Finally, resensi lagi. Obsesi pada fashion bikin saya lupa menyisihkan investasi ke buku-buku *
self keplak*
Buku ini kebeli karena warna sampulnya yang hampir mirip ama design sampul bikinan aku buat tugas design grafis. Hihihi. selain itu ceritanya tentang masyarakat Timur Tengah yang tinggal di Inggris.
Seriously, di jaman modern gini, dengan perbedaan budaya yang cukup ekstrim, itu pasti jadi beban tersendiri buat mereka dan aku cukup penasaran dengan cara mereka
survive. Aku sendiri juga suka budaya Inggris dan Timur Tengah. Inggris dengan aristokratnya, aroma kebangsawanan dan eksklusifitas di mana-mana. Timur Tengah dengan kekentalan agamanya, tradisi yang dipegang teguh turun-temurun.
Tiga belas cerpen dikemas dengan bahasa yang indah di sini. Mendeskripsikan suasananya dengan detail. Apa yang dirasakan tokoh seperti terasa pula olehku. Seperti transfer perasaan. Yang membanggakan, salah satu cerpen di buku ini yang berjudul
The Museum mendapat penghargaan African Booker, Caine Prize untuk African Writing. Aku pribadi menyukai cerpen yang berjudul
Pemuda dari Kedai Kebab. Judulnya menarik karena,
well, aku suka kebab. Agak penasaran juga apa yang terjadi sama pemuda itu. Ceritanya hampir bisa ditebak, seorang gadis menyukai pemuda dari kedai kebab. Tapi kemudian ada unsur mengejutkan selain sekedar rasa suka. Seorang gadis bernama Dina bertemu Kassim, pemuda dari kedai kebab di sebuah seminar. Kassim membantu menyiapkan hidangan di seminar. Dina kemudian berkunjung ke kedai kebab tempat Kassim bekerja. Dan dari situ Dina mengetahui bahwa Kassim adalah seorang mualaf yang mendapatkan ketenangan dari agamanya, Islam. Sedangkan Dina yang sejak lahir beragama Islam malah belum pernah merasakan ketenangan itu karena orang tuanya melupakan kewajiban itu, meleburkan budaya dan asal usul mereka agar bisa diterima di lingkungan mereka di Inggris.
Beberapa tokoh di sini diceritakan berusaha meleburkan diri dengan masyarakat Inggris, dengan cara mengesampingkan budaya asal mereka yang unik dari Timur Tengah. Beberapa tokoh yang lain memegang teguh budaya tersebut, tercabik di antara gelombang modernitas dan kerinduan kampung halaman.
Two thumbs up buat Leila Aboulela. Gaya penceritaannya mengalir. Nggak terlalu serius, nggak kaku, tapi juga nggak sembarangan. Membuat para pembaca tahu bahwa nggak mudah untuk tetap berdiri tegak dengan perbedaan budaya yang kontras. Tetapi juga mengajarkan pembaca bahwa penting untuk menjaga tradisi asal kita untuk mengingatkan dari mana kita berasal.
Leila Aboulela pakarnya dalam memunculkan sesuatu yang sederhana menjadi istimewa, mampu merangkai cerita yang kelihatannya kecil tapi meneriakkan keinginannya untuk didengar. - The Scotsman
-anindrustiyan-