Showing posts with label movie review. Show all posts
Showing posts with label movie review. Show all posts

Friday, 17 March 2023

Suzume, dan Perjalanan Menuju Penyembuhan Innerchild Yang Terluka

poster film Suzume, comot dari Google


Hai, apa kabar?

Kusapa dulu semua baik blog ini maupun kalian yang menyempatkan waktu dan diri untuk membaca postingan ini. Blog yang sudah lama kutinggal namun tidak kutinggalkan. Namun kali ini, ada hal yang begitu ingin kubagikan meskipun sebelumnya aku sudah membahasnya ratusan kali dengan pasangan hidupku maupun sudah kutulis dalam buku jurnalku.

Lama tidak menulis di blog, mungkin membuat bahasaku menjadi kikuk dan tidak seluwes dulu saat aku masih aktif menulis. Tapi aku berusaha membuatnya mudah untuk dibaca. Jadi, terima kasih.

Akhir-akhir ini aku dan pasangan hidupku selalu menyempatkan diri untuk berkencan tanpa anak. Hal ini kami rasa sebagai salah satu untuk mempertahankan hubungan, merilekskan pikiran, dan "membayar" hutang pacaran yang belum sempat kami rasakan karena sudah ada anak.  Salah satu kencan kami seperti orang-orang kok, nonton di bioskop. Kebetulan di Blitar sekarang sudah ada bioskop, jadi kami tidak perlu ke luar kota untuk nonton, terutama film-film yang kami ingin tonton.

Minggu lalu, pasangan hidupku mengajak menonton film Suzume di bioskop. Awalnya aku skeptis, masa anime aja pake nonton di bioskop. Tunggu di aplikasi nonton gratis juga nanti ada. Tapi dia kekeuh mau nonton di bioskop karena sudah liat teasernya dan dia tidak sabar. Kupikir, ya sudahlah. Toh kami memang suka nonton anime, jadi pengen tahu juga rasanya nonton anime di bioskop.

Film dimulai, sepanjang film kami menerka bahwa ini film petualangan beneran. Petualangan di dunia fantasi khas anime. Sempat juga kami mengira ini menceritakan dongeng asal muasal Jepang sering gempa. Film buatan Makoto Shinkai ini memang beberapa kali membahas tentang bencana alam. Sebelumnya ada Kimi no Nawa yang berlatar meteor jatuh dan Tenki no Ko yang berlatar hujan dan banjir.

Sepanjang film kami ikut deg-degan dengan alur cerita. Suzume yang anak yatim piatu, diasuh oleh tantenya di kota kecil bernama Kyushu, jadi berpetualang sampai ke Tokyo setelah bertemu dengan Shouta, pemuda yang mencari tempat terbengkalai yang ternyata ada pintu menuju dunia Ever After. Di mana Suzume tidak sengaja membuka pintu tersebut menyebabkan cacing dari Ever After keluar dan jatuh ke bumi, mengakibatkan gempa di Jepang. Suzume merasa bersalah dan bersama Shouta, ia berpetualang hingga ke Tokyo berusaha menutup pintu-pintu yang terbuka, mencegah si cacing keluar lalu jatuh dan mengakibatkan gempa hebat di Jepang.

Sampai kemudian tiba di akhir cerita, ketika Suzume melihat anak kecil yang ternyata dirinya di masa lalu, di situlah aku dan pasangan hidupku menangis dan tersadar, bahwa film ini bukan sekedar film petualangan fantasi. Melainkan ada makna tentang penyembuhan innerchild yang terluka. Suzume yang ditinggal mati ibunya di usia 4 tahun, saking traumanya sampai tidak mau mengingat bahkan hingga terlupa dengan kejadian tersebut. Mengakibatkan ingatan masa kecilnya kabur dan samar. Dia hanya ingat pernah tersesat di Ever After ketika berusaha mencari ibunya.

Kami mengibaratkan, petualangan Suzume ke kota-kota dari Kyushu ke Tokyo, menutup pintu-pintu menuju Ever After yang hanya bisa ditemukan di tempat yang terbengkalai, adalah menutup luka-luka yang pernah tertoreh sepanjang perjalanan usia. Dari kecil hingga dewasa. Luka-luka yang terabaikan (pintu di tempat terbengkalai) adalah luka yang akan terus terasa sakit. Namun ketika kita menyempatkan diri untuk mengunjungi, memvalidasinya dan mengembalikannya bahwa itu adalah hal yang tidak dapat dipungkiri dan merupakan kehendak Tuhan untuk kita belajar, maka kita akan dapat berdamai dengan diri kita, menutup dan mengunci ingatan luka tersebut dengan ikhlas dan damai.

Kami juga mengibaratkan, cacing besar yang jatuh dan menyebabkan gempa adalah ego, emosi, dan luka yang jika dibiarkan akan menumpuk dan jatuh menyebabkan kerusakan bagi diri kita di kemudian hari. Bayangkan orang yang sejak lama memendam emosi dan amarahnya, memendam traumanya dan tidak mampu berdamai dengan lukanya. Maka suatu ketika ia akan dapat meledak dan tentunya itu tidak hanya akan merugikan dirinya sendiri tapi juga orang lain.

Adegan terakhir di mana Suzume ketemu sama Suzume kecil, kemudian berusaha menenangkan Suzume kecil, Suzume sempat kewalahan dan ikut sedih lagi. Tapi kemudian dia bangkit dan bilang ke Suzume kecil, bahwa semua baik-baik saja. Masa depan tidak semenakutkan itu. Di situ aku menangis. Aku merasa seperti Suzume itu aku yang ternyata mengabaikan dan terlupa akan trauma masa kecil, lalu dihadapkan dengan dirinya versi anak-anak. Bahkan kata-kata Suzume ke Suzume kecil pun adalah kata-kata yang ingin aku dengar dari orangtuaku sejak dulu. Bahwa semua baik-baik saja. Kamu pasti bisa.

Film ini sungguh di luar ekspektasi. Ada humor di sana-sini yang membuat segar dan nggak monoton. Ada humanity yang tersampaikan juga di situ. Tapi jangan berharap ada adegan romantis kinyis-kinyis yaa. Kemarin aku dengar ada penonton yang bilang film ini kurang romantis. Yaah, segmentasinya beda lah. Di sini keliatan banget Makoto Shinkai ingin menyampaikan tentang pentingnya menyembuhkan innerchild yang terluka dengan alur cerita yang sama sekali nggak ketebak. Keluar dari studio bioskop rasanya bener-bener kayak abis dari isekai rasanya.

Sungguh, film ini masuk daftar film terbaik menurutku dari segi cerita dan animasinya. Dan masuk daftar film kedua yang sukses bikin aku nangis kejer setelah Avatar The Way of Water. Kuucapkan selamat bagi Makoto Shinkai. Kutunggu lagi karyamu berikutnya, Sensei!


P.S : liat Suzume kecil jadi inget Onyx yang tiap sore nunggu dijemput Mamanya. 😭 Pantes dia selalu bahagia tiap kujemput dan selalu kegirangan kalau kujemput lebih awal. I love you, nak! 

Tuesday, 15 November 2011

Movie Review : "Sang Penari"


sampul asli novel trilogi "Ronggeng Dukuh Paruk"


poster film "Sang Penari"


baru saja nonton film yang diangkat dari novel trilogi berjudul Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.Film ini dibintangi Nyoman Oka Antara, Prisia Nasution, Lukman Sardi, Happy Salma, Slamet Rahardjo dan Tio Pakusadewo.
Film ini menceritakan tentang Srinthil (Prisia Nasution) yang ingin menjadi ronggeng di Dukuh Paruk sebagai balas jasa terhadap leluhur desa dan ingin membersihkan nama almarhum orang tuanya yang dianggap meracuni warga sekampung dengan tempe bongkrek buatannya. Rasus (Oka Antara) yang mencintai Srinthil sejak kecil, tidak setuju Srinthil menjadi Ronggeng, karena profesi itu tidak hanya mewajibkan Srinthil menari, tetapi juga menjadi milik warga satu desa. Rasus yang merasa kesal karena tidak bisa berbuat apa-apa, memutuskan untuk menjadi tentara.
Dukuh Paruk yang mayoritas warganya buta huruf, terbuai dengan ajakan seorang pria dari kota yang membawa pembaharuan. Namun ternyata warga Dukuh Paruk dijadikan salah satu desa pengikut Partai Komunis. Hingga akhirnya terjadi pemberontakan G 30 S yang membuat warga satu desa ditangkap tentara. Rasus berusaha mencari Srinthil, namun akhirnya ia menemukan Srinthil sepuluh tahun kemudian. Rasus tetap menjadi tentara sedangkan Srinthil tetap menari dari pasar ke pasar.
Ditengah banyaknya film lokal horor seksis yang beredar, film ini menjadi salah satu film yang mengangkat sastra Indonesia yang bisa mendorong masyarakat untuk melestarikan sastra Indonesia serta menunjukkan potret sejarah Indonesia dari sudut pandang masyarakat pinggiran.

four thumbs up!! *angkat dua jempol tangan dan angkat dua kaki*

Saturday, 25 September 2010

Sang Pencerah - review by me


helloooooooooooooh....

berawal dari lewat depan kampus tercinta dan melihat a very big movie poster of Sang Pencerah, jelas gue saaaaaaangat tertarik untuk menontonnya.

alasan utama menonton :
1. gue anak Audio Visual. referensi film jelas dibutuhkan demi kepentingan kuliah dan kerja ke depannya
2. gue anak Universitas Muhammadiyah Malang. Film ini mengisahkan tentang K.H Ahmad Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah. Demi kepentingan kuliah (nggak cengo dan terbengong-bengong dengan muka polos ketika dosen AIK atau dosen lain menyinggung film ini) jelas gue HARUS dan WAJIB nonton.

dan kemudian, Selasa kemaren gue dan kakak gue nonton bareng Sang Pencerah. Hasilnya....

KITA MENANGIS SEPANJANG FILM!!! lebay. nggak juga ding kalo nangis sepanjang film. tapi kita emang beneran nangis, terutama pas adegan Langgar Kidul dibongkar orang-orang. kita juga tersulut emosi pas K.H Ahmad Dahlan diolok sebagai kyai kafir. kita juga tertawa kepingkel waktu adegan Denis Adiwara dan Giring Nidji.

film ini bener-bener memberikan pencerahan buat gue...
gue nyadar gue jarang banget ngasih sedekah buat kaum fakir miskin. tapi masalahnya...nentuin orang yang bener-bener dalam kategori fakir miskin yang di pinggir jalan itu susah!!! takutnya ternyata mereka cuma berakting jadi pengemis di pinggir jalan, padahal mereka punya sapi lima ekor dan rumah gedong di kampung halaman.

satu hal yang mengganjal hati, sebagai anak Paduan Suara Kampus, kenapa lagu Sang Surya yang notabene Mars Muhammadiyah terdengar LEBIH BAGUS di film daripada pas buat wisuda dan pesmaba?????? hanya penata musik dan produser yang tahu hal itu.

4thumbs up and 4 stars for this movie. ;)