Saturday, 28 April 2012

Sebuah Nama, Sepenggal Kenangan

Sore yang panas membuat Ratna memutuskan untuk membuat segelas es kopi dengan shaker-nya. Ia tuang serbuk kopi yang diserukan sebagai kopi dengan kadar asam rendah ke dalam shaker, lalu menuang air es dan tiga bongkah es batu. Ditutupnya shaker dan mulai mengocok, lebih tepatnya mengguncang shaker warna pink putihnya. Ditenggaknya dengan penuh kepuasan. Sore yang tenang, meskipun hawanya panas. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Mama.

"Halo,"
"Halo, ndhuk. Lagi ngapain?" tanya Mama. Ada nada semangat tersirat dalam suaranya.
"Bikin es kopi, panas," jawab Ratna.
"Oooh. Ndhuk, kamu inget Mas Angga?"
"Mas Angga siapa, Ma?"
"Mas Angga, yang anaknya temen Mama waktu SMA, Tante Yuni. Yang rumahnya di Malang juga," jawab Mama.
"Ma, itu Mas Galih, bukan Mas Angga," jawab Ratna.
"Oooh, iya, Mas Galih! Aduh, lupa Mama. Iya, Mas Galih mau nikah,"
JDAAARRRRR!!!!! Ratna terpaku.
"Minggu depan, ndhuk, resepsi di Malang. Mama mau dateng, kamu ikut ya,"
JDAAAARRRRRR!!!!! Ratna ambruk.


Wednesday, 11 April 2012

Review : How To Be a Writer


Tell me, berapa banyak buku panduan untuk menjadi penulis yang ada di toko buku? Banyak banget! Semua dengan gaya dari penulisnya sendiri. Kadang ada yang terlalu saklek dari si penulis, padahal tiap orang punya gaya, motivator, dan cara tersendiri untuk menciptakan tulisan. Baru kali ini aku dapet buku panduan menulis dengan gaya yang fun. Baru mami Donna yang bikin buku panduan kayak gini. Kalo kalian follow Twitter mami Donna @cinnamoncherry, tiap hari Jumat mami ngetwit tips menulis di #NulisYuk. Di buku ini semua terangkum dalam bab-bab sesuai kebutuhan kalian. Pengemasannya nggak cuma dalam bentuk tulisan non-fiksi, tapi juga fiksi. Menarik kan?

Zoya merasa bahwa dia jenius dalam menulis. Ketika ia menyerahkan hasil tulisannya ke guru barunya, Bu Selma, ia yakin akan mendapat pujian seperti biasa yang ia dapatkan dari Bu Molly. Tapi ternyata malah sebaliknya. Sebel? Iya. Dongkol? Banget. Sampai terbersit pengen balas dendam. Tapi kemudian dia menemukan cara belajar menulis dengan observasi bareng bocah cilik anak tetangganya yang nakal!
Di bagian kedua, mami Donna memberi tips bagaimana menemukan ide, memulai tulisan, membuat penutup yang manis, sampai menerbitkannya. Lengkap! Dan pastinya fun nggak ngebosenin. :D

Wednesday, 4 April 2012

Resensi : Coloured Lights, Lampu Warna-Warni

Finally, resensi lagi. Obsesi pada fashion bikin saya lupa menyisihkan investasi ke buku-buku *self keplak*
Buku ini kebeli karena warna sampulnya yang hampir mirip ama design sampul bikinan aku buat tugas design grafis. Hihihi. selain itu ceritanya tentang masyarakat Timur Tengah yang tinggal di Inggris. Seriously, di jaman modern gini, dengan perbedaan budaya yang cukup ekstrim, itu pasti jadi beban tersendiri buat mereka dan aku cukup penasaran dengan cara mereka survive. Aku sendiri juga suka budaya Inggris dan Timur Tengah. Inggris dengan aristokratnya, aroma kebangsawanan dan eksklusifitas di mana-mana. Timur Tengah dengan kekentalan agamanya, tradisi yang dipegang teguh turun-temurun.

Tiga belas cerpen dikemas dengan bahasa yang indah di sini. Mendeskripsikan suasananya dengan detail. Apa yang dirasakan tokoh seperti terasa pula olehku. Seperti transfer perasaan. Yang membanggakan, salah satu cerpen di buku ini yang berjudul The Museum mendapat penghargaan African Booker, Caine Prize untuk African Writing. Aku pribadi menyukai cerpen yang berjudul Pemuda dari Kedai Kebab. Judulnya menarik karena, well, aku suka kebab. Agak penasaran juga apa yang terjadi sama pemuda itu. Ceritanya hampir bisa ditebak, seorang gadis menyukai pemuda dari kedai kebab. Tapi kemudian ada unsur mengejutkan selain sekedar rasa suka. Seorang gadis bernama Dina bertemu Kassim, pemuda dari kedai kebab di sebuah seminar. Kassim membantu menyiapkan hidangan di seminar. Dina kemudian berkunjung ke kedai kebab tempat Kassim bekerja. Dan dari situ Dina mengetahui bahwa Kassim adalah seorang mualaf yang mendapatkan ketenangan dari agamanya, Islam. Sedangkan Dina yang sejak lahir beragama Islam malah belum pernah merasakan ketenangan itu karena orang tuanya melupakan kewajiban itu, meleburkan budaya dan asal usul mereka agar bisa diterima di lingkungan mereka di Inggris.

Beberapa tokoh di sini diceritakan berusaha meleburkan diri dengan masyarakat Inggris, dengan cara mengesampingkan budaya asal mereka yang unik dari Timur Tengah. Beberapa tokoh yang lain memegang teguh budaya tersebut, tercabik di antara gelombang modernitas dan kerinduan kampung halaman.

Two thumbs up buat Leila Aboulela. Gaya penceritaannya mengalir. Nggak terlalu serius, nggak kaku, tapi juga nggak sembarangan. Membuat para pembaca tahu bahwa nggak mudah untuk tetap berdiri tegak dengan perbedaan budaya yang kontras. Tetapi juga mengajarkan pembaca bahwa penting untuk menjaga tradisi asal kita untuk mengingatkan dari mana kita berasal.

Leila Aboulela pakarnya dalam memunculkan sesuatu yang sederhana menjadi istimewa, mampu merangkai cerita yang kelihatannya kecil tapi meneriakkan keinginannya untuk didengar. - The Scotsman

-anindrustiyan-


Pencarian

Ada banyak kebetulan terjadi di dunia ini. Ada banyak kemiripan pula di tiap jengkal di belahan dunia ini. Ada yang percaya dengan kebetulan, ada juga yang anti dengan kata kebetulan. Aku hanya mengikutinya saja. Membiarkannya lewat dan mengalir di sekitarku. Memberikan sensasi kejut yang menyenangkan ketika menghampiriku.

Aku tak pernah menyangka bahwa suatu saat aku menemukannya. Ini bukan kebetulan. Bukan pula rekayasa. Aku memang sengaja mencarinya. Dengan harapan membuncah dan doa yang mengalun dalam setiap desah.

Kutulis pesan singkat pada ibuku. Menulis sebuah pertanyaan yang pasti menimbulkan keheranan dalam benaknya. Dugaanku tepat. Tak sampai lima menit ibuku membalas dengan pertanyaan, "Untuk apa?" Aku hanya bisa menjawab bahwa aku hanya ingin tahu saja. Sejurus kemudian ibuku membalas lagi. Tanpa pertanyaan, tanpa syarat. Langsung pada jawaban yang kuharapkan.

Dengan gemuruh dan dentum tak biasa kutulis ulang sederet kalimat dari layar ponsel ke layar komputer. Mesin pencari social media ini pun bekerja. Sesaat ia memintaku untuk lebih menspesifikkan pencarian, mengais data dalam penelusuran memori masa lalu. Ketika hasilnya telah ia suguhkan, sedetik kemudian pipiku terasa basah, hangat. Aku yakin itu dia.

Jemariku bergetar. Kedua mataku menyusuri wajah dalam foto itu. Seratus persen aku yakin. Kemiripan kami bukanlah suatu kebetulan. Ada faktor penentu yang membuat wajah kami terpahat sama. Hanya mata kami yang berbeda. Selebihnya tak ada keraguan.

Masih dalam tangis aku menatap foto-fotonya. Semuanya. Ia memajang fotonya dua puluh tahun lalu, berpose di depan rumah yang sama-sama memiliki kenangan bagi kami. Manis dan pahit. Aku tersenyum kecil. Aku lupa bahwa ia pernah berambut sepanjang itu. Rambut yang sama denganku. Panjang, lurus dan halus. Senyumnya merekah.

Aku mendesah. Menelan tangis yang telah membuncah. Keraguan menelusup. Akankah ia menerima permintaan pertemananku? Jika iya, apakah ia menerimanya sebagai aku? Ingatkah dia akan aku? Sempatkah ia berpikir bahwa aku ada? Hanya sepelemparan dadu saja jarakku dengannya. Aku memandang fotonya lagi. Ia telah berkeluarga. Bahagia bersama keluarga kecilnya. Dapat kubaca dalam wajahnya ia ingin menjadi ayah yang baik bagi putranya. Dengan pengalaman serta sakit hati masa lalunya, aku yakin ia cukup terobsesi dengan hal itu.

Kuseka tangisku. Tersenyum aku pada senyumnya, senyum yang nyaris sama dengan faktor penentu kemiripanku dengannya. Ia semakin tua, semakin mirip dengan Papa. Dalam hati aku berbisik sekarang belum saatnya. Dan aku hanya bisa puas mengetahui, aku masih mirip dengan kakakku.