Thursday, 2 August 2012

Klenteng Merah

Imlek. Tahun Baru Cina. Semua warga keturunan Tiong Hoa berduyun-duyun ke klenteng. Ramai-ramai mereka berdoa agar tahun ini penuh berkah. Apalagi ini tahun Naga. Naga dipercaya sebagai dewa yang membawa keberuntungan. Tapi, menjelang tahun baru ini sama sekali tak dirasakan hujan dan angin yang mendekati badai. Ini malah membuat para warga keturunan Cina gelisah. Tak ada angin dan tak ada hujan artinya susah mencari rejeki selama setahun mendatang. Pertunjukkan barongsai digelar semalam suntuk. Para biksu dan warga berdoa dengan khusyuk. Yang lain menonton barongsai atau duduk diam dirumah masing-masing sambil menatap langit. Berharap hujan dan angin segera datang ke bumi. 

Ni O menatap klenteng di depan rumahnya. Klenteng kini ramai dikunjungi warga, tidak hanya warga keturunan tapi juga warga lokal. Menyaksikan barongsai. Seperti tiada lelah, pemain barongsai itu terus menerus menari di balik kostum barongsai, mengedip-kedipkan mata dengan genit dan mengundang tawa. Lampion-lampion terus menyala. Ornamen naga raksasa di depan klenteng tampak gagah dan indah. Suka cita itu tak sampai di hati Ni O. Entah mengapa ia tak menikmati malam pergantian tahun Cina ini. Biasanya ia akan semalaman di klenteng. Setelah sembahyang ia akan membantu ibu-ibu di sana atau bergosip dengan para remaja. Atau bercanda dengan Han Wen, teman sejak kecilnya. 

Dari kejauhan Ni O bisa melihat Han Wen berkeringat di balik kostum barongsai warna kuning. Biasanya Ni O akan melemparkan handuk ke muka Han Wen sambil menyodorkan sebotol air mineral. Lalu Han Wen akan menjepit dirinya dengan mulut barongsai. Dan mereka tertawa bersama. Tapi kali ini tidak. 

Ni O berbaring lagi di kasurnya. Menatap langit-langit. Menyusuri garis kecoklatan bekas bocor di sana. Panjang, meliuk, seperti tubuh naga. Kamarnya bau Hio. Setengah jam yang lalu ibunya berdoa di kamarnya, sebenarnya di setiap ruangan di rumah ini. Ni O pura-pura tidur agar tidak mengganggu ibunya. Dan juga agar ia tak disuruh ke klenteng. Bukannya malas. Ia hanya sedang tidak bersemangat. 

Tiba-tiba jam besar di ruang tengah berdentang. Dua belas kali. Sudah ganti tahun. Ni O mendengar sorak sorai di klenteng. Tetapi ia juga mendengar suara tangis kecemasan samar-samar. Suara nyanyian seorang wanita menelusup di telinganya. Ni O diam, menajamkan pendengarannya. Nyanyian itu masih ada, namun kemudian hilang. Ni O duduk di kasurnya dan menatap klenteng dari jendela. Tak ada yang menyadari, mata naga raksasa itu bersinar sekejap tepat ke mata Ni O. 

Tuesday, 10 July 2012

Redup

Hampir setahun sejak pertemuan pertamaku dengannya. Samar-samar aku ingat wajahnya, senyumnya. Bagaimana ia serius ketika bekerja, alisnya yang bertaut tanda ia sedang berpikir. Kegesitannya, emosinya, keceriaannya. Namun dalam pertemuan pertamaku itu perhatianku tak hanya tertuju padanya. Ada yang lain, yang tak teraih, namun membekas di hati. Kesederhanaannya, kedewasaannya, ketenangannya. Mereka berdua berbeda. Mereka berdua bersahabat.

**

Aku berjanji bertemu dengannya pagi ini. Kupersiapkan diriku sebaik mungkin. Aku tak sabar ingin melihatnya. Apakah dia juga? Lama tak bertemu, berubah kah dia? Sebenarnya ada saat kami bertemu kembali setelah pertemuan pertama kami. Tapi aku tak pernah punya nyali untuk mendekatinya. Seperti biasa dia tampak ceria. Akan kah ia menebar senyum cerianya lagi?

Aku menghubunginya. Ia membalas posisi dia sekarang. Aku sengaja mengulur waktu sedikit meskipun jarakku sudah dekat dengannya. Menata hati. Dan akhirnya aku menemukannya. Duduk bersila di hadapan sebuah laptop. Tampak serius seperti biasa. Namun ada ceria di matanya, dan seulas senyum di bibirnya. Cantik. Tapi kenapa dadaku berhenti bergemuruh? Ada yang salah. Bukan, bukan dari dia. Dariku kah?

Aku berjalan di depannya. Ia tak menyadari kehadiranku. Lalu aku menghempaskan tubuhku di sebelahnya, ia menoleh dan aku langsung disambut senyum lebarnya. Sejenak kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Hampir dua jam, kalau itu bisa dibilang sejenak. Aku meliriknya. Astaga, ia melihatku! Dengan matanya yang bulat besar, senyum mengembang di wajahnya yang makin lebar ketika aku menyadari bahwa ia melihatku. Laptopnya sudah ditutup.

"Sudah selesai?" tanyaku. Ia mengangguk. Tapi ia tak beranjak dari duduknya. Ia tampak bosan. Aku....entah kenapa aku tak bisa memberikan inisiatif. Otakku sepertinya berhenti berkreasi. Andai saja aku bisa membaca apa yang ada di pikirannya. Senang kah dia bertemu aku? Atau jemu? Jangan-jangan dia juga berpikir sama sepertiku. Ini di luar ekspektasiku!!

Bukan...bukan dia yang salah. Dia tampak menyenangkan, seperti biasa. Hanya saja, setelah bertemu dengannya, semangat yang tadinya ada mendadak menguap. Entah kenapa. Biasa saja.  Aku paksakan untuk berbicara. Menanyakan kesehariannya. Ceritanya menyenangkan. Beberapa hal membuatku terpingkal. Tapi kemudian ada jeda setelah tawa. Ada hening setelah ramai. Mungkin aku jahat. Tapi aku malah ingin bertemu dengan yang lain. Ingin melihat ketenangannya. Keteduhannya. Yang bisa menyeimbangkan sinar menyilaukan.

Akhirnya aku menyerah. Kami pun pulang. Tak ada indikasi pertemuan akan diteruskan. Tak ada yang berkata "Senang bertemu denganmu" atau semacamnya. Hanya saling bertukar senyum, saling melambai, lalu pulang ke arah masing-masing. Hanya demikian. Singkat saja. Seandainya tadi aku berani, mungkin aku akan menambahkan kata "maaf" setelah kata "terima kasih".