Monday, 20 May 2013

Monolog Hati

Di sini lah aku, kembali pada waktu lalu. Seakan jarum jam diputar terbalik ke masa itu. Rasanya sama. Getirnya, sakitnya, nyerinya. Semua sama. Hanya karena kesalahpahaman, serta keegoisan, sifat dasar manusia. Keinginan memilikinya menutupi semua logika yang kupunya. Dan pada akhirnya semua terulang. Meski dengan pribadi yang berbeda. 

Aku pernah berpikir, akankah aku kembali? Akankah bisa aku merasakan lagi rasa sayang yang membuncah? Keinginan untuk memilikinya hanya untukku seorang? Keinginan untuk mendekapnya. Pada akhirnya aku memang sempat mendekapnya. Merasakan hangatnya. Tetapi kemudian kini, ketika jarak memisahkan, sesuatu dalam diriku berbicara. Raganya memang kupeluk, tangannya memang merengkuhku, tetapi apakah itu menjangkau hingga ke dalam hatinya? Pernah aku menulis kepada seorang sahabat, percuma menggandeng tangannya jika tak ada rasa. Percikannya tak ada. Dan kemudian aku terdiam. Apakah itu yang ada padanya? 

Aku mengabaikan banyak tanda. Aku sudah diwanti-wanti sejak awal. Tapi semua kukesampingkan. Hanya karena aku terus memberinya kesempatan. 

Ada dua kubu dalam diriku. Kubu yang menunggu, dan kubu yang berlalu. Apakah kau memintaku untuk menunggu? Kalau aku terlanjur menunggu, ternyata kau sendiri tak sadar jika kutunggu, atau bahkan kau tak ingin aku menunggu, maka waktuku terbuang percuma hanya untukmu. Tetapi jika aku berlalu, tapi kemudian hari kau datang dan menuntut. Membalik semua dan menyuruhku kembali, tapi aku terlanjur melepasmu, harus bagaimana lagi aku? 

Aku sempat lupa semua perkataanmu yang lalu. Bagaimana bisa aku ingat jika kau tak memberi tanda padaku? Rasanya seperti melayang kemudian jatuh seketika. Sama persis seperti waktu itu. Kala itu mungkin kau belum datang. Tetapi aku mengenali tandanya. Sama. Persis. Hanya saja saat itu aku berhak menuntut, berhak menangis, berhak marah. Tetapi yang sekarang, aku pikir aku bodoh jika aku kembali merasakan sakit hanya untuk seseorang yang bahkan tak jelas maunya apa. Atau aku saja yang kurang memahamimu? Bagaimana aku bisa paham kalau kau kemudian memasang palang itu? Perkataanmu yang lain kala itu. Ambigu. Ada saat di mana kau terkesan ingin ditunggu. Tetapi ada pula saat di mana kau ingin menjauh. Harusnya kubiarkan saja. Harusnya jangan kurasakan. Harusnya jangan kuharapkan. Harusnya biar saja kita menikmati indahnya. Tetapi aku lupa. Ketiadaanmu secara mendadak dalam lingkaranku, padahal kau terus berkeliaran di sekitarnya, membuatku menggila. Menuntut penjelasan. Penjelasan atas semuanya. Padahal aku tahu kamu bukan orang yang demikian. 

Kau bilang kau tidak terbiasa bicara. Kau pernah bilang kau tak biasa dicari. Bagaimana kalau aku ingin mencarimu? Mengertimu? Bagaimana kalau aku ingin kau terbiasa dicari? Karena tak selamanya kau sendirian bukan? Sampai saat ini, hingga tulisan ini aku henti, aku masih belum mengerti.

Friday, 17 May 2013

Gemini

Kadang, ketika kita menginginkan sesuatu dengan berlebihan, kita jadi mentolerir dan memaklumi kekurangan dari sesuatu tersebut, asalkan kita bisa mendapatkannya pada akhirnya. Misalnya ketika kita menginginkan sebuah buku yang sudah kita cari kemana-mana dan baru ketemu saat itu. Tapi buku itu sudah lama, lecek, kekuningan. Namun karena kita suka, kita ingin mendapatkannya, kita memaklumi dan tetap menerima kondisi buku tersebut yang sudah lusuh dan ringkih, asal buku itu menjadi milik kita. 

Tetapi yang namanya manusia entah kenapa selalu tak pernah merasa puas. Ketika kita sudah memilikinya (atau merasa memilikinya), kita maunya lebih. Ketika buku lusuh itu di tangan kita, kita buka per lembarnya, lalu salah satu halamannya lepas, yang kemudian diikuti halaman-halaman lain juga lepas, kita lalu menggerutu. Menyalahkan kenapa buku ini ringkih sekali, lusuh sekali. Menyalahkan pemilik sebelumnya yang tidak hati-hati dan membuat kita repot karena bukunya tak utuh lagi. Padahal sebelumnya kita sudah diwanti-wanti, bahwa buku ini sudah kehilangan kekuatannya, keremajaannya, dan kesegarannya. Dan kita dengan semangatnya bilang, "tidak apa-apa, namanya juga buku tua, asal saya bisa membacanya dan koleksi saya terpenuhi kelengkapannya". Tetapi ketika di rumah, bibir kita kemudian berucap, "Aduh, lusuh sekali, halamannya lembap, lepas-lepas, gampang sobek. Ini yang punya dulu bagaimana merawatnya sih sampai bisa jadi begini?" 

Sama dalam sebuah hubungan. Ketika kita menyukai seseorang, ingin memilikinya, padahal kita sudah diberi peringatan di awal, kekurangannya seperti ini. Namun karena kita ingin memilikinya, ingin memiliki hangat dan senyumnya, serta tangannya yang menggenggam menenangkan, kita mengesampingkan kekurangannya. "Tak apa-apa, aku bisa menerima kesibukanmu. Diduakan karena pekerjaan itu aku sudah biasa, tapi diduakan karena hati kamu buat orang lain itu yang aku nggak bisa. Asal aku bisa bersamamu, bisa menjadi milikmu, dan kamu menjadi orang yang aku tahu memilikiku"

Namun ketika hubungan itu berjalan, kau sudah merasa memilikinya, karena tangan hangatnya sudah merengkuhmu dengan begitu lembut, senyumnya tersungging setiap saat ketika bersamamu, hingga pada suatu ketika kau mulai mempermasalahkan saat di mana ia tak bisa bersamamu. "Aku sakit, tak bisa kah kau peduli sejenak? Sms menanyakan kabar saja cukup." Atau "Kenapa tak merespon? Kenapa tak membalas? Sedangkan dengan yang lain saja kau bisa begitu lepas bercengkrama. Kenapa denganku tidak?" 

Tak adanya respon itu kemudian menjadikannya semakin blingsatan. Ia merasa termarjinalkan, merasa terkesampingkan. Ia tahu konsekuensinya, tetapi masih saja ia menuntut. Meminta celah sesedikit mungkin, sebaris kalimat penyemangat, secarik tulisan penenang. Seperti pecandu yang mulai tak tenang ketika zat adiktifnya mulai hilang. Meracau tak jelas dan terperangkap dalam pemikirannya sendiri. Asal ia tahu, yang di sana sebenarnya mengkhawatirkan, memperhatikan, dan ikut memikirkan. Meski mungkin saja tidak.

Friday, 26 April 2013

Raya dan Raja

Raya merapikan rambutnya untuk entah yang keberapa kalinya. Ini adalah job interview keduanya setelah enam tahun ia bekerja. Ia resign dari jabatan amannya sebagai marketing senior di sebuah perusahaan furniture ternama dan sekarang ia melamar pekerjaan sebagai manager produksi di sebuah perusahaan film. Ini mimpinya. Ini keinginannya. Sejak lulus kuliah ia selalu ingin menjadi penulis skenario atau manager produksi. Ia tak terlalu mahir mengoperasikan kamera, apalagi lancang menjadi sutradara. Tapi ia ingin namanya tertulis sebagai salah satu kru yang ikut dalam sebuah produksi film. Tercantum di akhir film dan di sampul atau poster film yang ikut digarapnya. Ia tak terlalu ingin menjadi pemain film meskipun ia sempat menjadi primadona di teater kampusnya. 

Seorang pria bertubuh atletis keluar dari pintu di hadapannya. Raya tegak berdiri dan menatap pria tersebut. Ia berasumsi pria ini pasti rajin nge-gym atau minimal jogging keliling kompleks dan menerapkan gaya hidup sehat. Pria itu menatapnya, tersenyum lalu menjabatnya. Raya balas menjabat dan tersenyum rikuh. Pria itu menyuruhnya duduk lagi di sofa ruang tunggu dan ikut duduk di sofa depannya. Ia mengenalkan diri sebagai Raja. 

“Jadi, Anda dulu bekerja marketing?” tanya Raja. Raya mengangguk. 

“Kenapa ingin bekerja dengan perusahaan kami? Saya lihat Anda tidak apply sebagai marketing, tapi manager produksi,” katanya lagi. 

“Saya lulusan Ilmu Komunikasi Audio Visual, pak...,” kata-kata Raya terhenti dengan telapak tangan Raja yang terhenti di udara. “Panggil saja Raja,” katanya. 

“Saya lulusan Ilmu Komunikasi Audio Visual, dan sejak dulu ingin menjadi penulis skenario atau manager produksi. Saya tak terlalu mahir mengoperasikan kamera tapi saya ingin ikut memproduksi film dan produksi....,” kata-katanya terhenti lagi. Raja bangkit dari duduknya. Raya bingung dan hampir putus asa. Duh, jangan-jangan ditolak nih, pikirnya. 

“Mari ikut saya,” kata Raja. Raya meraih tasnya dan berjalan mengikuti Raja. Raja membawanya ke sebuah ruangan satu lantai di atas ruangan Raja. 

“Ini ruangan manager produksi. Mungkin akan ada sedikit pembenahan, tata saja sesuai seleramu. Ini kuncinya dan datanglah hari Senin depan untuk mulai kerja. Kamu punya waktu seminggu penuh untuk renovasi ruangan ini,” kata Raja sambil menjejalkan kunci pintu ruangan di tangan Raya. Raya tertegun dan tersenyum lebar. Ingin rasanya ia memeluk pria ini tapi jelas nggak mungkin kan. Raja menepuk bahunya dan berlalu. Raya melonjak-lonjak di ruangan barunya dan mulai membayangkan mengisi perabotan apalagi di setiap sudut ruang kerja barunya. 

*

Satu minggu yang diberikan Raja untuk Raya benar-benar dimanfaatkan. Ruangan yang tadinya hanya berisi meja dan kursi kini bertambah dengan lemari, buffet, karpet, kelambu, beberapa bingkai foto dan perangkat audio sederhana dan televisi kecil. Nuansa coklat dipilih Raya agar teduh, hangat dan berkesan profesional. Sebenarnya ia menyesuaikan warnanya dengan sofa panjang dan meja kopi berwarna krem tua di sudut. Perabotan ini semua ia angkut dari rumahnya. Rumah kecilnya kini menjadi sedikit lebih lega. Betapa beruntungnya Raya, mendapat pekerjaan yang ia impikan, langsung dengan posisi dan ruang khusus untuknya, bukan kubikel seperti karyawan yang lain. Padahal ia tak punya pengalaman sebagai manajer produksi. Sedikit bertanya-tanya, dan sedikit curiga. Tapi Raya menepis kecurigaannya. Ia yakin Raja tak mungkin menerimanya untuk berbuat macam-macam. Namun ia tetap akan waspada. Ia siap resign lagi sewaktu-waktu ia merasa mendapat ancaman di perusahaan ini. Semoga saja itu tak perlu ia lakukan. 

Senin pertama ia bekerja, ia memilih setelan hitam andalannya. Blazer hitam dengan ujung lengan warna putih dan pantalon hitam, kemeja putih dan sepatu hitam. Simpel, klasik, nyaman dan profesional. Ia menyetir Honda Civic peninggalan ayahnya dengan puas. Sesampai di kantor, ia tertegun. Semua berpakaian sangat kasual!! 

“Selamat pagi, Raya. Rapi sekali kamu. Masa hari pertama kerja sudah ada meeting dengan klien?” sapa Raja. Ia mengenakan kaus berkerah, jaket denim dan jeans serta sepatu kets. 

“S..sepertinya aku salah kostum,” kata Raya gugup. Raja tergelak. 

“Tak ada yang salah kostum di sini. Semua berkostum sesuai ‘skenario’ masing-masing. Jadi hari ini kamu berperan sebagai apa? Ibu direktur galak?” tanya Raja, sinar matanya jenaka. Raya tersipu dan melanjutkan langkah ke ruangannya. Ia menghela nafas lega begitu menutup pintu. Dinyalakannya TV. Tiba-tiba pintunya diketuk. Ia berseru mempersilakan masuk. Seorang wanita dengan baju ala Lolita tapi lebih simpel masuk ke ruangannya. 

“Ibu Raya, ini konsep produk yang rencananya akan dibuat tahun depan,” katanya sambil meletakkan tumpukan map di meja Raya. 

“Siapa namamu?” tanya Raya. 

“Mai. Asisten sutradara,” jawabnya sambil tersenyum. 

“Panggil saja aku Raya, Mai. Bajumu lucu sekali,” katanya. Mai tersenyum lebih lebar dan pamit keluar dari ruangan. Here we go, pikir Raya. Diraihnya map paling atas. Konsep iklan layanan masyarakat masalah kesehatan. Tugasnya sebagai manajer produksi adalah bertemu dengan kepala departemen produksi dan menentukan kru yang terlibat dalam produksi tersebut. Ia juga bisa membebaskan kepala departemen untuk memilih sendiri kru-nya. Dan ia bertanggung jawab kepada produser yang mencari dana dari para klien. Telepon di ruangannya berbunyi. 

“Halo,” kata Raya. 

“Raya, bisa ke ruangan aku sebentar? Bawa map yang sedang kamu pegang itu ya,” suara Raja menyentuh gendang telinga Raya dengan lembut. Raya heran, bagaimana bisa Raja tahu bahwa ia sedang memegang map dan mengetahui isi map tersebut? Bisa saja kan map lain yang ia maksud? Raya menengadah, menatap tiap sudut ruangannya, mencari kamera tersembunyi yang mungkin dipasang ketika ia tidak di kantor. Tapi hasilnya nihil. Akhirnya Raya membawa map tersebut dan berjalan menuju ruangan Raja. 

“Ah, ini dia manajer produksi kita yang baru, Raya Ratih Ambarini,” kata Raja sambil membuka lengannya menyambut Raya. Di ruangan Raja ada empat orang lagi, satu wanita dan tiga pria. Raya berkenalan satu-satu dengan mereka. Si wanita yang bernama Padma, mengenakan blus berwarna hijau dan kain sari, ia benar-benar keturunan India asli. Ia bekerja sebagai marketing. Ada Ben, eksekutif produser, pria berkacamata dan agak lebih pendek dari Raja, keliatan sering gugup tanpa sebab. Lalu Pujo, pria Jawa yang mengenakan batik (dan ternyata ia memang selalu mengenakan batik), kurus tinggi dengan rambut agak spiky, ia di bagian HRD. Terakhir ada Indra, cowok jangkung dengan badan tak terlalu atletis namun apik, yang menjadi produser. 

“Tenang, Raya. Aku tak pernah menyelinap ruanganmu dan memasang cctv tanpa sepengetahuanmu. Aku tadi berpapasan dengan Mai dan sempat melirik map teratas yang dibawanya. Dan aku yakin kalau kamu pasti memeriksa tumpukan map itu di hari pertama kamu kerja,” kata Raja sambil tersenyum. Raya hanya bisa tersenyum. Pria ini sepertinya berbakat cenayang atau mind reader. 

“Raya, santai saja. Ikut heboh aja kayak kita,” kata Padma. 

“Euh, aku memang tipe orang yang agak lama menyesuaikan diri,” jawab Raya. 

“Becanda kamu? Kalau kamu memang gitu, bagaimana bisa kamu langsung berkostum ala direktur profesional begitu di hari pertama kerja? Beberapa pegawai baru di sini kebanyakan mengenakan kemeja dan celana jeans di hari pertama kerja,” sahut Indra. 

“Insting,” jawab Raya, yang dibalas dengan gelak tawa Raja. 

“Instingmu bagus juga ternyata,” katanya. 

“Jadi, kita ngapain nih?” tanya Pujo. Raya mengakui bahwa ia sedikit terkejut dengan perubahan sikap Raja ketika menjawab pertanyaan Pujo. Ia tampak begitu berwibawa dan muncul aura pemimpinnya. Semua orang yang berada di ruangan memperhatikan setiap ucapan Raja. 

“...dan Raya bisa meng-handle iklan ini untuk pembagian kru. Raya, kamu bisa mulai menghubungi setiap kepala departemen dan bertemu dengan mereka hari Rabu. Buat laporannya dan serahkan ke Indra secepatnya,” kata Raja. Raya sedikit tersentak. Ia agak kehilangan fokus dan sedikit tidak menyimak kata-kata Raja. Ia buru-buru mengangguk. 

“Sip! Kalau nggak ada masalah, minggu depan kita sudah bisa take dan presentasi akhir ke klien,” tutup Raja sambil tersenyum. Semuanya kemudian kembali ke ruangan masing-masing, termasuk Raya. 

“Raya, nanti kita maksi bareng ya,” ajak Padma. Raya mengangguk. Raya bermaksud untuk menghubungi para kepala departemen tapi ia kemudian sadar bahwa ia tidak tahu siapa saja dan bagaimana menghubungi mereka. Ia mencari-cari di tumpukan map yang dibawa Mai tadi pagi, barangkali terselip daftarnya. Tapi ia tak menemukan apa pun. Ia bergegas kembali ke ruangan Raja dan entah kenapa, ia lupa mengetuk pintu dan langsung masuk begitu saja. 

“Raja...astaga, maaf!” seru Raya sambil cepat-cepat menutup kembali pintu ruangan Raja. 

“Hey, nggak apa-apa, Raya. Masuk aja. Aku cuma pemanasan sedikit kok,” kata Raja. Alih-alih mengenakan kaus dan jaket denimnya, pria itu kini hanya mengenakan celana jeansnya dan berbaring menelungkup di karpetnya. 

“Kamu sering push-up di kantor?” tanya Raya. 

“Akhir-akhir ini sudah mulai jarang, dan aku merasakan akibatnya. Sering kaku otot selesai jogging,” jawab Raja sambil duduk di mejanya. 

“Nge-gym?” 

“Pfft, nggak. Pernah sekali tapi nggak lagi. Aku takut dengan pelatihnya yang tampak ingin menggerayangiku setiap saat,” jawab Raja membuat Raya tertawa. 

“So, what can I do?” 

“Aku cuma mau minta daftar kepala departemen dan nomor telepon mereka,” 

“Oh, tunggu sebentar, biar ku-print-kan. Aku lupa menitipkannya pada Mai,” kata Raja sambil memutar laptop ke arahnya. 

“Ini. Kalau perlu sesuatu lagi, telepon saja dari ruangan,” kata Raja. 

“Thank’s ya,” kata Raya ceria sambil keluar dari ruangan diikuti pandangan Raja. 

*

Pekerjaan Raya minggu ini tak terlalu berat. Para kepala departemen yang sudah bertemu Raya memutuskan untuk memilih sendiri kru yang bertugas membantu mereka. Sejauh ini Raya belum ikut dalam produksi film, masih iklan-iklan untuk televisi. Raya menikmati setiap detik yang dilaluinya dan belajar dari orang-orang sekitarnya. Ia cukup dekat dengan Denny yang bekerja sebagai penulis skenario. Denny sering membantunya berlatih menulis dan bermain mengubah skenario. Seringnya mereka tertawa ketika skenario serius yang mereka diskusikan berubah menjadi skenario komedi. 

Raya sedang berlatih mengubah skenario sebuah FTV ketika pintu ruangan Denny menjeblak keras dan tiba-tiba. 

“Raya, Denny, ke ruangan Raja secepatnya,” seru Indra tergesa. Raya dan Denny berlari mengikuti Indra. Raya mendapati Raja duduk di mejanya sambil melipat lengannya. 

“Ada apa?” tanya Denny. 

“Perusahaan kita mau dibeli sama Elang Media Group,” jawab Pujo. 

“Hah? Mereka kan rival kita. Apa katanya?” tanya Denny. 

“Mereka bilang perusahaan kita tak lebih dari agen iklan. Karena sudah lima tahun ini kita nggak pernah ngerjain film layar lebar,” jawab Ben sambil mengelap dahinya yang berkeringat. Raya melirik Raja. Pria itu hanya diam menatap karpet di bawahnya. 

“Mau bagaimana lagi? Film layar lebar di sini rata-rata film horor seksis. Sementara itu tidak sesuai dengan tujuan perusahaan kita,” sahut Padma. 

“Tidak bisakah kita membuatnya sendiri?” tanya Raya yang agak menyesali pertanyaannya karena seluruh orang yang ada di ruangan menatapnya, kecuali Raja. 

“Film layar lebar nggak semurah FTV atau iklan, Raya. Kita mau pakai artis yang mana? Kalau film layar lebar tanpa artis yang dikenal masyarakat, kita bisa tekor. Cerita yang kita buat harus sangat kuat. Persaingan di dunia perfilman layar lebar nggak sama dengan FTV,” jawab Indra. 

“Ada baiknya kita mencoba. Kita pikirkan dulu cerita apa yang mau kita buat,” jawab Raya. 

“Waktu yang diberikan Elang Media Group hanya tiga minggu. Kalau dalam waktu itu kita tidak bisa membuat cerita film layar lebar dan mendapat klien dan sponsor, habis,” jawab Padma. Raya menatap Raja. 

“Raja....,” panggil Raya. Raja diam, masih dengan posisi yang sama. 

“Mungkin, inilah yang terbaik buat kita....,” kata Ben lirih. 

“No! Don’t give up, guys,” kata Raya. 

“Apa? Bilang aja kamu nggak mau kehilangan jabatanmu yang baru seumur jagung kan?” sahut Padma. 

“Ap...bukan itu!” jawab Raya. 

“Yaudah, kalo gitu, coba kamu beri kita ide cerita....,” 

“Cukup. Ini masalah kita bersama. Jangan dibebankan hanya pada satu orang,” sela Raja. Raya menatapnya sambil menghela nafas. 

“Kita pikirkan ini bersama. Minggu depan semua presentasi ide cerita masing-masing, lebih bagus lagi kalau ada yang punya strategi pemasaran dan penggunaan budget lebih sedikit dari standar. Sekarang bubar,” kata Raja. Semua menurut. 

“Raja, I’m sorry for my big mouth...,” kata Raya menyesal. 

“It’s ok. Aku juga nggak rela perusahaan ini jatuh gitu aja di tangan mereka. Satu-satunya jalan ya kayak yang kamu omongin,” jawab Raja. Raya menunduk. 

“Hey, don’t be sad. Kamu nggak salah kok,” kata Raja sambil mendongakkan wajah Raya yang tertunduk. 

“Dan lagi, you don’t have a big mouth but....,” kata Raja menggantung. Raya menelengkan kepalanya, menunggu lanjutannya. Raja mendekatkan kepalanya dan berbisik di telinga Raya, menyergapi hidung mungil Raya dengan parfum Raja yang segar. 

“....you have a little sexy lips,” lanjut Raja, membuat mata Raya membelalak dan memukul lengan Raja. Raja tergelak. 

Thursday, 18 April 2013

Penyulut Kenangan

Apa yang membangkitkan kenangan? Ia menjawab ingatan. Ia yang lain menjawab kesendirian. Sedangkan dia yang di sana menjawab hujan deras kala senja. Masing-masing memiliki cara tersendiri untuk membangkitkan kenangan. Masing-masing mempunyai apa yang kusebut penyulut, untuk membangkitkan kenangan. Kenangan apa saja. Kenangan yang disimpan. Kenangan yang terlupa. Kenangan yang sengaja dilupa. 

Kenangan yang disimpan. Kenangan yang dengan penuh sadar kau simpan pada laci-laci dalam kepalamu. Kenangan yang kapan pun kau mau untuk kau ingat bisa muncul dengan mudahnya. Lengkap dengan detil-detil dan remeh temeh yang kau lalui. Kenangan ini bisa menyenangkan. Bisa juga membuatmu menertawakannya karena malu. Tetapi ada juga kenangan perih yang sengaja disimpan. Yang begini biasanya menyimpan dendam. 

Kenangan yang terlupa. Ketika sebuah peristiwa kau lalui, kau mengingatnya di awal. Namun kala hidupmu berlanjut, dan kau merasa tak punya waktu luang untuk mengingatnya, kenangan itu sejenak hilang. Kenangan ini akan bangkit kala kau bertemu dengan sebuah penyulutnya. Mungkin kau melihat, mendengar, mencium, mengecap dan merabanya. Lalu sesuatu dalam kepalamu mendadak mengetuk-ketuk. Sesekali semua detil dalam kenangan itu langsung merekah terang. Tak jarang pula berupa kenangan semu. Yang mereka sebut dengan deja vu. Kau merasa pernah melihat, mendengar, mencium, mengecap dan merabanya. Tetapi butuh penyulut lain untuk membantumu membuat kenangan itu menjadi terang dan jelas. Yang ketika kau tak kunjung menemukannya bisa membuatmu gelisah penasaran, dan ketika akhirnya kau mendapatkannya bisa membuatmu melonjak begitu bahagia. 

Kenangan yang dilupa. Dengan sengaja memori itu dilupakan. Dihempas, dibuang, dilempar jauh-jauh. Biasanya berupa kenangan yang menyebabkan nyeri pada benakmu. Hingga kau memutuskan untuk tak mengingatnya lagi. Tetapi terkadang kenangan itu dapat muncul ketika kau bertemu dengan penyulut. Kalau kau bisa berdamai dengannya, maka tak akan mengganggumu begitu rupa. Tetapi kalau kau masih mendendam padanya, nyeri itu jelas akan datang. Membetotmu dengan kepalannya. Luka mungkin bisa sembuh, tetapi bekas itu masih ada. 

Penyulut kenangan. Lebih banyak berupa pendukung suasana saat kenangan itu dibuat. Bisa alunan lagu, yang kala kau mengalaminya dan lagu itu mengalun dengan santainya lalu kau dengarkan dengan seksama. Ketika kau mendengarnya terkadang bukan hanya ingatanmu yang membawamu ke sana. Tetapi juga rasanya. Mendadak dadamu sesak dan hatimu mencelos tak keruan. Saking begitu kau mendalami baik nada maupun liriknya. Tetapi lagu itu bisa juga membuatmu ingin tenggelam di dalamnya. Kau biarkan dirimu larut dalam kenangan lama, mensyukuri bahwa kau dikaruniai kenangan indah begitu rupa, tetapi juga sekaligus sedih karena tahu bahwa itu tak bisa terulang. 

Penyulut kenangan bisa juga berupa aroma. Saat kenangan itu kau buat, angin di sekitarmu menghembuskan aroma khas yang begitu kuat. Aroma tubuh, aroma hujan, segala macam wewangian. Ketika kau merindunya kau bisa menghadirkan aroma tersebut di sekitarmu. Endus dan hiruplah sesukamu. Tetapi yang begini malah menciptakan sendu. Karena betapa miripnya aroma itu, tetap tak akan sama bila tanpa memelukmu.

Manusia dan Cinta

Cinta. Tak ada yang pernah tahu kapan datangnya. Terkadang manusia yang dihinggapi cinta tak siap menerimanya saking terlalu mendadaknya ia datang. Tak jarang pula, mereka mengabaikannya, menganggapnya sebagai rasa sesaat, rasa kagum saja. Dan ketika ia mulai menjauh, manusia itu baru sadar bahwa itulah cinta untuknya. Beberapa dari mereka mampu mengejarnya kembali, mendapatkan dan menyimpannya dengan apik. Tetapi beberapa dari mereka tak memiliki cukup kekuatan untuk mengejar dan memeluknya kembali. Mereka ini kemudian terbagi lagi, ada yang kemudian berjalan menjauh dan melupakannya, ada pula yang kemudian memutuskan untuk meratap dan tenggelam dalam penyesalan. Hingga akhirnya jiwanya rapuh dan lemah. Atau menjadi terlalu kaku dan membangun benteng perlindungan yang kokoh untuknya bersembunyi.

Ada pula yang meragu. Tetapi kemudian membiarkan cinta itu menelusupi ruang kalbunya. Memberi kesempatan pada hatinya untuk mencicip, mengecap dan menilai, pantaskah cinta yang ini untuk dilanjutkan. Waktu memutar membuatnya terbiasa. Terbiasa akan manis, terbiasa akan hangat, terbiasa akan wangi, terbiasa akan semua keindahan yang ditawarkan. Dan kemudian berjalan begitu mulusnya hingga saat semua sudah didapatnya, ia sedikit lupa akan jalannya yang indah. Prosesnya yang megah tetapi lembut memanja. Tetapi beberapa manusia ada juga yang membiarkan cinta itu merasuk ke dalam hatinya. Namun ia menemukan duri di dalamnya. Saat itu ia ada di persimpangan. Berhenti mengecap cinta, atau meneruskannya. Menikmati keindahan sekaligus kesakitan yang ditimbulkan. Ada yang bertahan. Ada yang jatuh. Yang bertahan itu berusaha untuk menjadikan cinta itu miliknya seorang. Utuh tak terbagi. Yang jatuh itu merapuh. Bisa saja ia tak percaya lagi pada cinta. Bisa juga dia memohon dengan lemah.

Ada yang bahagia, ada yang terluka. Urusan hati dan cinta memang tak pernah bisa sederhana. Saat tubuhnya diisi dengan logika, ia mampu berpikir segala macam kemungkinan jika ia terjebak di dalamnya. Tetapi ketika raganya dipenuhi oleh emosi cinta, otaknya seakan buntu. Dan segala keputusan yang diambilnya merupakan dorongan keinginan untuk terpuaskan oleh cinta yang utuh. Manusia dikuasai oleh keegoisan, salah satu sifat dasar manusia yang tak bisa diubah. Karena keinginannya untuk terus didekap hangat, dibelai halus dan dicium lembut. Tinggal bagaimana ia bisa menahan dan mengatur emosinya agar tak terlalu menggebu.

Seorang ibu bijak berkata padaku, ketika cinta yang kau terima masih berupa sesuatu yang semu, yang belum terikat oleh hukum dan norma yang berlaku, cintailah cinta itu dengan logikamu. Namun ketika saatnya tiba, saat kamu dan dia bersatu atas nama cinta yang disaksikan dan diikat oleh hukum yang menaungimu, cintailah ia dengan hatimu. Cintai dia dengan segala emosimu. Milikilah dengan segenap jiwa dan kemampuanmu. Dan pertahankan itu sesuai sumpah yang telah kau ucapkan dan kau sepakati kala itu.

Tetapi, tetap saja. Urusan hati dan cinta memang tak pernah bisa sederhana.......

Monday, 8 April 2013

Plurk Surabaya, SAVE DOLANAN

Sooooo much fun!!! Tanggal 7 April 2013 kemarin, Plurker Surabaya ngadain acara kopdar di Taman Ekspresi, Surabaya. Acara kopdarnya nggak cuma sekedar ngumpul, nyemil ngobrol, hahahihi dan foto-foto. Tapi kita bikin acara yang beda dari acara kopdar biasanya. Diberi judul SAVE DOLANAN, karena di acara ini kita memainkan permainan anak-anak kayak Lompat Tali, Gobak Sodor, Engklek, Ceblek Nyamuk sama Bekel. Untuk Bola Bekel malah dilombain. Jadi kita nostalgila, rendevouz, flash back, apalah itu namanya sama permainan yang pernah kita mainin waktu kecil dulu. Banyak yang lupa, nggak dikit juga yang malah nggak tau. Tapi di sini kita have fun kok, seru dan lucu!

Mulai dari jam 6 sampai jam 7 pagi, para Plurker sedikit-sedikit mulai berdatangan. Masing-masing Plurker membawa makanan untuk nanti dimakan bareng-bareng dan kado yang dibungkus kertas koran untuk nanti tukeran. Lalu yang baru dateng diabsen. Setelah absen, bayar Rp.10.000 buat dapet stiker dan pin Plurk Surabaya. Amazing, yang dateng sekitar 32 orang lho! Gak cuma dari Surabaya, tapi yang dari Lamongan, Madura, bahkan Kediri nyempetin dateng. 

Jam 8 acara dimulai. Kita semua berdiri membentuk lingkaran. Diawali dengan ice breaking (semacam memukul es pake palu. Nggak ding) oleh Ari (@adaaridisini). Lalu speech dari Ketua Panitia cadangan Icub (@submonkey) dilanjut permainan pertama bareng-bareng, Kucing-Kucingan. Itu lhoooo, yang semuanya melingkar, trus ada yang jadi kucing ama jadi tikus, kucingnya nguber si tikus, tikusnya kita lindungin. Nah, selesai main Kucing-Kucingan, pembagian kelompok untuk empat permainan.

Permainan pertama Gobak Sodor, yang katanya bernama asli Go Back To Door. Trus permainan kedua ada Lompat Tali, permainan ketiga itu Engklek, permainan keempat Ceblek Nyamuk. Masing-masing permainan dikasih waktu 15 menit, lalu rolling. Jadi yang abis main Gobak Sodor, ganti main Lompat Tali, dsb, dst.

Setelah semua kelompok kebagian mainin semua permainan, istirahat sebentar lalu lanjut olimpiade Bola Bekel. Aku gak menang, hiks. Meratap. Pemenangnya, Juara 1 Mbak Erta(@erta_puri_rosidiani), Juara 2 Fenni (@fye_cute), Juara 3 Nana (@nanaemyu). Karena doorprize masih banyak, maka doorprize diberikan kepada yang punya karma terrendah (@prisdy_pepez) dan karma tertinggi (@anindrustiyan uhukk).
Setelah itu tukar kado!!Untuk kado ini, nominal harganya nggak boleh lebih dari Rp. 5000. Tapi curiga kayaknya ada yang menyalahi aturan. 
Trus juga kadonya nggak boleh berupa makanan. Tapiiiii....jengjeng!!!! Ada satu kado yang dibuka yang isinya roti goreng sekresek!!!! Nyalahi peraturan, tapi tetep dimakan rame-rame (semoga yang bawa berpahala) 
Acara inti sudah selesai. Semuanya kemudian nggelar koran dan ngebuka makanan yang dibawa. Piknik deh! Sambil foto-foto juga. Entah kenapa kemarin itu saya agak gak bernafsu difoto dan memfoto. Jadi foto saya sedikit, foto Plurker di kamera saya juga sedikit. Hihihi. Maap!! Kan fotografernya banyak. 
Jadi, ini beberapa foto yang ada di kamera saya (dan sedikit nyomot dari punya Faridz, seperti biasa) 
Absen dulu

Roni, salah satu sie dokumentasi

Sarapan dulu sebelum main

Speech by Icub, Ketua Panitia. Toa mana toa?
Spanduk kitaaaaa

Para lelaki Plurker Surabaya

Mengagumi karetnya?

Sama Ari, yang mecahin es (okok)

Lagi maen Go Back To Door (okok)

Kelompok 4 pose bareng spanduk B)

Sie dokumentasi, Faridz dan Roni. Kasian, nggak ada yang motoin mereka (haha)

Jump!!

kelompok 4, picture by Faridz
Plurker Surabaya, sebelum acara dimulai
Plurker Surabaya, setelah selesai acara


Gak sempet kasih watermark yang unyu-unyu. Sengaja posting foto yang original biar saya nggak ditaser rame-rame. Lagian siapa juga mau ambil bekas kamu. Kalo mau respon sebaiknya mikir dulu, sesuaikan dengan tempatnya. Ada yg untuk becanda, ada yang serius  foto-foto ini kalo bukan para Plurker. Sekian. LOVE YOU, PLURKERS!!!!!


xoxo,
anindrustiyan 

Monday, 25 March 2013

A whole day with Plurker Surabaya

Kemaren hari kereeeeeeen. Kumpul dari pagi sampe sore bareng Plurker Surabaya di Taman Ekspresi di daerah Kali Genteng, Surabaya. Acaranya sih mini piknik sambil diskusiin masalah acara tanggal 7 April, Plurker Surabaya Save Dolanan. Yang diomongin mestinya seputar permainan apa aja nanti yang bakal diadain, macem bola bekel, gobak sodor sama lompat tali. Tapi yah namanya juga Plurker ya, kadang (seringnya sih) malah ngomong macem-macem nggak jelas, hahahihi macem anak TK. dikeplak plurker.
Katanya sih, janjian di Taman Ekspresi jam delapan. Namanya juga Indonesia, jamnya terbuat dari karet, pake ada yang nyasar pula jadinya baru ngumpul banyak sekitar jam sembilan sepuluhan. Jadilah kita ngobrol, hahahihi, mini piknik, nyambi jadi baby sitter plus (buat para cowok) ngeliatin mbak-mbak baju pink di seberang sanah di taman sampe jam satu. Ini dia potonyah!!

formasi awal yang datang

ini formasi sekitar jam 12 siang


dua orang ini terkenal mesra setiap saat.

para jejaka plurker Surabaya. ki-ka @reinhart, @Faridzristo, @soundNUX, @submonkey

sie dokumentasi yang baru nongol fotonya, Faridz

sama pakdhe @soundNUX, S.Farm, Apt

gak usah galau gitu ah, mentang-mentang tinggal sendirian yang kuliah

between the boys part 1

between the boys part 2

be a baby sitter for Radit, Tidy's son

Strike a poooooose!!!

 Abis hahahihi, minum-minum jus dan sempet nyoba lompat tali, dapet kabar kalo si Atiqoh lagi di Mall Grand City dan ngajak karaoke di sana. Berhubung tempatnya sangat deket dan juga udah laper, kumpul-kumpul pun dilanjutin di sana. Faridz ama Pakdhe sih nggak ikutan. Pakdhe gladi bersih yudisium dan si Faridz ada janji. Jadinya yang ke Grand City cuma saya, Kak Illa, Icub ama Pandu. Ngumpul di foodcourt trus maksi bareng, trus sholat bareng, trus lanjut karaokeeeeeee!!!!

suka sama foto ini, keliatan banget having fun-nya

Hus hus, ndak boleh gosip

Atiqoh kebelet ngantor

sama Kak Illa

pas saya nyanyi, nggak nyangka dapet nilai 100 pas bawain lagu Hurt-nya Christina Aguilera. Untung nggak pake mewek. Efek AC kali ya, jadi udah kering duluan sebelum jatoh. Tsaaaah......
Abis karaoke terus......pulang. Udah. Cukup segitu aja. Tapi capek, cynt! However yah, ketemu ama orang-orang macem gini ini yang bikin saya jadi tahu bagaimana caranya bersenang-senang (cozy)

xoxo,
anindrustiyan


NB : foto-foto di atas sengaja nggak dikasih watermark karena siapa juga mau ambil bekas kamu. Kalo mau respon sebaiknya mikir dulu, sesuaikan dengan tempatnya. Ada yg untuk becanda, ada yang serius foto-foto macem beginian. Buat anak Plurker sih udah kesebar dari semalem. Kalo buat yang orang lain mah ini foto apaaaan. Mahahah!! Sekian. 

NBB : foto diatas copyright by Faridz Risto dan Anindhita Rustiyan.

Thursday, 10 January 2013

The Unknown : Try to Impress


Hari berlalu dengan cepat. Nania membereskan kubikelnya tepat jam empat sore. Sampai di rumah, Nania merebahkan tubuhnya di sofa. Melemaskan ototnya, merilekskan pikirannya. Tapi masih terbayang Bu Lily. Entah kenapa Nania merasa tertantang. Ia harus membuat Bu Lily terkesan dengan penampilannya. Buru-buru dia mandi, membersihkan debu dan sisa makeup tipis di wajahnya. Setelah mandi, ia menatap meja riasnya. Nania tidak bisa dibilang buta makeup. Tapi juga bukan pesolek. Makeup yang ia punya hanya satu lipstik, satu lipgloss, bedak, dan palet eyeshadow yang ia sendiri lupa kapan belinya. Ia meringis.

Kemudian ia beranjak ke kamar Mamanya, berharap menemukan beberapa makeup. Sama saja. Mamanya hanya punya satu palet eyeshadow tiga warna : coklat tua, coklat muda dan krem terang. Lipstik juga cuma satu, warna merah cabe membara huah huah. Bedak, foundation cair yang ia yakin Mamanya sendiri juga sudah lupa kapan belinya, dan sebatang pensil alis. Ia membuka lemari meja rias, menemukan blush on warna orange. Akhirnya ia memutuskan meminjam pensil alis dan blush on. Tangannya hampir meraih lipstik warna merah itu, tapi mengurungkannya. Ia tak mau tampak seperti vampir yang baru selesai makan tapi belepotan.

Nania menatap cermin. Wajahnya sudah bebas jerawat. Hanya masih meninggalkan bekas berupa bintik-bintik. Ia tak pernah menyadarinya. Ia terlalu cuek dengan wajahnya. Akhirnya ia mulai. Dioleskannya krim wajah yang tiap hari dia pakai. Lalu menepuk-nepuk bedak. Dilanjut menebalkan alis. Matih!! Alisnya tebal sebelah! Ia terpaksa menambah ketebalan di alis yang satunya. Lumayan...

Ia melanjutkan eyeshadow. Warna di palet eyeshadownya sebenarnya cukup banyak. Tapi ia tidak tahu mana yang dipakai lebih dulu. Ia pulaskan warna coklat muda. Dia pilih aman saja. Tapi...nggak ada salahnya nyoba warna lain kan?
Ia melanjutkan memulas eye shadow warna......apa ya? Hijau tua ini tampak bagus. Ia pernah melihat riasan smokey eyes di majalah. Ia menirunya, dipulas di ujung luar matanya. Dipulasnya lipstik yang dia punya. Pink muda. Setelah selesai........dia diam. Mendadak pintu kamarnya dibuka.

"Lhah, kamu ngapain??"