Imlek. Tahun Baru Cina. Semua warga keturunan Tiong Hoa berduyun-duyun ke klenteng. Ramai-ramai mereka berdoa agar tahun ini penuh berkah. Apalagi ini tahun Naga. Naga dipercaya sebagai dewa yang membawa keberuntungan. Tapi, menjelang tahun baru ini sama sekali tak dirasakan hujan dan angin yang mendekati badai. Ini malah membuat para warga keturunan Cina gelisah. Tak ada angin dan tak ada hujan artinya susah mencari rejeki selama setahun mendatang. Pertunjukkan barongsai digelar semalam suntuk. Para biksu dan warga berdoa dengan khusyuk. Yang lain menonton barongsai atau duduk diam dirumah masing-masing sambil menatap langit. Berharap hujan dan angin segera datang ke bumi.
Ni O menatap klenteng di depan rumahnya. Klenteng kini ramai dikunjungi warga, tidak hanya warga keturunan tapi juga warga lokal. Menyaksikan barongsai. Seperti tiada lelah, pemain barongsai itu terus menerus menari di balik kostum barongsai, mengedip-kedipkan mata dengan genit dan mengundang tawa. Lampion-lampion terus menyala. Ornamen naga raksasa di depan klenteng tampak gagah dan indah. Suka cita itu tak sampai di hati Ni O. Entah mengapa ia tak menikmati malam pergantian tahun Cina ini. Biasanya ia akan semalaman di klenteng. Setelah sembahyang ia akan membantu ibu-ibu di sana atau bergosip dengan para remaja. Atau bercanda dengan Han Wen, teman sejak kecilnya.
Dari kejauhan Ni O bisa melihat Han Wen berkeringat di balik kostum barongsai warna kuning. Biasanya Ni O akan melemparkan handuk ke muka Han Wen sambil menyodorkan sebotol air mineral. Lalu Han Wen akan menjepit dirinya dengan mulut barongsai. Dan mereka tertawa bersama. Tapi kali ini tidak.
Ni O berbaring lagi di kasurnya. Menatap langit-langit. Menyusuri garis kecoklatan bekas bocor di sana. Panjang, meliuk, seperti tubuh naga. Kamarnya bau Hio. Setengah jam yang lalu ibunya berdoa di kamarnya, sebenarnya di setiap ruangan di rumah ini. Ni O pura-pura tidur agar tidak mengganggu ibunya. Dan juga agar ia tak disuruh ke klenteng. Bukannya malas. Ia hanya sedang tidak bersemangat.
Tiba-tiba jam besar di ruang tengah berdentang. Dua belas kali. Sudah ganti tahun. Ni O mendengar sorak sorai di klenteng. Tetapi ia juga mendengar suara tangis kecemasan samar-samar. Suara nyanyian seorang wanita menelusup di telinganya. Ni O diam, menajamkan pendengarannya. Nyanyian itu masih ada, namun kemudian hilang. Ni O duduk di kasurnya dan menatap klenteng dari jendela. Tak ada yang menyadari, mata naga raksasa itu bersinar sekejap tepat ke mata Ni O.