelamatkan Papa, melindungi Papa. Satu-satunya putra mereka yang masih harus berjuang di dunia. Saya agak iri dengan saudara Papa yang sudah meninggal, Pakdhe Daris dan Om Innisisri atau Om Yatmo. Bukannya saya mendoakan Papa untuk cepat meninggal. Saya tak berani membayangkan betapa hancurnya saya jika suatu saat itu terjadi. Namun yang saya irikan dari om-om saya, bahwa mereka telah dipanggil Tuhan terlebih dahulu, tak perlu lagi merasakan penderitaan dunia dalam kondisi tua, sakit dan tak berdaya. Saya hanya bisa mendoakan semoga Papa diberi kenyamanan oleh Tuhan. Mungkin ini waktu dan kesempatan yang diberikan Tuhan untuk Papa, untuk menebus masa-masa yang ia lewati tanpa ibadah karena terlalu sibuk mencari nafkah. Semenjak Papa sakit, Papa jadi lebih rajin shalat. Dengan duduk tentunya. Belakangan Papa sudah tak bisa wudlu. Papa tetap shalat dengan bertayamum.
Saya taburkan hanya bunga mawar putih di makam eyang putri. Saya ingat beliau pernah berpesan pada Papa kalau nanti eyang putri meninggal, minta disekar hanya dengan bunga mawar putih. Saya menaburkan bunga mawar merah dan putih di makam eyang kakung. Saya tak pernah bertemu dengannya. Beliau meninggal jauh sebelum saya menatap dunia.
Setelah puas menangis dan mendoakan kedua eyang saya, kakak dan saya ke makam pakdhe, ayah kakak. Letaknya satu tingkat di atas makam eyang. Kali ini giliran Kakak saya yang menangis. Di antara dua besaudara,dia yang paling dekat dengan Pakdhe. Mas Ocky lebih dekat dengan Budhe. Kebetulan, suara dan wajah Kakak juga mirip Pakdhe. Saya merenung. Kami, saudara sepupu yang sempat merasa sendirian, kini bertemu lagi. Betapa ini kuasa Tuhan yang luar biasa. Saya yang sejak kecil terbiasa sebagai anak tunggal, rasanya senang sekali bisa memiliki kakak laki-laki yang melindungi dan menyayangi saya. Kami berjanji untuk saling menguatkan.
Saya pulang ke hotel, Kakak langsung ke Jatingaleh. Sampai di kamar sudah ada Mama dan petugas kebersihan hotel. Saya tunggu sampai petugas itu menyelesaikan pekerjaannya dan keluar dari kamar. Saya tutup pintu dan duduk di kasur. Mama cukup bertanya, "Piye?" dan saya ceritakan semuanya. Saya menangis lagi. Awalnya saya masih bisa bercerita sambil menangis. Sampai pada kondisi baju yang dikenakan Papa, saya tak sanggup lagi bercerita. Mama bangkit dari kursi dan memeluk saya. Saya menjerit dalam tangis. Saya menjerit bahwa pria yang saya jenguk tadi seakan bukan Papa. Papa tak pernah memelihara jenggot sepanjang itu, tak pernah mengenakan baju berlubang, tak pernah makan dan minum dari piranti yang kotor. Papa yang kuingat adalah pria yang selalu bercukur rapi, wangi, mengenakan baju rapi dan tak bertisik, rambut disisir rapi, dan makan dengan piranti bersih. Hal itu melukai saya. Betapa Mama menjaga agar saya tak pernah merasa kekurangan. Tapi Papa malah puasa setiap saat. Ini menghancurkan hati saya. Saya tahu bagaimana rasanya lapar. Membayangkan Papa setiap hari harus menahan lapar, rasanya perih sekali. Saya menangis, Mama juga menangis. Setelah tangis saya reda, Mama bilang bahwa apa yang saya lakukan tadi, dengan tidak menangis di depan Papa adalah hal terbaik yang sudah saya lakukan. Saya tak ingin Papa menangis, maka saya juga tidak menangis di depan Papa. Mama berkata bahwa saya dididik alam. Bahwa saya mengerti dan memahami kehidupan dari kondisi orang-orang di sekitar saya.
Malam cepat sekali datang. Matahari istirahat, digantikan bulan. Kakak saya datang dan kami pun kembali ke rumah Papa. Obrolan kami malam itu lebih bebas. Wanita yang tadi saya ceritakan, adalah istri Papa. Ia sedang tarawih di masjid. Papa bilang, istrinya tadi menanyakan siapa saya dan bertanya mengapa saya tidak menginap di rumah Papa. Ada sebersit harapan dalam perkataan Papa bahwa itu pertanda kalau istri Papa sudah mau menerima saya sebagai anak Papa, meski lain istri. Kunjungan saya tak bisa lama. Kakak saya harus menjemput istrinya di kantor pukul delapan malam. Saya pamitan. Saya peluk lagi Papa saya. Sempat kami berfoto bersama. Sebagai bukti bahwa saya telah mengunjunginya dan sebagai pengingat bahwa Papa kandung saya masih ada.
Sampai di kamar hotel, saya memandang langit Semarang dari jendela. Bukan hitam, tidak gelap. Melainkan bersemu merah. Pantulan dari lampu-lampu yang digunakan warga kota Semarang. Malam itu tidur saya tak nyenyak lagi.
No comments:
Post a Comment