Raya merapikan rambutnya untuk entah yang keberapa kalinya. Ini adalah job interview keduanya setelah enam tahun ia bekerja. Ia resign dari jabatan amannya sebagai marketing senior di sebuah perusahaan furniture ternama dan sekarang ia melamar pekerjaan sebagai manager produksi di sebuah perusahaan film. Ini mimpinya. Ini keinginannya. Sejak lulus kuliah ia selalu ingin menjadi penulis skenario atau manager produksi. Ia tak terlalu mahir mengoperasikan kamera, apalagi lancang menjadi sutradara. Tapi ia ingin namanya tertulis sebagai salah satu kru yang ikut dalam sebuah produksi film. Tercantum di akhir film dan di sampul atau poster film yang ikut digarapnya. Ia tak terlalu ingin menjadi pemain film meskipun ia sempat menjadi primadona di teater kampusnya.
Seorang pria bertubuh atletis keluar dari pintu di hadapannya. Raya tegak berdiri dan menatap pria tersebut. Ia berasumsi pria ini pasti rajin nge-gym atau minimal jogging keliling kompleks dan menerapkan gaya hidup sehat. Pria itu menatapnya, tersenyum lalu menjabatnya. Raya balas menjabat dan tersenyum rikuh. Pria itu menyuruhnya duduk lagi di sofa ruang tunggu dan ikut duduk di sofa depannya. Ia mengenalkan diri sebagai Raja.
“Jadi, Anda dulu bekerja marketing?” tanya Raja. Raya mengangguk.
“Kenapa ingin bekerja dengan perusahaan kami? Saya lihat Anda tidak apply sebagai marketing, tapi manager produksi,” katanya lagi.
“Saya lulusan Ilmu Komunikasi Audio Visual, pak...,” kata-kata Raya terhenti dengan telapak tangan Raja yang terhenti di udara. “Panggil saja Raja,” katanya.
“Saya lulusan Ilmu Komunikasi Audio Visual, dan sejak dulu ingin menjadi penulis skenario atau manager produksi. Saya tak terlalu mahir mengoperasikan kamera tapi saya ingin ikut memproduksi film dan produksi....,” kata-katanya terhenti lagi. Raja bangkit dari duduknya. Raya bingung dan hampir putus asa. Duh, jangan-jangan ditolak nih, pikirnya.
“Mari ikut saya,” kata Raja. Raya meraih tasnya dan berjalan mengikuti Raja. Raja membawanya ke sebuah ruangan satu lantai di atas ruangan Raja.
“Ini ruangan manager produksi. Mungkin akan ada sedikit pembenahan, tata saja sesuai seleramu. Ini kuncinya dan datanglah hari Senin depan untuk mulai kerja. Kamu punya waktu seminggu penuh untuk renovasi ruangan ini,” kata Raja sambil menjejalkan kunci pintu ruangan di tangan Raya. Raya tertegun dan tersenyum lebar. Ingin rasanya ia memeluk pria ini tapi jelas nggak mungkin kan. Raja menepuk bahunya dan berlalu. Raya melonjak-lonjak di ruangan barunya dan mulai membayangkan mengisi perabotan apalagi di setiap sudut ruang kerja barunya.
*
Satu minggu yang diberikan Raja untuk Raya benar-benar dimanfaatkan. Ruangan yang tadinya hanya berisi meja dan kursi kini bertambah dengan lemari, buffet, karpet, kelambu, beberapa bingkai foto dan perangkat audio sederhana dan televisi kecil. Nuansa coklat dipilih Raya agar teduh, hangat dan berkesan profesional. Sebenarnya ia menyesuaikan warnanya dengan sofa panjang dan meja kopi berwarna krem tua di sudut. Perabotan ini semua ia angkut dari rumahnya. Rumah kecilnya kini menjadi sedikit lebih lega. Betapa beruntungnya Raya, mendapat pekerjaan yang ia impikan, langsung dengan posisi dan ruang khusus untuknya, bukan kubikel seperti karyawan yang lain. Padahal ia tak punya pengalaman sebagai manajer produksi. Sedikit bertanya-tanya, dan sedikit curiga. Tapi Raya menepis kecurigaannya. Ia yakin Raja tak mungkin menerimanya untuk berbuat macam-macam. Namun ia tetap akan waspada. Ia siap resign lagi sewaktu-waktu ia merasa mendapat ancaman di perusahaan ini. Semoga saja itu tak perlu ia lakukan.
Senin pertama ia bekerja, ia memilih setelan hitam andalannya. Blazer hitam dengan ujung lengan warna putih dan pantalon hitam, kemeja putih dan sepatu hitam. Simpel, klasik, nyaman dan profesional. Ia menyetir Honda Civic peninggalan ayahnya dengan puas. Sesampai di kantor, ia tertegun. Semua berpakaian sangat kasual!!
“Selamat pagi, Raya. Rapi sekali kamu. Masa hari pertama kerja sudah ada meeting dengan klien?” sapa Raja. Ia mengenakan kaus berkerah, jaket denim dan jeans serta sepatu kets.
“S..sepertinya aku salah kostum,” kata Raya gugup. Raja tergelak.
“Tak ada yang salah kostum di sini. Semua berkostum sesuai ‘skenario’ masing-masing. Jadi hari ini kamu berperan sebagai apa? Ibu direktur galak?” tanya Raja, sinar matanya jenaka. Raya tersipu dan melanjutkan langkah ke ruangannya. Ia menghela nafas lega begitu menutup pintu. Dinyalakannya TV. Tiba-tiba pintunya diketuk. Ia berseru mempersilakan masuk. Seorang wanita dengan baju ala Lolita tapi lebih simpel masuk ke ruangannya.
“Ibu Raya, ini konsep produk yang rencananya akan dibuat tahun depan,” katanya sambil meletakkan tumpukan map di meja Raya.
“Siapa namamu?” tanya Raya.
“Mai. Asisten sutradara,” jawabnya sambil tersenyum.
“Panggil saja aku Raya, Mai. Bajumu lucu sekali,” katanya. Mai tersenyum lebih lebar dan pamit keluar dari ruangan. Here we go, pikir Raya. Diraihnya map paling atas. Konsep iklan layanan masyarakat masalah kesehatan. Tugasnya sebagai manajer produksi adalah bertemu dengan kepala departemen produksi dan menentukan kru yang terlibat dalam produksi tersebut. Ia juga bisa membebaskan kepala departemen untuk memilih sendiri kru-nya. Dan ia bertanggung jawab kepada produser yang mencari dana dari para klien. Telepon di ruangannya berbunyi.
“Halo,” kata Raya.
“Raya, bisa ke ruangan aku sebentar? Bawa map yang sedang kamu pegang itu ya,” suara Raja menyentuh gendang telinga Raya dengan lembut. Raya heran, bagaimana bisa Raja tahu bahwa ia sedang memegang map dan mengetahui isi map tersebut? Bisa saja kan map lain yang ia maksud? Raya menengadah, menatap tiap sudut ruangannya, mencari kamera tersembunyi yang mungkin dipasang ketika ia tidak di kantor. Tapi hasilnya nihil. Akhirnya Raya membawa map tersebut dan berjalan menuju ruangan Raja.
“Ah, ini dia manajer produksi kita yang baru, Raya Ratih Ambarini,” kata Raja sambil membuka lengannya menyambut Raya. Di ruangan Raja ada empat orang lagi, satu wanita dan tiga pria. Raya berkenalan satu-satu dengan mereka. Si wanita yang bernama Padma, mengenakan blus berwarna hijau dan kain sari, ia benar-benar keturunan India asli. Ia bekerja sebagai marketing. Ada Ben, eksekutif produser, pria berkacamata dan agak lebih pendek dari Raja, keliatan sering gugup tanpa sebab. Lalu Pujo, pria Jawa yang mengenakan batik (dan ternyata ia memang selalu mengenakan batik), kurus tinggi dengan rambut agak spiky, ia di bagian HRD. Terakhir ada Indra, cowok jangkung dengan badan tak terlalu atletis namun apik, yang menjadi produser.
“Tenang, Raya. Aku tak pernah menyelinap ruanganmu dan memasang cctv tanpa sepengetahuanmu. Aku tadi berpapasan dengan Mai dan sempat melirik map teratas yang dibawanya. Dan aku yakin kalau kamu pasti memeriksa tumpukan map itu di hari pertama kamu kerja,” kata Raja sambil tersenyum. Raya hanya bisa tersenyum. Pria ini sepertinya berbakat cenayang atau mind reader.
“Raya, santai saja. Ikut heboh aja kayak kita,” kata Padma.
“Euh, aku memang tipe orang yang agak lama menyesuaikan diri,” jawab Raya.
“Becanda kamu? Kalau kamu memang gitu, bagaimana bisa kamu langsung berkostum ala direktur profesional begitu di hari pertama kerja? Beberapa pegawai baru di sini kebanyakan mengenakan kemeja dan celana jeans di hari pertama kerja,” sahut Indra.
“Insting,” jawab Raya, yang dibalas dengan gelak tawa Raja.
“Instingmu bagus juga ternyata,” katanya.
“Jadi, kita ngapain nih?” tanya Pujo. Raya mengakui bahwa ia sedikit terkejut dengan perubahan sikap Raja ketika menjawab pertanyaan Pujo. Ia tampak begitu berwibawa dan muncul aura pemimpinnya. Semua orang yang berada di ruangan memperhatikan setiap ucapan Raja.
“...dan Raya bisa meng-handle iklan ini untuk pembagian kru. Raya, kamu bisa mulai menghubungi setiap kepala departemen dan bertemu dengan mereka hari Rabu. Buat laporannya dan serahkan ke Indra secepatnya,” kata Raja. Raya sedikit tersentak. Ia agak kehilangan fokus dan sedikit tidak menyimak kata-kata Raja. Ia buru-buru mengangguk.
“Sip! Kalau nggak ada masalah, minggu depan kita sudah bisa take dan presentasi akhir ke klien,” tutup Raja sambil tersenyum. Semuanya kemudian kembali ke ruangan masing-masing, termasuk Raya.
“Raya, nanti kita maksi bareng ya,” ajak Padma. Raya mengangguk. Raya bermaksud untuk menghubungi para kepala departemen tapi ia kemudian sadar bahwa ia tidak tahu siapa saja dan bagaimana menghubungi mereka. Ia mencari-cari di tumpukan map yang dibawa Mai tadi pagi, barangkali terselip daftarnya. Tapi ia tak menemukan apa pun. Ia bergegas kembali ke ruangan Raja dan entah kenapa, ia lupa mengetuk pintu dan langsung masuk begitu saja.
“Raja...astaga, maaf!” seru Raya sambil cepat-cepat menutup kembali pintu ruangan Raja.
“Hey, nggak apa-apa, Raya. Masuk aja. Aku cuma pemanasan sedikit kok,” kata Raja. Alih-alih mengenakan kaus dan jaket denimnya, pria itu kini hanya mengenakan celana jeansnya dan berbaring menelungkup di karpetnya.
“Kamu sering push-up di kantor?” tanya Raya.
“Akhir-akhir ini sudah mulai jarang, dan aku merasakan akibatnya. Sering kaku otot selesai jogging,” jawab Raja sambil duduk di mejanya.
“Nge-gym?”
“Pfft, nggak. Pernah sekali tapi nggak lagi. Aku takut dengan pelatihnya yang tampak ingin menggerayangiku setiap saat,” jawab Raja membuat Raya tertawa.
“So, what can I do?”
“Aku cuma mau minta daftar kepala departemen dan nomor telepon mereka,”
“Oh, tunggu sebentar, biar ku-print-kan. Aku lupa menitipkannya pada Mai,” kata Raja sambil memutar laptop ke arahnya.
“Ini. Kalau perlu sesuatu lagi, telepon saja dari ruangan,” kata Raja.
“Thank’s ya,” kata Raya ceria sambil keluar dari ruangan diikuti pandangan Raja.
*
Pekerjaan Raya minggu ini tak terlalu berat. Para kepala departemen yang sudah bertemu Raya memutuskan untuk memilih sendiri kru yang bertugas membantu mereka. Sejauh ini Raya belum ikut dalam produksi film, masih iklan-iklan untuk televisi. Raya menikmati setiap detik yang dilaluinya dan belajar dari orang-orang sekitarnya. Ia cukup dekat dengan Denny yang bekerja sebagai penulis skenario. Denny sering membantunya berlatih menulis dan bermain mengubah skenario. Seringnya mereka tertawa ketika skenario serius yang mereka diskusikan berubah menjadi skenario komedi.
Raya sedang berlatih mengubah skenario sebuah FTV ketika pintu ruangan Denny menjeblak keras dan tiba-tiba.
“Raya, Denny, ke ruangan Raja secepatnya,” seru Indra tergesa. Raya dan Denny berlari mengikuti Indra. Raya mendapati Raja duduk di mejanya sambil melipat lengannya.
“Ada apa?” tanya Denny.
“Perusahaan kita mau dibeli sama Elang Media Group,” jawab Pujo.
“Hah? Mereka kan rival kita. Apa katanya?” tanya Denny.
“Mereka bilang perusahaan kita tak lebih dari agen iklan. Karena sudah lima tahun ini kita nggak pernah ngerjain film layar lebar,” jawab Ben sambil mengelap dahinya yang berkeringat. Raya melirik Raja. Pria itu hanya diam menatap karpet di bawahnya.
“Mau bagaimana lagi? Film layar lebar di sini rata-rata film horor seksis. Sementara itu tidak sesuai dengan tujuan perusahaan kita,” sahut Padma.
“Tidak bisakah kita membuatnya sendiri?” tanya Raya yang agak menyesali pertanyaannya karena seluruh orang yang ada di ruangan menatapnya, kecuali Raja.
“Film layar lebar nggak semurah FTV atau iklan, Raya. Kita mau pakai artis yang mana? Kalau film layar lebar tanpa artis yang dikenal masyarakat, kita bisa tekor. Cerita yang kita buat harus sangat kuat. Persaingan di dunia perfilman layar lebar nggak sama dengan FTV,” jawab Indra.
“Ada baiknya kita mencoba. Kita pikirkan dulu cerita apa yang mau kita buat,” jawab Raya.
“Waktu yang diberikan Elang Media Group hanya tiga minggu. Kalau dalam waktu itu kita tidak bisa membuat cerita film layar lebar dan mendapat klien dan sponsor, habis,” jawab Padma. Raya menatap Raja.
“Raja....,” panggil Raya. Raja diam, masih dengan posisi yang sama.
“Mungkin, inilah yang terbaik buat kita....,” kata Ben lirih.
“No! Don’t give up, guys,” kata Raya.
“Apa? Bilang aja kamu nggak mau kehilangan jabatanmu yang baru seumur jagung kan?” sahut Padma.
“Ap...bukan itu!” jawab Raya.
“Yaudah, kalo gitu, coba kamu beri kita ide cerita....,”
“Cukup. Ini masalah kita bersama. Jangan dibebankan hanya pada satu orang,” sela Raja. Raya menatapnya sambil menghela nafas.
“Kita pikirkan ini bersama. Minggu depan semua presentasi ide cerita masing-masing, lebih bagus lagi kalau ada yang punya strategi pemasaran dan penggunaan budget lebih sedikit dari standar. Sekarang bubar,” kata Raja. Semua menurut.
“Raja, I’m sorry for my big mouth...,” kata Raya menyesal.
“It’s ok. Aku juga nggak rela perusahaan ini jatuh gitu aja di tangan mereka. Satu-satunya jalan ya kayak yang kamu omongin,” jawab Raja. Raya menunduk.
“Hey, don’t be sad. Kamu nggak salah kok,” kata Raja sambil mendongakkan wajah Raya yang tertunduk.
“Dan lagi, you don’t have a big mouth but....,” kata Raja menggantung. Raya menelengkan kepalanya, menunggu lanjutannya. Raja mendekatkan kepalanya dan berbisik di telinga Raya, menyergapi hidung mungil Raya dengan parfum Raja yang segar.
“....you have a little sexy lips,” lanjut Raja, membuat mata Raya membelalak dan memukul lengan Raja. Raja tergelak.