Tuesday, 14 August 2012

Catatan Semarang - Semua Berjalan Begitu Cepat (Day 3)

Kali ini Mama yang bangun terlebih dulu daripada saya. Beliau sibuk membereskan barang bawaan agar ringkas dan tak merepotkan. Rencananya kami dijemput travel pukul sepuluh. Saya bangun dengan linglung. Kepala saya agak berat. Saya melihat keluar jendela. Ada semburat jingga di langit Semarang. Matahari bulat keemasan. Rasanya saya tak ingin pulang. Ini sudah seperti pulang.

Kakak berjanji akan ke hotel lagi sebelum kami berangkat. Setelah membeli beberapa donat untuk bekal di perjalanan, saya dan Mama duduk menonton TV. Sudah mandi, sudah siap pulang. Mendadak ponsel Mama berbunyi. Telepon dari travel yang berkata kami dijemput lima menit lagi. Kaget. Ini masih jam delapan! Mama protes karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Saya diam. Kakak belum ke sini. Kami belum sempat berfoto. Mama meminta dijemput setengah jam lagi. Saya berpakaian dengan enggan. Berharap tiba-tiba kakak datang. Tapi ternyata tidak. Saya meneleponnya. Ia bilang masih di rumah. Saya mau pamitan di telepon, tapi mata saya basah lagi. Saya sampai tak sanggup berkata-kata, saya kasih telepon ke Mama. Saya menangis. Merasa sedih, marah dan kesal. Saya masih ingin bertemu kakak saya lagi. Kakak berkata, "Udah, dhik. Jangan nangis terus. Nggak apa-apa. Nanti lain kali kita ketemu lagi,". Saya menangis seperti anak kecil yang tidak mau diajak pulang.

Akhirnya mobil travel datang. Saya tak berani menelepon Papa dalam kondisi sedih dan habis menangis seperti ini. Saya bersandar di jendela mobil, diam, menatap kosong ke depan. Sampai di Ungaran saya ketiduran. Perjalanan pulang lebih buruk daripada keberangkatan. Kami sampai di rumah pukul lima sore. Rasanya capek luar biasa. Untung saya mengantuk dan bisa tidur lebih awal. Malam itu saya tidur tanpa mimpi.

Catatan Semarang - Semua Berubah, Aku Hanya Bisa Berurai Air Mata (Day 2)

Saya terbangun lebih dulu dari Mama. Tampak beliau sangat menikmati istirahatnya. Saya melongok dari jendela. Mengucapkan selamat pagi pada matahari di langit Semarang. Bersyukur pada Tuhan, akhirnya saya bisa kemari lagi. Entah kenapa begitu sulit hanya untuk kembali.

Saya menyiapkan apa saja yang akan saya bawa untuk Papa. Sambil menunggu kakak saya datang, saya dan Mama sarapan di Dunkin. Hotel kami satu gedung dengan Gramedia dan Dunkin Donuts. Saya sempatkan membeli sebuah buku yang berjudul Kisah Lainnya yang ditulis oleh personel ex-Peterpan. Selanjutnya buku ini, dan buku kiriman sahabat saya Mami Primadonna Angela yang berjudul Japan in June, yang mendorong saya kuat-kuat untuk membuat catatan tiga hari di Semarang ini. Begitu saya kembali ke Dunkin, kakak saya datang. Kami berpelukan. Sepuluh tahun kami berpisah. Sejak Papa mulai stroke dan Pakdhe, ayah kakak saya, meninggal. Kami loose contact nyaris sepuluh tahun ini. Kami bertemu lagi setelah kakak saya sempat menginap beberapa hari di rumah Papa. Senang rasanya bisa mempunyai kakak.

Mama menjelaskan rute yang akan kami jalani pagi ini. Saya dan kakak ke rumah Papa lalu lanjut nyekar ke makam eyang di Bergoto. Mama tak ikut. Untuk efisien waktu, beliau hunting oleh-oleh di pasar Johar. Saya dan kakak berangkat lebih dulu. Rumah Papa yang sekarang ditinggali berada tepat di belakang rumah Thamrin 23. Hanya saja lebih kecil. Rumah itu juga rumah Papa. Dulu rumah itu ditempati saudara Papa.

Saya tak pernah bisa membayangkan, rumah yang ditempati Papa sekarang sebegini kecilnya. Saya sempat merasa, mungkin Kakak salah masuk rumah. Tapi ia tampak begitu yakin dan biasa. Ada seorang wanita tua sedang duduk di teras. Ia mempersilakan kami masuk. Ia sempat mengira saya ini istri Kakak, karena kebetulan Kakak memang baru menikah. Saya tersenyum saja. Saya masuk, rasanya semua seperti runtuh.

Papa. Tua, sakit, tak bisa bergerak. Duduk di kursi roda di depan TV. Kurus, berjenggot, tak terawat. Saraf di bibirnya tak lagi berfungsi sempurna, tak bisa menahan air liur yang terus menetes. Raut mukanya bercahaya ketika melihat saya. Saya, putri terkecilnya, yang paling disayang dan dititipkan harapan terbesarnya pada saya, namun juga yang paling jauh seakan tak tergapai. Hubungan kami...rumit. Kami, terutama saya, susah untuk bilang saya sayang Papa dengan gamblang. Sejak saya masih kecil pun, Papa jarang di rumah. Papa kerja di Jakarta sedangkan saya di Blitar sama Mama. Tapi kami saling menyalurkan energi, kerinduan, dan kasih sayang. Non verbal. Kami saling mendoakan dalam hati. Dalam diam, namun rasa sayang itu tersampaikan. Saya tahu Papa mencintai saya, begitu pun sebaliknya. Sifat dan fisik saya semua mirip dengan Papa. Dan saya bangga. Bangga luar biasa.

Saya meletakkan barang bawaan, oleh-oleh untuk Papa di meja sebelahnya. Saya menarik kursi dari sebelah TV ke sebelah Papa. Mengamati wajahnya yang menua, namun bersinar dengan kehadiran saya. Saya bercerita cukup banyak. Saya ceritakan yang sekiranya Papa belum tahu. Beliau merespon sedikit-sedikit. Lebih banyak "ooo" dan mengangguk, sesekali terkekeh-kekeh. Persis eyang. Papa sudah makin sulit bicara. Jarang dilatihnya. Papa harus mengulang perkataannya dan saya harus memperhatikan dengan seksama, baru saya paham. Saya amati rumah kecil Papa. Hanya ada dua kamar. Pintu belakang yang terbuka, menampakkan halaman kecil. Halaman itu dulu tersambung dengan halaman belakang rumah Thamrin.

Mendadak saya ingat. Salah satu pesanan Papa, cukuran kumis, tertinggal di hotel. Saya berjanji untuk kembali lagi nanti malam, mengantar cukuran kumis. Mungkin ini kehendak Tuhan, agar saya bisa bertemu Papa lebih lama hari ini. Saya pamit untuk ke makam eyang. Saya cium tangan kanannya yang tak bisa digerakkan, menghalau nyamuk yang menghisap darah dari kaki kanannya yang mati rasa. Saya peluk beliau. Kurus, tua. Sempat saya selipkan beberapa lembar uang di saku kanan kemejanya. Ada lubang kecil yang ditisik di kemeja di bagian dada kirinya. Kemeja garis-garis merah yang dulu dibelikan Mama. Hati saya tak karuan. Papa tidak pernah pakai baju berlubang. Ini pertama kalinya saya melihat Papa dalam kondisi demikian.

Selama perjalanan dari Thamrin ke Bergoto saya diam terus. Kakak saya bertanya, setelah lulus nanti saya mau kerja di mana. Dia menyarankan saya kerja di Semarang saja biar bisa merawat Papa. Saya belum bisa menjawabnya.

Setelah membeli bunga, Kakak dan saya menuju makam eyang. Tampak bersih. Persis seperti pertama kali saya kemari tiga belas tahun yang lalu. Kala itu saya disuruh menghafal nama eyang putri dan eyang kakung. Ternyata saya harus membacanya di nisan eyang putri. Kalau tadi saya cukup kagum dengan diri saya sendiri karena tidak menangis di depan Papa, kini saya kalah. Melihat kedua makam eyang saya yang begitu tenang dan damai membuat tangis saya pecah. Kakak hanya bisa menepuk kepala dan pundak saya. Ia biarkan saya menangis lama, memeluk nisan eyang putri. Rindu ini, betapa besar. Saya dulu jarang bertemu beliau, tapi kami begitu dekat. Cara tertawa eyang putri menurun ke saya, terkekeh, kadang terpingkal namun tak bersuara.

Saya menangis hampir lima belas menit lamanya, mungkin lebih. Sedikit meracau, saya curhat kepada mereka tentang kondisi Papa. Berharap mereka bisa membantu. Memohonkan kepada Tuhan untuk menyelamatkan Papa, melindungi Papa. Satu-satunya putra mereka yang masih harus berjuang di dunia. Saya agak iri dengan saudara Papa yang sudah meninggal, Pakdhe Daris dan Om Innisisri atau Om Yatmo. Bukannya saya mendoakan Papa untuk cepat meninggal. Saya tak berani membayangkan betapa hancurnya saya jika suatu saat itu terjadi. Namun yang saya irikan dari om-om saya, bahwa mereka telah dipanggil Tuhan terlebih dahulu, tak perlu lagi merasakan penderitaan dunia dalam kondisi tua, sakit dan tak berdaya. Saya hanya bisa mendoakan semoga Papa diberi kenyamanan oleh Tuhan. Mungkin ini waktu dan kesempatan yang diberikan Tuhan untuk Papa, untuk menebus masa-masa yang ia lewati tanpa ibadah karena terlalu sibuk mencari nafkah. Semenjak Papa sakit, Papa jadi lebih rajin shalat. Dengan duduk tentunya. Belakangan Papa sudah tak bisa wudlu. Papa tetap shalat dengan bertayamum.

Saya taburkan hanya bunga mawar putih di makam eyang putri. Saya ingat beliau pernah berpesan pada Papa kalau nanti eyang putri meninggal, minta disekar hanya dengan bunga mawar putih. Saya menaburkan bunga mawar merah dan putih di makam eyang kakung. Saya tak pernah bertemu dengannya. Beliau meninggal jauh sebelum saya menatap dunia.

Setelah puas menangis dan mendoakan kedua eyang saya, kakak dan saya ke makam pakdhe, ayah kakak. Letaknya satu tingkat di atas makam eyang. Kali ini giliran Kakak saya yang menangis. Di antara dua besaudara,dia yang paling dekat dengan Pakdhe. Mas Ocky lebih dekat dengan Budhe. Kebetulan, suara dan wajah Kakak juga mirip Pakdhe. Saya merenung. Kami, saudara sepupu yang sempat merasa sendirian, kini bertemu lagi. Betapa ini kuasa Tuhan yang luar biasa. Saya yang sejak kecil terbiasa sebagai anak tunggal, rasanya senang sekali bisa memiliki kakak laki-laki yang melindungi dan menyayangi saya. Kami berjanji untuk saling menguatkan.

Saya pulang ke hotel, Kakak langsung ke Jatingaleh. Sampai di kamar sudah ada Mama dan petugas kebersihan hotel. Saya tunggu sampai petugas itu menyelesaikan pekerjaannya dan keluar dari kamar. Saya tutup pintu dan duduk di kasur. Mama cukup bertanya, "Piye?" dan saya ceritakan semuanya. Saya menangis lagi. Awalnya saya masih bisa bercerita sambil menangis. Sampai pada kondisi baju yang dikenakan Papa, saya tak sanggup lagi bercerita. Mama bangkit dari kursi dan memeluk saya. Saya menjerit dalam tangis. Saya menjerit bahwa pria yang saya jenguk tadi seakan bukan Papa. Papa tak pernah memelihara jenggot sepanjang itu, tak pernah mengenakan baju berlubang, tak pernah makan dan minum dari piranti yang kotor. Papa yang kuingat adalah pria yang selalu bercukur rapi, wangi, mengenakan baju rapi dan tak bertisik, rambut disisir rapi, dan makan dengan piranti bersih. Hal itu melukai saya. Betapa Mama menjaga agar saya tak pernah merasa kekurangan. Tapi Papa malah puasa setiap saat. Ini menghancurkan hati saya. Saya tahu bagaimana rasanya lapar. Membayangkan Papa setiap hari harus menahan lapar, rasanya perih sekali. Saya menangis, Mama juga menangis. Setelah tangis saya reda, Mama bilang bahwa apa yang saya lakukan tadi, dengan tidak menangis di depan Papa adalah hal terbaik yang sudah saya lakukan. Saya tak ingin Papa menangis, maka saya juga tidak menangis di depan Papa. Mama berkata bahwa saya dididik alam. Bahwa saya mengerti dan memahami kehidupan dari kondisi orang-orang di sekitar saya.

Malam cepat sekali datang. Matahari istirahat, digantikan bulan. Kakak saya datang dan kami pun kembali ke rumah Papa. Obrolan kami malam itu lebih bebas. Wanita yang tadi saya ceritakan, adalah istri Papa. Ia sedang tarawih di masjid. Papa bilang, istrinya tadi menanyakan siapa saya dan bertanya mengapa saya tidak menginap di rumah Papa. Ada sebersit harapan dalam perkataan Papa bahwa itu pertanda kalau istri Papa sudah mau menerima saya sebagai anak Papa, meski lain istri. Kunjungan saya tak bisa lama. Kakak saya harus menjemput istrinya di kantor pukul delapan malam. Saya pamitan. Saya peluk lagi Papa saya. Sempat kami berfoto bersama. Sebagai bukti bahwa saya telah mengunjunginya dan sebagai pengingat bahwa Papa kandung saya masih ada.

Sampai di kamar hotel, saya memandang langit Semarang dari jendela. Bukan hitam, tidak gelap. Melainkan bersemu merah. Pantulan dari lampu-lampu yang digunakan warga kota Semarang. Malam itu tidur saya tak nyenyak lagi. 

Catatan Semarang - Membuka Kenangan dan Membuat Kenangan (Day 1)

Butuh empat tahun bagi saya untuk akhirnya kembali kemari. Kota ini, bukan kota kelahiran saya. Bukan pula kota di mana saya dibesarkan atau menuntut ilmu. Namun ada yang mengikat sayan dengan kota ini. Kepingan-kepingan kenangan ada di sini. 

Dengan persiapan seadanya, dan secepatnya, saya ditemani Mama, menyempatkan waktu ke Semarang. Nawaitu kami adalah bertemu Papa. Saya tak berani membayangkan seperti apa kondisi Papa sekarang. Yang jelas keinginan saya untuk bertemu dengan beliau sangat besar. Sejak minggu lalu, saya sudah memesan tiket travel dan booking kamar hotel untuk dua malam. Saya menghitung hari dengan sangat tidak sabar. Anehnya sampai H-1 keberangkatan ke Semarang saya masih enggan untuk siap-siap. Meski akhirnya hari Kamis malam saya paksakan untuk packing. Itu pun sebelumnya sempat kesal karena keberangkatan Jumat pagi nyaris diundur Jumat malam karena Mama mendadak ada rapat. Namun akhirnya rapat dimajukan hari Kamis sehingga kami tetap bisa berangkat hari Jumat pagi. 

Jumat pagi, pukul 10.30 kami berangkat. Agak terkejut dengan mobil travel yang akan kami tumpangi, tampak kurang meyakinkan. Ketika berangkat, saya cukup kesal dengan sopir travel yang menyetir sambil menelepon, padahal setirannya kencang sekali. Multitasking yang riskan. Sampai di Kediri dia baru meletakkan ponselnya dan saya mulai bisa terlelap. 

Suhu panas di luar membangunkan saya. AC tak lagi mempan mendinginkan meski masih terasa sedikit-sedikit. Kami berhenti istirahat sebentar di Caruban. Tak berapa lama melanjutkan lagi perjalanan. Suhu di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah ini benar-benar panas. Kami melewati hutan yang meranggas. Pepohonan tampak kering dan kurus. Saya membayangkan bila ada pengendara motor sedang beristirahat di sini dan membuang puntung rokok sembarangan, esoknya pasti akan ada berita di media telah terjadi kebakaran hutan di kawasan Ngawi. 

Kami sampai di Sragen. Kota ini juga menyimpan kenangan bagi keluarga saya. Salah seorang Om saya tinggal di sini. Sayang beliau sudah meninggal. Kami dulu begitu dekat. 

Selepas Sragen saya mencoba untuk tidur. Berhasil. Bangun-bangun kami sudah sampai di Salatiga. Karena lewat jalan alternatif, saya jadi tak begitu mengamati keadaan di luar. Jalan di kota Salatiga biasanya membangkitkan kenangan saya juga. Saya ingat pernah berhenti di sebuah restoran di Salatiga bersama Papa dan Mama. Dan menurut saya, sampai di Salatiga artinya sudah dekat dengan Semarang. Ponsel saya tak berhenti bergetar. SMS bertubi-tubi dari Papa, kakak dan teman-teman yang menanyakan posisi saya terus berdatangan. 

Macet di Ungaran. Teman-teman memprediksikan saya sampai di hotel sekitar pukul tujuh malam. Sebenarnya bisa lebih awal. Tapi sopir mendahulukan mengantar paket-paket. Saya makin tak sabar. Apalagi kami melewati daerah Banyumanik, Semarang Atas. Tampak pabrik, truk-truk dan baliho sebuah minuman bersoda yang terkenal. Sejak kecil, apabila sudah sampai kawasan ini, artinya sebentar lagi kami sudah sampai di rumah eyang. Semakin ke bawah, saya melihat bukit dengan kerlap-kerlip lampu. Ini yang saya rindukan dari Semarang. Ini juga merupakan kepingan kenangan. 

Ternyata kami diantar paling akhir. Karena kami menginap di hotel di pusat kota, yang letaknya cukup dekat dengan kantor agen travel. Setelah check-in, saya bergegas mandi. Saya dahulukan bertemu dengan teman-teman saya. Mereka menjemput saya di hotel, malah membawakan makanan juga untuk Mama. Kami pun pergi. Teman saya ini ada empat. Mas Ardhelas, Mbak Odhiet, Meta dan Mas Luthfi. Kami berkenalan dan bersahabat dari sebuah aplikasi chatting dengan nama room Harry Potter. Kesukaan dan kecintaan kami akan Harry Potter membuat kami bersahabat sejak SMA hingga sekarang. 

Sambil digonceng Mas Luthfi, saya mengamati sekitar. Merasakan hawa Semarang yang hangat, menghirup aroma dan atmosfer Semarang yang selalu sama. Tak pernah berubah sejak dulu. Semarang merupakan ibu kota Jawa Tengah, tapi nuansanya tak pernah seperti ibu kota. Ini juga yang saya rindukan dari Semarang. 

Kami berlima makan malam sambil mengobrol. Tertawa bersama mereka selalu menyenangkan. Saya jarang ke Semarang. Dan ini kunjungan ke Semarang sambil bertemu mereka untuk pertama kali. Tapi setiap kemari saya seperti merasa pulang. Dewasa ini, keinginan saya untuk menyatukan kembali sepupu-sepupu dan kakak-kakak saya yang ‘hilang’ semakin besar. Arti keluarga bagi saya sangat luar biasa. Pulang dari makan malam, kami putar-putar terlebih dahulu. Melewati jalan besar di kawasan Simpang Lima, dan akhirnya, jalan Thamrin. 

Mas Luthfi orangnya anteng. Sepanjang memboncengkan saya, dia hanya diam. Mungkin ia mempersilakan saya reuni dengan atmosfer Semarang. Mungkin juga karena ia tak tahu harus berkata apa. Tapi begitu sampai di jalan Thamrin, ia menoleh ke belakang, ke arah saya, dan berkata, “Ini Thamrin,”. Dari awal berbelok dan memasuki jalan Thamrin, saya sudah merasakannya. Saya bisa bilang, ini jalan pulang. Sebentar lagi saya akan menggeser pintu kamar, mengganti baju dan bermain nintendo bersama Papa di depan Eyang. 

Laju motor Mas Luthfi sedikit melambat. Mata saya mencari angka 23. Nomor rumah Mbah Rayi, eyang saya. Hati saya mencelos. Tubuh saya lemas. Rumah itu sudah bukan lagi rumah. Ia berubah menjadi sebuah warung makan. Tak ada lagi pagar sepinggang. Tak ada lagi halaman luas dengan daun kering berserakan. Saya ingin berpegangan. Ingin memeluk seseorang, sekadar untuk menguatkan saya. Tapi saya hanya bisa berpegangan pada belakang motor. Pikiran saya kosong. 

Dua kali belok kami sudah sampai lagi di hotel. Melihat punggung teman-teman saya menjauh pulang, sebenarnya saya tak rela. Saya masih ingin menghabiskan waktu dengan mereka. Kalau bisa sampai pagi. Tertawa bersama mereka sangat menguatkan saya. Masih ingin keliling Semarang dengan mereka. Mengenal lebih jauh seperti apa rupa Semarang. Membandingkan wajah Semarang dulu dalam ingatan saya dengan Semarang yang sekarang. Malam itu, saya tak bisa tidur. Sekalinya bisa tidur, tidur saya tak nyenyak.

Saturday, 4 August 2012

JAPAN IN JUNE - Review

The more you travel, the more you marvel at how alike we actually all are.

Finally, baca bukunya Mami Donna lagi. Beda dari biasanya, buku mami yg kali ini gak bisa ditemuin di toko buku biasa. Coba aja ke Gramedia, tanya buku Japan in June, sama petugasnya akan ditunjukin buku mami Donna yg lain, atau lebih mungkin buku traveling ke Jepang. FYI, buku ini cuma bisa beli online di nulisbuku.com, kayak buku saya Lolipop Love *numpang promosi*.

Kira-kira buku ini berisi apa hayo? Kalo inget karya-karya mami macam Belanglicious, Kintaholic, Resep Cherry, Kotak Mimpi, Quarter Life Fear / Dilema, mungkin akan berpikiran "paling novel kayak biasanya lagi, dengan latar tempat Jepang, latar waktu bulan Juni (keliatan dari judul lah ya)." Well, tetoooot, Anda salah!! Buku ini bercerita pengalaman perjalanan Mami Donna dan Om Isman di Jepang bulan Juni 2011 lalu.

Biasanya saya suka agak males baca cerita perjalanan orang ke suatu tempat, kecuali kalo saya lagi riset karena mau ke tempat itu. Soalnya terkadang beberapa orang mereview perjalanannya dengan kurang menarik. Tapi keinginan ke Jepang sudah ada sejak dulu, dan Mami kan penulis terkenal *uhuk* yang gaya menulisnya selalu menarik untuk dibaca *uhuk lagi*. Penasaran juga, kayak apa sih seorang penulis menuliskan pengalaman travelingnya ke luar negeri? Bakal semenarik karyanya? Kita buktikan.

Dari awal baca halaman pertama udah ngebatin "It's gonna be fun!" Dan benar. Apa yang ditulis Mami Donna di sini berbeda dengan apa yang biasa orang tulis tentang Jepang. Ditambah khas Mami yang nyeletuk-nyeletuk lucu, buku ini jadi terasa bukan buku review traveling biasa (BBRTB). Nggak cuma cerita tentang 'kronologi' perjalanan Mami Donna dan Om Isman ke Jepang. Tapi juga tips-tips bepergian ke Jepang. Apa saja persiapannya, yg perlu dibawa, mengurus visa, sampai tata cara mandi di pemandian air panas dan tata cara makan di Jepang. Very usefull!! Terus ada foto-foto perjalanannya Mami. Ceritanya Mami juga aduuuuh bikin pengen ke Jepang. Itu..itu yang bikin pengen banget itu omamori (jimat) yang dijual di kuil. Katanya bisa mengabulkan permohonan. Ada yang bertuliskan minta jodoh, lulus kuliah, segera punya anak, lancar melahirkan, karir bagus, panjang umur. Kalo punya duit banyak itu aku beli semuanya .__. Ada juga cerita Mami waktu ke Disneyland. Seru banget ya kayaknya. *gigit-gigit bantal, peluk boneka Minnie*

Mami menceritakan pengalamannya dengan cukup mendetail, menyebutkan nama-nama makanan yang disantapnya selama perjalanan, rute perjalanan, informasi mendalam tentang suatu hal (sushi misalnya) dan banyak lagi. Nggak cuma rute perjalanan macam : hari pertama kami ke sini, lalu ke sini, trus ke sana. kami beli ini, itu, inu. Kalo saya sebutin di sini nanti jadi spoiler dong. Hihihi.

Yang jelas, ini bukan buku review traveling biasa (BBRTB). Belinya aja di tempat khusus, di nulisbuku.com. Apalagi saya dapetnya eksklusif juga, dapet tanda tangan looooh. *pamer* *ditimpuk*

Kalo saya baca buku ini saya jadi penasaran dan pengen ke Jepang, semoga review saya ini bikin penasaran dan pengen beli bukunya mami Donna. Ingat! Hanya di nulisbuku.com, bukan di tempat lain *suara iklan penjual alat kebugaran*

ITADAKIMAAAASU


ini dalemnya. fotonya berwarna uy!


Thursday, 2 August 2012

Klenteng Merah

Imlek. Tahun Baru Cina. Semua warga keturunan Tiong Hoa berduyun-duyun ke klenteng. Ramai-ramai mereka berdoa agar tahun ini penuh berkah. Apalagi ini tahun Naga. Naga dipercaya sebagai dewa yang membawa keberuntungan. Tapi, menjelang tahun baru ini sama sekali tak dirasakan hujan dan angin yang mendekati badai. Ini malah membuat para warga keturunan Cina gelisah. Tak ada angin dan tak ada hujan artinya susah mencari rejeki selama setahun mendatang. Pertunjukkan barongsai digelar semalam suntuk. Para biksu dan warga berdoa dengan khusyuk. Yang lain menonton barongsai atau duduk diam dirumah masing-masing sambil menatap langit. Berharap hujan dan angin segera datang ke bumi. 

Ni O menatap klenteng di depan rumahnya. Klenteng kini ramai dikunjungi warga, tidak hanya warga keturunan tapi juga warga lokal. Menyaksikan barongsai. Seperti tiada lelah, pemain barongsai itu terus menerus menari di balik kostum barongsai, mengedip-kedipkan mata dengan genit dan mengundang tawa. Lampion-lampion terus menyala. Ornamen naga raksasa di depan klenteng tampak gagah dan indah. Suka cita itu tak sampai di hati Ni O. Entah mengapa ia tak menikmati malam pergantian tahun Cina ini. Biasanya ia akan semalaman di klenteng. Setelah sembahyang ia akan membantu ibu-ibu di sana atau bergosip dengan para remaja. Atau bercanda dengan Han Wen, teman sejak kecilnya. 

Dari kejauhan Ni O bisa melihat Han Wen berkeringat di balik kostum barongsai warna kuning. Biasanya Ni O akan melemparkan handuk ke muka Han Wen sambil menyodorkan sebotol air mineral. Lalu Han Wen akan menjepit dirinya dengan mulut barongsai. Dan mereka tertawa bersama. Tapi kali ini tidak. 

Ni O berbaring lagi di kasurnya. Menatap langit-langit. Menyusuri garis kecoklatan bekas bocor di sana. Panjang, meliuk, seperti tubuh naga. Kamarnya bau Hio. Setengah jam yang lalu ibunya berdoa di kamarnya, sebenarnya di setiap ruangan di rumah ini. Ni O pura-pura tidur agar tidak mengganggu ibunya. Dan juga agar ia tak disuruh ke klenteng. Bukannya malas. Ia hanya sedang tidak bersemangat. 

Tiba-tiba jam besar di ruang tengah berdentang. Dua belas kali. Sudah ganti tahun. Ni O mendengar sorak sorai di klenteng. Tetapi ia juga mendengar suara tangis kecemasan samar-samar. Suara nyanyian seorang wanita menelusup di telinganya. Ni O diam, menajamkan pendengarannya. Nyanyian itu masih ada, namun kemudian hilang. Ni O duduk di kasurnya dan menatap klenteng dari jendela. Tak ada yang menyadari, mata naga raksasa itu bersinar sekejap tepat ke mata Ni O.