Friday, 6 August 2021

Pregnancy Diaries : I'm Pregnant???

Kalau aku ditanya, apakah aku sangat menginginkan hamil? Aku rasa aku akan agak bingung menjawabnya. Bukan karena aku tidak menginginkannya. Aku jelas menginginkannya. Tapi ada sisi diriku yang mempertanyakan kesiapan diriku sendiri untuk memiliki anak. Bukan sekedar hamil, melahirkan, memberinya makan. Tetapi menghidupinya pula. Bertanggung jawab tidak hanya pada fisiknya saja tetapi juga pada mentalnya, pendidikannya, dan segala aspek kebutuhan hidupnya sampai ia mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Dibutuhkan waktu, finansial, dan mental yang siap untuk itu semua. Menjaganya untuk tumbuh dan berkembang dengan sehat secara fisik dan mental. Menjaga diriku sendiri untuk menjadi orang tua yang ia butuhkan. Bukan yang aku kira ia butuhkan.


Yang menjadi konsentrasiku adalah kesehatan mentalku sendiri. Aku sedang berada pada fase menyembuhkan luka diri, berdamai dengan trauma masa kecil dan berteman dengan anak kecil dalam diriku sendiri (inner child). Dan aku tidak bilang aku sudah sembuh total. Aku pernah menjalani proses konseling, tapi terpaksa berhenti karena pandemi. Aku tentunya tidak ingin anakku nanti menjalani hidup penuh tekanan untuk menjadi sempurna seperti yang aku alami. Tapi aku sendiri juga tidak bisa serta merta mengesampingkan gambaran ideal anak yang sukses menurut versiku berdasarkan apa yang ditanamkan dalam pemahamanku selama ini.

Aku menikah pada akhir Januari, aku dan suami tidak ingin menunda punya bayi juga. Ia berharap aku segera hamil, malah. Katanya karena usiaku sudah masuk kepala tiga, ia mengkhawatirkan kemampuan fisik dan kondisi kesehatanku apabila aku belum kunjung hamil. Suamiku sendiri usianya jauh lebih muda dariku. Tapi dia juga tidak menekan, dan kami sempat sepakat memberi diri kami waktu setahun untuk mencoba sambil perlahan menyesuaikan diri satu sama lain. Kalau setelah setahun aku belum kunjung hamil, bisa lah kami membuat jadwal kunjungan untuk program hamil.

Sampai kemudian, pada bulan Juni aku merasa ada perubahan di tubuhku. Suatu siang di hari Jumat, aku baru menghabiskan makan siangku dan tiba-tiba merasa perutku sesak. Sampai aku harus membetulkan postur tubuhku untuk membuatku agak nyaman. Ini agak di luar kebiasaan. Lalu aku teringat, itu sudah tanggal delapan belas. Sedangkan bulan lalu aku mulai menstruasi tanggal tiga belas. Mundurnya lumayan juga. Pulang kantor diam-diam aku membeli alat tes kehamilan dan melakukan tes pada urineku di pagi hari berikutnya. Dan aku bisa bilang aku sudah memprediksinya. Garisnya dua.

Aku menunjukkannya ke suamiku. Wajahnya campuran antara senang tapi menahan diri untuk tidak terlalu menggebu. Dan pada saat itu dia baru merasakan beberapa kekhawatiranku tentang kesiapan diri dalam menjadi orang tua. Tapi ia tetap begitu senang sampai langsung menelepon orang tuanya memberitahukan kabar itu. Aku sendiri malah tidak segera mengumumkannya ke orang tuaku. Aku ingin memastikannya dulu ke dokter kandungan, baru mengumumkannya.

Tapi ternyata aku sendiri tidak bisa menahan diriku untuk tidak mengabarkannya. Hanya saja aku selektif. Bukan orangtuaku yang pertama kuberi tahu. Tapi Om-ku, yang sudah seperti ayahku sendiri. Beliau nampak senang, tapi juga menahan diri untuk tidak menangis terharu. Dasar laki-laki. 

 

Blitar, 19  Juni 2021

Aku melihat garis dua.




Sunday, 1 August 2021

Pregnancy Diaries : Prologue

Ada sekitar empat tahun sejak aku menulis karyaku yang paling baru. Waktu itu aku terinspirasi dengan puisi pendek dan prosa yang sedang menjadi tren di dunia sastra, karya pendek penuh makna yang tidak memerlukan linimasa dan skenario tertentu. Sejak itu, aku kehilangan hasrat menulisku. Bahkan untuk mempublikasikan tulisanku itu pun aku enggan. Hanya sekedar minta tolong teman di percetakan untuk menjilidnya serupa buku, menerbitkannya pada penerbit independen, dan baru memberikan tautan belanjanya jika ada yang bertanya. Mungkin ketidakpercaya dirianku yang rendah terhadap karyaku sendiri membuatku dan karyaku tidak ke mana-mana. Dan aku tidak menyarankan itu untuk siapa pun di dunia ini.



Bahkan ketika aku menjalani hubungan percintaan penuh drama yang nyaris sama dengan sinetron pun tidak mendorongku untuk menulisnya menjadi sebuah karya. Jangankan menuangkannya dalam sebuah tulisan, aku kehilangan minat akan semua hal yang menyenangkanku. Fotografi, menulis, membaca, bahkan menyanyi asal-asalan pun aku enggan. Salah satu ciri depresi? Mungkin. Aku kemudian memaksa diriku untuk kembali membaca, satu hal yang biasanya tidak bisa digugat sejak aku kecil. Dan aku menyadari buku-buku yang menarik perhatianku kala itu adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kesehatan mental dan hubungan dengan dirimu sendiri.


Writer's block? Banyak yang menggunakan istilah itu, tapi ada satu penulis Indonesia favoritku yang cukup akrab denganku, Primadonna Angela, pernah berkata, buat dia tidak ada istilah writer's block karena ia terus mendorong dirinya sendiri untuk menulis setiap hari, sehingga menjadi sebuah kebiasaan yang jika tidak ia lakukan maka ia akan merasa ada yang kurang lengkap dalam kesehariannya. Ia juga melatih dirinya sendiri untuk membuat sesuatu hal yang biasa yang ia temui, lihat, rasa, raba, dengar setiap harinya menjadi sesuatu yang dapat ia kembangkan menjadi sebuah tulisan. Ia terus melatih dirinya sendiri dan membiarkan dirinya berkembang. Maka writer's block itu tidak ada.


Lalu saat ini, aku mulai menulis, dan aku bertanya kepada diriku sendiri apakah yang membuatku sangat terdorong untuk menulis lagi? Meletakkan ponselku bahkan buku yang kucoba untuk kubaca ulang dan menyalakan laptopku dan mulai menulis?

Aku sedang mengalami dan menjalani sebuah momen hidup yang banyak dinanti dan dinikmati banyak wanita. Dan aku ingin mengabadikan pengalaman pertamaku ini dalam sebuah tulisan. Sampai nanti ia lahir, bahkan mungkin aku akan terus menulis tentang perkembangannya menjadi sebuah karya tulisku lagi.

Yes, I'm pregnant!