Thursday, 13 December 2012

Book Review - The Various Flavours of Coffee


Hal pertama yang menarik dari buku ini adalah : kopi.
Bisa dibilang jarang ada novel tentang kopi, maksudku yang benar-benar ada informasi tentang kopi. Sejarahnya, jenis-jenisnya kopi dan racikannya, cara meraciknya, bahkan mungkin budaya cara meminumnya. Kebanyakan novel tentang kopi hanya menggunakan cafe sebagai setting tempat dan menyelipkan beberapa nama jenis racikan kopi. Selebihnya, kisah tentang tokohnya.

Robert Wallis, seorang penyair amatir yang terancam miskin karena tidak segera menyelesaikan kuliahnya dan uang jatah bulanan kiriman ayahnya akan dihentikan, memiliki selera tinggi tentang gaya hidup. Pakaiannya yang selalu update, berselera tinggi dalam segala hal, termasuk juga kopi. Saat ia sedang duduk di sebuah cafe dan melontarkan ketidakpuasannya terhadap kualitas kopi yang disajikan cafe tersebut, ia bertemu Samuel Pinker. Ia merekrut Robert Wallis untuk mendefinisikan kualitas dari berbagai macam kopi yang dimilikinya sebagai bagian dari usaha yang dirintisnya.
Robert kemudian menyetujui kerjasama tersebut. Dengan kemampuannya mengenali dan mendefinisikan kualitas kopi baik dari aroma maupun rasa, ia dan putri Samuel Pinker, Emilly Pinker membuat sebuah Pedoman. Pedoman ini yang akan mereka gunakan untuk memajukan usaha cafe milik Samuel Pinker, cafe yang menyajikan bukan sembarang kopi.
Seringnya bertemu dan membuat Pedoman bersama, membuat Robert pada akhirnya memiliki rasa terhadap Emilly. Samuel Pinker kemudian mengutus Robert Wallis untuk ke daratan Afrika, menemukan dan membuka lahan perkebunan untuk Pinker di sebuah daerah yang dikenal sebagai pusat asal kopi. Robert berangkat. Di sana ia kemudian bertemu dengan seorang budak milik saudagar Arab yang menawan, yang dengan berani menyelipkan sebiji kopi di tangan Robert Wallis.  Mereka kemudian saling jatuh cinta, dan berusaha membebaskan Fikre, budak tersebut, dari saudagar Arab yang memilikinya. Namun pada akhirnya, Fikre malah meninggalkan Robert! Emilly malah menikah dengan orang lain!

Betapa mengejutkan bahwa apa yang didapat dari buku ini tentang kopi ternyata lebih dari yang dibayangkan. Sejarah kopi. Setting waktu novel ini sekitar tahun 1895, di London. Itu masih termasuk zaman Ratu Victoria (nilai plus, karena aku lagi suka cerita apa pun pada zaman Victoria). Pada saat itu sepertinya kopi masih belum terlalu populer, tetapi sedang menuju kepopuleran itu sendiri. Mengingat keluarga kerajaan lebih suka minum teh dan  menganggap teh adalah minuman ningrat. Jenis-jenis tanaman kopi dari berbagai negara disebutkan. Dan, wah, ternyata yang namanya kopi moka itu bukan hanya campuran kopi dengan coklat, tetapi memang ada tanamannya sendiri! Menyenangkan bisa membaca novel yang menyatukan fakta dan sejarah dengan fiksi romansa. Dan semuanya seimbang. Kadang kan ada novel yang terlalu menitikberatkan pada cerita cinta si tokoh dan si kopi cuma sebagai atribut dari para tokoh. Di sini kopi sebagai fokusnya, tetapi cerita cinta dan kehidupannya juga menarik untuk diikuti.

Boleh dikatakan, keputusanku membeli buku ini, tidak mengecewakan. Dan apa lagi yang lebih tepat menemani membaca buku ini selain kopi itu sendiri? :)

Love,
anind


Judul buku   : The Various Flavours of Coffee (Rasa Cinta dalam Kopi)
Pengarang    : Anthony Capella
Jenis            : Novel
Tebal hal       : 680 hal + cover

Sunday, 14 October 2012

Logika dan Emosi

Lagi-lagi dia begitu. Tak lagi mengindahkanku. Selalu saja aku dianggap angin lalu. Semua kata-kataku didengar tanpa acuh.
Sakit. Nyeri. Perih. Terus aku memperingatkannya. Ia hanya melirikku. Kadang malah mencebik padaku. Dan kemudian berlalu.

Seperti hari ini. Ia berdandan begitu rapi. Cermin di depannya memantulkan kemolekannya yang kukagumi. Senyum tersungging. Mata bersemangat berapi-api. Aroma tubuhnya begitu wangi. Sesuai namanya.

"Wangi," panggilku lirih. Ia melirik sekilas, lalu berlanjut konsentrasi pada bibirnya yang dipulas.
"Jangan pergi," kataku. Memohon. Seperti biasa. Aku tahu tak akan berhasil. Tak pernah berhasil.
"Kamu akan terluka lagi," lanjutku. Ia mendengus kesal. Lalu pergi sambil menghentak-hentak. Aku hanya bisa diam. Memandangnya dengan sedih.

*

"Wangi..," panggilku lagi. Letih mendera. Tapi tak jua aku menyerah. Tetap saja aku bertahan. Tapi aku tak bisa berbuat lebih banyak. Ia yang memilih. Ia yang memegang kendali. Aku hanya bisa memanggil. Terus memanggil. Dan ia menangis. Terisak. Teriak. Pilu mendengarnya. Ia meracau di sela isaknya. Sesak.

"Maaf.....maaf aku tak mendengarmu. Maaf aku mengacuhkanmu....," isaknya. Aku hanya bisa memandangnya dalam diam. Ia bersandar pada cermin. Terus terisak sampai pagi. Dan aku terus terjaga sampai fajar menyingsing.

"Aku juga merasakannya, Wangi. Sakitmu adalah sakitku. Perihmu juga perihku. Tak perlu kau ceritakan, aku sudah merasakan," kataku pelan.
"Berkali-kali kau memperingatkanku, tapi aku malah tak peduli dengan semua itu. Kau sudah bilang nanti aku sakit lagi. Nanti aku luka lagi. Tapi aku terus saja. Sakit rasanya....sakit karena dia...sakit karena kau juga terluka...," tangisnya.
"Aku terus memanggilmu, Wangi. Tapi aku juga tidak pergi. Karena aku tahu kamu akan begini. Maka aku terus berjaga. Agar saat kamu sadar kau tahu aku ada," jawabku.
Dadaku sesak. Sesak oleh perihnya. Sesak oleh sakitnya. Oleh isaknya. Sampai akhirnya ia berhenti. Menyeka tangis dari pipinya. Masih terisak. Namun makin lama makin berkurang. Ia menarik nafas panjang. Menghembusnya. Mencoba melepas sesak yang mengikat. Mencari kelegaan dalam kehampaan.

*

Terjadi lagi. Ia menjalin hubungan dengan yang lain lagi. Dan aku masih merasa ini tak baik. Sama seperti yang sudah-sudah. Bahagia, lalu sedih. Tawa, lalu tangis. Bukan seperti yang biasa. Tapi sedih dan sakit yang tak berkesudahan. Perih dan nyeri yang melebihi irisan pedang pada nadi. Dan kini aku sudah lelah. Aku letih. Lelah akan acuhnya. Letih akan tangisnya.
"Wangi," panggilku pelan. Ia tak menoleh. Bahkan melirikku pun tidak.
"Wangi!" panggilku lebih keras. "Apa sih??" balasnya.
"Jangan pergi lagi!" kataku.
"Diam!" serunya.
"DENGARKAN AKU!!!!!" teriakku. Dan ia terhenyak. Terhuyung dalam keterkejutan akan suaraku yang meninggi tak biasa.
"Berkali-kali, berkali-kali!!! Tidak letih kah kau dengan mereka?? Kau begitu terpesona oleh mereka sampai aku kau pinggirkan!!! Dan saat ganti kau yang didepak oleh mereka, kau baru kembali dengan tangismu!!! Kau memohon maaf padaku karena tak mendengarku. Aku capek!! Aku letih!!!" jeritku. Ia masih diam. Memandangku tak percaya.

"Wangi.....aku begini karena aku menyayangimu. Hanya karena aku bayanganmu bukan berarti aku tak mengerti. Aku memang tak bisa apa-apa. Aku tak bisa merangkulmu, menahanmu. Tapi aku melihatmu dan aku merasakan pedihmu. Karena aku bagian dalam dirimu.....," kataku pelan. Letih sudah mendera. Wangi jatuh lemas. Air mata mengalir lagi. Aku telah menamparnya. Dan kami lalu terisak bersama.


*anind*

Saturday, 1 September 2012

Review - Kisah Lainnya by Ariel, Uki, Lukman, Reza, David

Buku ini saya beli bukan sekedar karena saya penggemar karya mereka. Bukan pula karena bonus CD Suara Lainnya. Namun juga karena saya penasaran isinya.

Membaca tulisan Ariel di halaman pertama, saya merasa ini buku bagus. Tulisan selanjutnya saya merasa ini bukan sekedar buku untuk koleksi fans semata. Ada emosi, ada chemistry, ada pengungkapan yang jujur di sini. Setiap orang pernah salah, pernah melakukan kekeliruan dan pernah terlena. Hal itu juga yang pernah mereka alami. Dan mereka dengan jujur mengakuinya. Cerita mereka mengalir apa adanya. Dengan ciri khas masing-masing, mereka mengungkapkan apa yang mereka rasakan dan mereka alami dalam membentuk grup Peterpan, ketenaran yang diraih Peterpan, proses pembuatan album, dan masalah-masalah yang ada.

Di bagian pengantar, Ariel sudah menuliskan bahwa buku ini bukan sebagai penjelas dan konfirmasi atas apa yang terjadi pada Peterpan serta bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Karena sudah banyak media yang menyoroti hal tersebut, tinggal bagaimana kita menerima, memahami dan menyikapinya. Tapi buku ini menceritakan apa yang dilakukan dan bagaimana para personel Peterpan menyikapi peristiwa yang terjadi. Senang rasanya melihat mereka kemudian menemukan sesuatu yang menjadikan mereka lebih dewasa. Vakum hampir selama dua tahun membuat mereka menemukan space untuk merenung dan menata kehidupan pribadi mereka yang sedikit terabaikan karena kesibukan ngeband. Uki dengan pernikahan barunya, Lukman dan Reza yang menemukan kembali semangat spiritual ibadahnya, serta David yang menyembuhkan sakitnya. Kalau misal waktu tersebut tidak mereka dapatkan, mungkin saja konser-konser mereka bisa tertunda karena harus menunggu David sembuh. Atau Uki yang tidak punya waktu banyak untuk bayinya, serta Lukman dan Reza yang akan tetap seperti dulu dan tidak berubah.

Selain dari buku Kisah Lainnya, instrumen lagu-lagu hits mereka dalam album Suara Lainnya menandakan kematangan mereka dalam bermusik. Ketika mendengarnya, saya seperti baru sadar dan takjub bahwa lagu-lagu tersebut bisa disajikan dalam bentuk yang berbeda dan ternyata menjadi lebih indah. Mendengar lagu Bintang Di Surga membuat saya ingin menangis karena menyadarkan saya betapa rindunya saya dengan mereka. Lagunya menjadi lebih emosional, tetapi ada kelegaan di bagian akhirnya. Semacam orang yang sedang diliputi kegundahan, berlari, lalu kemudian mendapatkan pencerahan atas masalah yang dihadapinya.

Membaca buku ini diiringi dengan mendengarkan instrumen-instrumen dari CD Suara Lainnya membuat saya merasa band ini telah kembali dari istirahat panjangnya :)

buku Kisah Lainnya dan CD Suara Lainnya, sesaat setelah dibuka dari segelnya

Tuesday, 14 August 2012

Catatan Semarang - Semua Berjalan Begitu Cepat (Day 3)

Kali ini Mama yang bangun terlebih dulu daripada saya. Beliau sibuk membereskan barang bawaan agar ringkas dan tak merepotkan. Rencananya kami dijemput travel pukul sepuluh. Saya bangun dengan linglung. Kepala saya agak berat. Saya melihat keluar jendela. Ada semburat jingga di langit Semarang. Matahari bulat keemasan. Rasanya saya tak ingin pulang. Ini sudah seperti pulang.

Kakak berjanji akan ke hotel lagi sebelum kami berangkat. Setelah membeli beberapa donat untuk bekal di perjalanan, saya dan Mama duduk menonton TV. Sudah mandi, sudah siap pulang. Mendadak ponsel Mama berbunyi. Telepon dari travel yang berkata kami dijemput lima menit lagi. Kaget. Ini masih jam delapan! Mama protes karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Saya diam. Kakak belum ke sini. Kami belum sempat berfoto. Mama meminta dijemput setengah jam lagi. Saya berpakaian dengan enggan. Berharap tiba-tiba kakak datang. Tapi ternyata tidak. Saya meneleponnya. Ia bilang masih di rumah. Saya mau pamitan di telepon, tapi mata saya basah lagi. Saya sampai tak sanggup berkata-kata, saya kasih telepon ke Mama. Saya menangis. Merasa sedih, marah dan kesal. Saya masih ingin bertemu kakak saya lagi. Kakak berkata, "Udah, dhik. Jangan nangis terus. Nggak apa-apa. Nanti lain kali kita ketemu lagi,". Saya menangis seperti anak kecil yang tidak mau diajak pulang.

Akhirnya mobil travel datang. Saya tak berani menelepon Papa dalam kondisi sedih dan habis menangis seperti ini. Saya bersandar di jendela mobil, diam, menatap kosong ke depan. Sampai di Ungaran saya ketiduran. Perjalanan pulang lebih buruk daripada keberangkatan. Kami sampai di rumah pukul lima sore. Rasanya capek luar biasa. Untung saya mengantuk dan bisa tidur lebih awal. Malam itu saya tidur tanpa mimpi.

Catatan Semarang - Semua Berubah, Aku Hanya Bisa Berurai Air Mata (Day 2)

Saya terbangun lebih dulu dari Mama. Tampak beliau sangat menikmati istirahatnya. Saya melongok dari jendela. Mengucapkan selamat pagi pada matahari di langit Semarang. Bersyukur pada Tuhan, akhirnya saya bisa kemari lagi. Entah kenapa begitu sulit hanya untuk kembali.

Saya menyiapkan apa saja yang akan saya bawa untuk Papa. Sambil menunggu kakak saya datang, saya dan Mama sarapan di Dunkin. Hotel kami satu gedung dengan Gramedia dan Dunkin Donuts. Saya sempatkan membeli sebuah buku yang berjudul Kisah Lainnya yang ditulis oleh personel ex-Peterpan. Selanjutnya buku ini, dan buku kiriman sahabat saya Mami Primadonna Angela yang berjudul Japan in June, yang mendorong saya kuat-kuat untuk membuat catatan tiga hari di Semarang ini. Begitu saya kembali ke Dunkin, kakak saya datang. Kami berpelukan. Sepuluh tahun kami berpisah. Sejak Papa mulai stroke dan Pakdhe, ayah kakak saya, meninggal. Kami loose contact nyaris sepuluh tahun ini. Kami bertemu lagi setelah kakak saya sempat menginap beberapa hari di rumah Papa. Senang rasanya bisa mempunyai kakak.

Mama menjelaskan rute yang akan kami jalani pagi ini. Saya dan kakak ke rumah Papa lalu lanjut nyekar ke makam eyang di Bergoto. Mama tak ikut. Untuk efisien waktu, beliau hunting oleh-oleh di pasar Johar. Saya dan kakak berangkat lebih dulu. Rumah Papa yang sekarang ditinggali berada tepat di belakang rumah Thamrin 23. Hanya saja lebih kecil. Rumah itu juga rumah Papa. Dulu rumah itu ditempati saudara Papa.

Saya tak pernah bisa membayangkan, rumah yang ditempati Papa sekarang sebegini kecilnya. Saya sempat merasa, mungkin Kakak salah masuk rumah. Tapi ia tampak begitu yakin dan biasa. Ada seorang wanita tua sedang duduk di teras. Ia mempersilakan kami masuk. Ia sempat mengira saya ini istri Kakak, karena kebetulan Kakak memang baru menikah. Saya tersenyum saja. Saya masuk, rasanya semua seperti runtuh.

Papa. Tua, sakit, tak bisa bergerak. Duduk di kursi roda di depan TV. Kurus, berjenggot, tak terawat. Saraf di bibirnya tak lagi berfungsi sempurna, tak bisa menahan air liur yang terus menetes. Raut mukanya bercahaya ketika melihat saya. Saya, putri terkecilnya, yang paling disayang dan dititipkan harapan terbesarnya pada saya, namun juga yang paling jauh seakan tak tergapai. Hubungan kami...rumit. Kami, terutama saya, susah untuk bilang saya sayang Papa dengan gamblang. Sejak saya masih kecil pun, Papa jarang di rumah. Papa kerja di Jakarta sedangkan saya di Blitar sama Mama. Tapi kami saling menyalurkan energi, kerinduan, dan kasih sayang. Non verbal. Kami saling mendoakan dalam hati. Dalam diam, namun rasa sayang itu tersampaikan. Saya tahu Papa mencintai saya, begitu pun sebaliknya. Sifat dan fisik saya semua mirip dengan Papa. Dan saya bangga. Bangga luar biasa.

Saya meletakkan barang bawaan, oleh-oleh untuk Papa di meja sebelahnya. Saya menarik kursi dari sebelah TV ke sebelah Papa. Mengamati wajahnya yang menua, namun bersinar dengan kehadiran saya. Saya bercerita cukup banyak. Saya ceritakan yang sekiranya Papa belum tahu. Beliau merespon sedikit-sedikit. Lebih banyak "ooo" dan mengangguk, sesekali terkekeh-kekeh. Persis eyang. Papa sudah makin sulit bicara. Jarang dilatihnya. Papa harus mengulang perkataannya dan saya harus memperhatikan dengan seksama, baru saya paham. Saya amati rumah kecil Papa. Hanya ada dua kamar. Pintu belakang yang terbuka, menampakkan halaman kecil. Halaman itu dulu tersambung dengan halaman belakang rumah Thamrin.

Mendadak saya ingat. Salah satu pesanan Papa, cukuran kumis, tertinggal di hotel. Saya berjanji untuk kembali lagi nanti malam, mengantar cukuran kumis. Mungkin ini kehendak Tuhan, agar saya bisa bertemu Papa lebih lama hari ini. Saya pamit untuk ke makam eyang. Saya cium tangan kanannya yang tak bisa digerakkan, menghalau nyamuk yang menghisap darah dari kaki kanannya yang mati rasa. Saya peluk beliau. Kurus, tua. Sempat saya selipkan beberapa lembar uang di saku kanan kemejanya. Ada lubang kecil yang ditisik di kemeja di bagian dada kirinya. Kemeja garis-garis merah yang dulu dibelikan Mama. Hati saya tak karuan. Papa tidak pernah pakai baju berlubang. Ini pertama kalinya saya melihat Papa dalam kondisi demikian.

Selama perjalanan dari Thamrin ke Bergoto saya diam terus. Kakak saya bertanya, setelah lulus nanti saya mau kerja di mana. Dia menyarankan saya kerja di Semarang saja biar bisa merawat Papa. Saya belum bisa menjawabnya.

Setelah membeli bunga, Kakak dan saya menuju makam eyang. Tampak bersih. Persis seperti pertama kali saya kemari tiga belas tahun yang lalu. Kala itu saya disuruh menghafal nama eyang putri dan eyang kakung. Ternyata saya harus membacanya di nisan eyang putri. Kalau tadi saya cukup kagum dengan diri saya sendiri karena tidak menangis di depan Papa, kini saya kalah. Melihat kedua makam eyang saya yang begitu tenang dan damai membuat tangis saya pecah. Kakak hanya bisa menepuk kepala dan pundak saya. Ia biarkan saya menangis lama, memeluk nisan eyang putri. Rindu ini, betapa besar. Saya dulu jarang bertemu beliau, tapi kami begitu dekat. Cara tertawa eyang putri menurun ke saya, terkekeh, kadang terpingkal namun tak bersuara.

Saya menangis hampir lima belas menit lamanya, mungkin lebih. Sedikit meracau, saya curhat kepada mereka tentang kondisi Papa. Berharap mereka bisa membantu. Memohonkan kepada Tuhan untuk menyelamatkan Papa, melindungi Papa. Satu-satunya putra mereka yang masih harus berjuang di dunia. Saya agak iri dengan saudara Papa yang sudah meninggal, Pakdhe Daris dan Om Innisisri atau Om Yatmo. Bukannya saya mendoakan Papa untuk cepat meninggal. Saya tak berani membayangkan betapa hancurnya saya jika suatu saat itu terjadi. Namun yang saya irikan dari om-om saya, bahwa mereka telah dipanggil Tuhan terlebih dahulu, tak perlu lagi merasakan penderitaan dunia dalam kondisi tua, sakit dan tak berdaya. Saya hanya bisa mendoakan semoga Papa diberi kenyamanan oleh Tuhan. Mungkin ini waktu dan kesempatan yang diberikan Tuhan untuk Papa, untuk menebus masa-masa yang ia lewati tanpa ibadah karena terlalu sibuk mencari nafkah. Semenjak Papa sakit, Papa jadi lebih rajin shalat. Dengan duduk tentunya. Belakangan Papa sudah tak bisa wudlu. Papa tetap shalat dengan bertayamum.

Saya taburkan hanya bunga mawar putih di makam eyang putri. Saya ingat beliau pernah berpesan pada Papa kalau nanti eyang putri meninggal, minta disekar hanya dengan bunga mawar putih. Saya menaburkan bunga mawar merah dan putih di makam eyang kakung. Saya tak pernah bertemu dengannya. Beliau meninggal jauh sebelum saya menatap dunia.

Setelah puas menangis dan mendoakan kedua eyang saya, kakak dan saya ke makam pakdhe, ayah kakak. Letaknya satu tingkat di atas makam eyang. Kali ini giliran Kakak saya yang menangis. Di antara dua besaudara,dia yang paling dekat dengan Pakdhe. Mas Ocky lebih dekat dengan Budhe. Kebetulan, suara dan wajah Kakak juga mirip Pakdhe. Saya merenung. Kami, saudara sepupu yang sempat merasa sendirian, kini bertemu lagi. Betapa ini kuasa Tuhan yang luar biasa. Saya yang sejak kecil terbiasa sebagai anak tunggal, rasanya senang sekali bisa memiliki kakak laki-laki yang melindungi dan menyayangi saya. Kami berjanji untuk saling menguatkan.

Saya pulang ke hotel, Kakak langsung ke Jatingaleh. Sampai di kamar sudah ada Mama dan petugas kebersihan hotel. Saya tunggu sampai petugas itu menyelesaikan pekerjaannya dan keluar dari kamar. Saya tutup pintu dan duduk di kasur. Mama cukup bertanya, "Piye?" dan saya ceritakan semuanya. Saya menangis lagi. Awalnya saya masih bisa bercerita sambil menangis. Sampai pada kondisi baju yang dikenakan Papa, saya tak sanggup lagi bercerita. Mama bangkit dari kursi dan memeluk saya. Saya menjerit dalam tangis. Saya menjerit bahwa pria yang saya jenguk tadi seakan bukan Papa. Papa tak pernah memelihara jenggot sepanjang itu, tak pernah mengenakan baju berlubang, tak pernah makan dan minum dari piranti yang kotor. Papa yang kuingat adalah pria yang selalu bercukur rapi, wangi, mengenakan baju rapi dan tak bertisik, rambut disisir rapi, dan makan dengan piranti bersih. Hal itu melukai saya. Betapa Mama menjaga agar saya tak pernah merasa kekurangan. Tapi Papa malah puasa setiap saat. Ini menghancurkan hati saya. Saya tahu bagaimana rasanya lapar. Membayangkan Papa setiap hari harus menahan lapar, rasanya perih sekali. Saya menangis, Mama juga menangis. Setelah tangis saya reda, Mama bilang bahwa apa yang saya lakukan tadi, dengan tidak menangis di depan Papa adalah hal terbaik yang sudah saya lakukan. Saya tak ingin Papa menangis, maka saya juga tidak menangis di depan Papa. Mama berkata bahwa saya dididik alam. Bahwa saya mengerti dan memahami kehidupan dari kondisi orang-orang di sekitar saya.

Malam cepat sekali datang. Matahari istirahat, digantikan bulan. Kakak saya datang dan kami pun kembali ke rumah Papa. Obrolan kami malam itu lebih bebas. Wanita yang tadi saya ceritakan, adalah istri Papa. Ia sedang tarawih di masjid. Papa bilang, istrinya tadi menanyakan siapa saya dan bertanya mengapa saya tidak menginap di rumah Papa. Ada sebersit harapan dalam perkataan Papa bahwa itu pertanda kalau istri Papa sudah mau menerima saya sebagai anak Papa, meski lain istri. Kunjungan saya tak bisa lama. Kakak saya harus menjemput istrinya di kantor pukul delapan malam. Saya pamitan. Saya peluk lagi Papa saya. Sempat kami berfoto bersama. Sebagai bukti bahwa saya telah mengunjunginya dan sebagai pengingat bahwa Papa kandung saya masih ada.

Sampai di kamar hotel, saya memandang langit Semarang dari jendela. Bukan hitam, tidak gelap. Melainkan bersemu merah. Pantulan dari lampu-lampu yang digunakan warga kota Semarang. Malam itu tidur saya tak nyenyak lagi. 

Catatan Semarang - Membuka Kenangan dan Membuat Kenangan (Day 1)

Butuh empat tahun bagi saya untuk akhirnya kembali kemari. Kota ini, bukan kota kelahiran saya. Bukan pula kota di mana saya dibesarkan atau menuntut ilmu. Namun ada yang mengikat sayan dengan kota ini. Kepingan-kepingan kenangan ada di sini. 

Dengan persiapan seadanya, dan secepatnya, saya ditemani Mama, menyempatkan waktu ke Semarang. Nawaitu kami adalah bertemu Papa. Saya tak berani membayangkan seperti apa kondisi Papa sekarang. Yang jelas keinginan saya untuk bertemu dengan beliau sangat besar. Sejak minggu lalu, saya sudah memesan tiket travel dan booking kamar hotel untuk dua malam. Saya menghitung hari dengan sangat tidak sabar. Anehnya sampai H-1 keberangkatan ke Semarang saya masih enggan untuk siap-siap. Meski akhirnya hari Kamis malam saya paksakan untuk packing. Itu pun sebelumnya sempat kesal karena keberangkatan Jumat pagi nyaris diundur Jumat malam karena Mama mendadak ada rapat. Namun akhirnya rapat dimajukan hari Kamis sehingga kami tetap bisa berangkat hari Jumat pagi. 

Jumat pagi, pukul 10.30 kami berangkat. Agak terkejut dengan mobil travel yang akan kami tumpangi, tampak kurang meyakinkan. Ketika berangkat, saya cukup kesal dengan sopir travel yang menyetir sambil menelepon, padahal setirannya kencang sekali. Multitasking yang riskan. Sampai di Kediri dia baru meletakkan ponselnya dan saya mulai bisa terlelap. 

Suhu panas di luar membangunkan saya. AC tak lagi mempan mendinginkan meski masih terasa sedikit-sedikit. Kami berhenti istirahat sebentar di Caruban. Tak berapa lama melanjutkan lagi perjalanan. Suhu di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah ini benar-benar panas. Kami melewati hutan yang meranggas. Pepohonan tampak kering dan kurus. Saya membayangkan bila ada pengendara motor sedang beristirahat di sini dan membuang puntung rokok sembarangan, esoknya pasti akan ada berita di media telah terjadi kebakaran hutan di kawasan Ngawi. 

Kami sampai di Sragen. Kota ini juga menyimpan kenangan bagi keluarga saya. Salah seorang Om saya tinggal di sini. Sayang beliau sudah meninggal. Kami dulu begitu dekat. 

Selepas Sragen saya mencoba untuk tidur. Berhasil. Bangun-bangun kami sudah sampai di Salatiga. Karena lewat jalan alternatif, saya jadi tak begitu mengamati keadaan di luar. Jalan di kota Salatiga biasanya membangkitkan kenangan saya juga. Saya ingat pernah berhenti di sebuah restoran di Salatiga bersama Papa dan Mama. Dan menurut saya, sampai di Salatiga artinya sudah dekat dengan Semarang. Ponsel saya tak berhenti bergetar. SMS bertubi-tubi dari Papa, kakak dan teman-teman yang menanyakan posisi saya terus berdatangan. 

Macet di Ungaran. Teman-teman memprediksikan saya sampai di hotel sekitar pukul tujuh malam. Sebenarnya bisa lebih awal. Tapi sopir mendahulukan mengantar paket-paket. Saya makin tak sabar. Apalagi kami melewati daerah Banyumanik, Semarang Atas. Tampak pabrik, truk-truk dan baliho sebuah minuman bersoda yang terkenal. Sejak kecil, apabila sudah sampai kawasan ini, artinya sebentar lagi kami sudah sampai di rumah eyang. Semakin ke bawah, saya melihat bukit dengan kerlap-kerlip lampu. Ini yang saya rindukan dari Semarang. Ini juga merupakan kepingan kenangan. 

Ternyata kami diantar paling akhir. Karena kami menginap di hotel di pusat kota, yang letaknya cukup dekat dengan kantor agen travel. Setelah check-in, saya bergegas mandi. Saya dahulukan bertemu dengan teman-teman saya. Mereka menjemput saya di hotel, malah membawakan makanan juga untuk Mama. Kami pun pergi. Teman saya ini ada empat. Mas Ardhelas, Mbak Odhiet, Meta dan Mas Luthfi. Kami berkenalan dan bersahabat dari sebuah aplikasi chatting dengan nama room Harry Potter. Kesukaan dan kecintaan kami akan Harry Potter membuat kami bersahabat sejak SMA hingga sekarang. 

Sambil digonceng Mas Luthfi, saya mengamati sekitar. Merasakan hawa Semarang yang hangat, menghirup aroma dan atmosfer Semarang yang selalu sama. Tak pernah berubah sejak dulu. Semarang merupakan ibu kota Jawa Tengah, tapi nuansanya tak pernah seperti ibu kota. Ini juga yang saya rindukan dari Semarang. 

Kami berlima makan malam sambil mengobrol. Tertawa bersama mereka selalu menyenangkan. Saya jarang ke Semarang. Dan ini kunjungan ke Semarang sambil bertemu mereka untuk pertama kali. Tapi setiap kemari saya seperti merasa pulang. Dewasa ini, keinginan saya untuk menyatukan kembali sepupu-sepupu dan kakak-kakak saya yang ‘hilang’ semakin besar. Arti keluarga bagi saya sangat luar biasa. Pulang dari makan malam, kami putar-putar terlebih dahulu. Melewati jalan besar di kawasan Simpang Lima, dan akhirnya, jalan Thamrin. 

Mas Luthfi orangnya anteng. Sepanjang memboncengkan saya, dia hanya diam. Mungkin ia mempersilakan saya reuni dengan atmosfer Semarang. Mungkin juga karena ia tak tahu harus berkata apa. Tapi begitu sampai di jalan Thamrin, ia menoleh ke belakang, ke arah saya, dan berkata, “Ini Thamrin,”. Dari awal berbelok dan memasuki jalan Thamrin, saya sudah merasakannya. Saya bisa bilang, ini jalan pulang. Sebentar lagi saya akan menggeser pintu kamar, mengganti baju dan bermain nintendo bersama Papa di depan Eyang. 

Laju motor Mas Luthfi sedikit melambat. Mata saya mencari angka 23. Nomor rumah Mbah Rayi, eyang saya. Hati saya mencelos. Tubuh saya lemas. Rumah itu sudah bukan lagi rumah. Ia berubah menjadi sebuah warung makan. Tak ada lagi pagar sepinggang. Tak ada lagi halaman luas dengan daun kering berserakan. Saya ingin berpegangan. Ingin memeluk seseorang, sekadar untuk menguatkan saya. Tapi saya hanya bisa berpegangan pada belakang motor. Pikiran saya kosong. 

Dua kali belok kami sudah sampai lagi di hotel. Melihat punggung teman-teman saya menjauh pulang, sebenarnya saya tak rela. Saya masih ingin menghabiskan waktu dengan mereka. Kalau bisa sampai pagi. Tertawa bersama mereka sangat menguatkan saya. Masih ingin keliling Semarang dengan mereka. Mengenal lebih jauh seperti apa rupa Semarang. Membandingkan wajah Semarang dulu dalam ingatan saya dengan Semarang yang sekarang. Malam itu, saya tak bisa tidur. Sekalinya bisa tidur, tidur saya tak nyenyak.

Saturday, 4 August 2012

JAPAN IN JUNE - Review

The more you travel, the more you marvel at how alike we actually all are.

Finally, baca bukunya Mami Donna lagi. Beda dari biasanya, buku mami yg kali ini gak bisa ditemuin di toko buku biasa. Coba aja ke Gramedia, tanya buku Japan in June, sama petugasnya akan ditunjukin buku mami Donna yg lain, atau lebih mungkin buku traveling ke Jepang. FYI, buku ini cuma bisa beli online di nulisbuku.com, kayak buku saya Lolipop Love *numpang promosi*.

Kira-kira buku ini berisi apa hayo? Kalo inget karya-karya mami macam Belanglicious, Kintaholic, Resep Cherry, Kotak Mimpi, Quarter Life Fear / Dilema, mungkin akan berpikiran "paling novel kayak biasanya lagi, dengan latar tempat Jepang, latar waktu bulan Juni (keliatan dari judul lah ya)." Well, tetoooot, Anda salah!! Buku ini bercerita pengalaman perjalanan Mami Donna dan Om Isman di Jepang bulan Juni 2011 lalu.

Biasanya saya suka agak males baca cerita perjalanan orang ke suatu tempat, kecuali kalo saya lagi riset karena mau ke tempat itu. Soalnya terkadang beberapa orang mereview perjalanannya dengan kurang menarik. Tapi keinginan ke Jepang sudah ada sejak dulu, dan Mami kan penulis terkenal *uhuk* yang gaya menulisnya selalu menarik untuk dibaca *uhuk lagi*. Penasaran juga, kayak apa sih seorang penulis menuliskan pengalaman travelingnya ke luar negeri? Bakal semenarik karyanya? Kita buktikan.

Dari awal baca halaman pertama udah ngebatin "It's gonna be fun!" Dan benar. Apa yang ditulis Mami Donna di sini berbeda dengan apa yang biasa orang tulis tentang Jepang. Ditambah khas Mami yang nyeletuk-nyeletuk lucu, buku ini jadi terasa bukan buku review traveling biasa (BBRTB). Nggak cuma cerita tentang 'kronologi' perjalanan Mami Donna dan Om Isman ke Jepang. Tapi juga tips-tips bepergian ke Jepang. Apa saja persiapannya, yg perlu dibawa, mengurus visa, sampai tata cara mandi di pemandian air panas dan tata cara makan di Jepang. Very usefull!! Terus ada foto-foto perjalanannya Mami. Ceritanya Mami juga aduuuuh bikin pengen ke Jepang. Itu..itu yang bikin pengen banget itu omamori (jimat) yang dijual di kuil. Katanya bisa mengabulkan permohonan. Ada yang bertuliskan minta jodoh, lulus kuliah, segera punya anak, lancar melahirkan, karir bagus, panjang umur. Kalo punya duit banyak itu aku beli semuanya .__. Ada juga cerita Mami waktu ke Disneyland. Seru banget ya kayaknya. *gigit-gigit bantal, peluk boneka Minnie*

Mami menceritakan pengalamannya dengan cukup mendetail, menyebutkan nama-nama makanan yang disantapnya selama perjalanan, rute perjalanan, informasi mendalam tentang suatu hal (sushi misalnya) dan banyak lagi. Nggak cuma rute perjalanan macam : hari pertama kami ke sini, lalu ke sini, trus ke sana. kami beli ini, itu, inu. Kalo saya sebutin di sini nanti jadi spoiler dong. Hihihi.

Yang jelas, ini bukan buku review traveling biasa (BBRTB). Belinya aja di tempat khusus, di nulisbuku.com. Apalagi saya dapetnya eksklusif juga, dapet tanda tangan looooh. *pamer* *ditimpuk*

Kalo saya baca buku ini saya jadi penasaran dan pengen ke Jepang, semoga review saya ini bikin penasaran dan pengen beli bukunya mami Donna. Ingat! Hanya di nulisbuku.com, bukan di tempat lain *suara iklan penjual alat kebugaran*

ITADAKIMAAAASU


ini dalemnya. fotonya berwarna uy!


Thursday, 2 August 2012

Klenteng Merah

Imlek. Tahun Baru Cina. Semua warga keturunan Tiong Hoa berduyun-duyun ke klenteng. Ramai-ramai mereka berdoa agar tahun ini penuh berkah. Apalagi ini tahun Naga. Naga dipercaya sebagai dewa yang membawa keberuntungan. Tapi, menjelang tahun baru ini sama sekali tak dirasakan hujan dan angin yang mendekati badai. Ini malah membuat para warga keturunan Cina gelisah. Tak ada angin dan tak ada hujan artinya susah mencari rejeki selama setahun mendatang. Pertunjukkan barongsai digelar semalam suntuk. Para biksu dan warga berdoa dengan khusyuk. Yang lain menonton barongsai atau duduk diam dirumah masing-masing sambil menatap langit. Berharap hujan dan angin segera datang ke bumi. 

Ni O menatap klenteng di depan rumahnya. Klenteng kini ramai dikunjungi warga, tidak hanya warga keturunan tapi juga warga lokal. Menyaksikan barongsai. Seperti tiada lelah, pemain barongsai itu terus menerus menari di balik kostum barongsai, mengedip-kedipkan mata dengan genit dan mengundang tawa. Lampion-lampion terus menyala. Ornamen naga raksasa di depan klenteng tampak gagah dan indah. Suka cita itu tak sampai di hati Ni O. Entah mengapa ia tak menikmati malam pergantian tahun Cina ini. Biasanya ia akan semalaman di klenteng. Setelah sembahyang ia akan membantu ibu-ibu di sana atau bergosip dengan para remaja. Atau bercanda dengan Han Wen, teman sejak kecilnya. 

Dari kejauhan Ni O bisa melihat Han Wen berkeringat di balik kostum barongsai warna kuning. Biasanya Ni O akan melemparkan handuk ke muka Han Wen sambil menyodorkan sebotol air mineral. Lalu Han Wen akan menjepit dirinya dengan mulut barongsai. Dan mereka tertawa bersama. Tapi kali ini tidak. 

Ni O berbaring lagi di kasurnya. Menatap langit-langit. Menyusuri garis kecoklatan bekas bocor di sana. Panjang, meliuk, seperti tubuh naga. Kamarnya bau Hio. Setengah jam yang lalu ibunya berdoa di kamarnya, sebenarnya di setiap ruangan di rumah ini. Ni O pura-pura tidur agar tidak mengganggu ibunya. Dan juga agar ia tak disuruh ke klenteng. Bukannya malas. Ia hanya sedang tidak bersemangat. 

Tiba-tiba jam besar di ruang tengah berdentang. Dua belas kali. Sudah ganti tahun. Ni O mendengar sorak sorai di klenteng. Tetapi ia juga mendengar suara tangis kecemasan samar-samar. Suara nyanyian seorang wanita menelusup di telinganya. Ni O diam, menajamkan pendengarannya. Nyanyian itu masih ada, namun kemudian hilang. Ni O duduk di kasurnya dan menatap klenteng dari jendela. Tak ada yang menyadari, mata naga raksasa itu bersinar sekejap tepat ke mata Ni O. 

Tuesday, 10 July 2012

Redup

Hampir setahun sejak pertemuan pertamaku dengannya. Samar-samar aku ingat wajahnya, senyumnya. Bagaimana ia serius ketika bekerja, alisnya yang bertaut tanda ia sedang berpikir. Kegesitannya, emosinya, keceriaannya. Namun dalam pertemuan pertamaku itu perhatianku tak hanya tertuju padanya. Ada yang lain, yang tak teraih, namun membekas di hati. Kesederhanaannya, kedewasaannya, ketenangannya. Mereka berdua berbeda. Mereka berdua bersahabat.

**

Aku berjanji bertemu dengannya pagi ini. Kupersiapkan diriku sebaik mungkin. Aku tak sabar ingin melihatnya. Apakah dia juga? Lama tak bertemu, berubah kah dia? Sebenarnya ada saat kami bertemu kembali setelah pertemuan pertama kami. Tapi aku tak pernah punya nyali untuk mendekatinya. Seperti biasa dia tampak ceria. Akan kah ia menebar senyum cerianya lagi?

Aku menghubunginya. Ia membalas posisi dia sekarang. Aku sengaja mengulur waktu sedikit meskipun jarakku sudah dekat dengannya. Menata hati. Dan akhirnya aku menemukannya. Duduk bersila di hadapan sebuah laptop. Tampak serius seperti biasa. Namun ada ceria di matanya, dan seulas senyum di bibirnya. Cantik. Tapi kenapa dadaku berhenti bergemuruh? Ada yang salah. Bukan, bukan dari dia. Dariku kah?

Aku berjalan di depannya. Ia tak menyadari kehadiranku. Lalu aku menghempaskan tubuhku di sebelahnya, ia menoleh dan aku langsung disambut senyum lebarnya. Sejenak kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Hampir dua jam, kalau itu bisa dibilang sejenak. Aku meliriknya. Astaga, ia melihatku! Dengan matanya yang bulat besar, senyum mengembang di wajahnya yang makin lebar ketika aku menyadari bahwa ia melihatku. Laptopnya sudah ditutup.

"Sudah selesai?" tanyaku. Ia mengangguk. Tapi ia tak beranjak dari duduknya. Ia tampak bosan. Aku....entah kenapa aku tak bisa memberikan inisiatif. Otakku sepertinya berhenti berkreasi. Andai saja aku bisa membaca apa yang ada di pikirannya. Senang kah dia bertemu aku? Atau jemu? Jangan-jangan dia juga berpikir sama sepertiku. Ini di luar ekspektasiku!!

Bukan...bukan dia yang salah. Dia tampak menyenangkan, seperti biasa. Hanya saja, setelah bertemu dengannya, semangat yang tadinya ada mendadak menguap. Entah kenapa. Biasa saja.  Aku paksakan untuk berbicara. Menanyakan kesehariannya. Ceritanya menyenangkan. Beberapa hal membuatku terpingkal. Tapi kemudian ada jeda setelah tawa. Ada hening setelah ramai. Mungkin aku jahat. Tapi aku malah ingin bertemu dengan yang lain. Ingin melihat ketenangannya. Keteduhannya. Yang bisa menyeimbangkan sinar menyilaukan.

Akhirnya aku menyerah. Kami pun pulang. Tak ada indikasi pertemuan akan diteruskan. Tak ada yang berkata "Senang bertemu denganmu" atau semacamnya. Hanya saling bertukar senyum, saling melambai, lalu pulang ke arah masing-masing. Hanya demikian. Singkat saja. Seandainya tadi aku berani, mungkin aku akan menambahkan kata "maaf" setelah kata "terima kasih".

Monday, 18 June 2012

The Unknown : The Fashionable One

nerusin cerita dari Ichy The Unknown : Hari Pertama yang digagas ama Farah The Unknown : Penentuan

Nania menyesap tehnya dengan penuh syukur. Setelah diterima dan disambut dengan hangat, serta melewatkan hari pertamanya bekerja di sini membuat Nania merasa lebih rileks. Sebelumnya ia telah menyiapkan mental untuk hal-hal buruk. Seperti tidak diterima, atau penyambutan dingin dan tak menyenangkan dari orang-orang di kantor ini. Betapa terkejutnya ketika semua berjalan sangat mulus. Sangat lancar.

Tapi yah, omelan Mama disela kegembiraannya mau tak mau mengusiknya juga. Mama yang tiap pagi ngomel dengan penampilannya agar tampak lebih menarik, kehebohan Mama dan harapan Mama yang memintanya untuk segera cinlok dengan salah satu teman sejawatnya tidak bisa diabaikan begitu saja. Pengen sih pengen. Tapi apa mungkin bisa secepat itu? Ah, sudahlah. Yang penting kerja dulu.

Suara kletak-kletok hak sepatu menggema di ruangan. Ini asing. Orang-orang di ruangan ini jarang mengenakan sepatu yang berisik macam itu. Kadang mereka memilih wira-wiri dengan sandal karet yang mereka simpan di bawah meja masing-masing. Tapi ini? Nania agak terganggu, menoleh dengan sangat penasaran ke arah suara. JEBRET!!! Nania membelalak.

Tinggi semampai, langsing, setelan jas warna marun rapi tanpa kusut setitik pun. Sepatu stilleto hitam mengilat tanpa debu. Rambut pendek model bob yang tersisir rapi. Make up sempurna tanpa cela, tak berkesan tua. Beberapa pria di ruangan menoleh. Ardi yang terkenal rame bersiul nakal. Para wanita menyapa ramah, sebagian tak menggubris. Nania makin membelalak ketika sosok cantik dengan penampilan sempurna itu berjalan ke arahnya.

"Kamu ya anak baru itu?" tanyanya. Nania mengangguk, tersenyum sopan.
"Ckckck, apa-apaan. Rambut berantakan, kemeja lusuh, rok kusut, makeup luntur, sepatu kusam. Gimana citra kantor kita kalo ketauan punya pegawai nggak oke kayak gini??" cerocosnya. Nania bengong. Apa dia bilang??
"Dandan dikit kek kalo ke kantor. Malu tau punya pegawai berantakan kayak kamu gini. Iyuuuh,"

"Lily, udah lah. Namanya juga anak baru. Lagian beda ruang juga ama kamu, jangan digituin ah," sahut Rosa dari biliknya.
"Ckckck, kalian ini. Kalo bukan aku yang ingetin kalian, mana mungkin kalian berpenampilan lumayan oke kayak gini? Masih lumayan lho ya. Yang ini...aduuh, males ah training dia lagi," kata Lily.

Nania masih terdiam. Kalo nggak inget dia masih baru di sini, udah meledak kali dia. Siapa juga yang mau ditrainee ama dia? Penampilan nggak oke? Masih mending pake baju, daripada telanjang ke kantor?? Mood kerja jadi anjlok kalo begini caranya!!

Tuesday, 1 May 2012

Social-Media Friends, How Can I Understand Them?

Seperti biasa, jam-jam makan malam anak-anak kost ngumpul di meja makan. Ada yang lagi masak, ada yang mulai menikmati makan malamnya, ada pula yang udah selesai makan duluan. Seperti biasa juga, aku makan sambil ngobrol dan chatting WhatsApp sama anak-anak Plurk. Kadang aku ketawa-ketawa sendiri baca obrolan anak-anak Plurk di WhatsApp grup. Kadang aku nyeritain ke anak-anak kost tentang mereka. Kebiasaan mereka, gilanya mereka, sifat mereka yang aku ketahui. Dan mendadak aku mendapat pertanyaan dari mbak kost yang dosen psikologi :
Kok kamu bisa tahu mereka banget? Kan kamu belum pernah ketemu mereka dan cuma tahu mereka dari kata-kata mereka. Bagaimana kamu bisa men-judge sifat mereka gini gini gini?
Well, beberapa hal di dunia ini kadang tidak terdefinisikan. Dan aku menganggapnya sebagai sebuah keajaiban dan sebagai sesuatu yang memang sudah harus terjadi demikian. Kadang ada kan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan alasan-alasan.
Kalaupun aku harus menjawab pertanyaan mbak kost di atas, aku menjawabnya sebagai sebuah anugerah dan sebagai pengaplikasian dari teori-teori komunikasi yang aku sudah lupa bagaimana bunyinya. Hahaha.

Kalau mau dijawab dengan agak panjang, aku menjawabnya berdasarkan historical perkenalanku dengan mereka. Pertama kali aku punya teman di social-media pas masih SMA kelas dua, jaman masih pake Friendster dan ada Mig33. Karena waktu itu euforia Harry Potter masih ada, aku nyari room Harry Potter di Mig33. Dari situ kami saling kenal satu sama lain. Kecocokan membuat kami bertahan bersahabat sampai sekarang. Meskipun jarak kami berjauhan. Kami saling update kalo ada sesuatu yang baru, yang kami mintai bersama, salah satunya social-media. Saling nge-add. Pada punya Facebook, add Facebook. Pada punya Twitter, pada follow-followan. Pada punya Plurk, saling nge-add.

Salah satu anak Mig33 room Harry Potter (kami sebut diri kami d'Phoenix), Mimi, is a social-media butterfly. Dia yang ngenalin aku ke temen-temen Plurk dia yang lain yang bukan anak d'Phoenix. Just as simple as that. Jadi, sebenernya semua bermula dari Mimi ini. Tapi aku juga nggak asal nge-add. Aku lihat dulu mereka gimana cara ngomongnya di soc-med. Kedekatan mereka dengan Mimi yang bisa jadi referensi karena pasti Mimi kenal mereka banget. Ya udah, lalu saling add, ternyata kita cocok.

Simpel banget ya? Kalo orang lain mungkin mikir-mikir mau kayak gini. Takutnya ternyata mereka punya niat terselubung ato gimana, kalo inget banyak berita penipuan dan penculikan via socmed. Eh, waktu pertama kopdar ama d'Phoenix ama Plurker Jakarta itu, orang rumah di Blitar pada kalang kabut ngewanti-wanti. "Ati-ati, nanti kamu diculik!" "Cari tempat ketemuan yang rame, cepet pulang!" X)

Tapi, sama seperti jatuh cinta. Kadang nggak bisa dijabarkan alasannya. Malah kalau disebutkan alasan dari pertanyaan "Kenapa kamu bisa mencintaiku?" keliatan kalo dibuat-buat. For me, ketika jatuh cinta pada seseorang, yang bener-bener jatuh cinta, sulit buat ngejelasin alasannya. Kalo dijawab dengan "karena kamu ganteng" kok kesannya main fisik. Kalo dijawab "karena kamu baik" katanya itu alasan klise. Kalo dijawab "karena kamu kaya" dibilang matre. Menurutku, jatuh cinta yang bener-bener tulus itu terjadi begitu saja. Karena ya memang begitulah adanya. Nggak bisa ditolak, nggak bisa dipaksa, nggak bisa diredam. Alasan seperti nyaman, dia ngerti aku, dsb itu sih perasaan setelah terbiasa dengannya.

Lah, kenapa jadi bahas jatuh cinta? Balik ke topik. Jadi intinya, bagaimana aku bisa nyaman dan mengerti teman-teman dunia maya-ku, padahal jarang bahkan nggak pernah ketemu, tidak bisa dijabarkan dan didefinisikan dengan kata-kata. Terjadinya ya begitu saja. Bagaimana aku bisa percaya mereka, karena empati dan simpati selama berteman dengan mereka. Bagaimana bisa saling memahami hanya dengan social media, itu yang membuatku percaya dengan mereka. Bagaimanapun juga yang namanya social media nggak bisa lepas dari prasangka. Untuk memproteksi diri, cukuplah dengan memberi informasi seperlunya di akun socmed kita. Nggak perlu sampe nomor hape dan alamat dipajang juga. Dan, kalo sampe ada yang membuat akun dan tokoh palsu dan nggak mau mengakuinya, itu sih namanya dia penipu.

Sekian cuap-cuap saya sore ini.
Adios!

anind

Kembali

"Masakin," katanya. Aku mengibaskan tangan, menyuruhnya menjauh dariku.
"Apa sih? Ketemu sekali langsung bilang masak, masak," sungutku.
"Masakanmu enak, aku mau lagi,"
"Lagi nggak pengen masak," jawabku datar.
"Ayolah,"
"Apa sih? Ogah!" jawabku kesal.
""Pelit," katanya. Dalam hati aku mengikik senang.


"Masakin, doong," pintanya lagi.
"Nggak ada kata lain selain itu ya?"
"Aku mau kamu masakin lagi," pintanya memelas.
"Aku lagi nggak mood masak," kataku.
"Masa dari kemaren nggak mood terus?"
"Masa dari kemaren minta dimasakin terus?" sahutku balik.
"Pelit,"
"Biarin," jawabku sambil menjulurkan lidah.


"Ndut,"
"Namaku bukan Ndut," jawabku kesal. Apa sih maunya orang ini? Bisa nggak sih dia manggil aku dengan namaku saja? Dikiranya aku nggak risih dipanggil ndut? Aku kan nggak gendut. Terus dia nyuruh aku ke taman ini buat apa coba? Sore-sore begini kan enaknya di rumah aja. Kenapa juga aku turutin dia buat ke sini. Aku sebal dengan diriku sendiri.
"Main yuk," ajaknya.
"Ke mana?"
"Main futsal,"
"Heh, aku nggak main futsal!" jawabku.
"Temenin," katanya.
"Cewekmu aja lah," jawabku.
"Udah nggak sama dia," jawabnya.
"Ooooh, baguuus. Jadi aku serepan gitu? Kalo kamu udah nggak ada pacar baru ngajak aku? Pantes dari kemaren kamu minta dimasakin segala, mulai sms-sms juga. Ke mana aja kamu kemaren? Sibuk sama pacarmu?" kataku sengit.
"Kok kamu marah?" tanyanya.
"Siapa yang marah? Nggak!" jawabku dengan nada sedikit meninggi.
"Itu tadi?"
"Apa sih? Sana pergi," usirku. Dia diam. Tak beranjak.
"Lavender Violeta Arum," katanya, menyebut nama lengkapku. Aku tak menoleh. Aku pura-pura tak mendengarnya. Ia memanggilku lagi dan aku masih saja tak peduli. Aku kesal. Ke mana saja dia? Ketika ia berpacaran dengan wanita itu, tak sekalipun dia menghubungiku. Giliran udah putus baru sms, baru ngehubungin. Ish. Dikiranya aku ini serepan apa?
Aku pergi meninggalkannya. Dalam perjalanan mendadak ponselku berbunyi.

La, balik, please. Ada barang milikmu yang ketinggalan.

Barangku? Aku nggak merasa ninggalin barang apapun. Aku saja nggak bawa apa-apa selain tas berisi dompet dan ponsel, dan semuanya masih utuh di dalam tas. Penasaran aku berbalik dan berjalan menuju dia. Dia masih di sana. Dalam posisi yang sama. Kedua tangannya berada di balik punggungnya. Ia berdiri tegap. Sinar matahari sore di belakangnya, membuatnya tampak seperti siluet. Seperti lukisan. Jingga, siluet, taman. Novel banget.
"Apa?" tanyaku ketus. Aku hampir melonjak ketika ia mendadak berlutut di hadapanku. Kupikir dia jatuh pingsan karena kelamaan berdiri menungguku balik. Tapi dia nggak ambruk. Hanya bersimpuh di depanku, mendongak menatapku. Tangan kanannya mendadak meraih tangan kiriku. Aku tak sempat mengelaknya. Tapi aku berusaha menepis tangannya. Nggak bisa. Tangannya lebih kuat dari tanganku. Dan mendadak, sebuah cincin emas mungil sudah melingkar di jari manis kiriku.

Saturday, 28 April 2012

Sebuah Nama, Sepenggal Kenangan

Sore yang panas membuat Ratna memutuskan untuk membuat segelas es kopi dengan shaker-nya. Ia tuang serbuk kopi yang diserukan sebagai kopi dengan kadar asam rendah ke dalam shaker, lalu menuang air es dan tiga bongkah es batu. Ditutupnya shaker dan mulai mengocok, lebih tepatnya mengguncang shaker warna pink putihnya. Ditenggaknya dengan penuh kepuasan. Sore yang tenang, meskipun hawanya panas. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Mama.

"Halo,"
"Halo, ndhuk. Lagi ngapain?" tanya Mama. Ada nada semangat tersirat dalam suaranya.
"Bikin es kopi, panas," jawab Ratna.
"Oooh. Ndhuk, kamu inget Mas Angga?"
"Mas Angga siapa, Ma?"
"Mas Angga, yang anaknya temen Mama waktu SMA, Tante Yuni. Yang rumahnya di Malang juga," jawab Mama.
"Ma, itu Mas Galih, bukan Mas Angga," jawab Ratna.
"Oooh, iya, Mas Galih! Aduh, lupa Mama. Iya, Mas Galih mau nikah,"
JDAAARRRRR!!!!! Ratna terpaku.
"Minggu depan, ndhuk, resepsi di Malang. Mama mau dateng, kamu ikut ya,"
JDAAAARRRRRR!!!!! Ratna ambruk.


Wednesday, 11 April 2012

Review : How To Be a Writer


Tell me, berapa banyak buku panduan untuk menjadi penulis yang ada di toko buku? Banyak banget! Semua dengan gaya dari penulisnya sendiri. Kadang ada yang terlalu saklek dari si penulis, padahal tiap orang punya gaya, motivator, dan cara tersendiri untuk menciptakan tulisan. Baru kali ini aku dapet buku panduan menulis dengan gaya yang fun. Baru mami Donna yang bikin buku panduan kayak gini. Kalo kalian follow Twitter mami Donna @cinnamoncherry, tiap hari Jumat mami ngetwit tips menulis di #NulisYuk. Di buku ini semua terangkum dalam bab-bab sesuai kebutuhan kalian. Pengemasannya nggak cuma dalam bentuk tulisan non-fiksi, tapi juga fiksi. Menarik kan?

Zoya merasa bahwa dia jenius dalam menulis. Ketika ia menyerahkan hasil tulisannya ke guru barunya, Bu Selma, ia yakin akan mendapat pujian seperti biasa yang ia dapatkan dari Bu Molly. Tapi ternyata malah sebaliknya. Sebel? Iya. Dongkol? Banget. Sampai terbersit pengen balas dendam. Tapi kemudian dia menemukan cara belajar menulis dengan observasi bareng bocah cilik anak tetangganya yang nakal!
Di bagian kedua, mami Donna memberi tips bagaimana menemukan ide, memulai tulisan, membuat penutup yang manis, sampai menerbitkannya. Lengkap! Dan pastinya fun nggak ngebosenin. :D

Wednesday, 4 April 2012

Resensi : Coloured Lights, Lampu Warna-Warni

Finally, resensi lagi. Obsesi pada fashion bikin saya lupa menyisihkan investasi ke buku-buku *self keplak*
Buku ini kebeli karena warna sampulnya yang hampir mirip ama design sampul bikinan aku buat tugas design grafis. Hihihi. selain itu ceritanya tentang masyarakat Timur Tengah yang tinggal di Inggris. Seriously, di jaman modern gini, dengan perbedaan budaya yang cukup ekstrim, itu pasti jadi beban tersendiri buat mereka dan aku cukup penasaran dengan cara mereka survive. Aku sendiri juga suka budaya Inggris dan Timur Tengah. Inggris dengan aristokratnya, aroma kebangsawanan dan eksklusifitas di mana-mana. Timur Tengah dengan kekentalan agamanya, tradisi yang dipegang teguh turun-temurun.

Tiga belas cerpen dikemas dengan bahasa yang indah di sini. Mendeskripsikan suasananya dengan detail. Apa yang dirasakan tokoh seperti terasa pula olehku. Seperti transfer perasaan. Yang membanggakan, salah satu cerpen di buku ini yang berjudul The Museum mendapat penghargaan African Booker, Caine Prize untuk African Writing. Aku pribadi menyukai cerpen yang berjudul Pemuda dari Kedai Kebab. Judulnya menarik karena, well, aku suka kebab. Agak penasaran juga apa yang terjadi sama pemuda itu. Ceritanya hampir bisa ditebak, seorang gadis menyukai pemuda dari kedai kebab. Tapi kemudian ada unsur mengejutkan selain sekedar rasa suka. Seorang gadis bernama Dina bertemu Kassim, pemuda dari kedai kebab di sebuah seminar. Kassim membantu menyiapkan hidangan di seminar. Dina kemudian berkunjung ke kedai kebab tempat Kassim bekerja. Dan dari situ Dina mengetahui bahwa Kassim adalah seorang mualaf yang mendapatkan ketenangan dari agamanya, Islam. Sedangkan Dina yang sejak lahir beragama Islam malah belum pernah merasakan ketenangan itu karena orang tuanya melupakan kewajiban itu, meleburkan budaya dan asal usul mereka agar bisa diterima di lingkungan mereka di Inggris.

Beberapa tokoh di sini diceritakan berusaha meleburkan diri dengan masyarakat Inggris, dengan cara mengesampingkan budaya asal mereka yang unik dari Timur Tengah. Beberapa tokoh yang lain memegang teguh budaya tersebut, tercabik di antara gelombang modernitas dan kerinduan kampung halaman.

Two thumbs up buat Leila Aboulela. Gaya penceritaannya mengalir. Nggak terlalu serius, nggak kaku, tapi juga nggak sembarangan. Membuat para pembaca tahu bahwa nggak mudah untuk tetap berdiri tegak dengan perbedaan budaya yang kontras. Tetapi juga mengajarkan pembaca bahwa penting untuk menjaga tradisi asal kita untuk mengingatkan dari mana kita berasal.

Leila Aboulela pakarnya dalam memunculkan sesuatu yang sederhana menjadi istimewa, mampu merangkai cerita yang kelihatannya kecil tapi meneriakkan keinginannya untuk didengar. - The Scotsman

-anindrustiyan-


Pencarian

Ada banyak kebetulan terjadi di dunia ini. Ada banyak kemiripan pula di tiap jengkal di belahan dunia ini. Ada yang percaya dengan kebetulan, ada juga yang anti dengan kata kebetulan. Aku hanya mengikutinya saja. Membiarkannya lewat dan mengalir di sekitarku. Memberikan sensasi kejut yang menyenangkan ketika menghampiriku.

Aku tak pernah menyangka bahwa suatu saat aku menemukannya. Ini bukan kebetulan. Bukan pula rekayasa. Aku memang sengaja mencarinya. Dengan harapan membuncah dan doa yang mengalun dalam setiap desah.

Kutulis pesan singkat pada ibuku. Menulis sebuah pertanyaan yang pasti menimbulkan keheranan dalam benaknya. Dugaanku tepat. Tak sampai lima menit ibuku membalas dengan pertanyaan, "Untuk apa?" Aku hanya bisa menjawab bahwa aku hanya ingin tahu saja. Sejurus kemudian ibuku membalas lagi. Tanpa pertanyaan, tanpa syarat. Langsung pada jawaban yang kuharapkan.

Dengan gemuruh dan dentum tak biasa kutulis ulang sederet kalimat dari layar ponsel ke layar komputer. Mesin pencari social media ini pun bekerja. Sesaat ia memintaku untuk lebih menspesifikkan pencarian, mengais data dalam penelusuran memori masa lalu. Ketika hasilnya telah ia suguhkan, sedetik kemudian pipiku terasa basah, hangat. Aku yakin itu dia.

Jemariku bergetar. Kedua mataku menyusuri wajah dalam foto itu. Seratus persen aku yakin. Kemiripan kami bukanlah suatu kebetulan. Ada faktor penentu yang membuat wajah kami terpahat sama. Hanya mata kami yang berbeda. Selebihnya tak ada keraguan.

Masih dalam tangis aku menatap foto-fotonya. Semuanya. Ia memajang fotonya dua puluh tahun lalu, berpose di depan rumah yang sama-sama memiliki kenangan bagi kami. Manis dan pahit. Aku tersenyum kecil. Aku lupa bahwa ia pernah berambut sepanjang itu. Rambut yang sama denganku. Panjang, lurus dan halus. Senyumnya merekah.

Aku mendesah. Menelan tangis yang telah membuncah. Keraguan menelusup. Akankah ia menerima permintaan pertemananku? Jika iya, apakah ia menerimanya sebagai aku? Ingatkah dia akan aku? Sempatkah ia berpikir bahwa aku ada? Hanya sepelemparan dadu saja jarakku dengannya. Aku memandang fotonya lagi. Ia telah berkeluarga. Bahagia bersama keluarga kecilnya. Dapat kubaca dalam wajahnya ia ingin menjadi ayah yang baik bagi putranya. Dengan pengalaman serta sakit hati masa lalunya, aku yakin ia cukup terobsesi dengan hal itu.

Kuseka tangisku. Tersenyum aku pada senyumnya, senyum yang nyaris sama dengan faktor penentu kemiripanku dengannya. Ia semakin tua, semakin mirip dengan Papa. Dalam hati aku berbisik sekarang belum saatnya. Dan aku hanya bisa puas mengetahui, aku masih mirip dengan kakakku.


Friday, 16 March 2012

Lollypop Love

Perkenalkan, album duet saya bareng Atiqoh :')
Buku ini kita terbitin di NulisBuku, sebuah self publishing di Indonesia.
Temen-temen kita di Plurk pada kaget ternyata kita belum pernah ketemu X)
Buku ini isinya 11 cerpen cinta berdasarkan imajinasi (sama pengalaman) kita (ninja)
Alhamdulillah yes, udah banyak juga yang baca dan nulis review buku ini buat kita.
Reviewnya dikumpulin di link berikut ini :

Review #LollypopLove 4 by @galsoewandi
Review #LollypopLove 7 by @agungrizkianto *pacarnya atiqoh* (ninja) kabur

Sekarang sih, si Atiqohnya udah ngelairin anak kedua di Nulisbuku.com. Saya.......skripsi dulu deh ;____;

Thursday, 1 March 2012

Just Because of Parfume

Beberapa paragraf pertama di cerpen terbaru saya :3


Sebagian orang di dunia ini menggilai parfum. Parfum buat mereka, selain untuk melengkapi kesempurnaan penampilan, juga untuk mendeskripsikan karakter mereka. Beberapa menyukai hanya satu macam wewangian, yang sering diinterpretasikan sebagai seseorang yang setia. Beberapa menyukai berbagai macam wewangian, sekadar mengganti suasana atau karena memang mencari wewangian yang pas. Ada juga yang mengkoleksi parfum. Keunikan dari masing-masing botol membuatnya layak untuk dikoleksi.

Termasuk aku, menyukai parfum. Tak hanya parfum untukku, tetapi juga parfum miliknya. Wangi yang selalu menggema ke seluruh ruangan. Meski ruangan itu memiliki ventilasi baik dan lebar, namun wanginya tetap memenuhi ruangan itu. Pengharum ruangan saja kalah. Dan aku menikmati berdua bersamanya di dalam mobil. Dengan aromanya yang dominan, tanpa efek memusingkan. Pernah aku ingin menanyakan merk parfum yang ia kenakan. Tapi aku yakin, hampir semua orang termasuk dia pasti akan menyembunyikan merk parfumnya. Yah, parfum sudah menjadi barang sangat pribadi melebihi ponsel.

Seperti hari ini, dia datang menjemputku. Jantungku sudah berdegup kencang. Melihatnya berjalan saja rasanya sudah mau pingsan. Aku berdiri mematung di dekat gerai KFC bandara. Ia semakin dekat dan tersenyum padaku. Tanpa menyapa ia langsung menunduk meraih tas bajuku. Aku merasa seperti Edward yang tak tahan dengan aroma tubuh Bella. Tapi sama-sama dalam konteks takut kecanduan, takut kebablasan melakukan hal-hal yang ‘tak diinginkan’.

Ia berdiri di samping mobil menungguku. Dibukanya pintu mobil depan. Aku masuk. Aroma parfumnya lagi-lagi sudah menyebar di seluruh mobil. Dan aku menyesalkan bahwa perjalanan nanti sangat singkat. Ia duduk di belakang kemudi. Di perjalanan aku lebih banyak diam. Sesekali melihatnya mengemudi. Memperhatikan tangannya yang lihai memutar kemudi, memindah gigi persneling. Kakinya yang tanggap menginjak kopling, rem dan gas. Aku juga bisa mengemudi. Baru bisa tepatnya. Jadi aku mengagumi gayanya mengemudi yang begitu halus.

Jentikan jarinya di depan mataku mengagetkanku. “Kok lihatin aku?” tanyanya. Aku mendengus pelan, menggeleng. Tapi aku melirik lagi.

“Sepertinya suasana hatimu sedang bagus sekali hari ini,” kataku. Ia tersenyum.

“Bukankah biasanya juga begini?” tanyanya.

“Biasanya kamu dingin,” kataku pelan.

Sial, umpatku dalam hati. Parfumku masih tetap kalah dengan aroma parfumnya. Dan aku terkejut ketika ia seperti bisa membaca pikiranku.

“Parfumku luar biasa ya, parfummu sampai kalah,” katanya. Wajahnya terlihat geli.

“That’s not funny,” kataku kesal. Ia malah tertawa semakin keras. Ia memutar kemudi dengan satu tangan, halus sekali. Memasuki pelataran kantor Mama.

“Sudah sampai,” katanya, masih sambil tersenyum. Aku mengucapkan terima kasih sekilas sambil membuka pintu mobil. Sedikit menyesal kenapa aku terlalu terburu-buru keluar dari mobil. Udara di luar menetralkan paru-paruku. Tapi aku malah tak merasa lega. Ingin rasanya kembali ke dalam mobil, menyuruhnya membawaku jauh entah ke mana dan menghabiskan waktu berdua. Well, itu cuma khayalanku saja sih.

Monday, 27 February 2012

Keputusan Terakhir, cerpen duet bareng @rayfarahsoraya

Ini cerpen duet aku sama @rayfarahsoraya. Baru kenal, dikenalin @IchyFitri. Dia ikut #20hariNulisDuet. Bikin beginian ternyata asik juga :3


Fafa menatap jam di dinding
’8 jam lagi’,batin Fafa.Dibereskan lagi semua yang masih belum masuk.
Satu,dua,tiga,,,Tiga koper besar dan masih ada yang harus ia urus dan ia masukkan ke dalam koper berikutnya. Fafa menghela nafas panjang,lelah. Hampir tiga jam lebih ia masih sibuk mengepak barang.
‘Kenapa harus mendadak gini sih?’
Semuanya hampir ia salahkan,ini bukan karena keinginan Fafa,ini keinginan mereka,atau mungkin Fafa menginginkannya tapi urung mengakuinya.
***

Lima tahun mereka bersama, lima tahun itu pula Fafa memujanya. Rasanya seperti sebagian hidup Fafa didedikasikan hanya untuknya. Hampir seluruh temannya bilang ia terobsesi, berambisi, terhadap wanita itu. Fafa hanya menggeleng, menepis perkataan mereka, olokan mereka, yang berkata bahwa Fafa terlalu berlebihan. Fafa merasa nyaman dengan dia. Itu saja. Itu yang membuat Fafa bertahan dengannya lima tahun ini, meng’iya’kan segala perkataannya. Bukan hanya permintaannya, bahkan omelan kecilnya untuk bergegas mandi atau membereskan ruang TV yg berantakan. Semua Fafa patuhi. Seperti sekarang ini. Ketika ia berkata ingin pindah ke Singapura, tiga hari lalu. Dan ia ingin pergi bersama Fafa. Dan itu harus. Yang berarti mengorbankan pekerjaan Fafa, kuliah Fafa, juga tabungan Fafa.

Tok tok tok
Bunda mengetuk lembut pintu, Fafa tahu, ada yang sangat ingin Bunda katakan sebelum keputusan ini terlanjur bulat. Bagi Fafa, semua sudah positif, Fafa ingin selalu bersama Ninda.
“Masuk,Bunda”
Bunda masuk dan tersenyum kepada anak lelaki yang ia cintai.
“Kamu belum sarapan,Mas”
Fafa menggeleng pelan, “Sebentar ya Bunda, masih banyak yang harus Mas packing“
Bunda duduk di sebelah Fafa, membantu melipat pakaian. Menatap lama anaknya, Fafa tidak ingin Bunda menangis, atau mengatakan sesuatu yang membuat semua keputusan menjadi berat. Bunda mengelus kepala putranya sekilas.
“Kamu yakin sama semua keputusanmu,Nak?”
‘Bunda..kok pertanyaan itu lagi?’,Fafa tersenyum dan mengalihkan pandangannya ke semua barang-barangnya.
“Kuliah kamu gimana?”
“Bunda, disana banyak beasiswa. Bunda jangan pernah khawatir sama Fafa ya?”
Fafa tahu, semakin ia menghibur Bunda kalau semua semakin baik-baik saja, semakin Bunda khawatir. Tapi keputusan Fafa sudah bulat, demi Ninda. Ia bersedia mengajak serta ke Singapura. Barang-barang Ninda sudah dikemas dan ia bergegas pulang, bahkan Fafa sendiri belum berkemas, namun Ninda yang didahulukan, diutamakan.
Bunda meninggalkan kamar Fafa, tapi ada satu pertanyaan yang membuat Fafa tertegun, hanya satu, yang tidak pernah diajukan Bunda.
“Mas, seberapa yakin Ninda akan menjadi milik kamu? Jawab dengan hatimu sendiri,Bunda tidak perlu tahu. Tapi hati kecil kamu harus tahu”.

*****

Semua sudah siap. Fafa meminta keluarga untuk tidak mengantarnya. Pedih rasanya melihat wajah mereka yang berat melepasnya. Fafa ingin tinggal. Tapi ia juga ingin bersama Ninda. Ia juga ingin merasakan hidup mandiri di negeri orang. Ninda juga tidak diantar keluarga. Hanya sopir yang bertugas mengantar mereka, tanpa menunggu. Dan di sinilah mereka. Duduk berhadapan di sebuah cafe di bandara. Tak ada obrolan. Tak ada candaan. Tak ada kalimat mesra. Masing-masing menggenggam cangkir berisi kopi yang masih utuh. Dari mulai masih mengepul hingga menjadi dingin. Seakan ada hal sama yang mereka pikirkan. Benarkah keputusan ini? Ninda yang ngotot pindah ke Singapura karena tak tahan dengan kondisi keluarganya yang tidak harmonis. Dan dia butuh Fafa untuk terus di sampingnya. Fafa yang tak pernah bilang “tidak” untuknya.
Mereka menunggu panggilan operator yang mengumumkan mereka untuk segera ke pesawat. Setengah jam, satu jam. Fafa mulai merasa ada yang tak beres. Fafa beranjak dari kursinya.
“Aku tanya petugas dulu ya,” katanya, dibalas anggukan Ninda. Fafa mendekati petugas berseragam merah, seragam maskapai penerbangan yang pesawatnya akan mengantar mereka. Menerbangkan mereka ke negara tetangga. Fafa tampak shock, kemudian berlari ke arah counter check in di bawah. Ninda melihatnya, bergegas menyusulnya. Ninda melihat Fafa lemas di depan counter check in.
“Ada apa?” tanya Ninda, heran melihat wajah pucat Fafa.

“Kita ketinggalan pesawat dua jam yang lalu….,” jawab Fafa lemas. Dan di antara kebingungannya, ia seperti melihat sosok Bunda-nya, merentangkan kedua tangan mengajak Fafa untuk pulang.

Review : Satsuki Sensei

Review buku yang telat :| *sungkem ke mami Donna*
Buku ini adalah buku kumcer karya Primadonna Angela. Yang bikin spesial buku ini adalah ada nama saya di dalamnya :3 (baca bagian depan, komentar tentang karya Donna)




Buku ini berisi sepuluh cerpen tentang cinta dan harapan. Uniknya, beberapa tokoh dalam cerpen di sini berkesinambungan. Bintang yang pacaran sama Ardi ternyata bersahabat sama Sita dan Satsuki. Leoni yang ternyata nggak cuma menjahati Sita, tapi juga mencuri ide-ide Dewi. Debora yang diteror oleh Venna, kini bersahabat dengan Dewi. Seriously, cerpen yang tokohnya saling berkesinambungan begini baru aku temui di bukunya mami Donna.

Dari kesepuluh cerpen di sini, yang paling aku suka berjudul "Kopdar". Di sini diceritakeun (sounds familiar.....OVJ...) seorang cewek yang janjian ketemu sama sahabat dunia maya-nya yang ber-nickname Rocket di sebuah cafe. Sedang tegangnya menunggu, dia 'diganggu' seorang cowok yang sebenernya cakep, sih, tapi agak kepedean gitu. Kemudian muncul cowok culun yang ngakunya cari si Aquamarine, si cewek itu. Entah kenapa kok pertemuannya malah jadi awkward. Nggak nyambung kayak waktu di dunia maya. Ketika Aini, si Aquamarine ini, mau pulang, cowok 'pengganggu' tadi ternyata malah si Rocket yang dia tunggu. Rocket alias Kai Sebastian ini bikin skenario demikian untuk mengetahui apakah Aini pantas dia tunggu, pantas untuk Kai jadikan ceweknya, yang nggak cuma suka dengan Kai hanya karena dia tampan dan pemain basket, tapi karena Kai adalah Kai.


Sounds romantic nggak sih? Tapi jujur kalo aku jadi Aini, sebelum aku bilang "Yes, I wanna be your girlfriend", aku tonjok dulu itu si Kai. Soalnya dia sempat meragukan Aini, sih =="

Serunya, masih ada sembilan cerpen lagi yang nggak kalah asiknya :D
Setuju deh, sama kamu :3

WARNING :
Buku ini harus dibaca ketika senggang, boleh sediakan camilan dan minuman ringan. Tidak diperkenankan membaca buku ini disela-sela pelajaran atau bekerja karena dapat menyebabkan Anda pengen baca lagi, lagi dan laaaaaagiiiiiii. :3

Friday, 3 February 2012

Listening

when you get upset, when you sad
you came to me, "I need" you said
and I put everything down from my hand
then I heard you from beginning to the end

that is happened not for once
you always tell me and then gone
and you smiling because you lost your pain
then you said that I'm your friend for main

but why don't you do that to me too?
listen to me just us two
welcoming me with your smile
and listen to my story for a while

you act like you don't interest
then you say you must take a rest
you leave me in the middle of my story
and let me feel not free

the next day you come again
say that you feel the pain
and I act like a fool
listen to your story full

oh my dear
would you like to stop it?
don't you know that I need you
exactly the same like you need me too

this is all about you
the person I choose from the few
and I'm pretty sure that you hide something from me
then I ask you, when will you let me out from this curiousity

Sunday, 29 January 2012

Penyembuhanmu

Seperti yang sudah sudah
Aromamu selalu menyebar di seluruh ruangan
Mendominasi indra penciuman
Menelusup ke setiap celah

Dan seperti yang telah lalu
Aku berusaha menyimpan aromamu
Bukan dengan hidungku, bukan juga bibirku
Tapi dengan setiap pori-pori di tubuhku

Sejatinya aku ingin berlama-lama denganmu
Namun situasi tak mendukung niatku
Cuaca juga memaksaku untuk berlalu
Dan seluruh indraku menjerit tak rela untuk itu

Aku tahu aku akan bertemu lagi denganmu
Tapi kapan itu yang tak tentu
Meninggalkan rindu yang terus memburu
Sampai goresan sosokmu yang kusimpan pun tak mampu memuaskanku

Hanya aromamu yang mampu menyembuhkan
Tapi udara itu tetap tak mampu kusimpan
Sekeras apapun aku bertahan
Tetap saja aromamu terlupakan




Blitar, 28 Januari 2012

Friday, 6 January 2012

meet d'Phoenix part 2

A week at Jakarta means : meet a lot of friends! After gathering with Plurkizens and admin of Angeliers Indo, I met my d'Phoenix group! Unfortunately, the member who could came is just : four :|
here's the pictures :
with Mimi and Sheila


Agus between the girls

Agus in his 'galau' pose :3





this formation is almost same with two years ago at PGC (no picture), but Dita changed by Sheila.

meet The Plurkizen!!!

we are the world
we are Plurk creatures
we are the one who make a brighter day
for all the hoomans


What's the greatest thing of Plurking beside of laughing with the Plurkizen at Plurk? Meet them all!!!
Yes, I met some of the Plurkizen (the Plurkers, I called them like that from Plurk+citizen) at Jakarta last holiday. I knew Mimi from mig33, Harry Potter's room long time ago before Plurk exist. We are the member of d'Phoenix. Then she know some of Plurkizen from Jakarta and from her I know them all. I met Astrid, Alif, Aksa, and Budi. Actually there are many Plurkizen at Jakarta but they couldn't came because they have their own bussines. Not in the right time to meet me :(

However, although this is our first time to meet, we talked and laughed like we were the best friend since we were a kids. Astrid can play tarot so we have fun with her cards. XD
We met at Plaza Semanggi, dinner at Hoka-Hoka Bento, sang together at The Starz Karaoke, and Astrid played the tarot cards at Burger King. We went home midnight.

Last night we met, at McDonalds Sarinah, I got an accident. I was in my period, first day and when I stand to went home my dress was 'bloody'. Panic!! At last Aksa borrowed his jacket for me and accompany me to Sari Pan Pacific Hotel where I could met my aunt. Thank you, Aksa (cozy). My aunt so happy with him then she asked me a lot about Aksa (evilsmirk).

Oh, here's the pictures! :D

me, Mimi, and Astrid :D

between the boys out!! XD

Aksa, Astrid, me and Alif

Aksa, Astrid, me and Mimi (Aksa just arrived from his college)

with Mimi (she bought the fedora before we going to Plaza semanggi :p)

with Astrid, Tante Hijau :3
gonna miss you all!!!! :* :*

Thursday, 5 January 2012

Langit Merah Jakarta

Happy New Year 2012!!!! How was your party? Or did you have a great celebration? Celebration new year it doesn't mean you must have a party. You can spent it with your family just at home (I suggest this for those who don't have much time with their family).
This year I attended to Mexico New Year Party at Sari Pan Pacific Hotel Jakarta (my aunt works there). When I came, first thing I knew was 'why my camera is not too good to catch this all?' X(
However, I enjoyed the party although my aunt said that this year is not as great as usually.

my brothers

with the Sombrero Boy

my aunt as Matador Girl

I don't know who she is but I like her style :D

the dancers

the DJ!!!

With the Sombrero Man, The General Manager of Sari Pan Pacific Hotel

The Flamenco Girl, singer

with the magicians, Double D (they were the finalist of The Master Cilik at RCTI)

The Mask!!

with my aunt as a Matador Girl

with the Mexican Girls :D

this is my style at that night, Morrocan :3

just wear the basic make up

with the DJ, he's so funny XD

They were so romantic, the music still on but the people were back to their rooms. This couple still dancing at the lobby


after the party end, we stand for two hours waiting for the taxi =="